flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Rabu, 07 Oktober 2015

PERANAN ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA Sebuah Kajian Hubungan Ormas-ormas Islam dengan Pemerintah Orde Baru

PERANAN ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
Sebuah Kajian Hubungan Ormas-ormas Islam dengan Pemerintah Orde Baru

oleh
Asep Dadan Wildan

Abstraksi
Dalam perkembangan sejarah Indonesia peranan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang berbasis Islam tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena ormas yang berbasis Islam di negara ini dalam perkembangannya sangat memerankan peranan yang sangat penting. Meskipun Pada Masa pemerintahan Orde Baru ormas-ormas yang Berbasis Islam sering kali mengalami saat-saat yang sangat suram, namun peranannya tidak dapat dianggap remeh oleh pemerintahan saat itu. Buktinya meskipun hubungan antara keduanya seringkali bersitegang, namun dalam beberapa program pemerintah pada masa itu tidak dapat berjalan tanpa peranan ormas-ormas Islam ini.

Key word: Peranan, Organisasi Islam dan Indonesia



A.    Pendahuluan      
Ketika berbicara mengenai indonesia, maka di dalamnya akan menjumpai tiga kekuatan besar yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, yaitu kekuatan ekonomi, agama, dan politik. Ketiga kekuatan ini, Jennifer L. Epley (2004: 39) menganalogikan, saling merangkai dalam satu anyaman pada sebuah permadani yang bernama Indonesia.
Ketiga kekuatan tersebut mempunyai keunikan dalam membentuk dinamika pemerintahan di Indonesia. Karena ekonomi, agama dan politik ini terkadang masuk ke dalam ranah yang bukan wilayahnya sehingga kolaborasi antara ketiga kekuatan ini akan mudah dijumpai di negara ini, atau malah sebaliknya pada periode yang lain terjadi konflik antara satu dengan yang lainnya.
Persentuhan antara  kekuatan ekonomi, agama dan politik  ini dapat terlihat ketika dalam beberapa program pemerintah yang seringkali melibatkan organisasi-organisasi agama sebagai alat yang efektif untuk mengsukseskan program-program  pemerintah, dan  dalam beberapa keadaan yang lain organisasi-organisasi agama tersebut berubah menjadi rival negara karena mereka dianggap sebagai ancaman kekuasaan oleh rezim tertentu. Hal ini sangat menarik, karena Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim, dan peranan Islam bukan hanya semata sebagai “agama” saja, melainkan Islam merupakan ajaran yang memberikan perhatian kepada masalah siyasah (politik), mu’ama-lah (ekonomi), dan masalah-masalah kemanusiaan yang lainnya. Sehingga peranan organisasi-organisasi agama –seperti NU dan Muhammadiyah– telah jauh melangkah dari batas-batasnya sebagai organisasi “agama” yang akhirnya masuk ke ranah politik dan ekonomi.
Pada tingkat global menurut Hugh B. Urban (Jones [Ed.], 2005: 7248) sejak awal  pertengahan abad ke 20 agama telah memerankan peran yang sangat penting di mana agama  muncul kembali sebagai suatu yang sangat kuat, seperti munculnya berbagai bentuk nasionalisme religius di seluruh dunia yang memberikan indikasi bahwa agama tidak berarti menjadi kekuatan yang kecil di pinggiran isu politik dan ekonomi global, justru  sebaliknya agama seringkali berada di jantung atau pusat kehidupan mereka. Selanjutnya Hugh B. Urban tidak setuju dengan banyak para sosiolog yang telah meramalkan bahwa agama secara bertahap akan berkurang sebagai kekuatan budaya dalam menghadapi peningkatan rasiona-lisasi dan “kekecewaan” dari dunia modern.
Untuk tingkat Indonesia, fenomena ini sangat menarik karena posisi civil society yang salah satunya organisasi-organisasi keagamaan khususnya organisasi Islam,  jauh lebih berperan sebagai social control, mitra, atau ancaman dibandingkan dengan organisasi-organisasi sekuler lainnya. Tulisan singkat ini berusaha menguraikan peranan civil society dalam hal ini organisasi keislaman hubungannya dengan pemerintah dalam beberapa dekade terakhir.

