flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Sabtu, 06 April 2013

KALBU DAN DUA ENERGI ILMU PERSPEKTIF AL-GHAZALI



A.    Pendahuluan

Segala puji bagi Allah Swt., Rabb yang telah menciptakan kalbu seluruh makhluk dengan sebaik penciptaan. Yang telah menganugerahkan keajaiban di sekeliling kalbu berupa cahaya, demi memahami keagungan-Nya. Allah Swt. juga Dzat Yang Maha Melihat atas segala rahasia yang disembunyikan hamba dalam kalbu kita. Bahkan, Dia Maha Menyaksikan apa yang terkandung di dalam benak dan jiwa mereka (hamba-Nya). Allah Maha Mengatur seluruh ciptaan-Nya tanpa membutuhkan bantuan siapa pun dari makhluk, serta tidak pula memerlukan persetujuan atas kekuasaan-Nya. Di samping itu semua, dan yang terpenting, Allah Swt. Maha Mampu membolak-balikkan kalbu hamba-Nya, mengampuni sebagian besar dosa (kesalahan) yang mereka lakukan, dan menutupi kekurangan hamba dengan ke-Mahaperkasaan-Nya, serta sekaligus juga melapangkan segala bentuk kesempitan yang dirasa oleh kalbu hamba-Nya.
Manusia dan keutamaan yang di sandangnya melebihi seluruh makhluk yang ada disebabkan kesiapan manusia untuk berada pada posisi mengenal (ma’rifat) Allah Yang Mahasuci. Ma’rifat kepada Allah Swt. di dunia merupakan bagian dari keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaan tersendiri. Sedangkan untuk tujuan alam akhirat lebih sebagai persiapan dan simpanan jangka panjang. Sesungguhnya hanya dengan kalbu manusia akan siap berma’rifat. Tidak ada satu pun di antara anggota tubuh lainnya yang akan mampu melakukannya. Hanya kalbu, dengan kalbu pula manusia kemudian mengenal Allah Swt. dan kalbu juga yang mendekatkan diri kepada-Nya. Kalbu juga yang berbuat karena Allah. Kalbu pula yang berusaha kepada Allah, dan sekaligus yang menyingkap apa yang berada di sisi Allah, serta yang tersedia pada kehendak-Nya.
Seluruh anggota tubuh hanyalah pengikut, pelayan, dan alat yang dipekerjakan dan digunakan oleh kalbu. Sebagaimana tuan memakai hamba sahayanya, sebagai pemimpin mempekerjakan karyawannya, atau perancang mempergunakan alat bantu yang dimilikinya.
Kalbulah yang diterima di sisi Allah Swt. apabila ia selamat dari selain-Nya (tidak menyekutukan-Nya). Kalbu pula yang ter-hijab (terhalang) dari Allah apabila ia tenggelam dengan selain-Nya (melainkan-Nya). Kalbu juga yang dituntut serta yang diajak bicara. Kalbu pula yang dicaci, kalbu pula yang berbahagia dengan berdekatan kepada Allah Swt. dan berbahagia pula apabila Dia menyucikannya.
Kalbu juga yang menyesal dan celaka apabila penggunanya lebih memilih untuk mengotori dan merusakkkannya. Di samping itu, kalbu juga yang berbuat taat secara hakiki kepada Allah Swt. Juga sesungguhnya kalbu-lah yang tersebar atas seluruh anggota tubuh dari amal ibadah yang menjadi cahayanya. Kalbu pula yang durhaka lagi sombong kepada Allah Swt. dan sesungguhnya yang berlaku kepada anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan yang keji adalah segala apa yang menjadi bekas-bekas atau akibat kalbu. Dan dengan kegelapan kalbu serta bersinarnya, maka akan tampak kejelakan-kejelakan lahir, dan sekaligus kebaikan-kebaikannya. Karena, setiap bejana itu terbasahi dengan apa yang berada (diisikan) ke dalamnya.
Kalbulah yang apabila ia mengenalnya maka ia mengenal dirinya. Dan apabila seseorang telah mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Rabb-nya. Kalbu pula lah yang apabila manusia tidak mengetahuinya, niscaya ia tidak mengenal dirinya sendiri. Dan, apabila seorang hamba tidak memahami dirinya sendiri, niscaya ia tidak akan pernah mengenal Rabbnya. Siapa saja hamba yang tidak mengenal kalbunya, maka ia – dengan selain kalbu itu – lebih tidak memahami jati diri dan Rabbnya. Karena, kebanyakan makhluk itu tidak mengerti kalbu dan diri mereka sendiri. Juga, telah menghalangi antara mereka dengan diri mereka sendiri.
Berawal dari latar belakang inilah penulis ingin mengupas pendapat al-Ghazali sebagai tokoh Islam dengan segala kelebihan dan pemikirannya tentang pendidikan Islam, terutama mengenai alat yang digunakan untuk memperoleh sebuah pengetahuan yaitu panca indera, kalbu dan akal. Pembahasan yang dimaksud oleh penulis berkutat pada masalah kalbu yang tidak menutup kemungkinan akan adanya keterkaitan di antara ketiga alat tersebut.

B.     Biografi Al-Ghazali

1.      Riwayat Hidupnya
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar Imam besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusla sebuah kota di Khurasan, Persia. Ia keturunan persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang memerintah daerah khurasan, Jibal, Irak Jazirah, Persia dan Ahwaj. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Ayah al-Ghazali sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan (menikmati) jawaban Allah (karunia) atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putera idamannya masih usia anak-anak (Zainuddin 1991: 7).
Pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat menjadi Guru besar di Universitas Nidhamiyyah Baghdad (Zainuddin, 1991:9), berkat kemampuan dan kecerdasan-nya yang tinggi, karirnya melejit dan menjadi rektor di Universitas tersebut pada usia 34 tahun (Rusn, 1998: 11).
Pada masa kecilnya, Al-Ghazali berguru pada imam Ahmad bin Muhammad al-Razikani, di mana beliau belajar fikih, dan mempelajari ilmu tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai pada usia 20 tahun, kemudian Al-Ghazali meneruskan pendidikannya ke sekolah Nidhamiyah, dan berguru pada Imam Haramain Abu al-Ali al-Juwaini. Disini al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh mantiq dan ushul. Selain itu, mempelajari filsafat dari risalah-risalah ikhwanus shofa karangan al-Farabi, Ibnu Maskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, al-Ghazali dapat menyelami paham-paham Aristoteles dan pemikir Yunani yang lain. Itu semua dikuasai dalam waktu singkat, sehingga ia menjadi ahli pembagian yang pintar di zamannya. (Zainuddin, 1991: 8).
