flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Rabu, 30 Januari 2013

PENDAPAT PARA MUFASSIR DALAM MENJELASKAN QS AL-QALAM AYAT 2-5 TENTANG SIFAT-SIFAT PENDIDIK


A.    Metode Analisis Ilmu Pendidikan Islam

Ilmu pendidikan Islam sebagai suatu disiplin ilmu, bila dibandingkan dengan ilmu yang lainnya masih relatif baru. Oleh karena itu ilmu pendidikan Islam masih perlu dikembangkan, sekaligus untuk menjawab masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan Islam.
Dalam usaha pengembangan ilmu pendidikan Islam yang merupakan landasan teoritis dan praktis proses pendidikan serta menjawab masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan Islam, maka diperlukan analisis yang dilakukan oleh orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan. Hal ini telah terbukti bahwa pendidikan Islam berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga analisis ini sangat diperlukan oleh pendidikan Islam, karena konsepsi pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Quran dan As-Sunnah yang masih bersifat global dan masih perlu untuk dianalisis lebih mendalam.
Berkenaan dengan penganalisaan teori-teori pendidikan Islam, Arifin (1996:16) berpendapat bahwa masalah-masalah pendidikan Islam pada garis besarnya dapat dianalisis dari aspek konsepsional tentang:
  1. Hakikat pendidikan Islam adalah proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
  2. Asas pendidikan Islam adalah asas perkembangan dan pertumbuhan dalam kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani. Sedangkan asas dalam pendidikan praktis antara lain asas adil dan merata, menyeluruh dan integritas.
  3. Modal dasar pendidikan Islam adalah kemampuan dasar (fitrah) untuk berkembang dari masing-masing manusia karena karuni Tuhan.
  4. Sasaran strategis pendidikan Islam adalah menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai ilmu pengetahuan secara mendalam dan meluas dalam pribadi anak didik agar terbentuk sikap beriman dan bertaqwa. Dengan istilah lain sasaran pendidikan Islam adalah mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhhirat.
  5. Ruang lingkup pendidikan Islam menyangkut kegiatan-kegiatan kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi; lapangan hidup keagamaan agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma-norma ajaran Islam, lapamgan hidup keluarga agar berkkembang menjadi sistem kehidupan yang bebas dari penindasan manusia oleh manusia, lapangan hidup kemasyarakatan agar terbina masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridha dan ampunan Allah, lapanagan hidup seni politik agar tercipta sistem demokrasi yang sehat, dinamis dan sesuai dengan ajaran Islam, lapangan hidup seni budaya agar kehidupan manusia penuh dengan keindahan dan kegairahan yang telah gersang dari nilai moral agama dan lapangan hidup ilmu pengetahuan agar manusia dapat hidup sejahtera dengan disertai iman.
  6. Metode yang digunakan dalam proses pencapaian tujuan adalah metode yang didasarkan atas pendekatan-pendekatan keagamaan, kemanusiaan dan scientific.

Konsep tersebut masih perlu dijabarkan agar proses operasionalisasi pendidikan Islam lebih terpadu. Dalam proses penjabaran itu diperlukan adanya analisis, dan untuk menganalisis suatu masalah diperlukan suatu metode, begitu pula dengan pendidikan Islam.
Jika ditinjau dari segi keilmuannya, menurut Barnadib (1987:15) ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersifat empirik dan normatif. Dikatakan empiris karena objek ilmu pendidikan adalah situasi pendidikan yang terdapat dalam dunia pengalaman. Sedangkan dikatakan normatif karena ilmu pendidikan berdasarkan atas pemilihan antara yang baik untuk manusia sebagai makhluk edukandum.
Maka dapat ditarik suatu asumsi bahwa ilmu pendidikan Islam bersifat empiris dan normatif. Sesuai dengan pendapat Arifin sebelumnya, maka metode analisis empiris dan normatif tersebut disesuaikan dengan tuntunan keilmuan yang islami dengan berdasarkan pada pendekatan-pendekatan yang relevan dengan corak dan watak keilmuan.
Ilmu pendidikan Islam dapat dianalisis melalui norma-norma atau nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (1994:22) bahwa ilmu pendidikan Islam berdasarkan dan sumber dari al-Quran dan al-Hadis.
Apabila ungkapan di atas dihubungkan dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa ilmu pendidikan Islam merupakan ilmu yang normatif, maka analisis berdasarkan pada nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis adalah analisis yang bersifat normatif atau analisis yang berdasarkan pada nilai atau norma.
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa apabila ditinjau dari segi sumbernya, masalah-masalah dalam ilmu pendidikan Islam Islam dapat dianalisis melalui metode analisis empiris normatif.

Selanjutnya, selain dari metode-metode tersebut, masalah-masalah dalam ilmu pendidikan Islam dapat dianalisis melalui metode-metode yang lainnya, antara lain metode induksi dan deduksi. Menurut Ahmad Tafsir (1992:29) bahwa metode berfikir
deduktif adalah peraturan yang dimulai dari peraturan umum untuk membentuk putusan yang khusus. Sedangkan metode induktif adalah suatu penuturan yang dimulai dari putusan yang khusus untuk ditarik kepada keputusan yang umum.
Apabila dikaji dari apa yang dikemukakan sebelumnya, bahwa ilmu pendidikan Islam bersifat empiris dan normatif, maka metode deduktif dan induktif dapat dianggap relevan untuk dijadikan sebagai metode analisis ilmu pendidikan Islam.

