flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Selasa, 22 September 2015

PROSPEK PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER DALAM MENJAWAB TANTANGAN ERA PERDAGANGAN BEBAS

Oleh:
Sofyan Sauri

ABSTRACT
There are a number of internal and external challenges of education in the era of free trade. This educational challenge consists of the problem of national unity, the democratization of education, decentralization of education management, and quality of education. Character education is difficult to apply in the framework of adult education performance is due to unfamiliarity conceptual about character education, so it is not targeted and face serious problems surrounding the evaluation procedure. One of the efforts in the face of free trade, the character education effort focused on establishing and maintaining good character because learners is at the core of all types of education and can lead to the creation of inner and outer human behavior so that a balanced person. It also morals are irreplaceable basic support for the integrity of character education in schools.

Keywords: Education, Character, Free Trade

ABSTRAK
Terdapat sejumlah tantangan internal dan eksternal pendidikan di era perdagangan bebas. Tantangan pendidikan ini terdiri atas masalah kesatuan bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas pendidikan. Pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka kinerja pendidikan dewasa ini karena ketidak pahaman konseptual tentang pendidikan karakter, sehingga tidak tepat sasaran dan mengalami persoalan serius seputar tata cara evaluasi. Salah satu upaya dalam menghadapi perdangan bebas, yaitu pendidikan karakter yang berfokus kepada upaya membentuk dan memelihara akhlak peserta didik karena merupakan inti dari semua jenis pendidikan dan dapat mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang. Selain itu juga akhlak merupakan dukungan dasar yang tak tergantikan bagi keutuhan pendidikan karakter di sekolah.

Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Perdagangan Bebas



PENDAHULUAN
Belum usai diserbu produk China melalui program ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), kini rakyat Indonesia harus siap dengan rencana serbuan negara-negara di dunia lainnya dalam rencana program perdagangan bebas 2015. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke 18 yang berlangsung di Jakarta pada 7-8 Mei 2011, Indonesia yang saat ini menjadi Ketua ASEAN bertekad melaksanakan Masyarakat Ekonomi ASEAN tepat waktu di 2015. Selain berdampak langsung terhadap dinamika makro dan mikro ekonomi nasional, program-program tersebut mem-berikan dampak pengiring yang teramat dahsyat terhadap semua ranah kehidupan, seperti perubahan life style, paradigma berpikir (mindset), pergeseran nilai-nilai sosial dan budaya, pergeseran karakter bangsa, tergerusnya moral dan akhlak gerenasi muda, sampai serbuan idiologi.
Menurut Mazarr dalam Tilaar (2004) bahwa setidaknya terdapat enam kecenderungan peran utama perubahan kehidupan masa depan sebagai berikut, yakni:
1.      Berubahnya fondasi-fondasi kehidu-pan dunia yang telah melahirkan kelompok negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Dalam dunia tersebut terdapat perbedaan yang sangat mencolok seperti kemis-kinan, kebodohan dan ilmu pengetahuan. Di samping itu, dunia yang dahulu didominasi oleh persepsi barat kini muncul pandangan-pandangan baru mengenai budaya dunia yang beraneka ragam.
2.      Perubahan di dalam kekuatan peng-gerak utama dalam sejarah terutama sains dan teknologi dalam mengubah kehidupan manusia.
3.      Munculknya ekonomi baru yang disebut human resources economy. Dalam ekonomi baru ini terjadi reorientasi pekerjaan. Jenis-Jenis pekerjaan semakin menciut dalam arti yang diperlukan bukan laboor intensive tetapi pekerjaan yang berbasis ilmu pengetahuan.
4.      Lahirnya global trend akibat globalisasi yang berakibat juga pada lahirnya tribalisme yaitu fragmen-talisme serta pluralisme dari berbagai komunitas atau negara.
5.      Perubahan dalam otoritas yang mengatur hidup bersama manusia. Globalisasi melahirkan demokrasi yaitu  pemikiran yang menghargai hak asasi manusia, hak manusia untuk memiliki identitas sendiri, akibatnya muncul krisis sosial politik.
6.      Hasil dari semua perubahan yang terjadi yaitu kemungkinan lahirnya alienasi dari individu dan lahirnya apa yang disebut dengan sindrom pesimisme.
Kecenderungan global tersebut tentunya berdampak kepada semakin urgennya pendidikan karakter untuk diimplementasikan dalam tiga lingkungan pendidikan (tripusat pendidikan) yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Faktor lingkungan yang terus berubah, berkembang dan kompleks menuntut para penggiat pendidikan untuk selalu belajar dan responsif, agar pola dan strategi pendidikan karakter yang mereka jalankan bisa disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan lingkungan.