B.     Civil Society
Perkembangan civil society yang sedemikian pesat terjadi ketika runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, setelah sekitar tiga puluh dua tahun (1966-1998)  memasung hak rakyat Indonesia oleh berbagai macam kebijakan-kebijakan yang banyak merugian rakyat. Bahkan pada masa-masa sulit seperti itu Soeharto memper-ketat dalam pendirian organisasi  masyarakat sipil dengan cara menghambat dalam birokrasi ketika proses pendaftaran, janji setia kepada Pancasila,  atau bahkan dengan peraturan yang membatasi pertemuan yang jangan melebihi tiga orang.
Keadaan seperti ini merupakan kontrol yang ketat karena Soeharto takut adanya implikasi politik yang potensial dari kekuatan organisasi civil society tersebut, yang dikhawa-tirkan dapat menentang pemerintahannya. Ketakutan peme-rintah  ini berakibat pada pelara-ngan penggunaan istilah NGO (Non Government Organization/ Organisasi Non-Pemerintah) di Indonesia, yang digunakan untuk penamaan organisasi masyarakat sipil. Hal ini karena pemerintah takut istilah “non-pemerintah/non-government” dalam istilah NGO berkonotasi dan menunjukkan kepada sikap “anti-pemerintah”. Oleh karenanya dengan beberapa pertimbangan, pada tahun 1983 pemerintah Orde Baru memutuskan bahwa  istilah NGO di Indonesia  menjadi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyara-kat) (Epley, 2004:40).
Sementara itu organisasi keagamaan merupakan organisasi masyarakat sipil dan termasuk kepada kelompok LSM, juga tidak luput dari pengawasan pemerintah.  Pihak pemerintah sangat menga-wasi organisasi keagamaan ini karena mereka dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Orde Baru pada masa itu, sehingga gerak langkah mereka pun dibatasi dengan pengawasan yang sangat ketat oleh peraturan serta undang-undang yang ada.
Namun sebelum kita masuk pada pembahasan ini lebih jauh, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai istilah civil society supaya tidak terjadi kesalahan dalam memahami istilah ini. Mencari padanan kata dari kata civil society memang agak susah karena pengertian “masyarakat sipil” dalam bahasa Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh istilah civil society. Banyak kalangan mengatakan istilah civil society ini lebih tepatnya diartikan dengan istilah masyarakat madani, meskipun sebagian lagi tidak setuju dengan pengertian tersebut. Seperti Muhammad  A S. Hikam (200:90-91) yang tidak setuju dengan istilah masyarakat madani untuk  mengar-tikan civil society dengan alasan bahwa civil society adalah bentuk partisipasi, otonom, hak asasi, dan kewarganegaraan. Ini tidak ada kompromi. Dan ini yang membe-dakan dengan masyarakat madani.
Istilah “masyarakat madani” sebenarnya masih relatif baru, dikutip dari pemikiran Naquib al-Attas seorang ahli falsafah kontem-porer dari Malaysia. Kemudian diakui oleh beberapa pakar di Indonesia termasuk Nurcholish Madjid yang telah melakukan rekonstruksi (pengulangan semula) terhadap masyarakat madani dalam sejarah Islam dalam artikelnya Menuju Masyarakat Madani (Sufyanto, 2001).  Istilah civil dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai civilized, yang bermaksud memiliki peradaban (civilization), dan dalam kamus bahasa Arab, perkataan tamaddun juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. (Kertanegara, 2002).
Dari sudut pandang  sosiologi,  Adam Seligman (1992:5) mengemukakan dua pengertian dalam  istilah civil society. Pertama dalam perlembagaan dan organisasi sebagai model sosiologi politik dan kedua sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai serta keper-cayaan.
Jennifer L. Epley (2004:40) lebih mempersempit istilah civil society hanya kepada kategori pertama dari pengertian Adam B. Seligman di atas, hal ini karena kajian Jennifer lebih ditujukan kepada organisasi-organisasi kea-gamaan di Indonesia. Selanjutnya Jennifer mengutif denisi yang sederhana dari pendapat L. Diamond yang menyatakan  bahwa;Masyarakat sipil adalah wilayah kehidupan sosial yang terorganisir yang bersifat sukarela, dapat berdiri sendiri, (sebagian besar) dapat dukungan sendiri, otonom dari negara, dan terikat oleh tatanan hukum atau seperangkat aturan bersama”.