Meskipun al-Ghazali keahlian dan kemashurannya sudah mengimbangi gurunya, namun beliau tetap setia padanya, dan mendampinginya sampai wafat pada tahun 478 H. Setelah gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan nizam al-Mulk menteri Sultan Malikahah al-Saljuki. Beliau mendapat penghormatan besar di depan golongan ulama dan pemimpin umat. Al-Ghazali berdiskusi dan berdebat dengan mereka dan semua dikalahkannya. Sehingga mereka tidak segan-segan mengakui keluasan ilmunya. Sesudah itu Nizam al-Mulk meminta beliau berpindah ke Baghdad untuk mengajar di sekolah Nizamiyah pada tahun 1090 M/483 H. Selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap golongan bathiniah, Ismailiyah, filsafat dan yang lainnya (Hasan Langgulung, 1995: 127).
Setelah mengajar empat tahun di Baghdad, al-Ghazali merasa bosan terhadap pangkat yang diperolehnya, kebosanan itu disebabkan karena kejengkelannya terhadap dirinya, sampai berlalu krisis jiwa yang memaksakannya menjauhi manusia dan berbuat zuhud serta meninggalkan sifat-sifat sombong dan kemasyhuran untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu kesucian jiwa,, usaha untuk mencapai kebenaran di tengah-tengah pendapat yang bertentangan satu sama lainnya.
Dalam pengakuannya, bahwa ia telah meneliti dan mendalami dirinya tetapi merasa tidak puas memandang kepadanya, sebab berkecimpung dalam kehidupan sosial dan ilmiah itu sangat jauh dari cara yang sepatutnya dibuat oleh seorang yang tahu dan wara’. Ia telah menuntut ilmu yang dianggap remeh dan tidak ada kaitannya dengan hari akhirat. Namun kesadarannya untuk menjauhi kehidupan dunia dan memasuki pertapaan tidak cukup kuat dan sia-sia saja.  Ia meyakini bahwa sudah masanya untuk pergi, umur tinggal sedikit untuk dihabiskan dalam hal yang tidak berguna, yang kedua mengajaknya mencari  pangkat tinggi dan kehidupan mewah (Hasan Langgulung, 1995: 128).
Peristiwa genting ini menarik dia ke kiri dan ke kanan selama kurang lebih enam bulan, tidak sanggup ia memilih antara membebaskan diri dari godaan dunia atau rela atas kehidupan yang tidak disetujui hati kecilnya. Sehingga terjadilah suatu peristiwa yang membebaskannya dari peristiwa tersebut, yaitu ketikaa Allah menutup mulutnya dan ia tak dapat berbicara. Namun beliau pun sadar bahwa Allah berbuaat demikian demi kebaikan beliau juga. Jadi masa bimbang sudah berakhir, oleh sebab itu lebih mudah ia menghindarkan diri dari pangkat, harta, anak-anak dan sahabat-sahabat. Akhirnya beliau pergi daan berpindah-pindah dari kota yang satu ke kota yang lain mencari tempaat perasingan diri untuk berdialog dengan diri dan hatinya sendiri.
Belakangan terpaksa Al-Ghazali menghentikan perasingannya dan kembali menyiarkan ilmu dan membela agama, sebab dilihatnya kelemahan iman di kalangan masyarakat di zamannya, dan juga merajalelanya keraguan yang disebarkan oleh musuh Islam dan pengikut-pengikutnya yang jahil. Ketika seorang menteri Fakhe al-Mulk mendengar al-Ghazali dan ketinggian ilmunya dan keberhasilan hatinya, beliau pun pergi menghadiri majelis-majelisnya untuk mendengarkan syarahnya dan memintanya untuk mengajar di sekolah Nizamiah di Nisabur. Kemudian beliaupun pergi ke Nisabur pada bulan Dzulqa’idah tahun 499 H. untuk memberikan syarahan-syarahan di sekolah Nizamiah Nisabur sampai tahun 503 H, sesudah itu beliau pulang ke kampung halamannya dan dibinanya sekolah (madrasah), untuk penuntut-penuntut ilmu dan tempat persinggahan orang-orang sufi. Di situ jugalah dihabiskan sisa hidupnya bertafakur dan beribadah. Setelah mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan dan setelah memperoleh kebenaran haqiqi pada akhir hidupnya ia meninggal dunia di Thus pada tanggal 12 Jumadi Tsani tahun 505 H (Hasan Langgulung, 1995: 129).

2.      Corak Pemikirannya
Hal yang menarik perhatian dari sejarah hidup al-Ghazali adalah kedahagaan terhadap segala pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai hakikat kebenaran segala sesuatu yang tidak pernah puas. Pengalaman pengumbaraan intelektual dan spiritualnya berpindah-pindanh dari ilmu kalam ke filsafat, kemudian ke dunia bathiniah dan akhirnya membawanya ke tasawuf.
Menurut Zainuddin (1991: 19) bahwa karya-karya Al-Ghazali yang ditulis pada masa mudanya yang masih kuat logikanya sangat berbeda dengan karyanya yang ditulis pada akhir usianya karena masih terlalu dalam pengaruh tasawufnya.