PEMBAHASAN
A.    Tantangan Pendidikan Karakter di Era Perdagangan Bebas
Tilaar (2004) memberikan referensi bahwa terdapat sejumlah tantangan internal dan eksternal pendidikan di era perdagangan bebas. Tantangan internal pendidikan terdiri atas:
1.      Masalah Kesatuan Bangsa; Memudarnya kesatuan bangsa dari sebagian masyarakat akhir-akhir ini, boleh jadi dipicu dengan munculnya semangat kesukuan, kedaerahan dan sejenisnya, sehingga beberapa daerah ada keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.
2.      Demokratisasi Pendidikan;  Di tengah masyarakat muncul keinginan yang sangat kuat untuk kehidupan demokrasi yang dimaknai sebagai kehidupan yang menghargai potensi individu. Semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang baik, juga memiliki kewajiban yang sama untuk membanguan pendidikan nasional yang berkualitas
3.      Desentralisasi Manajemen Pendi-dikan; Desentralisasi manajemen pen-didikan akan memberikan implikasi langsung dalam penyusunan dan penentuan kurikulum yang bebeapa waktu lalu sangat sentralistik dan sangat memberatkan peserta didik.
4.      Kualitas Pendidikan; Kunci utama peningkatan kualitas pendidikan adalah mutu para guru.  Sehingga pemerintah sangat bersemnagat untuk meningkatkan mutu guru dengan mendorong mereka minimal berkua-lifikasi S1 dan mendorong para guru agar lebih meningkatkan profesiona-lismenya.
Sementara tantangan eksternal dunia pendidikan atau lazim disebut dengan tantangan global menurut Tilaar (2004) adalah tantangan untuk mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain, tantangan yang datang sebagai dampak dari globalsiasi dimana kehidupan global melahirkan kebudayaan global, tantangan perubahan masyarakat yang sangat cepat yang diiringi dengan perubahan nilai-nilai budaya, dari nilai budaya lama ke nilai budaya baru.
Dengan merujuk kepada tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU No 20 Tahun 2003. Achmad Dardiri (2009) berpendapat bahwa terdapat beberapa tantangan pendidikan, diantaranya:
1.      Bagaimana agar pendidikan itu mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa  dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.      Mampuhkan kegiatan pendidikan melahirkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Tantangan yang kedua sebagaimana ditegaskan oleh Achamd Dardiri di atas, di era perdagangan bebas dewasa ini merupakan tantangan terberat dunia pendidikan, hal tersebut dikarenakan dampak pengiring dari perdagangan bebas selalu disertai dengan terpaan nilai-nilai, hantaman budaya dan akhlak serta ekploitasi gaya hidup barat yang menggerus akhlak generasi bangsa. Dengan demikian, adanya pendidkan karakter yang berbasis kepada pembentukand an pertahanan akhlak generasi bangsa menjadi keniscayaan untuk dilakukan secara sistemik secara nasional. Adanya pendidikan semacam itu diharapkan dapat melahirkan generasi dengan identitas sebagaimana ditegaskan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yakni generasi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sementara Delors (1998)  menjelas-kan bahwa pendidikan dewasa ini dihadapkan kepada adanya tantangan yang sifatnya berlawanan yaitu berupa ketegangan-ketegangan antara:
1.      Yang global dan yang lokal
2.      Yang universal da yang individual
3.      Tradisi dan modernitas
4.      Pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek
5.      Perlunya kompetisi dan perhatian terhadap persamaam kesempatan
6.      Ekspansi yang luar biasa dari ilmu pengetahuan dan kemampuan manusia untuk mengasimilasikannya
7.      Yang spiritual dan yang material.
Ketujuh ketegangan tersebut secara riil menjadi masalah sekaligus tantangan dunia pendidikan. Artinya pendidikan selalu dihadapkan pada apakah diseleng-garakan dalam upaya menyesuaikan dengan permasalahan-permasalahan global atau diarahkan dalam upaya melestarikan nilai-nilai lokal, dan seterus-nya. Sudah barang tentu pendidikan tidak hanya diarahkan pada satu arah melainkan keduanya dikembangkan secara bersama-sama dan simultan. Pendidikan harus mampu mengakomodasi dua ketegangan tersebut.
Dalam pandangan Komisi Pendidi-kan UNISCO, upaya untuk mempersiap-kan peserta didik menghadapi berbagai perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat dewasa ini, yang diikuti dengan berbagai permasalahan adalah dengan membekali peserta didik dengan bekal yang memadai, dalam pandangan Komisi Pendidikan itu tercakup dalam empat pilar pendidikan yang sangat fundamental, yaitu: Learning to konw, learning to do, learning to be, learning live together (Delors, 1998).

