flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Rabu, 07 Oktober 2015

MEMBANGUN MODEL BUDAYA SEKOLAH UNGGUL YANG ISLAMI

MEMBANGUN MODEL BUDAYA SEKOLAH UNGGUL YANG ISLAMI

Oleh
Saeful Millah

Abstrak
Di tengah pengaruh masyarakat yang kian menglobal dan sarat perubahan, tingginya harapan masyarakat akan kehadiran sekolah unggulan yang diorientasikan pada pembentukan karakter, tidaklah diragukan. Model sekolah unggulan yang diintegrasikan dengan pembentukan nilai-nilai keislaman – sebutlah model sekolah unggul yang Islami –, adalah salah satu alternatifnya. Dengan menelusuri berbagai sumber kepustakaan yang relavan, model sekolah unggulan Islami yang dimaksud dalam makalah ini tidak lebih dari model sekolah yang dalam pengelolaannya senantiasa dijalankan berdasarkan dan bermuara pada dua nilai budaya yang satu sama lain saling berpengaruh dan melengkapi, bahkan saling memperkuat, yaitu nilai budaya sekolah unggul dan nilai-nilai keislaman. Terkandung makna penting dalam model sekolah ini adalah sekolah yang mampu melahirkan lulusan yang bermutu karena didukung oleh input dan proses yang bermutu pula.
Kata kunci: budaya sekolah, budaya sekolah unggul, budaya sekolah Islami, budaya sekolah unggul yang Islami.


A.    Pendahuluan
Di tengah kehidupan masya-rakat pada era global yang antara lain ditandai dengan derasnya arus informasi dan perubahan, kini ada kecenderungan dari masyarakat kita, khususnya dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas, untuk mencari dan menitipkan pendidikan anaknya tidak  kepada lembaga pendidikan yang hanya memiliki keunggulan di bidang akademik, tetapi juga unggul dalam hal pembentukan akhlak, moral dan karakter anak.
Kecenderungan di atas muncul bukan saja sebagai reaksi ketidak-puasan masyarakat terhadap rendah-nya mutu akademik dari sekolah-sekolah yang ada pada umumnya, tetapi sekaligus juga sebagai bentuk gugatan mereka terhadap keringnya moralitas dari sistem penyeleng-garaan pendidikan yang ada selama ini.
Benar, selama ini pun tidak sedikit sekolah unggulan umum, baik pemerintah maupun swasta, telah berhasil dibangun untuk menjawab tuntutan masyarakat. Namun sulit untuk dibantah bahwa selama ini pun muncul kecende-rungan masyarakat yang melihat arti pentingnya lembaga pendidikan dasar tidak semata dari kemam-puannya untuk membangun kecer-dasan intelektualnya, tetapi juga dari kemampuan untuk membangun kecerdasan moralnya, sebut pula kemampuan akhlak peserta didik-nya.
Dalam konteks itulah, maka upaya untuk membangun dan mengembangkan model sekolah yang Islami untuk jenjang pendi-dikan dasar dan menengah menjadi sangat relavan. Sebuah model, kata Elias MA (1979), tidak lebih dari sebuah representasi atau pencer-minan, yang nyata atau yang sekadar direncanakan – a model is a representation. It is a real or a planed system. Diungkapkan juga oleh Murdik dan Ross (1982), model adalah sebuah abstraksi dari realitas.
Dengan demikian, pengem-bangan model budaya dalam makalah ini merujuk kepada upaya untuk membangun dan mengem-bangkan nilai-nilai budaya ke dalam sekolah dengan tujuan bisa mengubah perilaku organisasi sekolah menuju keunggulan yang diidamkan, keunggulan yang Islami. 