Namun dalam kenyataannya organisasi keagamaan sebagai bentuk  organisasi civil society sangat berbeda dengan definisi dari L. Diamond di atas. Karena pengelompokkan mereka tidak benar-benar murni “agama”, organisasi keagamaan ini  dapat melibatkan individu, masyarakat, dan negara pada saat yang sama, Overlapping antara wilayah pribadi dan wilayah publik. Seperti program sosial, membantu yang miskin, dan bidang pendidikan seperti pesantren. Itu semua menunjukkan beberapa kasus bahwa kelompok agama melayani kebutuhan publik  dan pada saat itu juga dapat melibatkan negara. Di samping itu organisasi agama  juga terlibat dalam wilayah ekonomi, seperti bank yang beroperasi atas dasar syari’ah, pungutan zakat dan penyalurannya (Epley, 2004:40).
Dalam keadaan ini definisi organisasi civil society diperlukan untuk mengetahui batasan-batasan serta karakter organisasi tersebut  serta hubungannya dengan negara. Untuk kepentingan ini Jennifer mengelompokkan organisasi civil society ini  menjadi dua cara. Cara Pertama, seperti yang di ungkapkan oleh Paul McCarthy yang mengkategorikan civil society ke dalam empat kelompok: organisasi non pemerintah, masyarakat akademik, jaringan keagamaan, dan gerakan buruh. Sementara cara Kedua seperti yang diungkapkan oleh  L. Diamond yang memberikan pendekatan alternatif untuk organisasi civil society. Diamond menyatakan bahwa organisasi civil society terdiri dari asosiasi ekonomi; kelompok budaya yang mempro-mosikan hak-hak kolektif, nilai, agama dan kepercayaan, kelompok informasi dan pendidikan; kelom-pok yang berkepentingan  yang dirancang untuk memajukan kepentingan bersama dari anggota-anggotanya; organisasi pengem-bangan; gerakan yang berorientasi pada permasalahan; kelompok sipil yang dirancang untuk mening-katkan cara yang non-partisan dalam sistem politik; organisasi dan institusi yang mempromosikan kegiatan mandiri, budaya, dan intelektual. Kedua pendekatan yang menjelaskan pengertian civil society yang cukup luas tersebut, bisa untuk mengakomodir bentuk organisasi civil society  untuk kasus organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia (Epley, 2004:40).
Civil society di negara ini tidak selalu formal, melainkan bisa saja  informal atau tanpa ada batasan. Seperti organisasi  agama yang dapat dengan mudah mengaburkan batas-batas dari kategori Diamond dan McCarthy, karena bisa masuk ke dalam persoalan-persoalan negara seperti program pemerintah, partai politik, pembangunan ekonomi dan sosial. Contohnya termasuk organisasi keagamaan dan tokoh masyarakat yang menyeimbangkan antara peranan agama, politik, dan ekonomi.  Mantan Presiden Indone-sia Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gusdur adalah salah satu contoh dari point terakhir (Epley, 2004:40).

C.    Organisasi Keagamaan
Keberagaman agama di Indonesia menunjukkan bahwa negara ini sangat menghargai perbedaan.  Meskipun  Agama Islam mayoritas di negara ini tetapi Indonesia tidak mengamalkan bentuk homogen keagamaan. Setiap kelompok keagamaan ini  memiliki peranannya masing-masing dalam wilayah publik dan politik tergantung pengaruh serta dukungan budaya dan daerahnya.
Dalam perkembangannya, dari sekian banyak kelompok keagamaan yang ada di Indonesia, hanya kelompok Islam yang memiliki pengaruh dan peranan sangat signifikan dalam hubungannya dengan pemerin-tahan. Dan kelompok ini pula yang sering menjadi sasaran  di banding kelompok-kelompok lain pada masa Orde Baru. Dinamika seperti ini karena kelompok Islam – dalam arti kelompok yang berbasis agama - ini mempunyai “double function”, di satu sisi kelompok muslim bisa menjadi alat apologi dan legitimasi pemerintahan saat itu, dan pada sisi yang lain sebagai alat yang efektif  untuk memprotes, alat untuk perubahan, dan pembebasan (Billings and Scott, 1994: 173).
