flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Sabtu, 06 April 2013

TUJUAN HIDUP DAN PENDIDIKAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA



A.    Tujuan Hidup dan Pendidikan

Manusia dan hidup di dunia ini hanya sekedar untuk hidup, tetapi ada suatu tujuan yang ia harus tempuh dalam kehidupannya. Yakni bagaimana ia dapat menempuh kesejahteraan dalam hidupnya.
Kehidupan manusia di dunia ini dekelilingi oleh fenomena-fenomena alam yang tidak terbilang, masing-masing muncul membawa maksud dan pesan tertentu. Jika kenyataannya demikian, maka keberadaan manusia dalam alam ini tidak terlepas dari tujuan-tujuan.
Manusia sebagai makhluk hidup yang menempati alam, eksistensinya di alam ini ia tuntut agar dapat menggunakan, memanfaatkan serta melestarikan untuk kesejahteraan hidupnya.
Kehidupan manusia menurut sejarah selalu berubah-ubah. Misalnya, kehidupan antara mnusia purba dengan manusia sekarang ini. Kehidupan manusia purba hidupnya sangat sederhana, hanya sekedar mencari makan untuk mengisi perut setiap hari, dan melindungi diri dan keluarganya dari marabahaya dan serangan bunatang buas. Mausia telah menguasai alam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan mausia membuat dan mengerjakan apa saja, dari sejak membuat jarum sampai membuat satelit. Implikasi dari pengertian tadi bahwa tujuan hidup yang ingin dicapai manusia terus berkembang dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
Pendidikan sebagai bagaian dari kehidupan manusia, karena dalam pendidikan manusia sebagai inti utamanya. Pendidikan hendak mengantarkan manusia dan mengarahkannya dalam kehidupan yang lebih baik.
Dalam integrasinya dengan alam, maka pendidikan harus mengarahkan kehidupan manusia dan membekali manusia untuk persiapan perjuangannya di dunia ini.
Pengertian tadi menunjukan bahwa tujuan hidup dan tujuan pendidikan tidak boleh terpisah, artinya harus sesuai. Karena keduanya merupakan atau kesatuan yang mengarahkan manusia kepada derajat yang lebih tinggi, yakni untuk mencapai kebutuhan dan kesejahteraannya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dalam uraian berukutnya.

1.      Manusia Sebagai Makhluk Hidup

Manusia sebagai makhluk hidup berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaannya dapat kita lihat dari cara mengatur kehidupannya. Manusia merupakan makhluk hidup yang paling unik. Keunikannya dapat kita lihat dari segi berpikir, berbicara, dan seterusnya. Keunikannya itu tidak didapati pada makhluk lainnya selain manusia.
Manusia sebagai makhluk yang menempati alam yang paling mulia. Karena kedudukannya sebagai pemimpin alam. Sebagai bagian dari alam, manusia harus berjuang untuk memanfaatkan alam dan memakmurkannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Semua yang ada di alam ini digunakan oleh manusia dan kadang-kadang diubah untuk memudahkan hidupnya. Dalam menggunakan jasa alam ini, syarat yang harus ada padanya adalah kemampuan untuk mengontrol. Seperti yang dijelaskan oleh Hamdani Ali (1990:72).
Perkataan kontrol dapat diartikan bahwa manusia itu adalah makhluk yang menundukan dan mengontrol energi alam buat melanjutkan aktivitasnya. Hidup itu bagi makhluk hidup adalah proses pembaruan diri sendiri melalui tindakannya mengendalikan lingkungannya.
Pengertian yang diutarakan oleh Hamdani tadi menunjukan bahwa kelanjutan hidup adalah kelanjutan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dan dengan kebutuhan organisme hidupnya.
Dunia manusia tidak beku atau tetap; manusia mengatasi dunia yang ada karena manusia menciptakan dunianya sendiri, tetapi dunia ciptaannya itu ada hubungannya dengan dunia orang-orang lain.
Manusia sebagai makhluk hidup dalam hubungannya dengan alam sekitar membentuk adat istiadat, kebiasaan, lembaga-lembaga kepercayaan, dan serentetan pengalaman yang lainnya. Pengalaman manusia itu sebagai prinsip berkelanjutan pada manusia. Dengan adanya pembaruan pengalaman dalam eksistensi alamiah dalam diri manusia, berlangsung pula pembentukan kembali kepercayaan cita-cita, pengharapan dan semua dari pengalaman, melalui pembaruan diri dalam kelompok sosial merupakan kenyataan yang pasti.