Namun demikian pemikirannya masih ditandai oleh pikiran yang jernih, wawasan yang luas, pembahasan yang mendalam penyelidikan yang teliti, kekuatan berfikir yang sama sekali tidak berpengaruh hal-hal yang bersifat rendah, kemampuan menganalisa masalah mana yang melampaui batas dan mana yang dapat mengantarkan pada tujuan, sikap yang konsisten, berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan zaman, serta mau menjelaskan kebenaran dan memisahkan kebenaran dari segala hal yang menodai sepanjang sejarah perjalanan Islam. (Zainuddin, 1991: 19).
a.      Al-Ghazali sebagai teolog atau ahli ilmu kalam
Mula-mula Al-ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dari berbagai aliran. Buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu dikajinya dengan kritis, sehingga jelaslah dasar-dasar aqidah yang dijadikan argumen oleh masing-masing aliran. (Ibnu Rusn, 1998:19)
 Tujuan pengkajian disini adalah untuk memelihara aqidah umat dari pengaruh bid’ah yang saat itu telah merajalela. Sebagai contoh, aliran Mu’tazilah yang ditokohi oleh Wasil bin ’Atha dan Abul Huzail. Aliran ini mendapat pengaruh kuat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka berpandangan dan menganggap bahwa manusia dengan akal dan pemikiran semata dapat mengetahui danya Tuhan, cara-cara pembenaran Agama dengan alasan-alasan pikiran, Al-manjili bainal al-manjilatain (tempat diantara dua tempat). Untuk mempertahan missi, mereka dengan tekun mempelajari filsafat Yunani. Inilah yang dikoreksi, dikritik dan kemudian ditentang oleh Al-Ghazali. Beliau berusaha mengembalikan akidah umat Islam kepada akidah yang dianut dan diajarkan oleh Nabi SAW. Dan usaha ini lah yang disebut dengan pembaharuan dalam Islam. Sehingga Al-Ghazali mendapat gelar sebagai Al-Mujaddidul Khomis (pembaharu ke lima) dalam Islam.
Keberhasilannya itu mendorong para cendikiawan muslim untuk berpendapat tentang Al-Ghazali. Sayyid bin M. Al-Husaeni dalam satu kitabnya menyebut Al-Ghazali sebagai al-mujaddidul Khomis. Zwemmer mengatakan bahwa sesudah Nabi SAW ada dua pribadi yang amat besar jasanya dalam menegakan Islam, pertama Imam Bukhari karena pengumpulan haditsnya;  kedua Al-Ghazali karena Ihyanya. Hal yang perlu dipegang bahwa keberhasilan Al-Ghazali karena sifatnya yang menengahi persoalan berdasarkan metode berpikirnya yang ilmiah dan rasional dan serta diilhami oleh Al-Qur’an.

b.      Al-Ghazali sebagai Filosof
Setelah ia mempelajari ilmu kalam, ia membaca dan mengkaji karangan para ahli filsafat seperti karya Ibnu Sina. Al-Ghazali menghentikan aktivitasnya dan mengkaji ilmu-ilmu syari’ah; perhatiannya dipusatkan sepenuhnya kepada filsafat.
Perlu diketahui bahwa kurun waktu itu telah bermunculan para filosof yang mendapat inspirasi dari filsafat Yunani, khususnya di bawah pengaruh Aris Totelianisme. Doktrin-doktrin yang mereka anut banyak yang bertentangan dengan jiwa Islam. Ketidaksadaran mereka yang telah larut dan metode mereka yang telah tumbang dari dasarnya sehingga tidak sesuai lagi dengan qaidah berfikir Islam, menjadi motivasi pertama bagi Al-Ghazali untuk berusaha meluruskan dan mengembalikannya kepada qaidah-qaidah yang benar dan sesuai dengan Islam, yang sebenarnya bersifat mutlak. Manusia terhadap kebenaran tersebut wajib menerimanya secara utuh, sehingga apapun macamnya, aktivitasnya – termasuk aktivitas berfikir – haruslah bersandar dan berdasar kepadanya. Ia (dasar ajaran Islam) tidak ada yang boleh mendahuluinya. Dalam kaitannya dengan hal ini, al-Ghazali menolak pemikiran yang tidak berlandaskan pada al-Qur'an. Hanya itu yang harus dimatikan dan tidak boeh tumbuh kembali, lainnya tidak dengan kejeniusan pemikirannya ini menjadikan ia berhasil menggondol beberapa gelar kesarjanaan dalam beberapa disiplin ilmu, dan ia mampu menciptakan ekuilibrium keagamaan pada umat Islam. Oleh karena itu tidak berlebihan jika katakan bahwa “Al-Ghazali adalah uswah hasanah di kalangan pemikir muslim”. (Ibnu Rusn, 1988: 16).

c.       Al-Ghazali; anti aliran Kebathinan
Ketidakpuasan al-Ghazali terhadap kebenaran  filsafatnya, dan penguasaan isi al-Qur'an dan Hadits serta disiplin ilmu dalam berbagai bidang dijadikan dasar dalam mengadakan koreksi kembali secara total terhadap seluruh ajaran yang ada, dan mengkritik orang-orang yang hidup dalam kesesatan.
Mula-mula al-Ghazali meneliti literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum kebathinan, kemudian makalah-makalah yang dikaji secara mendalam yang hasil penelitiannya dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha untuk mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dalam rangka memperoleh ilmu yang hak juga. Setelah itu beliau melangkah dengan menanyakan di mana tempat imam Ma’soem itu dan kapan dapat dijumpai. Ternyata tidak ada satu pun penngikut aliran kebathinan yang mampu menunjukkannya. Hal ini membuat al-Ghazali berkesimpulan bahwa imam Ma’soem kaum kebathinan itu hanyalah tokoh ideal saja, hanya ada dalam anggapan dan tidak ada dalam kenyataan. (Ibnu Rusn, 1988: 19)
d.      Al-Ghazali sebagai Sufi
Setelah tanpa henti-hentinya mencari ilmu keyakinan, al-Ghazali akhirnya mengetahui bahwa tidak ada satu unsur pun dari ilmu-ilmunya yang memadai untuk tujuan penelitiannya, selain hal-hal yang inderawi dan aqli. Tetapi ketika direnungi semuanya ternyata baginya menyesatkan, karena ternyata terbukti baginya bahwa pengetahuan-pengetahuan inderawi menjadi tidak valid, dan tidak ada lagi yang tinggal selain bukti-bukti aqli. Namun Al-Ghazali masih juga dihinggapi rasa syak terhadap kebenarannya. Sebagaimana aqal telah membuktikan ketidakbenaran bukti-bukti inderawi, maka boleh jadi ada kekuatan lain di luar aqal yang mampu membuktikan ketidakhandalan dalil aqal. Al-Ghazali masih saja bingung, dan setelah ia sembuh dari penyakit ragu ia kembali pelajari ilmu dari golongan mana saja. Tetapi ia tidak menemukan keyakinan kecuali aliran tasawuf. Keyakinannya semakin kuat bahwa para sufi adalah manusia yang paling benar ilmunya, lebih bersih akhlaknya, dan mereka adalah orang-orang yang dekat kepada Tuhan (Fathiyah Sulaeman, 1993: 14).