Artinya pada saat pemerintah memposisikan kelompok Islam ini sebagai legitimasi atau apologi terhadap kebijakannya, maka kelompok ini akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pemerintah (rekonsiliasi). Sebalik-nya ketika kelompok muslim ini diposisikan sebagai kelompok yang menginginkan perubahan dan pembebasan, maka kelompok Islam ini akan menjadi rival bagi status quo dan cenderung akan menjadi ancaman bagi penguasa, sehingga kelompok muslim ini akan menjadi kelompok yang termarginalkan  dari wilayah politik dan ekonomi, seperti yang akan di jelaskan pada penjelasan mengenai hubungan antara civil society dengan negara dalam uraian di bawah.
Selanjutnya perbedaan cara pandang dikalangan kelompok Islam  menjadikan kelompok ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok modernis dan kelompok tradisionalis. Muham-madiyah dan NU merupakan dua organisasi besar yang merepresen-tasikan kedua kelompok cara pandang tersebut. Keterlibatan kedua organisasi ini dalam bidang sosial, pendidikan, budaya dan manuver politik menunjukkan bahwa keduanya memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam wilayah publik dan politik.
Keterlibatan organisasi-organisasi ini ke dalam wilayah politik,  yang pada waktu itu bergabung dengan Masyumi,   menurut Jennifer L. Epley (2004:43),  terutamanya karena perbedaan pendapat mengenai ideologi negara, konstitusi, dan kebijakan publik. Hubungan kelompok muslim dengan negara pada periode ini ditandai dengan perselisihan dan konflik.  Akar dari konflik timbul karena pimpinan Angkatan Darat pada tahun 1960 dan tahun 1970 keberatan masuknya  ideologis politik Islam ke konstitusi negara yang salah satunya Piagam Jakarta,  yang mengharuskan semua umat Islam Indonesia untuk mematuhi hukum Islam. Di samping itu  Orde Baru mencurigai Masyumi sebagai pendukung Darul Islam dalam pemberontakan untuk mendirikan negara Islam di Jawa Barat dan pemberontakan di Sumatera.
Pada mulanya umat Islam  sangat banyak berharap kepada Soeharto, karena umat Islam memandang Soeharto sebagai orang yang tidak anti terhadap Partai Islam dibandingkan pemimpin militer yang lainnya. Beliau sangat bersimpati ketika umat Islam hendak mendirikan partainya sendiri yaitu PARMUSI (Partai Muslim Indonesia) pada tahun 1968. Namun melalui kepemimpinannya sendiri Soeharto melemahkan peranan PARMUSI dengan berbagai kecurangan.
Pada tahun 1973, kelompok Muslim NU, Perti, Parmusi, dan PSII bergabung untuk membentuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  Untuk sementara PPP berhasil bernegosiasi menentang kecende-rungan antara wilayah modernis dan tradisionalis. Garis perjuangan kemudian ditarik antara Muslimin Indonesia (MI, bekas Parmusi dengan nama baru) dan faksi NU. Ketegangan dan perselisihan ini nampaknya telah menjadi bagian dari strategi yang disengaja oleh Soeharto untuk menumbuhkan konflik dalam partai-partai untuk memecah-belah mereka, sementara pada saat yang sama Soeharto berusaha untuk memini-malkan konflik antara Golkar dan partai politik lainnya. Soeharto berusaha untuk melemahkan kapasitas organisasi-organisasi Islam untuk bebas berpolitik praktis melalui intervensi Negara melalui manipulasi pemilu, intimidasi, dan pemaksaan. Hal ini dilakukan oleh rezim Orde Baru pada waktu itu  karena keprihatinan atas meningkatnya suara PPP, dan khususnya NU yang pada waktu itu menentang Soeharto melalui walkouts dari Majelis Permusya-waratan Rakyat dan mundur untuk mendukung Soeharto pada masa jabatan presiden yang ketiga kalinya. Tantangan NU tersebut meyakinkan Soeharto untuk lebih mengintervensi dan mendorong NU ke margin politik (Epley, 2004: 44).
Pada periode ini organisai Islam menjadi organisasi yang ditakutkan oleh pemerintah karena periode ini ormas Islam  menjadikan Islam sebagai  ideologi untuk perubahan dan pembebasan sehingga mereka dianggap sebagai kelompok yang akan mengancam oleh pemerin-tahaan pada saat itu. Dengan demikian organisasi Islam dan negara memiliki hubungan yang lebih lama dan lebih dalam di banding dengan organisasi sekuler, meskipun dalam tataran konflik. Poin penting dari keadaan ini  adalah bahwa Soeharto pada saat itu takut kepada tantangan politik yang akan menggeser kekuasa-annya.  