Setiap manusia yang baru lahir, baik dalam lingkungan modern maupun lingkungan primitif, dilahirkan belum siap, belum berdaya, belum mengenal bahasa, belum memiliki ide. Ia dilahirkan hanya membawa kemampuan dasar.
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar itu disebut “Fitrah” (M. Arifin, 1991:88). Oleh karena itu pendidikan harus mengarahkan kehidupan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang mengarah pada proses pembentukan individu yang dapat memahami lingkungannya. Sebab kehidupan berjalan terus. Kehidupan harus menjadikan manusia agar menjadi manusia. Menjadi manusia menurut Paulo Freire (1984:3) adalah mengalami dunia sebagai realitas obyektif yang tidak bergantung pada siapapun, dan dapat dimengerti.
Manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya harus kreatif. Ia harus dapat memasuki realitasnya serta mengubahnya.
Integrasi manusia dengan lingkungannya adalah has aktivitas manusia. Integrasi manusia dengan lingkungannya dapat terlihat kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan realitas ditambah dengan kemampuan kritis untuk membuat pilihan dalam mengubah realitas.
Inti dari pendidikan adalah manusia, dan manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup. Lingkungan hidup dari waktu ke waktu berubahh dan bersifat dinamis. Maka pendidikan harus berusaha untuk membentuk manusia sebagai makhluk yang berwawasan lingkungan.
Pendidikan akan berlangsung dengan baik apabila si pendidik memahami dan memiliki ide yang jelas tentang ditrah dasar manusia, akan membantu manusia untuk memahami dirinya sebagai makhluk hidup. Yakni makhluk yang bersifat kreatif dan dinamis.

2.      Kehidupan Manusia dan Tujuan Hidupnya
Kehidupan manusia di permukaan bumi ini, baik yang menyangkut aspek fisik maupun yang menyangkut aspek sosial budayanya senantiasa mengalami perubahan. Sampai kapanpun perubahan itu akan berlangsung cepat atau lambat. Akibat dari perubahan itu menimbulkan permasalahan bagi kehidupan manusia. Ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan sarana penunjang kebutuhannya, akan menimbulkan masalah yang kompleks. Permasalahan itu menuntut perhatian dan pemikiran manusia untuk mengantisipasi agar dapat diatasi dengan baik, sehingga tidak menimbulkan masalah yang kompleks lagi.
Pemanfaatan dan pengembangan akal budi manusia telah terungkap pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara berpikir manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga menjadi tulang punggung pembangunan bangsa kita.
Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah sebagian hamparan alam menjadi hamparan budaya. Hutan, rawa, gunung, telah dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk pemukiman, dan seterunya yang menjamin kelangsungan hidup manusia.
Perbedaan ilmu pengetahuan dan teknologi diantara penduduk di berbagai pemukiman bumi telah memperbesar jurang antara negara manu dengan negara berkembang atau negara kaya dengan negara miskin. Hal ini menjadi salah satu sebab terjadinya ketegangan-ketegangan dunia dewasa ini. Seperti diuraikan oleh Endang Saefudin Anshori (1987:35), bahwa “hidup adalah aktivitas membawa bersertanya masalah-masalah tertentu. Masalah termaksud harus dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia suatu sukses”.
Pemnafaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai dengan pengendalian moral yang tinggi, yang hanya didasarkan kepada penarikan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya telah menimbulkan masalah sosial budaya.
Perkembangan teknologi komunikasi telah dapat membantu manusia untuk mengetahui dengan cepat berbagai kejadian baru di dunia ini. Hal ini telah membantu memecahkan masalah kehidupan yang dialami oleh sebagian penduduk bumi. Di sisi lain jalinan komunikasi yang tidak dapat dihindarkan yaitu bahwa informasi yang cepat dan lancar, terjadi efek sampingan yang menimbulkan masalah baru. Keadaan seperti ini terjadi akibat kondisi penerima informasi dan pembaruan yang datang. Dan dalam hal ini dituntut kewaspadaan untuk mencegah meluasnya sifa-sifat yang menggoncangkan masyarakat. Pemanfaatan teknologi komunikasi hendaknya diarahkan secara nyata untuk pemerataan informasi dan pembaruan yang akhirnya menyebabkan pemerataan pendapatan dan kemakmuran.