Jadi dalam dunia tasawuflah Al-Ghazali menemukan jalan yang mampu membebaskan dirinya dari syak terhadap kebenaran. Dengan tasawuflah manusia dapat mensucikan dirinya dari akhlak yang tercela dan sifat-sifat yang buruk yang dapat membawa kepada kehancuran. Ilmu tasawuf lah yang dapat menghindarkan dan mengosongkan hati dan gerakan dan semua fikiran duniawi sehingga manusia dapat memenuhi segala dzikrullah. Dalam pandangan al-Ghazali aktivitas patut ditinggalkan. Yang mendasari beliau begitu adalah karena anggapannya bahwa tidak ada harapan manusia untuk menggapai kebahagiaan akhirat, kecuali dengan bertaqwa dan mengendalikan hawa nafsu. Kehendak hawa nafsu itu tidak dapat dicegah kecuali dengan memutuskan ketergantungan hati kepada dunia dan lari dari kesibukan yang mengarah kepadanya. Oleh karena itu, Al-Ghazali memutus-kan untuk hidup zuhud, uzlah dan menyingkir dari keramaian.
Dengan hasil inilah Al-Ghazali merasa puas dalam penelitiannya. Telah dicapai apa yang menjadi cita-citanya sejak semula, yakni mencapai haqqul yakin, keyakinan yang hakiki, yang dilalui oleh ainul dan ilmu yakin. Semua pendapat tentang tasawufnya telah ditulis dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin yang ia susun setelah sembuh dari penyakit syak terhadap segala persoalan dalam kepercayaan (Abidin Ibnu Rusn, 1998: 21).
3.      Karya-karya Al-Ghazali
Karena luasnya pengetahuan Al-Ghazali, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan spesialisasi apa yang digelutinya. Hampir semua aspek keagamaan dikajinya. Di perguruan tinggi Nizamiyah ia banyak mengajarkan tentang ilmu fiqh versi as-Syafi’i, sebab ia pengikut madzhab Syafi’i dalam bidang fiqh. Tetapi ia juga mendalami bidang-bidang lain, seperti: filsafat, ilmu kalam dan tasawuf. Oleh karena itu menetapkan al-Ghazali sebagai tokoh dalam satu segi tentulah tidak adil, sangat tepat bila gelar hujjatul Islam ia sandang dengan petimbangan ia mempunyai keahlian (kualifikasi) dimensional (Bahri Ghozali, 1991: 28).
Beliau meninggalkan karya-karya tulisannya sebanyak 70 buah  kitab yang berisi: fiqih, ilmu berdebat atau bertukar fikiran, penolakannya terhadap filsafat, pembelaan islam. Dan kitabnya yang paling relevan dengan topik pembahasan penulis ialah kitab “Ya ayyuhal walad” (Wahai anakku) yang di dalamnya dilukiskan garis-garis besar kebajikan pendidikan yang ia pandang cocok dengan pendidikan remaja muslim, karena telah Al-Ghazali praktekkan di kalangan murid-muridnya. Dalam kitab ini dijelaskan bagimana nasihat Al-Ghazali kepada muridnya tentang segala macam ilmu yang diajarkannya, terutama pendidikan keimanan, serta metodenya yang beliau gunakan selama mengajar, juga metode yang dipilih oleh guru beliau, dan sifat-sifat yang ada pada guru beliau yang wajib diikutinya, karena beliau selalu mendapat peringkat tertinggi, sehingga beliau untuk menduduki profesor (guru besar) juga dijelaskan dalam buku ini tentang cara-cara hubungan antar guru dan murid. 

Kalbu dan Dua Maqam 
Berkaitan dengan penjelasan seputar dua kedudukan (maqam), berikut contoh yang lazim berlaku dari keduanya."
Ketahuilah, bahwa keajaiban-keajaiban kalbu itu keluar dari segala apa yang digapai oleh panca indera. Karena, kalbu juga keluar dari pengetahuan panca indera. Dan, apa yang tidak diketahui oleh panca indera, maka pemahaman semata akan menjadi lemah untuk mengetahuinya. Kecuali dengan contoh yang diketahui oleh panca indera. Dan, Penulis mendekatkan yang demikian itu kepada pemahaman yang mudah dimengerti melalui dua perumpamaan berikut ini.
Perumpamaan yang pertama, apabila kita umpamakan suatu telaga yang digali di permukaan bumi, yang mungkin air dari dasarnya digiring untuk dikumpulkan padanya dari sungai-sungai yang terbuka, dan mungkin pula bawah telaga digali, lalu tanah diangkat darinya sampai batas yang dekat dengan tempat air yang bersih, hingga air terpancar dari bawah telaga, dan air itu lebih jernih serta lebih abadi, juga terkadang air itu lebih deras memancar, dan lebih banyak debitnya, maka kalbu manusia laksana telaga dimaksud, dan ilmu itu seperti airnya. Adapun panca indera yang lima itu seperti sungai-sungai yang mengalir ke muara (telaga, tempat bertemunya air dari segala penjuru).
Terkadang pula ilmu-ilmu itu digiring ke kalbu melalui perantaraan sungai-sungai panca indera, dan pengambilan pertimbangan dengan segala sesuatu yang disaksikan, sehingga kalbu dipenuhi oleh ilmu. Mungkin pula sungai-sungai dimaksud disumbat dengan khalwat, pengasingan diri, dan pemejaman mata, serta menuju ke dalam kalbu dengan penyuciannya, dan mengangkat tingkatan-tingkatan hijab daripadanya, sehingga terpancar mata air ilmu dari dalamnya. Kalau engkau bertanya, "Bagaimanakah ilmu dapat terpancar dari kalbu itu sendiri, sedang ia kosong dari esensinya? "Maka ketahuilah, bahwa semua ini adalah termasuk keajaiban-keajaiban dari rahasia-rahasia kalbu, dan tidak boleh menyebutkannya dalam ilmu mu'amalah. Akan tetapi, kadar yang mungkin menyebutnya adalah hakikat-hakikat sesuatu itu telah digariskan di Lauh al-Mahfuzh, bahkan dalam kalbu para malaikat.