Namun keadaan sebaliknya terjadi kurang lebih sejak tahun 1990, di mana pemerintah pada masa ini mengakomodir kepen-tingan-kepentingan umat Islam, yaitu dengan penubuhan ICMI, pengha-pusan SDSB, SKB Mendagri dan Menag tentang pengumpulan Zakat, pendirian Bank Muamalat, penayangan Bahasa Arab di TVRI, Festifal Istiqlal, Bayt al-Qur’an, dan sebagainya (Erlangga [Ed.], 1998:187). Juga kita melihat suatu kesadaran dan keputusan sebagian organisasi muslim untuk masuk ke arena politik dan mempertahankan peran gandanya sebagai agamawan sekaligus sebagai aktor politik, tidak seperti organisasi-organisasi sekuler lainnya yang masih menghindari politik (Epley, 2004: 25).
Kelompok-kelompok sekuler  ini mungkin tidak memiliki jumlah yang banyak atau sumber daya yang dapat digunakan oleh aparatur negara secara langsung, atau kepentingan mereka sekedar untuk  bisnis mereka sendiri. Sehingga kelompok-kelompok sosial seperti LSM nampaknya tidak mempunyai  hubungan yang mendalam dengan negara. Selain itu, kelompok agama lain pun seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha mungkin tidak memiliki pengalaman sejajar dengan organisasi-organisasi Islam sejak kelompok-kelompok ini ada, hal ini karena mereka  merupakan penduduk minoritas dan perhatian atau pengalamannya sama dengan LSM sekuler lainnya (Epley, 2004: 25).
Hal ini menurut Hugh B. Urban (Jones [Ed.], 2005:7249) karena potensi yang dimiliki organisasi Islam sangat besar sebagai kekuatan yang dapat mengefektifkan pemerintahan atau sebaliknya dapat mengancam kekuasaan. Namun Jennifer L Epley (2004: 25) melihat bahwa sering kali organisasi keagamaan ini dalam perjalanannya terhambat karena ketergantungan mereka kepada pemerintah.
D.    Hubungan Negara dengan Civil Society di Indonesia
Meskipun hubungan civil society mengalami masa-masa tegang dengan pemerintah Orde Baru, namun pada dasarnya pembangunan di Indonesia tidak dapat terlaksana tanpa melibatkan civil society, sebab bagaimanapun juga pemerintah memerlukan masukan dan layanan dari civil society untuk program pembangu-nan, juga disamping itu untuk menjaga dan menyeimbangkan kebutuhan kerjasama dengan oposisi yang salah satunya dengan civil society seperti organisasi keagamaan.
Program pembangunan ekono-mi di Indonesia pada dasarnnya menitik beratkan untuk terciptanya beberapa point di bawah ini:
1.      Menjaga stabilitas makro ekonomi.
2.      Menyediakan infrastruktur fisik, terutama yang memiliki biaya yang tinggi, seperti pelabuhan, kereta api, saluran irigasi, dan saluran-saluran air lainnya.
3.      Penyediaan kebutuhan publik, termasuk pertahanan dan keamanan nasional, pendidikan, penelitian dasar, informasi pasar, sistem hukum, dan perlindungan lingkungan.
4.      Memberikan kontribusi pada pengembangan lembaga untuk meningkatkan pasar tenaga kerja, keuangan, teknologi, dan lain-lain.