Perkembangan dan kemajuan teknologi dapat mengendalikan alam dan menguasai dunia, hal ini tidak telepas dari pendidikan. Tanpa berkembangnya pendidikan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu mustahil terjadi. Oleh karena itu metodologi pendidikan yang kita butuhkan adalah yang kontekstual dengan kondisi yang obyektif. Sudah kita sepakati, yang kita tuju adalah pendidikan manusia seutuhnya. Al Qur'an sebagai dasar falsafah pendidikan Islam harus menjadi kenyataan yang konkret.
Dari uraian di atas, tampak bahwa tujuan hidup manusia adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi suatu negara dan bangsa. Bagaimana melindungi diri dari bahaya, gangguan, rintangan dan seterusnya yang mengancam kelestarian dan kelanggengan hidup bangsa dari masa ke masa.
3.      Tujuan Hidup Muslim
Secara umum dan sudah diyakini di kalangan Muslim, bahwa tujuan hidup manusia adalah ingin mendapatkan ridho dar Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Melalui iman dan beramal kebajikan. Firmannya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَاد (البقرة: 207)
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (Depag RI, 1984:50).
Pengertian di atas tadi bahwa arti dan makna hidup hanya untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
Sepanjang tujuan hidup manusia ingin mendapatkan ridho Allah SWT, maka indikasi yang menentukan adalah bisikan hati. Seperti dijelaskan oleh Nurcholis Madjid (1992:32) bahwa “Sepanjang……tujuan hidup manusia, taruhan yang amat menentukan adalah hati nurani.
Masalah pribadi adalah masalah yang pelik, karena kita harus berhadapan dengan masalah kedirian kita yang paling dalam yaitu “qalbu” (Abdullah Haddad, 1991:93). Rasulallah saw bersabda:
إنّ فى الجسد مضغة إذا صلحت صلح بها سائر الجسد وإذا فسدت فسد  سائر الجسد إلاّ هي القلب
“Dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Bila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh karenanya dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah hati atau qalbu” (Allamah Sayyid Abdullah Haddad, 1991:93).
Sebagai hakikat diri yang paling berharga, qalbu juga sebagai hakekat diri yang paling berharga atau paling pribadi. Artinya hanya masing-masing diri pribadi kita sendiri yang bersangkutanlah yang mengetahui qolbunya sendiri, maka suara dan bisikan qolbu itu menurut Abdullah Haddad (1991:85) adalah tempat yang paling penting nilainya dalam tujuan hidup kita. Nabi saw. Bersabda:
إنّما الأعمال بالنيات وإنّما لكلّ امرء مانوى
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya dan bagi setiap orang ganjaran sesuai dengan niat yang menyertai perbuatan itu” Abdullah Haddad (1991:85). 
Oleh sebab itu, niatkanlah untuk melaksanakan sesuatu itu semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta mengharap pahala yang telah ditetapkan oleh-Nya atas setiap amalan yang diniatkan tersebut, sesuai dengan karunia-Nya.
Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak sama dan tidak akan disamainya dengan makhluk ciptaannya. Tuhan maha dekat kepada manusia. Firman-Nya:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ……(البقرة: 186)
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat …(Depag RI, 1984:45).
Kedekatan manusia dengan Tuhan-Nya menurut Nurcholis Madjid (1992:33) itu terwujud dalam kontak batin manusia dengan Tuhan penciptanya. Kedekatan manusia dengan Tuhannya dan menimbulkan kesucian. Dan dengan rasa kesucian itu, manusia dapat membedakan mana yang suci dan mana yang keji melalui hakikat diri manusia yang paling dalam yaitu qolbunya. Firman Allah SWT:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(الشمش:8)
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Depag RI, 1984:1064).
Firman Allah tersebut di atas menunjukan bahwa qolbu kita mempunyai potensi untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, maka tinggal kita sendiri yang akan membawa potensi tersebut menjadi yang baru.
Suara hati yang suci akan terdengar oleh manusia apabila ia sedang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Suci, pangkal dari kesucian. Supaya tetap terpeliharanya kesucian qolbu, maka manusia harus mendekatkan diri dan memelihara suasana dengan Yang Maha Suci, dengan pernuh rasa pasrah dan dalam keserasian pribadinya yang paling dalam. Demikian pula dalam do’a Rasualallah saq disebutkan: “Ya Allah jadikanlah batinku lebih baik dari pada lahirku dan judakanlah lahirku lebih baik pula” Abdullah Haddad (1991:92).