B.     Analisis Ilmu Pendidikan Islam terhadap Esensi al-Quran Surat al-Qalam Ayat 2-5 tentang Sifat Pendidik

Dalam surat al-Qalam ayat 2-5, merupakan sebuah bujukan atau hiburan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, sehingga beliau tetap optimis untuk menegakkan kebenaran dan pantang mundur untuk menyampaikan dakwah Islam, walaupun banyak cobaan yang beliau alami. Satu diantaranya adalah reaksi orang-orang kafir Mekah yang enggan menerima dakwah beliau dengan menuduhnya sebagai orang gila.
Tentu saja sebagai manusia sekali-kali tersinggung juga perasaan beliau lantaran tuduhan gila itu, sekurang-kurangnya menyedihkan hati beliau. Disaat seperti itulah turun ayat ini. Bahwasanya nikmat yang diberikan Allah kepada engkau (Muhammad saw) adalah banyak sekali. Di antara nikmat yang demikian banyaknya adalah satu hal yang jadi puncaknya, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan inilah yang menyebabkan berani karena yang benar.
Melihat dari prosesnya, dalam ayat tersebut terkandung proses pendidikan antara Allah swt dengan Nabi Muhammad saw dan antara Nabi Muhammad saw dengan umatnya. Bimbingan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dilakukan melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau. Dalam hal ini hubungan Allah dengan Rasul-Nya merupakan hubungan antara pendidik dengan terdidik, sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh al-Asakari dan Ibnu As-Samani bahwa beliau bersabda:

أدبنى ربى فأحسن تأديبى

Allah telah mendidikku, maka Allah membaguskan pendidikannya

Catatan: hadits ini sanadnya terdapat kelemahan, tapi maknanya shahih.
Proses pendidikan yang dilakukan Nabi Muhammad saw terhadap umatnya merupakan cermin tanggung jawab beliau dalam menyampaikan risalah Tuhan-nya, sehingga hubungan Nabi dengan umatnya merupakan hubungan antara pendidik dengan anak didik, karena Nabi sebagai pendidik umat yang membimbing dan menunjukkan kepada jalan yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Nur Uhbiyati (1997: 71), bahwa guru adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan dan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan. Mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Berdasarkan penafsiran para mufassir dan esensi ayat yang terdapat dalam surat al-Qalam ayat 2-5, meskipun ayat tersebut khitabnya kepada Nabi saw, namun dalam kapasitas beliau sebagai pendidik umat, maka ayat tersebut sangat berhubungan dengan pendidikan, khususnya dengan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik ketika melaksanakan tugasnya. Dari sini dapat diambil beberapa sifat pendidik yang tersirat dalam surat al-Qalam 2-5 sebagai berikut:
  1. Sehat Jasmani dan Rohani (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Pada ayat (مَاأَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ), haruf (ما) adalah nafi yang mempunyai arti (kosong dari sesuatu) dalam hal ini Allah menyatakan bahwa Muhammad saw benar-benar terbebas (kosong) dari sifat gila, tidak seperti apa yang dituduhkan orang-orang kafir Makah bahwa beliau adalah orang gila. Serta ayat ini juga adalah bentuk pernyataan berupa pujian Allah, bahwasanya nikmat yang diberikan Allah kepada engkau (Muhammad saw) adalah banyak sekali. Di antara nikmat yang demikian banyaknya adalah satu hal yang jadi puncaknya, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan inilah yang menyebabkan berani karena yang benar (Hamka, 1993:7566-7567).
Dalam dunia pendidikan tataran kesehatan rohani (psikis) hal ini mutlak harus ada pada diri seorang pendidik, sedangkan sehat jasmani sebagaimana yang dikatakan oleh Zakiyah Daradjat (1996: 41-44) bahwa seorang pendidik (guru), kesehatan jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi pendidik (guru). Pendidik (guru) yang mengidap penyakit menular umpamannya, sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Di samping itu pendidik (guru) yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Kita kenal ucapan: "Mens sana in corpore sano", yang artinya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara menyeluruh, akan tetapi bahwa kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat kerja pendidik (guru) sakit-sakitan kerap kali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak-anak.
Ahmad Tafsir (1994: 82-84) ia mengutip beberapa pendapat para tokoh pendidikan Islam mengenai sifat-sifat pendidik (guru), diantaranya adalah yang dikemukakan al-Abrasyi (1974:131) bahwa satu di antara sifat yang harus dimiliki pendidik (guru) adalah bersih tubuhnya artinya penampilan lahirnya menyenangkan, ini juga dikategorikan sebagai sehat secara jasmani.
Masih menurutnya khusus pada tataran kesehatan jasmani, Islam dapat menerima guru (pendidik) yang cacat secara jasmani tetapi sehat, asalkan cacat itu tidak merintangi tugasnya dalam mengajar.
  1. Memiliki Budi Pekerti yang Agung (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Pada ayat (وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ) Menurut keterangan para mufassir merupakan bentuk pujian Allah kepada Nabi saw atas keteguhan sikap Nabi Muhammad saw, tenang dan tentram serta kesabaran ketika orang menuduhnya gila, beliau tidak marah
dan tidak kehilangan akal. Keberhasilan beliau dalam berdakwah karena kesanggupan beliau menahan hati menerima celaan-celaan dan makian dari orang yang bodoh.
Sungguh Allah telah mengumpulkan keutamaan dan kesempurnaan dalam diri Nabi Muhammad saw, keutamaan yang agung, tidak pernah berbuat jelek. Allah Azza Wajalla memberikan sifat yang agung ini kepada Nabi Muhammad. Adapun beberapa sifat yang termasuk dalam akhlak atau budi pekerti yang agung menurut para muffasir adalah:
  1. Sabar (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Sabar adalah menahan diri dan membawanya kepada yang dituntunkan syara dan akal serta menghadirkannya dari segala yang dibenci oleh keduanya (Usman dkk, 1976:95). Keteguhan sikap Nabi Muhammad saw, tenang dan tentram serta sabar ketika orang menuduhnya gila, dia tidak marah dan tidak kehilangan akal termasuk budi pekerti yang agung. Keberhasilan beliau dalam berdakwah karena kesanggupannya menahan diri menerima celaan dan makian dari orang-orang di sekitarnya (Hamka, 1993:7568).
Sebuah Hadis yang menggambarkan sifat sabar beliau sebagai berikut:
Seseorang dari Bani Suwad mengatakan, "aku bertanya kepada Aisyah, beritahukanlah kepadaku hai ummul muminin, tentang akhlak Rasulullah saw? Lalu dia menjawab, tidakkah kamu baca al-Quran" dan sesungguhnya kamu (Muhammad) berbudi pekerti yang agung," dia bertanya lagi, "ceritakanlah kepada kami tentang keagungan akhlaknya itu." Dia menjawab, "pada suatu hari aku pernah membuatkan makanannya utuknya. Ternyata Hafsah pun membuatkan makanan untuknya. Akupun berkata kepada pembantuku, "pergilah, jika Hafsah datang membawa makanan sebelum makananku, maka lemparlah makanan itu." Maka Hafsah pun datang dengan membawa makanan dan pembantu itupun melemparkan makanan tadi sehingga piringnya jatuh dan pecah. Rasulullah saw ketika itu sudah kenyang lalu Rasullah saw mengumpulkannya dan mengatakan, "mintalah pengganti piring itu dari bani Sawad dengan piring lain,"Aisyah berkata, "Dan Rasulullah saw sedikit pun tidak mengomentari hal itu."