5.      Mengimbangi atau menghilang-kan distorsi harga yang muncul dalam kasus-kasus yang dibukti-kan dengan kegagalan pasar
6.      Mendistribusikan kembali penda-patan kepada penduduk termiskin dengan langkah-langkah yang cukup bagi mereka untuk meme-nuhi kebutuhan dasar (Epley, 2004:46). Simak Baca secara fonetik
Di masa lalu, Soeharto menguasai banyak program pembangunan ekonomi di dalam negeri, serta pengembangan dalam bidang sosial dan politik. Meskipun civil society berperan sebagai bagian pembangunan ekonomi dan sosial, mereka biasanya diturunkan ke sektor-sektor tertentu dan terbatas dalam apa yang mereka benar-benar bisa dicapai. Sementara civil society berusaha untuk membantu dan meningkatkan poin 3 dan 6 di atas, kemajuan mereka bervariasi dari waktu ke waktu. Sejak akhir pemerintahan Soeharto, keadaan telah berubah menjadi lebih baik (terutama tentang kebebasan, otonomi, dan lembaga baik dalam bidang ekonomi maupun politik), tetapi hubungan antara civil society dan negara belum sepenuhnya dijelas-kan. Hubungan civil society-negara masih tetap membingungkan dan sering buram. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, beberapa kelompok civil society memiliki hubungan dekat dan yang lebih dalam dengan negara dari yang lain, terutama ketika kita melihat fungsi ekonomi pemerintah, khususnya pada point 3 dan 6, tetapi hubungan tidak selalu positif. Mereka mungkin saling berten-tangan, namun secara umum, nampaknya seperti saling ketergan-tungan sampai saat ini. Ketergan-tungan ini perwujudan dirinya karena negara dan organisasi keagamaan bergantung satu sama lain dalam beberapa tahap  dari kekuatan sosial, politik, dan legitimasi.

E.   Organisasi Keagamaan dan Masalah Pembangunan
Evolusi hubungan antara negara dengan civil society khususnya organisasi-organisasi Islam mengalami pasang surut, tergantung dinamika yang berkembang pada waktu itu. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa kondisi umat Islam pada  periode awal pemerintahan soeharto yaitu tahun 1970-1990 merupakan masa marjinalisasi kelompok Islam. Apapun dilakukan oleh Islam-ophobia untuk memojokkan Islam. Melalui politik resmi, dalam sidang-sidang DPR/MPR (RUU Perkawinan 1973, masalah perjudian, masuknya aliran kepercayaan  dalam GBHN 1978), melalui rekayasa sosial politik (masuknya “tarekat” tertentu seperti Darul Hadits dan LDII dalam Golkar; larangan berjilbab di sekolah; pembatasan dakwah), dan melalui politik keamanan (Komando Jihad, DI/TII/NII, peristiwa Tanjung Priok 1984) (Erlangga (ed.), 1998:187).
Akibat hubungan yang tidak harmonis, pada periode ini pembangunan negara dan masya-rakat menjadi terhambat bagi pengembangan civil society yang otonom, yang merupakan prasyarat untuk sebuah pemerintahan yang asli demokratis (Epley, 2004: 45). Dan bukan saja kepada civil society, Soeharto pada periode ini mengawasi dan menjadikan rakyat indonesia tidak berdaya sehingga mengakibatkan ketertingalan dalam pembangunan.
Namun pada akhir kekuasa-annya, pemerintah Orde Baru mengakui bahwa pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan masukan dan peran serta civil society terutama organisasi-organisasi Islam. Meskipun organisasi-organsiasi tersebut mungkin telah dianggap terbela-kang dan tidak mempunyai kekuatan. Akan tetapi negara tidak bisa selalu melakukan semuanya,  yang  diharapkan dengan keter-libatan organisasi ini bisa mengefektifkan beberapa program negara dalam bidang pembangunan ekonomi, sosial dan politik.
Masa rekonsiliasi pada periode ini (tahun 1990 sampai berakhirnya Orde Baru) tidak sepenuhnya mesra meskipun adanya keterlibatan organisasi-organisasi keagamaan dalam beberapa program pemba-ngunan. Hubungan seperti ini di satu sisi pemerintah memerlukan organisasi-organisasi keagamaan, demikian pula sebaliknya. Namun di  sisi lain acapkali terjadi konflik antara keduanya. Pola hubungan seperti ini, meminjam istilah  Hugh B. Urban (Jones [Ed.], 2005:7254),  merupakan bentuk hubungan Religious and political as separate (but interdependent or rival) forces, yaitu menggambarkan bagaimana organisasi keagamaan dan pemerintah saling berhubu-ngan, kerja sama dan saling memerlukan, namun di sisi lain melahirkan ketegangan atau persaingan antara keduanya.