B.     Urgensi Pendidikan Karaker di Era Perdagangan Bebas
Fenomena-fenomena yang mencuat prihal karakter moral bangsa dewasa ini memang semakin mengkhawatirkan. Beberapa peristiwa menandakan kian terjadinya erosi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang mulia. Hancurya nilai-nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, brutalnya masyarakat, erosi akhlak generasi muda, dan hilangnya ketaula-danan pada elit bangsa menjadikan tantangan dunia pendidikan kian besar.
Di sisi lain, kesepakatan-kesepakatan internasional yang menggiring kepada penghapusan batas-batas kenegaraan, hingga lalu lintas orang dan barang bahkan nilai-nilai antar negara semakin terbuka. Akibatnya pertahanan nilai-nilai moral yang sebelumnya begitu sakral dan karakter moral bangsa yang sebelumnya melekat dalam jati diri bangsa dan menjadi kebanggaan nasional kian terancam. Kondisi tersebut menjadikan tuntutan dan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan yang memegang peranan strategis dalam menciptakan daya tangkal dan penyiapan pertahanan nilai serta pembentukan sikap mental anak bangsa yang berpegang teguh kepada karakter moral bangsa. 
Pertanyaanya mampuhkan dunia pendidikan melakukan peranannya sebagai nakoda dalam membangun perta-hanan nilai-nilai moral bangsa? Mampuhkan dunia pendidikan untuk menyelamatkan anak bangsa dari segala bentuk ancaman luar yang berpotensi merusak akhlaknya? Model pendidikan seperti apa yang kiranya menjadi kenisca-yaan untuk ditegakan agar karakter moral bangsa tidak tergerus oleh derasnya tantangan global?
Lembaga pendidikan, khususnya sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi peserta didiknya. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan integritas diri sebagai pribadi yang memiliki karakter kuat.
Berbagai macam perilaku yang non-edukatif kini telah menyerambah dalam lembaga pendidikan, seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, korupsi dan kesewenang-wenangan yang terjadi di kalangan sekolah. Tanpa pendidikan karakter, sama artinya dengan membiarkan campur aduknya kejernihan pemahaman akan nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya yang pada gilirannya menghambat para peserta didik untuk dapat mengambil keputusan yang memiliki landasan moral kuat. Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para peserta didik tentang nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggung-jawabkan dan sesuai dengan norma-norma agama.
Khoesoema (2007) berpendapat bahwa pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga menjadi personal yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi sebuah proses perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.
Brook and Goble (1997) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang secara sistematis diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh komunitas. Para peserta didik mendapat-kan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia, dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para peserta didik memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orangtua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa,  pengenalan nilai-nilai moral bagi peserta didik maupun guru,  demikian juga berkurangnya tindakan vandalisme di dalam sekolah.
Memasuki abad ke-21 banyak pendidik ingin menekankan kembali hadirnya kembali pendidikan karakter, untuk mempromosikan nilai-nilai positif bagi anak-anak muda dalam kaitannya dengan merebaknya prilaku kekerasan dalam masyarakat. Brooks dan Goble mengindikasikan bahwa “…kejahatan dan bentuk-bentuk lain prilaku tidak bertanggung jawab telah meningkat dengan kecepatan yang sangat menghawa-tirkan dan telah merembes menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah menjadi proses reproduksi sosial. Masyarakat kita sedang berada dalam ancaman tindakan kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng jalanan, anak-anak kabur dari sekolah/bolos (truancy), kehamilan dikalangan anak-anak muda, bisnis hitam (business fraud), korupsi pada politisi, kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hormat pada orang lain, dan memupusnya etika profesi.”
Pemikiran lain, West, misalnya, melihat bahwa kemerosotan nilai-nilai moral yang ada dalam diri anak-anak muda itu tidak hanya berlaku bagi kaum muda semata. West menyatakan bahwa, “Kita hidup pada penghujung abad yang ditandai dengan brutalitas dan kekejaman yang tidak berkesudahan, sebuah masa dimana lebih dari dua ratus juta umat manusia telah dibunuh atas nama ideologi yang bersifat jagal (pernicious ideology)”.
Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekadar berurusan dengan proses pendidikan tunas muda yang sedang mengenyam masa pembentukan di dalam sekolah, melainkan juga bagi setiap individu di dalam lembaga pendidikan. Sebab pada dasarnya, untuk menjadi individu yang bertanggung jawab di dalam masyarakat, setiap individu harus mengembangkan berbagai macam potensi yang ada dalam dirinya, terutama mengokohkan moral yang akan menjadi panduan bagi peraksis mereka di dalam lembaga.