Kaitannya dengan sifat pendidik, al-Abrasy (1997: 88) mengatakan bahwa seorang pendidik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik harus memiliki sifat sabar dalam mengajarkan berbagai materi kepada anak didik. Pendidik harus menyadari bahwa setiap anak didik memiliki kemampuan yang berbeda, dengan demikian pendidik (guru) harus memberikan pengajaran dan latihan dengan berulang-ulang kepada anak didiknya, dia menjalankannya dengan penuh kesabaran. Dengan begitu, seorang pendidik tidak tergesa-gesa dari memaksakan keinginannya kepada siswa serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri siswa.
  1. Pemaaf (murah hati) (Tafsir al-Azhar, Ibn Katsir)
Menurut Hamka, sifat murah hati (pemaaf) dan tawadlu menjadi satu dari sekian sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw dalam kaitannya dengan Q.S. al-Qalam ayat 3. Sebagai contoh dalam sebuah Hadis tatkala beliau melakukan dakwah yang artinya:
Dari Abdullah bin Masud ra, dia berkata: seakan-akan aku melihat kepada Rasulullah saw ketika beliau menceritakan Nabi dari Nabi-nabi yang banyak itu, di dipukul oleh kaumnya sampai berdarah-darah, disapunya darah yang mengalir diwajahnya itu lalu dia berdoa: "Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu".

Sebenarnya Hadis ini menceritakan perjalanan dakwah Rasulullah saw. Ada, dua sifat yang kita temui disini, Pertama memberi maaf (pemaaf) karena mendoakan orang-orang yang berbuat jahat kepadanya supaya diberi ampun oleh Tuhan. Kedua ketika dia memberi pengajaran kepada sahabat-sahabatnya dirinya tidak ditonjolkan, melainkan dikatakannya ada seorang Nabi di antara Nabi-nabi yang demikian tinggi, patut ditiru.
Pemaaf (murah hati) berasal dari kata maaf, secara harfiyah "menghapus". Memaafkan berarti menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak yang dinilai tidak wajar (Quraish Shihab, 1995:474). Dengan kata lain sifat pemaafan atas dosa dan kekeliruan. Perkataan ini digunakan dalam al-Quran antara lain dalam konteks sebagai bagian dari sifat-sifat Allah. Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4:43):