Sebagaimana seorang insinyur dapat menggambar bangunan rumah di atas kertas yang putih, kemudian ia mewujudkannya dalam bentuk bangunan, sesuai dengan salinan gambar yang telah ia rancang. Maka, begitu rula Pencipta langit dan bumi menulis salinan alam dari permulaan sampai penghabisannya di Lauh al-Mahfuzh. Kemudian, Allah Swt. mengeluarkannya kepada wujud sesuai dengan salinan yang ada. Dan, alam yang telah keluar kepada wujud dengan bentuknya yang nyata itu membawa bentuk yang lain kepada panca indera serta hayalan yang menyaksikannya.
Sesungguhnya orang yang memandang kepada langit dan bumi, kemudian ia memejamkan matanya, niscaya ia akan mendapati bentuk langit serta bumi dalam hayalannya. Sehingga seolah-olah ia masih (tengah) memandang kepadanya. Jikalau langit dan bumi tidak pernah ada lagi, serta memori masih tetap ada dalam kalbunya, niscaya ia mendapatkan bentuk langit dan bumi tidak pernah ada lagi, serta memori masih tetap ada dalam kalbunya, niscaya ia mendapatkan bentuk langit dan bumi masih tersedia dalam kalbunya, seolah-olah ia tengah menyaksikan keduanya, atau melihat kepada keduanya. Kemudian dari hayalannya membawa bekas kepada kalbu, lalu berhasil di dalamnya hakikat-hakikat sesuatu yang masuk melalui panca indera serta hayalan. Dan, yang berhasil disimpan dalam kalbu itu adalah sesuatu yang sesuai dengan ilmu yang berhasil didapat melalui hayalan. Juga, yang berhasil dalam hayalan itu akan bersesuaian dengan alam I yang ada dalam kalbunya, yang kemudian keluar dari hayalan manusia, dan uga kalbunya. Serta alam yang ada itu sesuai dengan salinan atas apa yang ada pada Lauh al-Mahfuzh.
Oleh karena itu, seolah alam dimaksud mempunyai empat derajat dalam wujudnya.Wujud dalam Lauh al-Mahfuzh, dan mendahului wujudnya yang jasmani. Lalu, diikuti oleh wujudnya yang hakiki, dan wujudnya yang hakiki itu diikuti pula oleh wujudnya yang hayali, maksudnya; ada bentuk dalam hayalan. Dan, wujudnya yang hayali diikuti oleh wujudnya yang akli (sesuai daya tangkap akal). Dengan kata lain, ada atau tersedia bentuknya dalam kalbu. Sebagian yang ada itu bersifat ruhani, dan sebagian yang lain bersifat jasmani. Sebagian yang ruhani itu lebih berat daripada sebagian yang lain. Kehalusan ini adalah termasuk hikmah llahiyah, karena Allah Swt. telah menjadikan kedua bola mata dengan bentuknya yang kecil, di mana keduanya akan menangkap bentuk langit dan bumi dengan kelapangan tepi-tepinya dalam sudut pandang dari kedua bola mata tersebut.
Kemudian dari wujud langit dan bumi dalam panca indera, berjalan wujud dalam hayalan, setelahnya dari hayalan berwujud ke dalam kalbu. Sesungguhnya engkau selama-lamanya tidak akan mengetahui selain apa yang sampai kepadamu. Jika tidak dijadikan bagi alam semuanya suatu contoh di dalam dirimu, niscaya engkau tidak akan pernah mempunyai berita tentang apa yang menerangkan –bahkan atas – esensi dirimu sendiri. Mahasuci Allah yang telah mengatur keajaiban-keajaiban ini dalam kalbu dan pandangan. Kemudian kalbu serta pandangan itu buta dari mengetahuinya, sehingga kebanyakan manusia menjadi jahil tentang dirinya, dan keajaiban-keajaiban yang disandangnya. Dan, hendaklah kita kembali kepada tujuan semua atas hidup ini. Hingga harus Penulis katakan di sini, dalam kalbu kadang-kadang tergambar hakikat alam dan bentuknya yang berhasil mengisi relung kalbu, sekali dari panca indera, dan pada kali yang lain bersumber dari Lauh al-Mahfuzh. Sebagaimana mata itu tergambar, bahwa bentuk matahari dapat berhasil di dalam pandangan hanya sekali dari memandang kepadanya, dan sekali dari memandang kepada media air yang berhadapan dengan matahari yang memantulkan bentuknya.
Manakala hijab itu terangkat di antara hamba dan Lauh al-Mahfuzh, niscaya ia akan melihat segala sesuatu berada di dalamnya, dan terpancar kepadanya ilmu dari Lauh al-Mahfuzh, sehingga ia tidak lagi memerlukan manfaat dari dalam panca indera. Yang demikian itu seperti terpancarnya air dari dasar bumi. Manakala ia menghadap kepada hayalan-hayalan yang berhasil, dan segala apa yang diketahui melalui panca indera, maka yang demikian itu menjadi hijab baginya untuk mengetahui Lauh al-Mahfuzh. Sebagaimana bahwa air itu mencegah dari terpancarnya debit yang tersedia di dasar bumi. Juga sebagai­mana orang yang memandang kepada air yang menceritakan bentuk matahari, tanpa harus memandang secara langsung kepada matahari itu sendiri.
Jadi, kalbu mempunyai dua pintu, yakni; pintu yang terbuka kepada alam malakut (Lauh al-Mahfuzh), dan alam malaikat, juga pintu yang terbuka kepada panca indera yang lima, yang berpegang dengan alam mulk serta alam syahadah. Alam syahadah dan alam mulk juga menyerupai alam malakut dengan semacam penyerupaan. Adapun terbukanya pintu kalbu kepada memperoleh manfaat dari panca indera, maka yang demikian itu tidak lagi tersembunyi atas kita. Adapun terlMikanya kalbu yang masuk ke alam malakut, dan mengetahui Lauh al-Mahfuzh, adalah mempelajarinya akan ilmu keyakinan dengan memikirkan tentang keajaiban-keajaiban mimpi, juga pengetahuan kalbu di waktu tidur kepada apa yang terjadi di masa mendatang, atau telah terjadi di masa lalu tanpa memperoleh manfaat dari panca indera.