C.    Prospek Pendidikan Berbasis Karakter
Koesomea (2007) berpendapat bahwa ada tiga alasan mengapa pendidikan karakter itu begitu sulit diterapkan dalam kerangka kinerja pendidikan dewasa ini. Alasan pertama adalah ketidak pahaman konseptual tentang apa yang disebut dengan pendidikan karakter. Kedua, ketidak jelasan konseptual ini mengaki-batkan di lokal yang mengatasnamakan pendidikan karakter tidak tepat sasaran dan tidak integral. Ketiga, ketika diterapkan dalam kerangka lembaga kependidikan, pendidikan karakter menga-lami persoalan serius seputar tatacara evaluasi.
Berangkat dari pendapat di atas, maka para nakoda pendidikan karakter di lingkungan pendidikan setidaknya kedepan dihadapkan kepada beberapa pekerjaan rumah, diantaranya adalah melakukan upaya peningkatan kompetensi para guru khususnya sebagai garda terdepan dalam praktek pendidikan karakter prihal hakikat, metode implementasi hingga strategi pengem-bangannya. Membuat sebuah rencana strategis pengembangan pendidikan karakter untuk dipraktekan di lingkungan satuan pendidkan. Mengembangkan ramuan pembelajaran, dimulai dari rumusan tujuan, materi, metode, media dan sistem evaluasi yang tepat terkait dengan implementasi pendidikan karakter di lingkungan satuan pendidikan untuk semua jalur dan jenjang pendidikan.
Pendidikan karakter merupakan bagian dari kinerja sebuah lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat berbagai macam keterlibatan individu dan tata aturan kelembagaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah dapat dipahami melalui dua cara. Pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education).
Dalam cara ini, pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagai-mana menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri anak didik di sekolah. Nilai-nilai ini bisa memiliki bobot moral atau tidak, seperti nilai yang sifatnya individual personal antara lain tanggung jawab personal, kemurahan hati, penghargaan diri, kejujuran, pengendalian diri, bela rasa, disiplin diri, daya tahan, pemberian diri, percaya diri, integrtas, cinta, tepat waktu, berjiwa pengampun, dan rasa terima kasih.
Demikian juga dengan nilai-nilai yang sifatnya lebih sosial, kewarga-negaraan, kerja sama, menghargai orang lain, toleransi, sportivitas, apresiasi, rasa saling percaya, keadilan, pemecahan masalah atas perbedaan secara damai (peaceful resolution of differences), dan kesediaan mendengarkan. Paradigma ini menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai tertentu yang menjadi prioritas kelembagaan yang ingin ditanamkan dalam diri anak didik sesuai dengan profil lulusan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan tertentu.
Kedua, melihat pendidikan karak-ter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan dalam peristiwa pendidikan itu sendiri (educational happenings). Paradigma ini membahas secara khusus bagaimana nilai kebebasan itu tampil dalam kerangka keputusan yang sifatnya tidak personal, melainkan juga kelem-bagaan, dalam relasinya dengan unsur-unsur pendidikan dalam lingkungan sekolah dan dalam kaitannya dengan lembaga lain, yaitu keluarga, instansi pemerintah, dan masyarakat. Isu yang dibahas antara lain apakah lembaga pendidikan memiliki kebebasan dalam menentukan kinerja pendidikan sesuai dengan visi dan misi yang diyakininya.
Persoalan seputar kebebasan dalam menentukan tujuan pendidikan merupakan persoalan yang secara jelas memiliki kandungan nilai moral. Oleh karena itu, pandangan ini lebih mempertanyakan apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia pendidikan memang telah dijiwai nilai-nilai moral yang mengem-bangkan kebebasan itu sendiri.
Paradigma pertama mengacu pada praksis pendidikan karakter di tingkat sekolah. Corak rasionalnya lebih mengarah pada relasi antara guru dan murid, staf sekolah dan murid. Pendekatan ini secara spesifik memberikan prioritas atas nilai tertentu yang ingin ditanamkan dalam diri anak didik. Pendidikan karakter dalam tingkat ini sifatnya vertikal antara guru dan murid.
Sementara itu, paradigma kedua lebih melihat apakah peristiwa-peristiwa dalam dunia pendidikan, mulai dari penentuan visi dan misi pendidikan nasional, visi dan misi sekolah, pengembangan kurikulum, rekruitmen guru, metode pengajaran memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan sehingga mereka makin bertumbuh sebagai manusia. Paradigma kedua ini lebih menunjuk pada hubungan relasional yang sifatnya horizontal, sejajar, sejauh orang-orang yang terlibat dalam pendidikan karakter berada dalam lingkup keanggotaan sebuah lembaga tertentu, lembaga pendidikan, keluarga, negara, dan masyarakat.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, kemerosotan nilai-nilai moral telah menjadi semacam lampu merah yang mendesak semua pihak, lembaga pendi-dikan, orangtua, negara, dan lembaga kemasyarakatan lain untuk segera memandang pentingnya sebuah sinergi bagi pengembangan pendidikan karakter. Dunia pendidikan mengetahui kemende-sakkan perlunya kembali pada pendidikan karakter di sekolah untuk membentuk watak dan kepribadian siswa sehingga mereka menjadi manusia-manusia dewasa yang bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Namun usaha ini pun hanya terjadi secara tersebar tidak serentak. Selain itu, tampaknya ada ketidak-pahaman tentang kepentingan pendidikan karakter yang coba digagas melalui pendekatan Iman dan Takwa. Pendidikan karakter dengan demikian dikaitkan lebih dekat dengan pelajaran agama yang praksis utamanya adalah mengenal dan melatih tata cara peribadatan.
Dengan cara memusatkan diri pada pola perilaku (traits), seperti rasa hormat, pemeliharaan, tanggung jawab, kerenda-han hati, dan jiwa demokratis, pendidikan karakter mampu mengubah iklim sekolah menjadi lebih baik. Pendidikan karakter dalam konteks ini lebih dipahami sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh sekolah, keluarga, dan komunitas untuk membantu generasi mudanya dalam memahami, menumbuhkan dan melaksa-nakan inti nilai-nilai moral. Pendidikan karakter memegang teguh nilai-nilai moral sebagai modal dasar karakter yang baik. Dengan idealisme ini, sekolah dituntut untuk memiliki komitmen utama menga-jarkan nilai-nilai dasar pendidikan karak-ter dalam diri para siswanya.
Demikian juga dengan cara mengoreksi corak relasional kelembagaan dalam relasinya dengan lembaga lain, kita semakin dapat memberikan ruang-ruang kebebasan dan otonomi bagi pengem-bangan kinerja pendidikan itu sendiri. Situasi ini tidak akan efektif jika kebija-kan pemerintah dan kebijakan lembaga pendidikan itu sendiri dalam melaksa-nakan visi dan misinya sangat opresif, menindan dan tertutup. Nilai kebebasan semestinya menjiwai seluruh derap kebijakan dalam dunia pendidikan. Sebab tanpa kebebasan, pendidikan karakter di tingkat sekolah akan menjadi mandul dan superfisial belaka.