إن الله كان عفوا غفورا

Sesungguhnya Allah Maha pemaaf dan Maha pengampun.
Rasulullah saw sebagai pendidik dan pembina umat dituntut oleh Allah Swt agar memiliki sifat pemaaf (al-Maraghi, 1993:192). Betapa tidak umat yang diseru dan dibimbingnya ke jalan kebenaran ini adalah makhluk yang dasarnya tidak bisa lepas dari kemungkinan berbuat salah dan berdosa. Mereka adalah orang-orang yang dalam upaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan kesalehan yang diajarkan Nabi terbentur dengan keterbatasan-keterbatasan mereka sendiri.
Dalam ayat 4 surat al-Qalam, Allah swt menyerukan kepada Rasulullah saw bahwa beliau benar-benar memiliki akhlak yang agung (luhur) satu diantaranya yang termasuk didalamnya adalah pemaaf. Hikmah yang dapat diambil adalah agar banyak memaklumi, mengerti kelemahan dan keterbatasan umat dalam memahami, menghayati dan mau menerima ajaran Islam. Begitu halnya, seorang pendidik benar-benar perlu memiliki sikap mental seperti ini.
Dalam profesi yang ditekuninya, seorang pendidik tentu akan menghadapi manusia-manusia yang sangat mungkin melakukan kesalahan, kekeliruan, kelalaian yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Kesalahan itu mungkin menyangkut sikap anak didiknya teerhadap pribadi pendidik, terhadap mated yang ia bawakan, terhadap cara bagaimana ia menyampaikan atau terhadap rekan mereka sendiri. Semua ini menuntut sikap arif seorang pendidik, sehingga ia dapat mengambil tindakan secara profesional dan edukatif. Karena itulah, seorang pendidik harus memiliki sikap lapang dada serta memaafkan yang merupakan atribut dari kearifan tersebut (al-Abrasyi, 1993:138).
Seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia melaksanakan tugasnya dengan baik, yakni seorang guru bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil, berkepribadian dan mempunyai harga diri (Nut Uhbiyati, 1999:85).
Hal ini sejalan dengan pendapat Zakiyah Darajat (1996: 43), seorang guru hendaklah memiliki sifat manusiawi karena guru adalah manusia yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia yang sempurna, oleh karena itu ia harus berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera memperbaikinya. Dengan demikian, pandangannya tidak picik terhadap kelakuan manusia pada umumnya dan anak-anak pada khususnya. Ia dapat melihat perbuatan yang salah menurut ukuran yang sebenamya, ia memberi hukuman yang adil dan suka memaafkan apabila anak insyaf akan kesalahannya.
Pendidik yang pemaaf, boleh jadi akan mengundang simpatik siswanya, dan dengan kemaafannya itu ia masih akan bersikap positif terhadap amanah dan profesi yang diembannya. Bagaimanapun maaf-memaafkan merupakan salah satu kunci untuk melepas beban psikologis dan membuat ringan serta lapang jiwa. Hal ini merupakan kondisi yang baik bagi semua amal saleh dalam pendidikan.
  1. Demokratis (Tafsir Ibn Katsir)
Sebuah Hadis yang dirawikan oleh dua syaikh (Bukhari-Muslim):
Anas berkata; Sepuluh tahun lamanya aku menjadi pembantu Rasulullah saw beliau tidak pernah menghardikku, tidak pernah beliau menegurku: mengapa engkau kerjakan itu? Jika aku mengerjakan sesuatu. Tidak pernah pula beliau menegur; mengapa tidak engkau kerjakan? Jika sesuatu tidak aku kerjakan. Dan beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya, dan belum pernah aku menyentuh kain halus ataupun sutera ataupun yang lain yang sehalus telapak tangan beliau. Dan belum pernah aku mencium kasturi atau minyak alhar yang lebih harum daripada keringat beliau. (Tafsir Ibn Katsir, hal:363)

