flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Rabu, 30 Januari 2013

PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGAN MASA DEPAN

I.         Pendahuluan
            Sepanjang sejarah perjalanan perkembangan pendidikan di dunia Islam, peradaban Islam pernah mencapai puncaknya ketika masa kekhalifahan Abbasyah yang dikenal dengan the golden age of Islam. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradaban. Pendidikan Islam tidak akan sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada seluruh generasi.
Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah[1]. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan[2]. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Secara umum, pendidikan Islam adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup (life-skill).
Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema.  Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia. Lebih-lebih ketika dihadapkan pada arus deras globalisasi yang meskipun terbuka peluang namun sarat dengan berbagai tantangan yang memerlukan upaya dan konsentrasi maksimal untuk mampun menciptakan pendidikan bersaing di ruang global.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan"[3].
Berikut adalah analisa Sa’id Ismail Ali dalam buku Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah dalam pasal ke Tujuh: Musykilat al-Hadlir wa Thumuhat al-Mustaqbal.

II.      Analisis Konten
Perhelatan pendapat dalam bidang peradaban Islam mulai terjadi semenjak perdaban Islam terkontaminasi oleh pengaruh peradaban Barat, hal itu terjadi ketika terjadi perang Perancis di tahun 1798.
Pengaruh yang terjadi adalah bahwa fokus perhatian ilmu saat itu tertuju pada studi humaniora dan ilmu sosial, serta sangat mengabaikan ilmu-ilmu praktis, bahkan muncul stigma saat itu bahwa untuk mempelajari ilmu-ilmu praktis cukup dengan mengucurkan dana untuk sebagian orang. Beruntung dua orang tokoh yaitu Rifaat Attohtowi dan Ali Mubarok dapat memberi gagasan segar pada dunia pendidikan dan gagasan ini menjadi model dan pionir bagi dunia pendidikan. Namun sayang pemikiran tentang pendidikan yang digagas oleh dua tokoh ini tidak tertulis pada lembaran-lembaran buku karena dianggap bahwa pendidikan adalah seni semata yang bisa berubah sesuai dengan perkembahan zaman.Fakta ini terlhat pada institusi Dar ulum ketika didirikan di Mesir pada tahun 1872  oleh Tohtowi dan Ali Mubarak.
Setelah delapan tahun berdirinya Dar Ulum yaitu pada tahun 1880 didirikan institusi khusus keguruan namun instutusi ini mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat dan melupakan konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Tohtowi dan Ali Mubarak.
Pengaruh pemikiran Barat pada pada konsep pendidikan Islam disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1.      Kedatangan para diplomat asing yang membawa pemikiran-pemikiran Barat
2.      Pemikir-pemikir Islam dari kalangan Ikhwanul muslimin banyak dipenjara
3.      Banyak bangsa Arab yang mempraktekkan ketentuan hukum Barat
Selain faktor-faktor di atas, penyebab lain dari kurangnya konsep pendidikan Islam dikarenakan:
1.      Banyak konseptor pendidikan yang menjadikan aqidah sebagai landasan pendidikan, namun mereke awan akan dasar-dasar pendidikan.
2.      terdapat banyak buku yang menjadikann aqidah sebagai dasar-dasar pendidikan, namun pengarang buku tersebut awam akan peradaban Islam dan ilmu bahasa Arab, seperti tergambarkan dalam kondisi:
a.       Tidak bisa membedakan definisi-definisi yang ada pada nomenklatur pendidikan, seperti: Pendidikan Islam, pendidikan agama, pengajaran Islam, pengajaran muslim, pengajaran menurut orang Islam, pengajaran keagamaan, dll.
b.      Ketidaktepatan menentukan definisi di atas, maka ada yang menganggap umpanya pendidikan menurut ibnu Kholdun sebagai pendidikan Islam, padahal pendidikan Islam rujukannya adalah Al-Qur’an dan Hadits bukan pemikiran Ibnu Kholdun.
c.       Karena banyak pelaku pendidikan yang tidak dapat membedakan definisi-definisi yang ada pada nomenklatur pendidikan Islam maka, merka menganggap bahwa sejarah Islam sebagai landasan pendidikan Islam, atau filsafat pendidikan Islam sebagai landasan pendidikan Islam padahal hanya dua sumber dari pendidikan Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits.Namun mayoritas praktisi banyak pendidikan menjadikan dua landasan yaitu landasan sejarah dan filosis, bukan Al-Qur’an dan hadits.

A.    Tantangan Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan potensi bawaan seperti potensi ilahiyah, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Dengan potensi ini manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim mampu menjadi khalifah dan Abdullah.
Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karakter berbasis lokal. Upaya untuk membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah yang terencana dan strategis dengan menangkap peluang dan bersiaga mengahadapi tantangan masa depan.
Tantangan yang akan dihadapi oleh pendidikan Islam pada masa yang akan datang, menurut Sa’id Ismail Ali, bahwa umat Islam:
1.      Kurang mampu menyeleksi informasi dan teori-teori mana yang maslahat untuk diaplikasi dan mana pula yang tidak.
2.      Gaya hidup hedonis, konsumtif dan fantatif akibat pengaruh era globaliosasi dan era informasi.
3.      Berkiblat dan berbarometer kepada Negara maju secara fisikly padahal terbelakang pada aspek peradaban dan akhlak.
Disamping ketiga tantangan tersebut, terdapat tujuh tantangan lainnya[4], yaitu:
1.      Mengurangi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan, kemiskinan, marginalisasi dan eksklusivitas pendidikan.
2.      Mengukuhkan hubungan yang lebih baik antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal), dan antara pendidikan dengan dunia kerja yang mengglobal.
3.      Mencegah berkembangnya peran dari riset dan pendidikan yang dikendali-kan oleh pasar dan melebarnya kesenjangan teknologi dan ilmu pengeta-huan di antara Negara industry dan Negara berkembang.
4.      Menjamin bahwa persyaratan riset Negara berkembang menerima perhatian dan ditunjukkan oleh ilmuwan dan sarjananya.
5.      Mengurangi dampak negatif dari brain drain dari Negara miskin ke Negara kaya, dan dari wilayah tertinggal ke wilayah maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal.
6.      Mengarahkan dampak dari prinsip-prinsip pemasaran dan perubahan peran dari Negara terhadap pendidikan dan membantu perencanaan dan manajemen pendidikan.
7.      Menggunakan sistem pendidikan tidak hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan secara umum, tetapi melestarikan berbagai nwarisan budaya dunia, bahasa seni, gaya hidup di dunia yang semakin menjadi homogen.
Tantangan-tantangan tersebut bila disadari merupakan signal peluang yang menuntut para praktisi pendidikan untuk membuat formula, design, konsep, dan strategi pendidikan menjadi bersaing dalam ruang global yang meliputi tiga dimensi, yaitu ekonomi, politik, dan budaya. Ekonomi, terkait dengan produksi, pertukaran distribusi, dan konsumsi barang dan jasa; politik, terkait dengan distribusi, kekuasaan, pusat kbijakan pengembangan dan lembaga kekuasaan berikut pengawasannya; budaya, terkait dengan social produksi, pertukaran, dan ungkapan bahasa isyarat dan simbol, arti, kepercayaan dan kesukaan, rasa dan nilai[5].
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern, menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat transendental[6]. Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, yang dikutip A.Malik Padjar[7], "mengajak untuk meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, agama pada akhirnya dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat modern".
Mencermati fenomena peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus bersikap arif dalam merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur posetifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudah manusia atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk perabadaban modern tersebut secara maksimal.
B.     Barometer Keabsahan Pendidikan Islam
Banyak seminar yang mendiskusikan masalah pendidikan Islam, namun yang dijadikan feferensi dalam seminar-seminar itu adalah teori-teori atau filsafat-filsafat para ahli pendidikan seperti Al-kindi, Alfarobi, Ibnu Sina.Dalam teori mereka dinyatakan bahwa kurikulum pendidikan yang baik adalah pendidikan yang begini dan begitu, metode pendidikan yang baik adalah yang begini dan begitu, subjek materi yang baik adalah yang begini dan begitu, sekolah yang baik adalah sekolah yang begini dan begitu, tanpa disadari oleh peserta seminar bahwa teori dan filsafat yang mereka kemukakan tadi banyak terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang kadang bersebrangan dengan dasar utama pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Semestinya mereka mempunyai prinsip bahwa, “seseorang itu dianggap ada karena kebenarannya, dan bukan karena seseorang kebenaran itu ada”, dan barometer kebenaran yang hakiki itu adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia. Kematian al-Qur’an dan Sunnah yang hanya menjadi sebuah narasi wahyu yang beku tersebut mempunyai implikasi yang luar biasa dalam dunia pendidikan yang di kalangan pemeluknya dikenal dengan “Pendidikan Islam”. Hingga hari ini, dunia pendidikan dan gerakan-gerakan Islam dalam berbagai ragam konsentrasi dan aliran pemahaman sulit menumbuhkan tradisi intelektual kritis sebagai etika dasar penafsiran terhadap kedua sumber teks utama Islam yang seharusnya terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan problem-problem pendidikan Islam tersebut, maka usaha-usaha pembaharuan pendidikan Islam lewat pemikiran yang mendalam perlu dilakukan dan menjadi sangat penting.