B.     Budaya Sekolah; Tinjauan Teoritis
Benar apa yang dikatakan Barton M. Schwartz (1968) bahwa perilaku manusia itu adalah tindakan budaya - human behavior is cultural behavior. Artinya, perilaku sese-orang itu tidak bisa dipahami dan dilepaskan dari budaya dimana ia hidup.  Itu sebabnya, Kotter & Heskett (1997) mendefinisikan budaya sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia.   
Menurut Koentjaraningrat (1984), paling tidak ada tujuh unsur universal yang ada dalam konsep yang disebut dengan budaya, meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengeta-huan, bahasa, kesenian, system mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi serta peralatan.
Ketujuh unsur budaya itu bisa diidentifikasi dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) kebudayaan sebagai sebuah kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, norma, peraturan dan sejenisnya (2) kebuda-yaan sebagai sebuah komplek aktivitas kelakuan yang merujuk kepada perilaku yang berpola dari manusia atau masyarakat, serta kebudayaan sebagai (3) kebudayaan dalam wujud benda-benda fisik karya manusia yang merupakan keseluruhan hasil dari aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ide kebudayaan yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Lokasinya berada dalam pikiran dari warga masyarakat tempat kebudayaan yang bersang-kutan hidup. Wujud kebudayaan ini juga sering disebut dengan tata kelakukan karena berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakukan dan perbuatan manusia.
Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial, yang merujuk kepada perilaku yang berpola dari manusia. Sistem sosial itu berupa aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubu-ngan serta bergaul dari waktu ke waktu. Sementara wujud ketiga dari kebu-dayaan disebut dengan kebuda-yaan fisik, yaitu keseluruhan hasil dari aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat yang sifatnya kongkrit berupa benda-benda.
Dalam konteks organisasi, ketiga wujud budaya di atas sering disebut dengan budaya organisasi - organizational culture. Karenanya, dalam konteks perusahaan sering disebut dengan istilah budaya perusahaan - corporate culture, dan pada lembaga pendidikan atau sekolah sering disebut dengan budaya sekolah - school culture.
Banyak definisi telah diangkat oleh para pakar mengenai budaya otganisasi ini. Intinya, budaya organisasi – sebut pula budaya sekolah – tidak lebih dari system nilai bersama (shared values) yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah organisasi (sekolah), yang dijadikan acuan seluruh anggota sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.  Menurut Soehardi Sigit (2003), kebersamaan pengertian atau common under-standing, sebut pula shared meaning, anggota organisasi untuk berperilaku sama, baik di luar maupun di dalam organisasi, adalah inti dari yang disebut dengan budaya organisasi.
Dari definisi itu saja bisa ditangkap bahwa esensi dari budaya sekolah tidak lebih dari perpaduan nilai-nilai, keyakinan, persepsi, asumsi, pemahaman dan ekspektasi-ekspektasi yang diyakini oleh seluruh anggota organisasi atau komunitas sekolah, dan dijadikan pedoman oleh mereka dalam menjalankan tugas dan memecahkan setiap masalah yang dihadapinya.
Keberadaan budaya organisasi dalam sekolah, sebagaimana juga terjadi pada lembaga-lembaga atau organisasi lainnya, sangat terkait dengan banyak dimensi yang lainnya. Diantara yang paling penting adalah meliputi milliu atau lingkungan fisik maupun non fisik, struktur organisasi, yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut dengan iklim sekolah (school climate).

Dijelaskan bahwa iklim sekolah seperti apa yang diinginkan, akan ditentukan oleh banyak faktor yang satu sama lain hadir saling mempe-ngaruhi dan menentukan dalam sebuah bangunan sistem, mulai dari faktor budaya berupa nilai, norma, sistem keyakinan dan sejenisnya, faktor ekologi berupa lingkungan fisik seperti bangunan, desain bangunan, termasuk teknologi, faktor lingkungan non-fisik seperti karakter individu, motivasi dan kepuasan kerja, sampai faktor organisassi sekolah itu sendiri, termasuk strukturnya.