Sikap demokratis tercermin dalam Hadis di atas, beliau tidak pernah memaksa ataupun menegur bahkan memarahi. Beliau membiarkan sahabatnya untuk memilih apa yang dikehendakinya karena mereka masih dalam tahap belajar. Di dalam mendidik anak, seorang pendidik harus bersikap demokratis, dalam arti tidak pernah memaksakan kehendak kepada mereka. Demokrasi merupakan modal bagi setiap orang untuk mengembangkan kreativitas. Selain itu dikhawatirkan apabila anak-anak dididik dengan cara yang serba ditekan, tidak demokratis berarti pendidik telah ikut menyumbangkan dan membenkan kontribusi menciptakan orang-orang yang otoriter.
Seorang pendidik hendaklah menyesuaikan pendidikan anak-anak itu sejajar dengan perubahan yang terjadi dan bersikap sebagai layaknya pendidik anak-anak kita, tidak selalu menuntun mereka, harus seperti ini, harus seperti itu, jangan seperti ini atau jangan seperti itu, didiklah anak-anak kita agar mereka dapat melihat dan membedakan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, agar mereka nanti mampu berdiri sendiri dan tidak sentiasa bergantung kepada pendidik (guru).
Dalam hubungan ini, anak-anak itu boleh diberikan kebebasan yang terbatas dalam arti kita memberikan mereka bimbingan, nasehat dan teguran. Juga walaupun kita sibuk, kita hendaklah memberikan masa untuk kita berkomunikasi dengan anak-anak kita, berbincang dengan mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat. Anak-anak itu juga hendaklah diberikan kesempatan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat dan merasakan bahwa mereka adalah salah satu dari anggota keluarga yang dihargai.
  1. Berilmu (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Bagi seorang pendidik (guru), ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Guru pun harus mempunyai ijazah supaya ia dibolehkan mengajar, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah murid sangat meningkat, sedangkan jumlah pendidik jauh dari mencukupi, maka terpaksa menyimpang untuk sementara, yakni menerima pendidik yang belum berijazah, tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru makin baik mutu pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam bagi seorang pendidik adalah agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengajarkan pada muridnya. Apabila banyak kekeliruan yang dilakukan seorang pendidik akan mengurangi kepercayaan anak didik kepadanya sehingga anak didik merendahkan dan menyepelekan segala ilmu yang diberikan kepadanya. Kekeliruan seorang guru dapat menimbulkan keraguan dalam diri siswa. Maka, penambahan wawasan dan pengetahuan bagi seorang pendidik merupakan hal yang paling penting sehingga dia dapat meraih simpati dan minat anak didiknya.
  1. Tawadlu (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Orang muslim sebaiknya memiliki sifat tawadlu tanpa menghinakan dirinya. Tawadlu adalah akhlak dan sifat yang mulia, sedangkan lawan dari tawadlu adalah sombong. Karena itu tawadlu untuk tinggi dan tidak sombong agar tidak rendah. Ini karena ketentuan Allah swt yang menghendaki mengangkat orang-orang yang tawadlu karena-Nya dan merendahkan orang-orang yang sombong. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
Harta itu tidak berkurang karena sedekah, Allah tidak menambahkan pada hamba yang memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadlu karena Allah melainkan Allah mengangkatnya (Muslim)
Seorang pendidik mesti hadir dalam dirinya sifat yang demikian. Karena dengan sifat tawadlu ini secara otomatis seseorang itu akan melahirkan sifat kasih sayang, lemah lembut, tidak sombong, sopan santun, bisa menghormati orang lain dan sebagainya. Selain itu akan melahirkan kewibawaan di mata orang-orang khususnya pada anak didiknya. Orang lain juga akan bisa menaruh kepercayaan padanya. Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku bahwa hendaklah kalian bersikap tawadlu hingga seseorang tidak sombong dan tidak berbuat zalim terhadap orang lain (HR. Muslim)
  1. Banyak beribadah kepada Allah swt (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Pendidik yang sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak agar selalu beribadah serta bertaqwa kepada Allah swt, jika ia sendiri tidak pernah melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh agama serta bertaqwa kepada Allah. Sebab ia adalah teladan bagi muridnya sebagaimana Rasulullah Muhammad saw menjadi tauladan bagi umatnya. Sejauhmana seorang pendidik mampu memberi teladan baik kepada murid-muridnya sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia.
  1. Banyak bersyukur (Shofwatu at-Tafasir, hal: 426)
Sangat berat ujian dan cobaan menjadi seorang pendidik, "belum selesai" urusan yang menyangkut para muridnya, ia dihadapkan dengan kebutuhan hidupnya (finansial) yang menyangkut keluarga. Oleh karena itu rasa selalu untuk bersyukur harus tertanam pada diri seorang pendidik. Apabila seorang pendidik mampu menampakkan sesuatu sesuai dengan fungsi dan kegunaannya melalui petunjuk al-Quran dan al-Hadis, maka ia akan mengetahui arah dan tujuan si-Pemberi sehingga tidak "mengecewakan" si-Pemberi.
Dalam literatur ke Islaman dipahami bahwa seluruh keberadaan alam semesta ini adalah pemberian Allah swt, Dia-lah yang menjadikan alat untuk menikmati kenikmatan begitu pula "materi" yang akan dinikmati. Tugas kita sebatas mengubahnya menjadi yang kita minati dan sukai sesuai kebutuhan, hanya saja dalam beberapa proses ini kita sering lupa bahwa "seolah" kita telah "menciptakan" yang telah diciptakan Allah. Sikap itu lama-lama mengkristal menjadi "kesombongan" untuk menggeser peran Allah swt sebagai Sang Maha Pencipta.
Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur'an” mengatakan: Ulama ketika menafsirkan firman Allah “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS. al-Baqarah, ayat: 152), menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Hal ini menunjukkan bahwa makna syukur sebenarnya menghadirkan Allah disegenap nikmat-nikmat-Nya, dengan mensyukuri nikmat-Nya maka secara otomatis kita mengakui eksistensi Allah swt, dalam kehidupan ini.
Dengan cara pandang seperti ini (salah satunya) maka akan didapati bahwa sebenarnya kebahagiaan sejati itu tidaklah terletak pada “kekayaan”, namun kebahagiaan sejati didapati pula dan jiwa manusia yang selalu bersyukur.
Memang rasa syukur itu sendiri adalah “anugerah” tidak semua orang bisa menikmati perasaan itu, karena belum tentu orang yang selalu bertaburan dari lidahnya ungkapan syukur ia adalah benar-benar pengamal sikap syukur. Karena seringkali apa yang tampil dari diri kita ternyata belum tentu cerminan dari kesungguhan hati, semua sekadar tradisi atau pergaulan. Akhirnya begitu menerima kenikmatan "lupa" dengan mengungkapkan syukur baik kepada yang memberi maupun pada diri sendiri.
Banyak di antara kita terjebak memandang fatamorgana ini menjadi standar kebahagiaan dan pergaulan, padahal tatkala itu semua tidak ada lagi maka alangkah sedihnya, karena kita akan sendiri, tidak dipandang dan diakrabi orang lagi. Sungguh kita akan menuai hasil sebagai akibat desain pergaulan yang kita buat itu.
Harta, tahta dan mahkota sangat “"labil” dibalik itu semua tersimpan "amanah" untuk mensyukurinya, bahkan seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat yang sering diulang-ulang dalam surat ar-Rahman bahwa Allah swt kerab bertanya “dari sekian banyak dari nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan kamu dustakan”?