C.  Pendidikan Islam dan Pendidikan Prespektif Muslim
1.   Pendidikan Islam adalah entitas dari berbagai pemikiran, nilai, metode, tujuan dan orientasi yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan manusia.
2.   Pendidikan Islam Prespektif Muslim, di bagi menjadi dua cabang:
a.   Pendidikan Muslim
Pendidikan muslim adalah sejumlah pembinaan karakter yang diorientasikan untuk orang-orang Islam.Dari konsep ini maka konsep sifat pembinaan itu akan bersifat relative sesuai dengan lokos dan tempusnya.
b.   Pemikiran Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikan Islam adalah sejumlah pendapat, pemikiran, teori ahli fikih, filsafat, intelektual muslim yang berkaitan langsung dengan masalah-maslah  dan problematika pendidikan.
Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah di Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulullah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada Allah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatstsir (74) ayat 1-7. Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik[8].
Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “pendidikan Islam” dan sekaligus diterapkan dalm konteks yang berbeda-beda[9]. Pendiidikan Islam menurut Langgulung, setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami)[10].
Bagi An-Nahlawi[11], Istilah tarbiyah lebih cocok untuk pendidikan Islam. Berbeda halnya dengan Jalal, yang dari hasil kajiannya berkesimpulan bahwa istilah ta’lim lebih luas jangkaunnya dan lebih umum sifatnya daripada tarbiyah. Di kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah pada afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Kajian lainnya berusaha membandingkan dua istilah di atas dengan istilah ta’dib, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas, dari hasil kajiannya ditemukan bahwa istilah ta’dib lebih tepat untuk digunakan dalam konteks pendidikan Islam. dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan ta’lim.
Secara garis besar, dapat disimpulkan pendapat beberapa tokoh Muslim tentang pengertian pendidikan Islam sebagai berikut:
1.   Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain sering kali beliau mengatakan kepribadian uatama tersebut dengan istilah kepribadian muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
2.   Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.
3.   Menurut Burlian Shomad, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah. Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu:
a.  Tujuan untuk membentuk individu yang bercorak diri tertinggi menurut al-Qur’an.
b.  Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap di dalam al-Qur’an, dan pelaksanaannya di dalam praktek kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Muhammad Saw.
4.   Menurut Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud keutamaan kebaikan, dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air[12].
D.  Acceptabilitas Pendidikan Islam Bagi Agama, Sosial dan Kepentingan Pendidikan itu Sendiri.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
1. Bahwa pendidikan Islam tidak diperlukan, pendapat ini terungkap karena mereka memang anti Islam (hal ini tidak akan dibahas)
2.   Bahwa harus dibedakan mana yang betul-betul pendidikan Islam yang bersifat mutlak, dan mana pula pendidikan menurut orang Islam yang bersifat relatif.
Pendidikan Islam sumbernya adalah  al-Qur’an dan hadits, nilainya absolut, selalu up to date pada setiap zaman, tempat dan komunitas, sehingga agama mewajibkan untuk menuntutnya, selain juga akan menjadi ranah kebutuhan sosial dan lapangan pendidikan itu sendiri.  Sedangkan pendidikan menurut orang Islam akan bernilai relative dari sisi tempat, waktu dan komunitasnya.
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu, strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis. Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat, bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam[13].
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, tujuan pendidikan Islam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada kehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an. Menurutnya,  bahwa: “Tujuan pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya”.
Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.
Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu[14].
E.  Kontribusi Islam Terhadap Kemajuan Pendidikan
Islam tidak hanya memerintahkan ummat manusia untuk belajar dan mengembangkan dirinya, akan tetapi juga memberikan banyak kontribusi, diantaranya :
1. Merupakan petunjuk menuju jalan yang lurus.
Faktor ini mencakup segala media yang berhubungan langsung dengan segala macam petunjuk-petunjuk, diantaranya :
a.   Teladan yang baik, yang menjadi model dalam melaksanakan pendidikan yang paripurna.
b.   Pemikiran-pemikiran yang memuaskan, hal ini akan menjadi referensi bagi semua ahlai dalam menyusun, teori-teori tentang kehidupan.
2. Janji dan motivasi
Faktor ini akan member dorongan bagi semua orang untuk terus berkiprah dan berprestasi dalam hidup
3. Ancaman
Faktor ini akan menjadi kendali bagi semua orang agar tidak menyimpang dari jalan yang sebenarnya.