Manusia di hadapan Tuhan harus menunjukan keikhlaasan hatinya untuk melawan hal-hal yang menyimpang dari kebenaran, dan dengan memohon kepada Tuhan agar ditunjukan jalan menuju kesucian tersebut. Yakni jalan yang lurus, jalan yang penuh nikmat dan bukan jalan yang dimurkai serta bukan jalannya orang yang sesat seperti yang kita ucapkan pada saat shalat, yang menjadi rukun shat, yaitu dalam surat pertama dalam al Qur'an.
Untuk menjaga kesucian hubungan manusia dengan Tuhannya, maka manusia harus berjuang untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya, dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidupnya. Firman Allah SWT:
وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ (البقرة:272)
“…..dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhoan Allah SWT” (Depag RI, 1984:68).
Agar manusia dapat menyempurnakan jati dirinya, maka Tuhan menurunkan petunjuk-Nya kepada Rosul-Nya, yang tiada keraguan padanya. Petunjuk kepada mereka yang dekat pada Tuhannya, petunjuk yang menjadikan makhluk berakhlak luhur.
Walaupun usaha manusia dalam menyempurnakan jati dirinya itu berpedoman kepada Tuhan dan menuju kepada-Nya, tidak berarti untuk kepentingan Tuhan. Melainkan untuk kepentingan manusia sendiri. Firman-Nya:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا(الإنسان:9)
“Sesungguhnya kami telah memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan Allah SWT. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih” (Depag RI, 1984:1004).
Manusia sebagai bagian dari alam dan juga sebagai bagian dari sesamanya, maka ia harus mengaktualisasikan diri dalam sikap hidup yang menempatkan diri sebagai bagian dari kemanusiaan, dan dengan nyata menunjukan kepedualiannya pada manusia dan makna hidupnya di dunia ini. Dan sifat kemanusiaan merupakan wujud dari makna hidup manusia yang menyadari dirinya, untuk mengenal sesamanya. Ajakan ke arah kesadaran diri, seperti kata kenalilah dirimu sendiri agar engkau mengenal Tuhanmu dan janganlah lupakan Tuhanmu agar engkau tidak lupa akan dirimu. Kalimat tersebut menurut Muthahari (1992:155) merupakan himbauan dan ajakan dari ajaran agama dan al Qur'an. Firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(الحشر:19)
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, dan Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Depag RI, 1984:919).
Usaha untuk mengenali diri sendiri seperti pada sirat al Hasyr ayat 19 merupakan obat yang bermanfaat bagi penyembuhan penyakit hati, seperti sifat angkuh dan sombong. Bila rasa malu dan hati tergugah ketika menyadari bahwa Allah SWT melihat segala perbuatan kita, dengan demikian mendorong kita untuk taat kepada-Nya, dan meninggalkan pembangkangan terhadap-Nya, maka kita akan merasa lega dari pengawasan diri karena takut kepada Allah SWT.
4.      Tujuan Pendidikan Islam
Sebenarnya tujuan pendidikan itu sama dengan tujuan hidup manusia. Karena pendidikan sebagai suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya. Baik sebagai hamba Allah, individu, dan sebagai anggota masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap pendidikan pada hakikatnya adalah perwujudan nilan-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia, singkatnya terbentuknya manusia yang sempurna.
Ahmad Tafsir (1992:46) menyatakan bahwa manusia sempurna dalam pandangan Islam adalah:
1.      Jasmaninya sehat serta kuat, termasuk keterampilan
2.      Akalnya cerdas dan pandai
3.      Hatinya (qolbunya) penuh iman kepada Allah SWT.
Jika kita berbicara mengenai tujuan pendidikan Islam, berarti kita berbicara mengenai nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Maka tidak lain pendidikan Islam bertujuan merealisasikan idealitas Islam.
Untuk merealisasikan idealitas Islam, seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Tafsir, maka manusia harus memelihara iman dan taqwanya kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Abdul Fatah Jalal (1988:119) menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam adalah “menjadikan manusia sebagai hamba Allah swt”. Selanjutnya Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk seluruh manusia.