Sudah menjadi sifat dasar dari manusia bahwa ia adalah makhluk yang sering mengalami rasa "berkeluh kesah" disebutkan dalam al-Quran: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (keberuntungan) maka ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat". (Q.S. al-Maarij ayat: 19-22).
Maka dengan segenap fasilitas yang kita miliki hari ini sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, karena kunci kesejahteraan diri bukan terletak pada banyak sedikitnya harta, tetapi pada besar-kecilnya ungkapan syukur yang mampu kita wujudkan. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin dekat, dengan begitu hati
inipun semakin tenteram.
  1. Zuhud (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
عن ابى هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا نظر احدكم الى من فضل عليه فى المال والخلق، فلينظر الى من هو أسفل منه (اخرجه البخارى)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu melihat orang lain yang memiliki kelebihan harta dan kecantikannya. Maka hendaklah ia melihat juga orang yang berada di bawahnya (dikeluarkan oleh Bukhari).
Hadis ini mengisyaratkan agar menempuh jalan qanaah dan mengisi dirinya dengan keridhaan Allah. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melihat orang di bawah kita. Dengan cara ini nikmat Allah akan dikenalinya. Demikiana rasa syukur terhadap-Nya dengan tanpa dibarengi rasa merendahkan dan menghinakan orang lain.
Sebagai seorang pendidik Islam sudah seharusnya mengikuti dan meneladani akhlak Rasulullah saw yang melaksanakan tugas risalah tanpa pamrih, kecuali semata-mata untuk mencari keridhaan Allah (Moh. Zuhri, 1990:172). Dengan cara ini seorang pendidik makin dekat kepada Tuhannya dan semakin besar pahalanya.
Karena pendidik (guru) memiliki posisi tinggi dan suci, sudah selayaknya seorang pendidik (guru) tahu kewajiban yang sesuai dengan posisinya sebagai pendidik. Kewajiban pendidik (guru) itu adalah menyebarkan dan mengajarkan ilmu kepada siapa saja termasuk murid. Oleh karena itu tidak selayaknya seorang pendidik mengajar dengan maksud semata-mata mencari upah, gaji atau balas jasa. Dengan kata lain pendidik hendaknya tidak memandang anak didik sebagai pihak yang diberi, sehingga mengharapkan imbalan jasa atas pemberiannya; tetapi sebagai pihak yang memberi jalan untuk memperoleh pahala yang besar dan medekatkan diri kepada Allah swt dan menyebarkan pengetahuan.
Dengan demikian bisa diibaratkan bahwa keuntungan akan diperoleh oleh petani dan bukan oleh orang yang punya ladang, maksudnya, bahwa pahala di sisi Allah itu lebih banyak untuk pengajar dibanding untuk anak didiknya (Sudirman, 197:57)
  1. Sopan Santun (Tafsir al-Azhar, Shofwatu At-Tafasir, Ibn Katsir)
Sebuah Hadis yang diterima oleh Hisyam bin Urwah bin Zuber juga dari Aisyah berkata: “Tidak seorangpun yang sebaik Rasulullah saw budinya: walaupun yang memanggilnya keluarga ataupun sahabatnya, beliau selalu menjawab: “Labaik”. (Hamka, 1993:7570)
Sikap sopan santun atau keramahan yang sangat tinggi, tercermin dari Hadis di atas. Beliau selalu menghormati siapa saja tanpa membedakan status atau golongan manapun, ia menganggap bahwa semuanya saudara dan harus mendapat perlakuan sebagaimana layaknya saudara.
Keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode yang paling meyakinkan untuk keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual dan sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam tindak-tanduknya, dan sopan santunnya, disadari ataupun tidak, hal ini akan tercetak dalam jiwa dan perasaan dari gambaran pendidik tsb, baik dalam ucapan atau perbuatan, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak diketahui.
Allah swt juga telah mengajarkan, dan Dia adalah peletak metode samawi yang tiada taranya, bahwa Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada ummat manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun intelektual." Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw suri tauladan yang baik" (QS. al-Ahzab: 21). Al-Asakari dan Ibnu As-Samani meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda yang artinya: "Tuhanku telah mendidikku dengan pendidikan yang baik"
Dengan demikian, ketahuilah oleh para ayah, ibu dan pendidik, bahwa pendidikan dengan memberikan teladan yang baik adalah penopang dalam upaya meluruskan anak. Bahkan menjadi dasar dalam peningkatan keutamaan, kemuliaan dan etika sosial yang terpuji.
Tanpa memberikan teladan yang baik ini, pendidikan terhadap anak-anak tidak akan berhasil, dan nasihat tidak akan membekas. Karenanya, bertakwalah kepada Allah swt, wahai para pendidik dalam mendidik anak-anak kita. Mendidik mereka adalah tanggung jawab yang dibebankan atas pundak kita.
  1. Rasa malu untuk melakukan kejelekan (Ibn Katsir)
عن ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان
Dari Abu Hurairah ra berkata: keimanan itu mempunyai cabang lebih dari tujuh puluh, dan sifat malu itu cabang dari keimanan.
Perasaan enggan untuk berbuat jahat, karena ingat bahwa Allah mengetahuinya, kecewa jika meninggalkan berbuat baik yang dapat dikerjakannya.
Seorang pendidik hendaklah selalu ingat dan sadar apa sebenarnya tujuan dari mendidik. Dengan sadar akan tugasnya maka ia tidak akan berbuat hal-hal yang dapat merugikan dirinya, dan orang lain khususnya muridnya. Dengan malu akan berbuat kejelekan memberikan ketaatan kita kepada syariat Allah swt.
Malu untuk menyimpang dari tugas dan kewajiban ia menjadi pendidik, artinya menjalankan amanah Allah agar mendidik dan memimpin anak-anak ke jalan yang benar. Memberikan pendidikan yang sesuai dengan aturan yang telah digariskan dan memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah. Tidak memalingkan pendidikan anak-anak kepada mereka yang tidak sehaluan, tidak seiman dan tidak seagama dengan ummat Islam serta hams mempertahankan aqidah anak-anak dengan mendidik mereka melalui cara-cara yang islami.
Nabi Muhammad saw memperingatkan kepada setiap ibu bapak dan pendidik ummat Islam tentang kewajiban terhadap anak-anak. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa mengurus pendidikan anak-anak lebih dari sekedar fardhu kifayah.
Selain itu pendidik juga harus menjaga diri pribadinya dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran Islam dengan cara memegang teguh cara mengerjakan apa yang diperintahkan dan ilarang oleh Allah swt. Karena bagaimanapun tidak, sedikit atau banyaknya anak didik akan mencontoh bahkan meniru segala yang dilihatnya dari seorang pendidik.
  1. Lemah lembut dan kasih sayang (Tafsir Shafwatu At-Tafasir, Ibn Katsir)
Dalam konsep pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi (pentarbiyah) dan Muaddib (pembentuk tingkah laku). Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut pendapat Ramayulis dengan mengutip pendapat Naquib al-Attas (1994: 1-2), bahwa kata tarbiyah secara semantik tidak khusus untuk mendidik manusia, melainkan dapat dipakai pada spesies lain, seperti mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah juga berkonotasi, ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan juga berarti menjinakkan. Adapun kata ta'dib mengacu pada kata ilmu, pengajaran (ta'lim) dan pengasuh yang baik (tarbiyah). Dari situlah menurutnya kata ta'dib lebih tepat untuk digunakan dalam istilah pendidikan Islam.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Allah swt adalah pendidik yang paling tinggi. Dan Allah yang pertama kali mengajarkan asma-Nya kepada manusia yang pertama tentang nama-nama yang ada di alam jagat raya ini (QS. 2:31).