Sesungguhnya kalbu semacam itu dapat terbuka bagi orang yang menyendiri dengan dzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana Rasulullah Saw. pernah bersabda,
سبق المفردون
"Orang yang pertama menyendiri, maka ia telah mendahului."
Lalu beliau ditanya “Siapakah orang-orang yang menyendiri itu?" Beliau menjawab dengan bersabda,
المتنزهون بذكر الله تعالى، وضع الذكر عنهم أوزارهم فوردوا القيامة خفافا.
Orang-orang yang bertamasya dengan dzikir kepada Allah Swt. Dzikir itu menghapuskan dosa-dosa mereka, lalu mereka datang di hari kiamat dalam keadaan ringan”.
Kemudian beliau bersabda mengenai sifat mereka, sebagai pemberitaan dari sisi Allah Swt.
ثم أقبل بوجهي عليهم، أترى من واجهته بوجهي يعلم أحد أي شيء أريد أن أعطيه؟ ثم قال تعالى: أول ما أعطيهم أن اقذف النور في قلوبهم فيخبرون عني كما أخبر عنهم.
“Kemudian aku menghadapkan wajahku kepada mereka, apakah engkau melihat siapakah yang aku hadapi dengan wajahku, di mana seseorang mengerti sesuatu yang ingin aku berikan kepadanya? Allah Swt berfirman, 'Pertama-tamayang Aku berikan kepada mereka adalah, bahxva Aku memancarkan cahaya dalam kalbu mereka, lalu mereka dapat memberitakan tentang Aku, sebagaimana Aku dapat memberitakan tentang mereka.'"[1]

Tempat bagi masuknya berita-berita dimaksud adalah pintu batin (kalbu). Jadi, perbedaan di antara ilmu para wali dan para Nabi, juga ilmu para ulama serta para ahli hikmah adalah, bahwa ilmu para wali dan para Nabi itu datang dari dalam kalbu melalui pintu yang terbuka ke alam malakut. Dan, ilmu hikmah itu datang dari pintu-pintu panca indera yang terbuka kepada alam mulk. Keajaiban-keajaiban alam dan berulang kali datangnya kalbu di antara kedua alam syahadah beserta alam ghaib itu tidak mungkin dibahas secara mendalam pada ilmu mu'amalah. Inilah perumpamaan yang memberitahukan kepada kita tentang perbedaan di antara tempat masuknya kedua alam dimaksud.
Perumpamaan yang kedua, memperkenalkan kepadamu perbedaan antara dua amal, yaitu; amal para ulama, dan amal para wali. Sesungguhnya para ulama beramal untuk memeroleh ilmu itu sendiri, dan menariknya ke relung kalbu. Sedangkan para wali beramal demi untuk terangnya kalbu, menyucikan, membersihkan, dan mengkilapkannya. Pernah diceritakan, bahwa penduduk China dan penduduk Roma berbangga-bangga di hadapan seorang Raja dengan cantiknya karya ukir serta arsitektur lukis yang telah mereka buat. Lalu, pendapat Raja terucap bahwa ia menyerahkan kepada mereka satu ruang agar penduduk China mengukir satu sisi darinya, serta penduduk Roma melukis sisi yang Iain, dengan hi jab diturunkan di antara keduanya yang menghalangi masing-masing untuk melihat kepada lainnya. Titah Raja itu pun segera dilaksanakan. Maka penduduk Roma mengumpulkan cat-cat yang berwarna-warni dalam jumlah yang sangat beragam. Sedangkan penduduk China masuk tanpa membawa cat. Dan, mereka membuat ruangan itu setelahnya menjadi terang serta berkilauan. Ketika penduduk Roma selesai, maka penduduk China menyampaikan bahwa ia juga telah selesai. Maka Raja dibuat heran dari perkataan penduduk China, dan bahwa ia telah selesai dari mengukir tanpa menggunakan sedikit pun pewarna (cat). Hingga ditanyakan/'Bagaimana engkau selesai tanpa menggunakan cat?" Orang China menjawab, "Apayang tengah terjadi denganmu? Angkatlah hijab nya." Lalu mereka mengangkatnya. Tiba-tiba di sisi mereka ada keajaiban-keajaiban karya orang-orang Roma yang bersinar, serta bertambahnya kecemerlangan dan berkilauan karena sisi orang-orang China seperti cermin yang cemerlang disebabkan banyaknya ia menggunakan pantulan yang bercahaya. Maka bertambah indah sisi penduduk China karena bertambahnya cahaya yang memantul dari sisi sebaliknya (penduduk Roma).
Begitu pula perhatian para wali dengan menyucikan kalbu dan membuatnya menjadi semakin kemilau, membersihkannya, serta keajaiban yang terlihat atas kejernihannya. Sehingga kemilau kebenaran itu bersinar padanya dengan puncak cemerlang, seperti yang dilakukan oleh penduduk China. Dan, perhatian para ahli hikmah serta para ulama itu dengan berusaha, mengukir ilmu-ilmu, dan menghasilkan sesuatu. Lalu, bagaimana semua urusan itu bisa digapai dengan mudah? Maka, kalbu orang mukmin tidak mati, dan ilmunya ketika ia meninggal dunia tidak terhapus, serta kejernihannya tidak menjadi keruh. Dan, kepadanya diisyaratkan oleh Imam Hasan Rahimahullâh melalui perkataannya, “Tanah itu tidak memakan iempat keimanan. Akan tetapi, kalbu seorang mukmin itu menjadi perantara, dan sekaligus pendekatan kepada Allah Swt."