D.    Pendidikan Karakter sebagai  Pendidikan Akhlak

Pendidikan karakter  dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai-nilai esensial pada diri anak melalui serang-kaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai-nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya kedalam kepribadiannya.
Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pembentukan akhlak, dan pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan, berupa kenyamanan dan keamanan yang mem-bantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).
Pendidikan karakter dapat dimak-nai sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputu-san dengan bijak dan memperaktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Adapun nilai yang layak diajarkan kepada anak-anak, dirangkum Indonesia Heritage Fondation (IHF) yang digagas oleh Ratna Megawangi menjadi sembilan pilar karakter, yaitu ;
1.    Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2.    Kemandirian dan Tanggug Jawab (responsibility, excellence, self reliance, Discipline, orderliness)
3.    Kejujuran dan Amanah, Bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)
4.    Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience)
5.    Dermawan, suka menolong dan Gotong Royong (love, compassion, caring, Empathy, generousity, moderation, cooperation)
6.    Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, Determination, and enthusiasm)
7.    Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8.    Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humality, modesty)
9.    Toleransi dan Kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness)
Berdasarkan gambaran hakikat pendi-dikan karakter di atas, maka tampak bahwa pendidikan karakter sesungguhnya berfokus kepada serangkaian upaya dalam rangka membentuk dan memelihara akhlak peserta didik. Pendidikan akhlak merupakan inti dari semua jenis pendi-dikan karena ia mengarahkan pada tercip-tanya perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya. Dengan demikian, pendekatan pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi suatu mata pelajaran atau lembaga, melainkan terintegrasi ke dalam berbagai mata pelajaran atau lembaga.
Berbeda dengan pendidikan secara umum, pendidikan akhlak terbagi kedalam dua aliran: rasional dan mistik. Dalam Islam, kedua aliran ini berangkat dari sumber yang sama, yaitu ajaran Islam. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan filosofis dalam memahami dan menerap-kan ajaran Islam. Perbedaan tersebut pada dasarnya berpulang pada perbedaan teologi.
Sistem teologi yang memberi peran besar terhadap kemampuan akal lebih cenderung kepada pemikiran akhlak rasional, sementara sistem teologi yang kurang memberi peran besar terhadap kemampuan akal manusia lebih cenderung untuk berteologi tradisional dan selanjut-nya mempunyai kecendrungan kepada pemikiran akhlak mistik pemikiran akhlak yang memberi peran besar bagi kekuatan akal cenderung memberi kebebasan terha-dap manusia untuk berbuat menentukan dirinya sendiri secara lebih dibandingkan dengan pemikiran akhlak yang memberi peran kecil bagi kekuatan akal.
Dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang lebih otonom dibandingkan pada pemikiran akhlak tradisional. Pemikiran akhlak tradisional ebih cenderung menganggap manusia sebagi mahluk yang heteronom.
Penggolongan manusia pada mahluk otonom dan hetoronom didasarkan atas pandangan mengenai kebebasan dan kekuasaanya. Pendapat yang mengatakan bahwa manusia mempuyai kebebasan dan kekuatan berbuat dalam menentukan dirinya sendiri, menggolongkan manusia sebagai mahluk otonom sedangkan pendapat yang menyatakan  bahwa manusia kurang memiliki kebebasan dan kekuasaan berbuat untuk menentukan diri sendiri cenderung memasukan mausia sebagai mahluk hetoronom.
Konsekuensi pada pendidikan akhlak rasional memberikan dorongan kuat bagi terciptannya manusia dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh dari pendidikan akhlak mistik kurang membe-rikan dorongan kuat bagi terciptanya manusia yang dinamis. Ibnu Miskawaih (2003:114-139) dalam bukunya Filsafat Akhlak memberikan konsepsi tentang pendidikan akhlak sebagai berikut:
1.      Landasan
Sesuatu yang dijadikan landasan bagi Ibnu Miskawaih untuk mengemukakan pemikiran-pemikiran adalah al-Qur’an dan hadis dilengkapi dengan beberapa pemikiran filosof Yunani, Persia,India. Sastrawan Arab, dan pata filosof Muslim.
2.      Tujuan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat). Dengan alasan ini, maka Ahmad’AbdAl-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di bidang akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manussia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak makna al-sa’adat- seperti yang dinyatakan  oleh M. Abdul haq Ansari- tidak mungkin dicari padanan-katanya dalam bahas Inggris. Walaupun secara umum diartikan sebagai happiness. Menurutnya, al-sa’adat merupakan konsep komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness), kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection), kesenangan (blessedness), dan kebangusan/kecantikan (beautitude).
3.      Materi
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan akhlaknya:1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh, 2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan 3) hal-hal yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama manusia. Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum mempelajarinya.
4.      Pendidik dan Anak Didik  
Menurut Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya. Materi utama yang perlu di jadikan acuan pendidikin dari orang tua kepada anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, penerimaan secara taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak memjadi persoalan. Dasar pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui penjelasan atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara hal itu untuk mencapai ke utamaan.