Shalih Abdullah (1991:151) menyatakan bahwa “Pendidikan adalah upaya mengembangkan individu yang memiliki kualitas dan peran sebagai khalifah”. Menurutnya bahwa kepentingan utama khalifah adalah beriman kepada Allah SWT dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Tujuan hidup manusia menurut Allah SWT adalah beribadah kepada-Nya (Ahmad Tafsir, 1992:47). Firman-Nya:
وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون
“Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku” (Depag RI, 1984:862).
Konsep ibadah dalam ayat tersebut di atas menurut Addur Rahman Shalih Abdullah (1991:152) mengandung ari bahwa menyerah kepada-Nya dan beribadah sesuai dengan ajaran-Nya.
Fatah Jalal (1988:121-T124) menyatakan bahwa:
Sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bula Ramadhan, mengeluarkan zakat dan beribadah haji, setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Di luar itu bukanlah ibadah. Sebenarnya ibadah itu mencakup segala amal, pikiran atau perasaan manusia, selama maunsia itu dihadapkan kepada Allah SWT.
Penyebutan al Qur'an terhadap Rasulallah saw dengan gelar ‘abid atau ‘ibad menurut Shalih Abdullah (1991:152) mengisyaratkan bahwa manusia sempurna tidak dapat dilepaskan dari penyerahan diri secara penuh kepada Allah SWT dan pendidikan harus mempersiapkan manusia beribadah kepada-Nya serta menjadi hamba-Nya. Ahmad Tafsir (1992:47) menyatakan bahwa “Dengan melihat tujuan umum pendidikan seperti ini dapatlah dibuat dengan rumusan pendidikan yang lebih khusus, yaitu dengan mempelajari terlebih dahulu aspek ibadah”. Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyatakan aspek ibadah yang pertama yang oleh fuqaha disebut “ibadah adalah rukun Islam, agar ia mengamalkannya dengan cara yang benar” ini disebutkan dalam surat at Taubat ayat 122:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu pergi semuanya ke medan perang, mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (Depag RI, 1984:301).

Dalam ayat tersebut, pengetahuan tentang agama menurut Ahmad Tafsir adalah pengetahuan tentang al Qur'an dan al Hadits terutama tentang kelima rukun Islam, dan harus menjadi salah satu tujuan pendidikan Islam.
Aspek ibadah yang kedua menurut Ahmad Tafsir adalah aspek amal untuk mencari rizki. Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ(الملك:15)
“Dia menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan” (Depag RI, 1984:956).
Shalih Abdullah (1991:151) menyatakan bahwa “Tujuan umum pendidikan adalah tujuan yang berada jauh dari masa sekarang; sebuah hasil yang pencapaian atasnya tidak dapat terlaksana melalui sekali kerja, ia merupakan tujuan akhir.
Pernolakan terhadap tujuan umum adalah kemunduran. Sebab tujuan umum menjadi arah pendidikan Islam. Untuk keperluan pelaksanaannya perlu dirinci ke dalam tujuan khusus, bahkan sampai tujuan operasional.
Dari pengenalan tentang manusia sempurna, seperti yang telah dijelaskan di muka, maka tujuan pendidikan dalam Islam harus disusun sedemikian rupa sehingga dari setiap tiga ciri manusia sempurna itu benar-benar mendapat perhatian seoptimal mungkin. Apabila ketiga ciri tadi mendapat perhatian yang seimbang, pada gilirannya akan mengakibatkan munculnya pribadi yang tidak berkualitas sebagai khalifah. Menyisihkan salah satu dari tiga unsure manusia sempurna itu akan mengakibatkan rusaknya tatanan tiga komponen utama manusia.
Dari pernyataan di atas, maka tujuan pendidikan Islam terumuskan dalam tujuan yang bersifat fisik, mental atau akal dan yang bersifat spiritual.
Tujuan yang bersifat fisik, bertujuan membantu siswa dalam mencapai kemampuan yang menjadikannya lebih kuat dan membantunya menanamkan nilai yang positif terhadap tubuhnya.
Tujuan yang bersifat mental, bertujuan mengembangkan intelegensi yang akan mengantarkan siswa kepada pencapaian kebenaran. Kegagalan untuk berbuat demikian merupakan penyimpangan mental yang paling serius.