Adapun apa yang dihasilkannya, yaitu ilmu itu sendiri, dan apa yang dihasilkannya, yaitu kejernihan serta kesiapan untuk menerima ilmu dimaksud, maka keduanya tidak terlepas dari pengaruh kebersihannya. Tidak ada kebahagiaan bagi seseorang kecuali dengan ilmu, dan berlaku ma'rifat. Juga, sebagian kebahagiaan itu lebih mulia dari sebagian yang lain. Sebagaimana tidaklah seseorang disebut kaya selain dengan kepemilikan atas harta dalam jumlah yang melebihi pihak kebanyakan. Maka, pemilik dirham adalah seorang yang kaya. Dan, pemilik simpanan-simpanan dalam kapasitas rang melimpah itu adalah orang kaya. Berlebih atau berkurangnya derajat orang-orang yang bahagia itu sesuai dengan berlebih dan berkurangnya ma'rifat yang mereka lakukan, juga bertalian erat dengan keimanan mereka. Sebagaimana derajat yang dipunyai oleh orang-orang kaya itu berlebih atau berkurang menurut sedikit serta banyaknya harta yang ada pada sisi mereka. Dengan demikian, ma'rifat-ma'rifat adalah cahaya. Dan, orang-orang mu'min tidak dapat berusaha menjumpai Allah Swt. kecuali dengan cahaya yang tersedia pada sisi mereka. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman,
"Cahaya mereka bersinar di hadapan, dan di sebelah kanan mereka," (QS al-Hadid [57]: 12).
Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits,
إن بعضهم يعطى نورا مثل الجبل وبعضهم أصغر حتى يكون أخرهم رجلا يعطى نورا على إبهام قدميه فيضيىء مرة وينطفىء أخرى فإذا أضاء قدم قدميه فمشى وإذا طفىء قام، ومرورهم على الصراط على قدر نورهم فمنهم من يمر كطرف العين ومنهم من يمر كالبرق ومنهم يمر كالسحاب ومنهم من يمر كانقطاض الكواكب ومنهم من يمر كالفرس إذا اشتد في ميدانه، والذي أعطى نورا على إبهام قدمه يحبوا حبوا على وجهه ويديه ورجليه يجر يدا ويعلق أخرى ويصيب جوانبه النار فلا يزال كذالك حتى يخلص.
"Sesungguhnya sebagian mereka diberi cahaya seperti bukit, dan sebagian mereka lebih kecil daripadanya. Sehinggapenghabisan mereka adalah seseorangyangdiberikan cahaya atas ibu jari kedua telapak kaki mereka, lalu cahaya itu sekali bersinar, dan pada kali yang lain padam. Apabila cahaya itu bersinar, maka ia memajukan kedua telapak kakinya, lalu berjalan. Dan apabila cahaya itu dipadamkan, maka ia hanya akan berdiri. Dan, berjalannya mereka di atas shirath (jembatan) adalah menurut kadar cahaya mereka masing-masing. Di antara mereka ada yang berjalan seperti lirikan mata, dan di antara mereka ada pula yang berjalan seperti kilatan cahaya. Di antara mereka ada yang berjalan perlahan seperti azuan, dan di antara mereka ada yang berjalan seperti jatuhnya bintang. Di antara mereka ada yang berjalan seperti kuda apabila cepat larinya di lapangan. Juga orang yang diberikan cahaya atas ibu jari kedua telapak kakinya merangkak di atas wajah, kedua tangan, serta kedua kakinya. Ia menarik satu tangan, dan menggantung-kan tangan yang lain. Dan, api mengena: seluruh arah dari tubuhnya, lalu ia senantiasa seperti itu sehingga diselamatkan.”[2]

Dengan ini, maka berlebih atau berkurangnya manusia tentang keimanan menjadi semakin jelas. Jika keimanan Abu Bakar al-Shiddiq as. ditimbang dengan keimanan seluruh penduduk alam semesta, selain para Nabi dan Rasul, niscaya ia masih lebih berat. Dan, ini juga menyerupai ungkapan orang yang mengatakan, "Jika cahaya matahari ditimbang dengan cahaya semua lampu yang ada di permukaan bumi ini, niscaya cahaya matahari masih jauh lebih besar." Maka dari itu, cahaya keimanan masing-masing orang awarr. seperti cahaya pada lilin. Sedangkan cahaya keimanan orang-orang shidd'iq lebih seperti bulan dan bintang. Dan, cahaya keimanan dari para Nabi itu seperti matahari. Sebagaimana tersingkap pada sinar matahari, bentuk semua hrfuk bumi serta lapangnya daerah-daerah di sekitarnya, maka semua itu ~dak dapat tersingkap pada cahaya lampu, kecuali sudut yang sempit dari sebuah ruangan saja. Begitu pula berlebih atau berkurang dari terbukanya dada dengan ma'rifat-ma'rifat, dan juga terbukanya kelapangan alam malakut bagi kalbu orang-orang yang ahli ma'rifat. Oleh karena itu, tersebut dalam sebuah hadis,
أنه يقال يوم القيامة أخرجوا من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان ونصف مثقال وربع وشعيرة وذرة.
"Sesungguhnya akan dikatakan pada Hari Kiamat kelak, 'Keluarkanlah dari neraka cang-orang yang di dalam kalbunya terdapat keimanan seberat molekul, setengah isri berat itu, seperempatnya, dan seberat biji gandum, dan atau jagung.”[3]
Semua itu lebih merupakan peringatan kepada berlebih atau berkurang-nya derajat keimanan. Dan bahwa, kadar-kadar dimaksud dari keimanan idak mencegah masuknya seseorang ke dalam api neraka. Juga, menurut pemahaman hadis tersebut, bahwa orang yang keimanannya melebihi berat rang disebutkan, maka ia tidak akan dimasukkan ke dalam api neraka secara kekal. Karena, jikalau ia dimasukkan, niscaya diperintah mengeluarkannya pertama-tama, dan bahwa orang yang di dalam kalbunya terdapat keimanan sebarat molekul, maka tidak berhak kekal di neraka, walaupun ia telah memasukinya. Rasulullah Saw. pernah bersabda,
ليس شيء خيرا من ألف مثله إلا الإنسان المؤمن.
"Tidak ada sesuatu yang lebih baik daripada seribu yang seumpamanya, kecuali satu manusia yang mukmin."[4]
Semua itu sebagai isyarat kepada keutamaan kalbu orang yang berma'rifat kepada Allah Swt., yang dengannya ia berkeyakinan (berkeimanan kepada Allah Swt.). Maka, kalbunya jauh lebih baik daripada seribu kalbu orang yang awam. Dan, Allah Swt. juga telah berfirman,
"…. kalianlah orang-orang yang memiliki derajat paling tinggi, jika kalian adalah orang-orang yang beriman," (QS Ali 'Imran [3]: 139).