Guru berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, tuan manusiawi atau orang yang dimuliakan, dan kebaikan yang akan diberikan adalah kebaikan Illahi., karena ia membawa anak didik kepada ke arifan mengisinya dengan kebijakan yang tinggi dan menunjukan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula. Kecintaan anak didik murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap tuhannya.
5.      Metodologi Pendidikan Akhlak
a.       Perubahan Akhlak
Untuk mengetahui konsep Ibn Miskawaih tentang metode perbaikan akhlak, sebelumnya perlu di ketahui pendapatnya tentang perubahan akhlak. Menurutnya bahwa akhlak itu ada dua macam, yakni 1) ada yang thabi’i atau alami dibawa sejak lahir, dan 2) ada yang dihasilkan melalui latihan dan kebiasaan.
Lebih lanjut, ibn Miskawaih mengungkapkan bahwa akhlak merupakan urusan manusia sendiri. Artinya, baik buruk, terpuji atau tercelanya ahklak seseorang tergantung kepada seseorang itu sendiri. Dari sisilain, dapat juga dikatakan bahwa Ibn Miskawaih tidak mengakui adanya pengaruh keturunan dalam akhlak manusia dengan kata lain, akhlak sese-orang menerima perubahan karena ia merupakan masalah yang di usahakan. Perubahan akhlak manusia ada peruba-hannya cepat dan ada pula yang lambat.
Kalau yang dimaksud tabi’i dalam pengertian ”ada orang perubahan akhlak-nya cepat dan adapula yang lambat”, barang kali Ibn Miskawaih dapat menerimanya. Akan tetapi akan tabi’i diartikan sebagai tidak dapat mengalami perubahan atau tidak dapat diubah, kemungkinan besar Ibn Miskawaih tidak dapat menerinanya. Karena itu, menurut Miskawaih akhlak dapat diubah.
b.      Perbaikan Akhlak
Metode perbaikan akhlak dapat diberi dua pengertian pertama metode mencapai akhlak yang baik, kedua metode memperbaiki akhlak yang buruk. Walau-pun demikian, pembahasannya disatukan karena antara satu dengan lainya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan.
Ada beberapa metode yang dimajukan Ibn Miskawaih dalam menca-pai akhlak yang baik sebagai berikut:
Pertama adaya kemauan yang sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri untuk memperoleh keuta-maan dan sopan santun yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadadiyat. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dam menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan atau minum yang membawa kerusakan tubuh atau dengan melakukan puasa mengerjakan shalat yang lama, atau melakukan sebagian pekerjaan baik yang didalamnya ada unsur melelahkan
Kedua,menjadikan semua pengeta-huan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Agaknya pengeta-huan yang dimaksud disini agar di ketahui hukum-hukum akhlak yang berlaku tetap bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik karena bercermin dari ketidak baikan orang lain
Ketiga, intropeksi/mawas diri. Metode ini mengandung pengertian kesa-daran seseorang untuk berusaha mencari cacat/aib pribadi secara sungguh-sungguh.
Keempat, Metode oposisi. Paling kurang ada dua langkah yang perlu dilakukan untuk metode ini, pertama mengetahui jenis penyakit dan sebabanya, dan kedua mengobati/menghapus penyakit tersebut dengan menghadirkan lawan-lawannya. Penyebab akhlak yang buruk harus dilawan dengan ilmu dan amal. Melawan keburukan dengan ilmu disebut sebagai pengobatan teoritis, sedangkan pengobatan dengan amal merupakan pengobatan secara praktis.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa  pendidikan karakter sesungguhnya adalah pendidikan yang berfokus kepada serang-kaian upaya pembentukan akhlak peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan karak-ter merupakan pendidikan akhlak. Pendi-dikan akhlak merupakan upaya sadar dan terencana yang dihubungkan dengan bagaimana peserta didik mampu berkomunikasi secara vertikal dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya.
Pasar bebas dengan segala program turunan dan dampak pengiring yang menyertainya hanya akan mampu dihadapi dengan pendidikan yang berbasis kepada pembentukan karakter dengan akhlak sebagai kompetensi utama. Dari mana dimulainya pendidikan karakter/ pendidikan akhlak tersebut? Megawangi (2004:63) berpendapat bahwa pendidikan karakter dimulai dari rumah sehingga diperlukan kerjasama dengan orang tua murid. Sedangkan lingkungan masyarakat akan menentukan efektifitas proses pendidikan karakter yang dikembangkan di sekolah.  Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara diperlukan sinergitas dari tripusat pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Dalam konteks pendidikan karakter di persekolahan Lickona dalam Megawangi (2004) menegaskan bahwa terdapat 11 faktor yang menentukan kesuksesan pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut:
a.       Pendidikan karakter harus mengan-dung nilai-nilai yang dapat memben-tuk good character.
b.      Karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang termasuk aspek thinking, feeling, and action.
c.       Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang komprehensif dan terfokus dari aspek guru sebagai role model, disiplin sekolah, kurikulum dan sebagainya.
d.      Sekolah harus jadi model masyarakat yang damai dan harmonis.
e.       Para murid memerlukan kesempatan untuk mempraktekannya.
f.       Harus mengikutsertakan kurikulum yang  berarti bagi kehidupan anak.
g.      Harus membangkitkan motivasi internal dari diri anak.
h.      Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter
i.        Memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai pihak
j.        Sekolah harus bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.
k.      Harus ada evaluasi berkala mengenai keberhasilan pendidikan karakter di sekolah.
Terkait dengan proses implemen-tasi pendidikan karakter yang dalam hal ini penulis memaknainya sebagai pendidi-kan akhlak, Lickona dalam Megawangi (2004) mengemukakan bahwa proses pendidikan karakter menekankan kepada tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yakni moral knowing, moral feeling dan moral action.