Tujuan yang bersifat spiritual, bertujuan agar pendidikan mengharuskan adanya pembersihan terhadap sikap-sikap yang negatif, seperti menyekutukan Allah SWT dan sebagainya yang tidak kenal dengan ajaran Islam. Dan yang demikian itu bukan tujuan dari pendidikan Islam. Pendidikan Islam bertujuan membersihkan diri dari segala sifat negatif seperti yang telah disebutkan di atas misalnya. Dan pembersihan memiliki nilai tinggi.

B.     Pendidikan dalam Kehidupan Manusia

1.      Tugas dan Fungsi Pendidikan

Menurut M. Arifin (1991:33) pendidikan adalah “Suatu proses tanpa akhir, atau pendidikan itu berlangsung sepenjang hidup”
Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda dengan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya. Dalam proses pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan hati-hati berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau kesalahan-kesalahan langkah terhadap pembentukan anak didik dapat dihindarkan. Karena lapangan dan sasaran pendidikan adalah makhluk yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila kita salah bentuk, maka kita akan sulit memperbaikinya.
Tugas dan fungsi pendidikan itu pada intinya berdasrkan pada manusia yang senantiasa tumbuh dan berkembang dari mulai masih dalam kandungan sampai dengan meninggalkan alam yang fana ini.
Tugas dan fungsi pendidikan dapat dibedakan sebagai berikut:
a.      Tugas Pendidikan
M. Arifin (1991:33) menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah “membimbing dan mengarahkan perumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke tahap kehidupan anak didik sampai mencapai titik kemampuan optimal. Manusia diciptakan oleh Tuhan dalam struktur yang paling sempurna diantara mahluk Tuhan yang lainnya. Struktur manusia terdiri dari unsure jasmani dan rohani.
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu Tuhan memberikan seperangkat kemampuan dasar yang ada pada manusia itu dapat berkembang dengan baik, maka perlu adanya suatu bimbingan dan pengarahan. Bimbingan dan perngarahan tersebut menyangkut potensi kemampuan dasar serta bakat manusia yang mengandung kemungkinan-kemungkinan berkembang ke arah kemampuan yang oprimal. Arifin (1991:34) menyatakan bahwa, “kemampuan potensial pada diri manusia itu baru actual dan fungsional bila disediakan kemampuan untuk muncul dan berkembang dengan menghilangkan segala gangguan yang menghambatnya”.
Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertain pengertian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengertian secara psikologis, karena pekerjaan mendidik yang inti sasarannya manusia yang sedang bertumbuh dan berkembang, itu harus didasarkan atas tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan psikologis.
Tanpa didasari dengan perkembangan psikologis dalam bimbingan dan pengarahan yang bernilai paedagogik tidak akan menemukan dasarnya yang tepat.
Berbagai hambatan dan rintangan yang bersifat psikologis itu dapat diatasai dengan metode pendidikan yang tepat guna dan berdaya guna. Hambatan psikologis banyak corak dan ragamnya seperti hambatan pribadi dan sosial. Misalnya hambatan emosional dan lingkungan masyarakat yang tidak mendorong kepada kemajuan pendidikan dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan upaya menghilangkan hambatan dan rintangan yang bersifat psikologis tadi, maka pendidikan Islam mengembangkan sumber utama kekuatan mental spiritual yang mampu menangkal segala bentuk penyakit psikologis, yaitu dengan kekuatan iman, yang berdasarkna tauhid kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, agama hendaknya mendapatkan tempat utama dan pertama dalam pendidikan. Agama merupakan sumber yang sangat vital bagi idealisme, dan bagi kasih saying kemanusiaan yang intuitif, sehingga berkat kehidupan yang religius itu manusia hanya akan mengguanakan segala-galanya untuk kebaikan bukan untuk kejahatan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya dijiwai pula oleh semangat keagamaan yang mendalam.
Jiwa keagamaan yang diintegrasikan kedalam sistem pendidikan menurut Iqbal adalah “kehidupan yang menyatakan diri dalam kehidupan yang mulia, disertai jiwa penjelajah sambil terus mengumandangkan asma Allah SWT. (K.G Sayidain, 1981:173).