Pada tahapan ini negara mengakui kekuatan yang dimiliki oleh organisiasi-organisasi Islam, sehingga tidak ada cara lain negara harus mengakomodir mereka. Umat Islam adalah massa yang besar, mempunyai tradisi panjang, dan telah masuk  ke semua sektor kehidupan tanpa ada batasan kelas sosial, sehingga jika negara mengakomodir mereka maka akan cepat terserap ke semua sektor kehidupan. Kuntowijoyo (Erlangga [ed.],1998:188) mengatakan pada tahapan ini terjadi proses “Golkarisasi umat”  dan “Islamisasi Golkar”, atau menurut istilah Zainudin Maliki (Maliki, 2004: 183) sebagai proses “priyayisasi santri” dan “santrinisasi priyayi”.  Keadaan ini, selanjutnya menurut  Kunto-wijoyo, bukan karena proses politik semata melainkan karena konsek-wensi logis dari pertum-buhan demografi, sementara di beberapa daerah menurut Zainuddin Maliki karena faktor legitimasi, dimana agama meru-pakan legitimasi yang paling efektif dalam melanggengkan kekuasaan.
Peranan organisasi keagamaan khususnya organisasi Islam dalam masalah pembangunan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan subtansi Islam itu sendiri. Di mana prinsip dasar  Islam mengenai hubungan sosial ini  pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan ajarannya itu sendiri, karena kehidupan dalam pandangan Islam bukan semata profan melainkan terdapat sisi transendental yang kuat, yang keduanya telah di bangun secara inherent. Berbeda dengan kehidupan di Barat yang warna rasionalitasnya lebih kental dalam memperlakukan kehidupan sosial, budaya dan negara. Sehingga nilai-nilai profanitas negara dan masyarakat telah terlepas dari unsur-unsur transendennya (Efendi, 2000: 70).
Sehingga dalam persoalan pembangunan di Indonesia negara sering menggunakan organisasi-organisasi Islam untuk mensukses-kan  programnya. Secara formal organisasi, hal ini terjadi  karena dua faktor, yang pertama karena organisasi-organisasi agama mem-punyai perhatian yang sangat besar  kepada masalah ekonomi, sosial dan politik. Faktor kedua, agama –dalam hal ini tokoh agama dari organisasi keagamaan– merupakan alat legiti-masi yang paling efektif, karena tokoh agama  dianggap sebagai pemegang otoritas doktrin agama (Epley, 2004:47).
Beberapa persoalan pembangu-nan yang melibatkan organisasi keagamaan seperti yang diamati oleh Jennifer adalah seperti pelaksanaan Program KB (Keluarga Berencana). Peran agama dalam kehidupan masya-rakat Indonesia sangat kuat, terutama mengenai keluarga. Pemerintah Indonesia telah ber-usaha secara maksimal dengan program keluarga berencana ini. Namun upaya negara dalam mengendalikan pertumbuhan pen-duduk dan meningkatkan kesehatan keluarga masih memiliki hasil yang beragam. Slogan yang sangat populer seperti perkataan "Dua anak cukup", tidak dapat menyelesaikan masalah keluarga berencana.
Seperti kegagalan program KB ini di awal tahun 1970 adalah akibat tidak adanya perubahan kebijakan dalam pelaksanaan program tersebut, dimana pende-katan melalui negara saja tidak efektif untuk meng-goal-kan program tersebut. Sebab di luar sana tokoh-tokoh agama bersuara nyaring menyerukan bahwa “KB itu adalah haram dan bertentangan dengan syari’at”.
Melihat pengalaman dari kegagalan sebelumnya, sehingga  pada awal 1980-an, Menteri muda Negara Kependudukan dan Keluarga Berencana Haryono Soeyono dan Menteri yang lainnya  meneliti dan menyimpulkan bahwa para pembuat kebijakan telah mengabaikan peran tokoh organi-sasi agama dalam pengambilan setiap kebijakannya, karena masyarakat lebih mendengar dan mentaati petuah setiap tokoh dari organisasi keagaamaan ketimbang pemerintah. Yang akhirnya peme-rintah dengan melibatkan para pemimpin organisasi Islam duduk bersama dalam serangkaian perte-muan, diskusi dan lokakarya yang intensif tentang manfaat Keluarga Berencana ini.  Selanjutnya pada waktu itu   Departemen Agama  membentuk  koalisi dengan organisasi-organisai keagamaan dengan tujuan melibatkan partisi-pasi  pemimpin dari organisasi-organisasi Islam baik di tingkat lokal maupun nasional dalam mengsukseskan pembangunan nasional Program KB ini (Epley, 2004:47).