Orang yang pertama mengaplikasikan pendidikan sejak munculnya Islam adalah Nabi Muhammad saw dan beliau yang telah menjadikan al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam di samping sunnahnya sendiri. Allah swt telah mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad saw agar dalam pelaksanaan penyiaran Islam dilakukan dengan lemah lembut, begitu juga dalam melakukan pengajaran kepada umatnya penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Kasih sayang dalam pendidikan merupakan modal yang pertama dan utama yang mesti dimiliki oleh pendidik. Bila pendidik telah memiliki kasih sayang yang tinggi kepada muridnya maka pendidik akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan yang terbaik dalam rangka meningkatkan keahliannya, karena ia ingin memberikan yang terbaik pada si terdidik yang disayanginya (Ahmad Tafsir, 1992:85).
Abu Ahmadi (1996: 75) menegaskan bahwa seorang pendidik hams dapal menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum menjadi seorang guru. Dengan sifat ini seorang pendidik harus mencintai murid-muridnya dengan kasih sayang seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan anaknya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan mencintai anak murid yang bukan anak kandungnya sendiri adalah pekerjaan yang secara psikologis cukup berat.
Sementara itu, menurut al-Abrasyi (19993: 138), kelembutan adalah ciri penyampai kebenaran dan kebaikan, karakter pendidik dan pembina umat. Hal ini seperti yang diamanahkan Allah kepada Musa as. dan Harun a.s. ketika mereka diutus menyampaikan nilai-nilai risalah kepada Fir'aun dan Yahudi, sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surat Thaha (20: 42-44)
اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي. اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى.
Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan (dengan itu) ia mau ingat atau takut" (Depag RI, 1993:480).
Dari ayat di atas dapat diambil beberapa hal penting berkaitan dengan kelemahlembutan sebagai sebuah karakter seorang pendidik.
  1. Kelemah-lembutan seorang pendidik diorientasikan bagi terciptanya suasana kondusif untuk melahirkan kesadaran, kefahaman dan ketundukan terhadap nilai-nilai yang diajarkan serta terhadap materi pendidikan.
  2. Kelemah-lembutan harus ditunjang oleh bobot isi yang menjadi nilai esensial suatu pendidikan yaitu kualitas materi pendidikan.
Kelemahlembutan pada suatu sisi merupakan media atau metode pendekatan psikologis yang menjadikan media antara pendidik dan anak didiknya, sehingga proses pendidikan dapat mencapai hasil optimal.
  1. Jujur (Tafsir UII)
Kejujuran adalah puncak keutamaan yang menjadikan dasar tegaknya masyarakat, tertibanya segala urusan dan perjalanan hidup yang terpuji. Kejujuran juga akan mengangkat tinggi martabat seseorang di hadapan orang banyak, tempat kepercayaan, dicintai orang banyak, perkataan terhormat di sisi penguasa dan persaksian yang diterima di majelis hakim.
Seorang pendidik harus dapat dipercaya sebagai tempat titipan untuk anak didik (amanah). Tidak membiarkan murid berada dalam kesalahan, melainkan membimbingnya ke arah yang benar (perhatian dan tanggung jawab). Selain itu di dalam sikap, pendidik harus menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Jika apa yang diajarkan pendidik sesuai dengan apa yang dilakukannya, maka anak didik akan menjadikan gurunya sebagai teladan. Namun, jika perbuatan gurunya bertentangan degan apa yang dikatakannya, anak didik akan menganggap apa yang diajarkan gurunya sebagai materi yang masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
  1. Adil (Tafsir Ibn Katsir, UII)
...ولو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها...
...Jika seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya...
Dari Hadis di atas jelas terlihat bagaimana keadilan Rasulullah saw dalam memberikan hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah walaupun kepada keluarganya. Termasuk dalam hal ini seorang pendidik tidak berpihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Artinya dia harus menyikapi setiap anak didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya, mengarahkan dan memberikan apa yang menjadi haknya masing-masing. Seumpamanya seorang pendidik dalam memberikan hukuman kepada anak didiknya tanpa memandang anak siapa, kalau jelas anak tersebut melakukan kesalahan maka berikanlah mereka hukuman sesuai dengan kesalahan yang dibuatnya dalam rangka melakukan pendidikan.
  1. Tegas dan Berani (Tafsir Ibn Katsir)
Sifat tegas dan berani selalu ditunjukkan dalam diri Rasulullah saw misalnya pada saat beliau menetapkan hukum pada suatu perkara. Sebagai pendidik sudah selayaknya bersikap tegas dan berani menindak anak yang bertindak buruk dengan cara menegurnya sebisa mungkin atau dengan cara menyindir dan penuh kasih sayang, bukan dengan terus terang dan mencelanya, sebab teguran yang terakhir dapat membuat anak didik membangkang dan sengaja terus menerus bertingkah laku buruk.