Said Ismail Ali berpendapat bahwa dasar ideal pendidkan islam ada 6 macam, yaitu:
a.       Al-qur’an
b.      Sunnah Nabi SAW.
c.       Kata-kata Sahabat
d.      Kemasyarakatan Umat (Sosial)
e.       Nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat
f.       Hasil pemikiran para pemikir Islam
a). Al-Quran
Al-Qur’an merupakan dasar pokok bagi pijakan filsafat pendidikan islam, karena di dalamnya memuat konsep-konsep hakekat manusia, hakekat alam, hakekat Tuhan, hakekat pengetahuan, hakekat nilai serta hakekat-hakekat yang berkaitan dengan alam raya. Isi Al-Qur’an memuat berbagai problem kefilsafatan misalnya filsafat pendidikan yang diajarkan oleh Nabi Adam kepada anak-anaknya (Q.S. 2:31), filsafat kemanusiaan yang dicontohkan oleh Nabi Nuh dengan konsep-konsep pembebasannya dari penyimpangan tugas kemanusiaan sebagai khalifatullah (Q.S. 37:38), filsafat sain dan teknologi oleh Nabi Daud dan Nabi Nuh, disusul filsafat budaya yang dirintis oleh Nabi Ibrahim dimana budaya itu tidak hanya bernilai manusiawi juga memiliki nilai Ilahi dengan bangunan ka’bahnya, Nabi Yusuf sebagai tokoh pembebasan penjajahan dan kemiskinan (Q.S. 12:25), Nabi Sulaiman sebagai peletak batu pertama filsafat sain dan komunikasi tidak hanya pada alam transenden (Q.S. 21:30), Nabi Isa sebagai cikal bakal pengobatan atau medis (Q.S. 27:16-18), Lukman Hakim ketarbiyahan dan Nabi Muhammad sebagai tokoh utama pemikir Muslim sejati.
b). Sunnah Nabi SAW
Al-Sunnah merupakan pedoman operasional bagi pelaksanaan Al-Qur’an, karena dapat dikatakan Nabi Muhammad SAW. merupakan tokoh utama pendidikan Islam dimana ajaran-ajarannya mencakup totalitas masyarakat sehingga kehadirannya dianggap sebagai rahmatal lilalamin (Q.S. 21:107), segala yang diberikan Nabi Muhammad merupakan kebenaran mutlak (Q.S. 2:119), karena itu beliau merupakan figur utama dalam pendidikan (Q.S. 33:21).
c). Kata-kata Sahabat
Kata-kata sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. mempunyai kelebihan-kelebihan sendiri dalam ketarbiyahan. Abu Bakar berhasil dan berjasa menghimpun Al-Qur’an sebagai dasar utama falsafah pendidikan Islam, dan Umar bin Khattab sebagai bapak reaktor yang menginginkan perombakan tata nilai yang kurang relevan dengan dunia nyata, disusul Utsman bin Affan sebagai pencetus sistematika karya ilmiyah sebagai pijakan dalam sistematika karya ilmiyah di bidang pendidikan, kemudian Ali bin Abi Tholib yang memberikan konsep-konsep kependidikan.
d). Kemasyarakatan Umat
Kemaslahatan masyarakat merupakan tujuan syariah Islam dan tidak akan keliru jika falsafah pendidikan Islam mengacu pada nilai-nilai yang dikandungnya.
e). Nilai-nilai Adat Masyarakat
Dasar-dasar adat kebiasaan yang memunculkan nilai-nilai insane, memberi khas suatu masyarakat yang memiliki kedudukan yang multi komplek dan dealektis yang merupakan pengejawatan dari nilai-nilai universal manusia. Sesorang akan kehilangan martabatnya apabila ia meninggalkan tradisi sekitarnya, karena itu nilai tidak diterima secara pasif namun merupakan proses untuk memperoleh hakekat kemanusiaannya.
f). Hasil Pemikiran Para Pemikir Muslim
Hasil pemikiran pemikir muslim sangatlah berharga. Mereka mengembangkan pengetahuan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan semangat menuntut ilmu.