E.     Pendidikan Agama bagi Pemben-tukan Karakter

Mungkin  salah satu perbedaan paling hangat yang menjadi kalangan pendidik di negeri kita adalah  persoalan seputar peranan pendidikan agama bagi pemben-tukan karakter siswa. Negara kita mengakui keesaan Tuhan. Ini menjadi salah satu sila dalam Pancasila yang mesti dihayati dan dihidupi oleh setiap warga negara. Oleh karena itu, perlulah kita melihat secara lebih mendalam persoalan seputar pendidikan agama ini bagi pembentukan karakter siswa di sekolah.
Salah satu  pemikiran pendidikan karakter kontenporer, Thomas Liskona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan karakter dan pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukan. Bagi dia, nilai-nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter merupakan nilai-nilai dasar yang harus dihayati sebuah masyarakat sibuk dan mau bekerja sama secara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib sepenanggungan (compassion), pecahnya konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya diutamakan dalam bidang karakter. Bagi dia, agama bukanlah urusan sekolah negeri (public school).
Pendidikan karakter tidak ada urusan dengan ibadah dan doa-doa yang dilakukan di dalam lingkungan sekolah, atau promosi anti aborsi oleh kalangan agama tertentu, atau menerapkan ajaran-ajaran konservatif atau liberal dalam diri anak didik. Ia membedakan secara tegas antara pendidikan agama dan pendidikan karakter. Bagi dia, agama memiliki pola hubungan vertikal antara seorang pribadi dengan keilahian individu dengan Yang ilahi/Allah); sedangkan pola pendidikan karakter adalah horizontal antara manusia di dalam masyarakat (individu dengan individu lain). Oleh karena itu, pendidikan karakter berurusan dengan pengajaran nilai-nilai dasar yang sercara virtual dapat diterima oleh semua masyarakat yang beradab, tak peduli di mana dan kapan. Nilai-nilai ini semestinya mengatasi nilai-nilai keyakinan agama apa pun.
Benarkah pendidikan karakter hanya berurusan dengan relasi antarindividu di dalam masyarakat, sedangkan pendidikan agama terutama berkaitan dengan relasi antar individu dan Allah atau keilahian yang diyakini oleh individu? Dalam konteks kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pemisahan teoritis antara pendidikan agama dan pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan patutlah dipertanyakan kesahihannya. Sebab, jika pemisaham itu terjadi, dasar kihidupan bernegara kita akan timpang. Paling tidak ada dua alasan mengapa argumentasi Lickoma kurang tepat. Pertama, mengatakan bahwa kehidupan yang religius seseorang merupakan urusan pribadi antar individu itu dan Tuhannya, merupakan sebuah pemahaman tentang kehidupan agama cecara keliru kalau tidak dikatakan distorsi. Kedua, mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan relasi antar individu di dalam masyarakat akan menciptakan corak relasi antar pribadi yang semu.
Meredusir pendidikan karakter menjadi pendidikan agama akan membahayakan taanan kehidupan beragama di dalam masyarakat. Sebab, lembaga pendidikan hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang berdoa tapi tidak mampu bekerja sama dengan orang lain dalam membangun kehidupan bersama. Sebaliknya, kehidupan bermasyarakat tidak akan setabil dan autentik ketika pendidikan karakter tidak memberikan tempat bagi rasa hormat antarindividu, terutama rasa hormat atas keyakinan keagamaan yang mereka miliki. Oleh karena itu, pendidikan agama bersifat suportif atas pendidikan karakter, demikian juga sebaliknya, pendidikan karakter semestinya bersifat suportif atas pendidikan agama.
Tujuan pendidikan karakter yang terutama adalah untuk membentuk warga negara yang bermoral dan terbuka pada kerjasama dengan orang lain. Pendidikan karakter semestinya mengutamakan nilai-nilai yang membantu menciptakan dan menyatukan lingkungan kehidupan sosial bersama yang stabil. Untuk inilah gagas tentang overlapping consensus John Rawis bisa menjadi bantuan bagi pengembangan pendidikan karakter di sekolah.
John Rawis melihat bahwa masyarakat yang plural tidak dapat diatur dan ditata melalui prinsip-prinsip dari agama tertentu. Sebab, meskipun prinsip agama itu menjadi jangkauan yang lebih mendalam dan fundamental, prinsip itu tidak dapat dipakai secara efektif bagi kehidupan bersama. Kehidupan bersama hanya bisa diatur secara stabil ketika setiap orang memiliki kehendak baik dan kemauan untuk bekerja sama dengan yang lain demi tujuan bersama. Untuk itu, tidak perlulah seseorang itu melepaskan keyakinan agamanya. Keyakinan agama ini tetap dapat dimiliki dalam konteks kehidupan bersama dalam masyarakat. Namun, dalam kehidupan bersama ini perlulah dicari prinsip-prinsip kerja sama yang mengatasi keyakinan agama tertentu. Prinsip ini tentulah bukan yang mengatasi semua keyakinan agama, bisa jadi jika dilihat cakupannya, prinsip kerja sama ini memiliki ruang lingkup lebih kecil, yaitu hanya prinsip-prinsip politik bagi kerja sama secara adil, dalam masyarakat plural.
Untuk itulah, Rawis melihat bahwa kehidupan politis merupakan titik pijak di mana masyarakat yang plural itu membangun kebersamaan. Overlapping consensus dalam hal ini menjadi semacam kesepakatan bersama yang menjadi rambu-rambu bagi keberlangsungan hidup bersama dalam masyarakat. Jadi, overlapping consensus ini merupakan semacam titik temu bagi berbagai pendekatan dan keyakinan. Kesepakatan ini terwujud dalam suatu proses politik yang adil yang menjaga nilai-nilai keagamaan. Jika perbedaan kebijakan politik itu harus terjadi, perbedaan itu boleh dilakukan hanya untuk membela kepentingan mereka yang lebih lemah, tidak berdaya, dan paling tidak diuntungkan dalam masyarakat. Nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab bersama atas kehidupan bersama inilah yang semestinyadikembangkan dalam pembentukan karakter siswa di sekolah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemerintah mengu-sahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pentingnya pendidikan keimanan dan ketakwaan ini. Sebaiknya, pendidikan karakter di sekolah sebaiknya meningkatkan iman kepercaya-an seseorang, membuatnya menjadi masyarakat pendo’a, sekaligus menjadi-kan manusia Indonesia seutuhnya, mampu berbakti, berjuang, dan bekerja sama demi kepentingan masyarakat dan bangsa. Manusia seperti inilah yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Nilai-nilai agama dan nilai-nilai demokrasi bukanlah suatu hal yang harus dipertentangkan. Jika kita paham secara lebih utuh dan integral, nilai-nilai ini memberikan sumbangan yang efektif bagi sebuah penciptaan yang stabil dan mampu bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama. Inilah sesungguhnya yang menjadi semangat yang terkandung dalam pasal-pasal Pancasila. Oleh karena itu, pendidikan agama merupakan dukungan dasar tak tergantikan bagi keutuhan pendidikan karakter di sekolah.