Dari uraian di atas, maka corak dan sistem pendidikan hendaknya mempersiapkan dan memperlengkapi anak untuk kehidupan yang aktif dengan bekal ilmu dan iman kepada Allah SWT.
b.      Fungsi Pendidikan
Menurut M. Arifin (1991:34), fungsi pendidikan adalah “menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan tersebut berjalan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang bersifat struktural dan institusional”. Arifin menyatakan bahwa arti dan tujuan struktur menuntut terwujudnya struktur organisasi yang mengantur jalannya proses kependidikan baik dilihat dari segi vertikal maupun horizontal, dimana factor-faktor pendidikan dapat berfungsi secara instruksional yang mengandung implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi itu berjalan secara konsisten dan berkesinambungan, mengikuti kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan manusia yang cenderung ke arah tingkat kemampuan yang optimal. Oleh karena itu terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan yang formal dan yang non-formal di dalam masyarakat.
Salah satu sistem yang memungkinkan proses pendidikan Islam berlangsung secara berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah intitusi atau kelembagaan pendidikan Islam.
Sejak nabi Muhammad saw melakukan dakwahnya secara aktif di kota Makkah, telah didirikan lembaga, dimana Nabi memberi pelajaran tentang agama Islam secara menyeluruh di rumah-rumah dan masjid-mesjir (M. Arifin, 1991:83).
Lebih lanjut Arifin menyatakan bahwa dalam salah satu rumah yang terkenal dijadikan tempat berlangsungnya pendidikan Islam adalah “Daar al Arqom” di Makkah dan masjid an-Nabawi di Madinah. Di dalam masjid inilah berlangsungnya proses belajar mengajar berkelompok dalam balagoh dengan masing-masing gurunya yang terdiri dari para sahabat nabi saw.
Karena perkembangan jumlah penduduk yang semakin bertambah, dimana pelaksanaan pendidikan tidak seperti di zaman nabi saw, dengan menggunakan sistem balagah, maka lahirlah bentuk institusi pendidikan yang disebut madrasah dimana proses pengajarannya secara klasikal.
Di Indonesia, sistem pendidikan yang paling tertua adalah pesantren. Sistem yang digunakannya sangat unik, sebab tidak memakai kurikulum, dan metodenya pun sangat unik juga, seperti metode wetonan, bandungan dan sorogan. Untuk masa sekarang ini mungkin metode tersebut di pesantren tertentu masih digunakan.
Secara konstitusional, lembaga pendidikan pada umumnya lembaga pendidikan Islam pada khususnya pada dasarnya untuk melaksanakan pengalihan nilai budaya pada generasi berikutnya. Proses ini akan dapat berlangsung dengan baik, apabila diarahkan melalui proses kependidikan dalam lembaga-lembaga yang terorganisasi secara struktural dan institusional.
Sistem pendidikan seharusnya mengarahkan kehidupan manusia sesuai dengan ideologi Islam. Dimana ruang lingkupnya mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan Islam sebagai alat pembudayaan Islam, dimana ruang lingkupnya mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan Islam mengarahkan dan mengendalikannya, sehingga nilai spiritual yang bersumber dari ajaran al Qur'an dapat berfungsi pada manusia yang mencptakan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Dimana dalam penggunaannya diarahkan kepada upaya mensejahterakan hidup ummat manusia. Karena nilai spiritual yang bersumberkan al Qur'an akan menghantarkan dalam kehidupan yang penuh dengan rasa Illahiah.
Oleh karena itu, nilai-nilai Islam hendaknya diterapkan dalam pembentukan peradaban manusia.
2.      Manusia sebagai Makhluk yang Mendidik dan Dididik
Sebelum membahas permasalah ini lebih lanjut, maka ada suatu pertanyaan yang akan menghantarkan pembahasan ini. Pertanyaannya adalah mengapa manusia dapat menerima pendidikan? Jawabannya sangatlah sederhana, karena manusia mempunyai rasio dan akal pikiran. Akal pikiran yang dimilikinya itu berguna untuk mengelola segala apa yang dilihatnya, didengarnya, dan apa yang dirasakannya menjadi pengetahuan yang kemudian sebagai pedoman untuk berbuat di masa yang akan datang.
Tingkah laku manusia sebagaian dipengaruhi oleh hasil belajar (pendidikan). Apabila belajar (pendidikan) itu terjadi, maka keberagaman tingkah laku akan terjadi pula. Dan hal ini dapat dilihat atau dipelajari dari kebudayaan, dimana manusia sendiri ada di dalamnya.