F. Tantangan Pendidikan Islam Abad ke 21
Diantara tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh pendidikan Islam di abad 21 adalah:
1.      Perang ideologi, antara ideologi orientalis, oxidentalis, kaum fundamentalis dan lainnya.
2.      Perbedaan model yang mesti dihadapi, yaitu model pendidikan Islam dan model pendidikan Barat (Sekuler).
3.      Interes pribadi, golongan, dan bahkan negara yang sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan.
4.      Adanya dikhotomi ilmu yang masih akan mewarnai dunia pendidikan.
5.      Perbedaan pendapat tentang epestemologi ilmu.
6.      Bahaya factor-faktor internal, diantaranya masik banyak praktisi pendidikan yang enggan menggali teori-teori pendidikan langsung dari sumber aslinya, dengan alasan banyak syarat dan alat yang terlebih dahulu dimiliki, ketimbang teori-teori yang dipaparkan oleh ahli-ahli pendidikan Barat.
7.      Broblematika dasar-dasar keilmuan yang akan menjadi referensi, yang banyak berbeda antara satu institusi dengan institusi keilmuan yang lain.
8.      Tidak adanya barometer tertentu yang dapat memastikan bahwa seseorang itu ahli dalam bidang pendidikan atau tidak, sebab setiap tokoh mempunyai latar belakang tersendiri dalam mengekspresikan pendapatnya, juga mempunyai latar belakang waktu dan tempat yang berbeda.
9.      Adanya dialog-dialog yang terjadi antara orang yang tidak berkapasitas dalam pendidikan Islam, sehingga kesimpulan dialog itu tidak menghasilkan pendidikan yang islami.
10.  Perbedaan zaman para ahli pendidikan, sehingga teori-teori yang dihasilkan pada zaman terdahulu masih diperaktekkan pada zaman sekarang meskipun sudah tidak lagi up to date.
11.  Motivasi yang melandasi para ahli pendidikan, ada yang semata-mata berorientasi untuk mencapai kemajuan pendidikan Islam, tapi ada juga yang duniawi benefit oriented.
Dua tokoh modernis yang menyuarakan islamisasi ilmu dalam rangka menjawab fenomena abad 21, yaitu Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas. Dari dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”[15].
Dewasa ini pendidikan Islam sedang dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat  manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan  tuntutan hidup yang multi  komplek pula. Ditambah lagi dengan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat bekas saingan jika bukanya musuh sepanjang sejarah. Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain, yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah, berbeda dengan kedudakan umat islam klasik  pada waktu itu umat islam adalah pihak yang menang dan berkuasa.
Oleh karena itu, guna menghadapi himpitan-himpitan modernisasi tersebut, pendidikan Islam membutuhkan perubahan yang signifikan. Perumusan visi dan misi pendidikan yang baru untuk membangun serta meningkatkan mutu dan kualitas manusia dan masyarakat muslim. Apabila tidak melakukan perubahan, pendidikan Islam akan tetap “terbelakang” dan tidak mampu bersaing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

III.   Simpulan
Dalam catatan sejarah, Islam berkontribusi besar terhadap dunia pendidikan, dengan pencapaian gemilang perdaban yang terbangun di masa khilafah Abbasyah, yang dikenal dengan the golden age of Islam. Namun setelah itu Islam menjadi tertinggal baik karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Menurut Sa’id Ismail Ali, ketertinggalan umat Islam dalam pendidikan secara internal disebabkan oleh kegagalan terhadap pemahaman dan realisasi konsep-kensep pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, disamping secara eksternal adanya pengaruh para pemikir Barat.
Dalam kondisi tertinggal secara bersamaan dihadapkan pada tantangan globalisasi, yang meliputi tiga dimensi besar: ekonomi, pilitik dan budaya, pendidikan Islam memerlukan pembaruan yang serius dan maksimal berdasar pada falsafah al-Qur’an, sunnah nabi saw., kata-kata sahabat, kemasyarakatan umat (sosial), nilai-nilai dan adat kebiasaan masyarakat, dan hasil pemikiran para pemikir Islam.



[1]   Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, (Gema Insani Press, Jakarta, 1995), hal. 26
[2]   Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, (Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991), hal. 50
[3]   H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Cet. I,  (Tera Indonesia: Magelang, 1998), hal. 245
[4] Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan , (Remaja Rosjdakarya: Bandung, 2012), hal. 142
[5]   Ibid., 143
[6]   A. Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya: “Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21”, IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995, hal. 4
[7]   Ibid.
[8] Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam. (Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999), hal. 12
[9] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan  Pendidikan Agama Islam Di sekolah. (PT Rosdakarya: Bandung, 2001), hal. 36
[10] Ibid. 36
[11] Ibid. 37
[12] Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam. (CV Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm: 15-16

[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition, (University of Chicago Press: Chicago, 1982), hal. 161
[14]  Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, (Pustaka:  Bandung, 1983), hlm: 67
[15] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, hal. 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.