Dalam bidang pendidikan, peranan organisasi-organisasi Islam memerankan posisi yang sangat penting seperti dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populis dengan pihak Islam seperti pada pelarangan mengenakan jilbab di lingkungan sekolah. Kebijakan yang kontroversial ini muncul pada pertengahan 1980-an, dan beberapa kelompok Muslim memprotes dan membawa kasus mereka ke pengadilan. Beberapa telah berhasil dalam sistem peradilan di daerah, tetapi memakan waktu beberapa tahun sebelum pemerintah menye-tujui kepentingan Muslim. Akhirnya  Jilbab disahkan sebagai seragam alternatif untuk anak sekolah Muslim di tahun 1991.
Kebijakan pendidikan yang lain adalah pada tahun 1995, tentang rencana  untuk lima hari sekolah dalam seminggu untuk menggantikan kebijakan sebelum-nya enam hari. Menteri Pendidikan pada saat itu, Wardiman Djojo-negoro, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan "untuk mengembangkan lima hari sekolah yang efisien dan efektif dalam seminggu dan membiarkan anak-anak sekolah untuk memiliki liburan mingguan yang cukup dan disiplin dalam penggunaan waktu mereka. Tiga kelompok organisasi Islam yaitu  FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah), Muhammadiyah, dan NU segera mengkritik usulan tersebut dan menuntut pembatalan atas kebijakan tersebut.          Salah satu perhatian utamanya adalah bahwa jam sekolah akan membatasi kesempatan anak-anak Muslim untuk menghadiri sekolah-sekolah agama sore hari yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi Muslim di seluruh Indonesia. Setelah kontroversi meluas, perwakilan pemerintah berusaha meyakinkan para pemimpin bahwa kebijakan sekolah lima hari tidak akan mengganggu kegiatan ke Islaman. Namun pada akhirnya pemerintah menyadari bahwa mereka tidak bisa memaksakan masalah ini, dan rencana kebijakan itu dibatalkan (Epley, 2004:50).
Contoh-contoh ini menunjuk-kan bagaimana Organisasi-organisasi Islam mempunyai peranan dan hubungan yang sangat dalam dengan pemerintahan di banding dengan organisasi-organsasi sekuler atau agama lainnya. Dan gambaran di atas menurut Jennifer, menjelaskan bagaimana organisasi-organisasi Islam  memainkan peranan sebagai civil society kaitannya dengan negara melalui  lima jenis perannya: representasi, partisipasi, pendidikan, agenda pembangunan, dan monitoring program.

F.     Simpulan
Dari uraian di atas penulis melihat bahwa ormas-ormas yang berbasis Islam merupakan potensi yang sangat penting dalam memberikan kontribusinya untuk kemajuan bangsa ini. Namun di sisi lain kemandirian ormas Islam menjadi tantangan tersendiri agar imparsialitas ormas ini dapat terjaga, yang kemudian dalam peranannya ormas-ormas yang berbasis Islam tidak mempunyai beban  kepada pihak manapun sehingga objektifitas sebagai organisai Islam yang mempunyai misi rahmatan lil’alamin dapat terwujud.

G.    Daftar Pustaka
Adam B. Seligman (1992), The Idea Of Civil Society, Princenton University Press, New Jersy.
Bahtiar Efendi (2000), Repolitisasi Islam, Mizan, Bandung.
Dwight B. Billings and Shaunna L. Scott (1994), Religion and Political Legitimation, Annual Review of Sociology, Vol, 20.
Erlangga et.all (1998),  Indonesia di Simpang Jalan, Mizan-Bandung.
Jennifer L. Epley (2004), Development Issues And The Role Of Religious Organizations In Indonesia, Studies on Asia, Series II, Vol. 1, Num. 1.
Lindsay Jones (Ed.) (2005),  The Encyclopedia of Religion,  2nd Edition,  Thomson Corporation-USA
Mohandas Gandhi (1940), Autobiography or the Story of My Experiments with Truth, Ahmadabad, India.
Muhammad A.S. Hikam (2000), Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, Erlangga, Jakarta.
Mulyadhi Kertanegara (2002), Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya Islam, media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan, edisi 1 TH-xii.
Sufyanto (2001) , Masyarakat Tamaddun: Kritik hermeneutis Masyarakat madani Nurcholish Madjid, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Zainuddin Maliki (2004), Agama Priyayi, Pustaka Marwa, Yogyakarta, hal: 183.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.