Selain itu pendidik juga harus mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa. Jika dia dituntut untuk di kelas, dia tidak boleh menampakkan kelunakannya; dan sebaliknya jika dia dituntut untuk lembut, dia harus menjauhi kekerasan, bagaimanapun, seorang guru adalah pemimpin kelas yang perintahnya harus diikuti dan diindahkan oleh anak didiknya. Lebih jauh lagi, seorang guru harus menunjukan kasih sayangnya kepada anak didik, tanpa sikap berlebihan sehingga sewaktu-waktu dia bisa bersikap toleran tanpa menjadikannya generasi yang santai dan malas (Abdurahman An Nahlawi, 1996:72)
  1. Suka menolong (Tafsir UII)
Pendidik selain mengajar ia juga harus bisa memberikan pertolongan khususnya kepada anak didiknya. Pertolongan itu berupa memberikan bimbingan ataupun lainnya yang dapat memberikan motivasi kepada siswa. Sebagaimana Oemar Hamalik (1995:65) mengatakan bahwa seorang guru (pendidik) diharapkan bersikap menunjang, membantu, adil dan terbuka dalam kelas.
Proses bantuan yang diberikan oleh guru sangat besar perannya dalam proses belajar mengajar. Dengan bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik (guru), akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan serta menciptakan antusiasme terhadap pelajaran yang sedang diberikan.
Para pendidik, yang dianggap sudah dewasa rohani dan jasmaninya itu harus membawa anak-anak didiknya yang masih berada dalam taraf ketergantungan atau dependency serta masih memerlukan bimbingan dan bantuan itu kearah berdiri sendiri dan kearah kedewasaan.
Perlu diingat bahwa selain guru berperan sebagai pembimbing, juga berkaitan dengan masalah sikap siswa dalam menanggapi peran guru sebagai pembimbing tersebut. Hal ini dipandang penting karena bagaimanapun juga efektivitas proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas sedikit banyak ditentukan pula oleh cara siswa dalam menyikapi gurunya ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Kepercayaan dan tumpuan harapan tentang pentingnya kedudukan pendidik atau guru dalam proses belajar mengajar sampai kapanpun tidak akan pernah "luntur". Berbagai penelitian telah dilakukan dan memberikan hasil yang menggembirakan tentang efektivitas peranan pendidik dalam mempengaruhi mutu hasil belajar peserta didik.
Kegagalan pendidik atau guru dibidang tugasnya antara lain sebagian mereka kurang memahami fungsinya sebagai orang kedua bagi peserta didiknya.
  1. Optimis yang disertai tawakal (Tafsir UII)
Optimis adalah sifat percaya diri yang tinggi bahwa yang diperbuatnya akan mencapai keberhasilan. Sedang tawakal harfiah "tawakal" (Arab, dengan ejaan dan vokalisasi yang benar: tawakal) berarti bersandar atau mempercayai diri. Dalam agama, tawakal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa. Karena mengandung makna "mempercayakan diri" maka tawakal merupakan implikasi langsung dari iman. Sebab iman tidak saja berarti "dipercayakan adanya" Tuhan (sesuatu yang orang-orang musyrik Mekah di zaman jahiliyah pun melakukannya), tetapi lebih bermakna "mempercayai" atau "menaruh kepercayaan" kepada Tuhan satu-satunya tanpa sekutu yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Nurcholis Madjid, 1992:46). Sebagaimana diungkapkan oleh Hamka (1987: 185), bahwa tawakal adalah menyerahkan keputusan segala perkara ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam.
Dari kedua uraian di atas dapat kita pahami bahwa optimistis merupakan sifat yang pantang mundur dan yakin bahwa yang dilakukannya akan berhasil atau bermanfaat, sedangkan tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah kita berusaha sepenuhnya, kendati demikian hendaknya kita memperhatikan sebab-sebab lahiriah yang bisa mengantarkan ke arah keberhasilan. Hanya saja tidak boleh sepenuhnya percaya terhadap sebab-sebab lahiriah itu, bahkan harus berkeyakinan bahwa yang dilakukannya hanyalah untuk memelihara hikmah Ilahi.
Jadi tawakal merupakan aspek transendental dari suatu usaha atau amal. Tawakal selalu dinisbahkan kepada Allah, dengan kata lain Allah tempat manusia muslim bertawakal. Tawakal adalah penyerahan urusan kepada Allah seiring dengan usaha yang sedang atau sudah dilakukan dengan sekuat kemampuan manusiawinya (optimis). Dengan demikian tawakal menggambarkan sikap optimis dalam berbuat. Namun disertai dengan kerendahan hati (tawadlu) bahwa keberhasilan dari usaha tersebut tidak terlepas dari pertolongan Allah. Di sini terdapat penghayatan bahwa Allah terlibat dalam perbuatan dan amal yang sedang dilakukan.
Kesadaran serupa ini mcnurut Nurcholis Madjid (1992: 45), tidak saja merupakan realisme metafisik, tetapi juga memerlukan kcberanian moral karena bernilai aktif yaitu keberanian untuk menginsyafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam ilmu pendidikan, pendidikan adalah proses yang tidak mudah bila hal itu dilakukan dengan segenap amanah dan tanggung jawab. Karenanya, tidak heran jika pendidikan menuntut adanya tekad yang tinggi (optimis) untuk menghadapi manusia-manusia didik yang sedang tumbuh berkembang dan belajar dengan segala kekurangan, kelemahan dan keterbatasan mereka yang terkadang menggiring mereka kepada hal-hal negatif adalah hal yang tidak ringan. Terlebih lagi, hal itu dihadapi juga oleh semua manusia biasa.
Pendidik bukanlah makhluk super yang dapat melakukan semuanya, namun juga mereka bukanlah manusia yang mudah menyerah menghadapi tantangan yang berat. Optimis disertai dengan kekentalan sikap mental spiritual pada diri seorang pendidik merupakan bekal yang baik bagi proses pendidikan.

2 komentar:

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.