Semua itu menunjukkan keutamaan orang-orang mukmin atas orang muslim. Yang dimaksudkan dengan orang mukmin atas orang-orang muslim yang berma'rifat, bukan yang bertaklid. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman,
  "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat," (QS al-Mujâdilah [58]: 11).
Yang Allah Swt. maksudkan di sini dengan orang-orang yang beriman, adalah orang-orang yang membenarkan tanpa ilmu, dan Dia Swt. membedakan mereka dari orang-orang yang diberi ilmu. Yang demikian itu menunjukkan bahwa sebutan mukmin itu dialamatkan kepada orang-orang yang bertaklid. walaupun pembenarannya tidak dari bashirah (melihat dengan mata kalbu) dan kasyaf (membuka hijab).
Ibnu 'Abbas ra saat menafsirkan firman Allah Swt. pada Al-Mujâdilah [58]: 11, ia mengatakan, "Allah mengangkat orang-orang yang berilmu di atas orang-orang mukmin dengan tujuh ratus derajat. Di antara setiap dua derajat jaraknya seperti antara langit dan bumi." Sebagaimana Rasulullah Saw. pernah bersabda,
أكثر أهل الجنة البله، وعليون لذوي الألباب.
"Kebanyakan penghuni surga adalah orang rata-rata, sedangkan surga 'Illiyyûn hanya tersedia bagi orang-orang yang mau memfungsikan akalnya."[5]
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda,
فضل العالم على العابد كفضلي على أدنى رجل من أصحابي.
"Keutamaan orang yang berilmu atas orang yang ahl iibadah laksana keutamaanku atas strata orang yang paling rendah dari sahabatku."
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب.
"Seperti keutamaan bulanyada malam peperangan Badar atas bintang-bintang yang lain."[6]
Dengan bukti-bukti ini menjadi jelas bagi kita semua, bahwa berlebih atau berkurangnya derajat penghuni surga menurut berlebih dan berkurangnya kalbu mereka, dan juga ma'rifat mereka. Oleh karena itu, hari Kiamat adalah hari yang menakutkan menurut sebagian orang. Karena, mereka yang terhalang dari rahmat Allah Swt. adalah orang-orang yang besar dalam urusan takutnya atas nilai kerugian. Orang yang terhalang dari rahmat Allah itu melihat di atas strata dari derajat-derajat yang tinggi. Maka, pandangan mereka kepada derajat-derajat dimaksud laksana pandangan orang-orang kaya yang memiliki jutaan dirham kepada orang-orang kaya yang memiliki tanah dari Timur sampai ke wilayah Barat. Dan, masing-masing dari keduanya adalah orang kaya, akan tetapi alangkah besar perbedaan di antara keduanya, serta alangkah besarnya tipuan atas orang yang merugi keuntungannya dari yang demikian itu. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman,
"Sesungguhnya negeri akhirat itu mempunyai derajat yang paling tinggi, dan keutamaan yang paling besar," (QS al-Isra' [17]: 21).

5.      Penutup
Mungkin inilah yang dapat disampaikan oleh penulis dalam tulisan ini, mudah-mudahan sekelumit tulisan ini bisa bermanfaat, guna menambah wawasan kita tentang keilmuan, demi terwujudnya kontinuitas pendidikan Islam. Di samping itu, diharapkan dari tulisan ini kita mampu memposisikan diri kita untuk lebih mempergunakan panca indera, akal dan kalbu kita. Terutama kalbu sebagai pemimpin bagi anggota tubuh yang lainnya. Sehingga nabi mengatahan “…apabila baik hatinya maka baik pula anggota tubuh yang lainnya dan apabila hatinya jelek maka jelek pula anggota tubuh yang lainnya”.

Referensi:
Ahmad Tafsir, Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 1995.
_______, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Rosdakarya, Bandung, 1994.
Soenarjo R.A.H., dkk. Al-Quran dan Terjemahannya, Depag RI: Jakarta, 1971.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1993.
_______, Alam Pikiran al-Ghazali. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1986.
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan al-Ghazali). Tiara Wacana: Yogyakarta, 1999.
Imam al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn. Dârul Ma’ârif: Beirut, t.t..
_______, Pembebas dari Kesesatan. Tintamas: Jakarta, 1984.
LP2SI Al-Haramain, Jurnal Kajian Islam Ma’rifah Vol. 3. Tahun II  Jakarta, 1997.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1996.
Pius A. Partanto, dkk., Kamus Ilmiah Populer. Arkola, Surabaya, t.t.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1976.
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Bumi Aksara, Jakarta, 1991.


[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadis Abi Hurairah ra. secara lebih ringkas pada permulaan redaksinya, lalu disampaikan dalam bentuk dialog. Diriwayatkan pula oleh Imam al-Hakim dengan resaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya serupa. Lalu Imam al-Hakim menyatakan, bahwa statusnya shahjh atas persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim (al-Syaikhain). Imam al-Baihaqi menambahkan riwayat dimaksud dalam kitab al-Syu'ab dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya serupa. Demikian pula Imam al-Thabrani dalam kitab Mu'jam al-Kabir dari hadis Abi al-Darda' ra., dengan tidak menyertakan tambahan redaksi yang Penulis sampaikan pada penghujung riwa­yat, di mana keduanya (tambahan dimaksud) berstatus lemah (dha'if).
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dan Imam al-JHakim dari hadis Ibnu Mas'ud ra. Imam al-Hakim mengatakan bahwa statusnya shahih_atas persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim (al-Syaikhain).
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun 'Alaih) dari hadis Abi Sa'id al-Khudri ra. dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya serupa.
[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dari hadis Salman al-Farisi ra. dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya serupa. Juga oleh Imam Ahmad dari hadis Ibnu 'Umar ra. dengan redaksi yang juga sedikit berbeda, namun maknanya serupa, dan status keduanya adalah hasan.
[5] Takhrijnya telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, tanpa tambahan redaksi. Di mana, pada tambahan redatm yang ada dalam riwayat ini tidak ditemukan sumber rujukannya.
[6] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari hadis Abi Umamah ra., dan beliau men-shahih-kan statusnya, sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan mengenai llmu. Demikian pula pada penjelasan keduanya. Saya (muhaqqiq) berpendapat, bahwa statusnya shahih, Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Misykât, karya Imam al-Tabrizi, hadits nomor 213 dari hadis Abi Umamah ra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.