SIMPULAN
Tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi perdagangan bebas itu nampak di depan mata seperti: Masalah kesatuan bangsa; Demokratisasi pendidikan, Disentralisasi manajemen pendidikan; dan Kualitas pendidikan akan mudah dijinakkan apabila pendidikan nilai-nilai karakter senantiasa dijalankan dalam proses pembelajaran.
Pendidikan karakter sesungguhnya bagi setiap individu di dalam lembaga pendidikan. Sebab untuk menjadikan individu yang bertanggung jawab di masyarakat, setiap individu harus mengembangkan berbagai macam potensi dirinya, terutama mengokohkan moral yang akan menjadi panduan bagi peraksis mereka di dalam lembaga.
Terdapat beberapa nilai karakter minimalnya yang harus tertanam dalam diri manusia yaitu cinta Tuhan dan segenap Ciptaan-Nya; Kemandirian dan tanggug jawab; Kejujuran dan amanah, bijaksana; Hormat dan santun; Dermawan; Suka menolong; Gotong royong; Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; Kepemimpinan dan keadilan; Baik dan rendah hati; dan Toleransi dan kedamaian dan kesatuan.

Referensi:
Arsyad, S.A. (2010). Character Education, Disajikan Pada Sarsehan Nasional Pendidikan Karakter, Dikti Kementerian Pendidikan Nasional di Hotel Murcure Pontianak, Tanggal 17 April 2010.
Aunurrahman. (2009). Eksistensi dan Arah Pendidikan Nilai. Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Ayu S. Sadewo. (2009). Mudahnya Mendidik Anak Beda Kalakter dan Bakat, Beda Perlakukan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Aziz Hamka Abdul. (2011). Pendidikan Karater berpusat pada Hati. Jakarta: Almawardi Prima.
Bruce Joyce, Marsha Weil, at all. (2009). Models of Teaching Model-Model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djahiri Kosasih. (1995). Dasar-Dasar Umum Metodologi dan Pengajaran Nilai-Moral PVCT. Bandung; Lab PMPKN FPIPS UPI Bandung
Frondizi Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
Keosoema, Doni. (2009). Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni (2007). Pendidikan Karakter, strategi mendidik anak di zaman gobal. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni. (2009). Pendidikan Karakter di zaman keblinger. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni. (2010). Pendidikan Karakter Integral. Kompas, 11 Februari 2010
Komalasari Kokom. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.
Megawangi Ratna. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Mulyana Rahmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung; Alfabeta.
Mulyo, Karso. (2009).  Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran kontektual. Tersedia, online: http//mitrawacanawrc.com
Munir Abdullah. (2010). Pendidikan Kalakter. Yogyakarta: Pedagogia.
Nata Abuddin, dkk. (2002). Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Najib Sulhan. (2010). Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: Jape Press Media Utama (Jawa Pos Grup).
Phenix, P.H. (1964). Realism of Meaning. New York San Fransisco: Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.
Q-Anees Bambang, Hambali Adang. (2008).  Pendidikan Kalakter Berbasis Al-Quran. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Supriyatno, Triyo (2009). Pendidikan Karakter di Sekolah. Tersedia, online, http://kahmiuin. Blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.