Hamdani Ali (1990:94-95) menyatakan bahwa “manusia itu mau belajar karena ia didesak oleh kebutuhan rangsangan dari dalam dirinya”, lebih lanjut Hambani menyatakan bahwa rangsangan itu besar kecilnya dipengaruhi oleh stimulus. Rangsangan dibagi kedalam dua kategori; yaitu primer dan sekunder. Rangsangan primer bersifat physiologis, sedangkan rangsangan sekunder bersifat sosial.
Kebutuhan berarti menunjukan kekurangan yang menimbulkan suatu ketidakseimbangan seseorang secara optimal. Kekurangan ini menumbuhkan aktivitas, dan merupakan pendorong untuk bertindak.
Rangsangan sekunder yang timbul dari lingkungan sosial hendaknya diperhatikan, karena sangat berpengaruh terhadap anak didik, tetapi tidak bertanggung jawab atas kedewasaan dari anak didik. Mengenai hal ini Imam Barnadib (1987:119) berpendapat “sajikanlah lingkungan yang baik kepada anak dan singkirkan jauh-jauh lingkungan yang berbahaya kepada anak, dan harus diusahakan agar anak memiliki lingkungan yang baik”.
Kemampuan belajar manusia sangat berjautab dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap lingkungannya melalui pengamatan panca indera. Pertanyaan ini ditegaskan juga oleh Arifin (1991:76):
Kemampuan belajar mausia pertama-tama berkembang dari pengamatan panca indera kemudian diolah oleh kemampuan pikiran dan ingatannya serta dorongan kemauannya, sehingga menjadi pola-pola pengetahuan yang kemudian terbentuk menjadi ilmu pengetahuan.

Agar manusia dapat mencapai ilmu pengetahuan dan mengenal hakikatnya, Islam telah meletakan kaidah, cara dan undang-undang yang diikuti manusia dengan menggunakan alat dan potensi yang diciptakan oleh Allah SWT seperti pendengaran, penglihatan, dan hati.
Menurut Fatah Jalal (1988:169-175) menyatakan bahwa kaidah, cara, dan undang-undang yang harus diikuti dalam mencari ilmu pengetahuan, diantaranya:
1.      Hindarkan bertaqlid tanpa meneliti dan memikirkan persoalannya terlebih dahulu
2.      Hindarkan purbasangka
3.      Membersihkan akal dari segala hukum yang tidak berdasarkan keyakinan
4.      Bertahap dari yang konkret sampai kepada yang abstrak dan dari yang parsial kepada yang global
5.      Menyaring dan menguji pendapat sebelum mengambilnya.
Pernyataan Jalal tadi sesungguhnya mengajarkan kepada kita agar cinta terhadap ilmu pengetahuan. Cinta ilmu pengetahuan ini harus ditanamkan kepada generasi penerus sejak dini. Jalannya menurut al-Abrasyi (1990:19) adalah “menyibukan diri untuk belajar”. Tegasnya harus rajin membaca.
Belajar (membaca) merupakan jalan yang mengantarkan manusia mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna. Membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin banyak membaca, maka semakin tinggi pula peradabannya, demikian pula sebaliknya.
Manusia sebagi ‘abid Illah dan juga sebagai khalifah fil ard. Kedua fungsi ini menurut Quraish Shihab (1992:171) adalah “konsekuensi dari potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, sekaligus prasyarat mutlak bagi pelaksanaan kedua tugas tersebut”.
Potensi psikologis untuk mengenal gejala alam sekitar melalui proses belajar untuk mengetahui, telah pula diberikan oleh Tuhan pada setiap diri manusia. Untuk mengenal dan mengetahui hal-hal yang belum diketahui, diperlukan bantuan para pendidik, dimana dalam pandangan Tuhan, pendidik menempati tempat yang mulia. Oleh karena itu, sikap dan tingkah laku Tuhan terhadap makhluknya yang digambarkan dalam firman-Nya sebagai Robbul ‘Alamiin (Maha Pendidik atas makhluk-Nya di alam ini).
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa manusia itu sebagai khalifah Tuhan. Ini berarti bahwa kekhalifahan menuntut hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhannya. Kekhalifahan menurut kearifan, karena dalam kaitannya dengan alam, kekhalifahan menuntut bimbingan terhadap makhluk agar mencapai tujuan penciptaan-Nya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan usaha, yaitu dengan jalan membaca, menelaah, meneliti, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.