C.    Nilai-nilai Budaya Sekolah Unggul
Nilai, yang dalam bahasa Robbins disebut dengan keyakinan, atau yang dalam bahasa  Allport (1961) disebut sebagai kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam tindakannya – a belief upon which a man acts by preference. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa sekolah yang berprestasi, sebut pula sekolah unggul, memiliki landasan nilai-nilai yang dijadikan landasan baik dalam perumusan kebijakan konsepsional, maupu pedoman segala perilaku wara sekolah.
Penulis buku Reforming School (2001) Kimberly Kinsler and Mae Gamble, menyebutkan bahwa dari banyak penelitian, upaya untuk bisa mereformasi sekolah dalam rangka membangun sekolah yang efektif (effective school), sebut pula sekolah unggulan, paling tidak selalu melibatkan dua faktor yang sangat krusial, yakni yang berkaitan dengan budaya sekolah dan instruksi pedagogis – pedagogic instructional. Razik dan Swanson, dikutip Rahmat Haryadi (2002) misalnya, menyebut-kan beberapa nilai yang mestinya dijadikan landasan dalam pengam-bilan kebijakan pendidikan antara lain: equality, efisiensi dan liberty. Sedangkan Marshall, Mitchel dan Wirt (1989) menyebutkan: quality, equity, efficiency, dan chice (liberty or freedom).
Berbagai nilai di atas, apabila diringkas akan memunculkan empat macam nilai utama, yaitu : cutomer service, exelence, inovatian dan integrity. Miflen dan Miflen (1986) secara khusus mengidentifikasi nilai-nilai yang terkait pada persekolahan dan prestasi yang dicapainya.  
Pertama, prestasi dan persa-ingan. Prestasi dapat dipandang sebagai nilai terminal (tujuan) dan dapat pula dianggap sebagai nilai instrumental (sarana untuk mencapai tujuan). Yang pasti, prestasi di sekolah tidak dapat dilepaskan dari persaingan atau kompetisi. Kompe-tisi merupakan nilai alamiah yang ada diantara siswa, guru maupun antar sekolah.
Kedua, kreativitas dan konfor-mitas. Krativitas siswa adalah suatu yang harus dikembangkan oleh guru secara positif. Meskipun pada tataran tertentu kreativitas seorang siswa dapat merepotkan guru. Demikian pula sebaliknya dengan konformitas, yang terkait dengan aturan, kedisiplinan, kepatuhan, ketergantungan dan sebagainya.

D.    Nilai-nilai Keislaman
Pandangan hidup yang mendasari seluruh pendidikan Islam ialah pandangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal bersumber dari al-Qur’an dan As-sunnah sebagai panduannya. Tujuan pendidikan Islam tidak lain sejalan dengan pendidikan manusia dan perannya sebagai makhluk Allah, yaitu semata beribadah kepada-Nya (Q.S Adz-Dzariat ayat 56).
Banyak sekali nilai-nilai keislaman yang harus dibudayakan dan dilembagakan dalam system pendidikan kita. Namun dalam garis besarnya, nilai-nilai itu bisa dibagi menjadi dua nilai pokok dan mendasar yang satu sama lain saling memengaruhi dan memperkuat.
Yang pertama, adalah nilai pendidikan keimanan atau aqidah Islamiyah. Alasan paling mendasar-nya, iman merupakan pilar yang mendasai keislaman seseorang, dalam hal ini peserta didik. Iman, kata Yusuf Qordowi (2000), adalah kepercayaan yang terhujam ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tak ada perasaan syak atau ragu, serta sangat memengaruhi orientasi kehidupan.
Yang kedua, adalah nilai pendidikan ibadah yang menurut Yosuf Qordowi (tt) merupakan nilai kepatuhan dan sampai batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan kepada yang disembah, yaitu Allah Swt. Kepatuhan yang dimaksud adalah, seorang hamba yang  mengabdikan dirinya kepada Allah Swt. Lebih jauh ditegaskan, ibadah merupakan bukti nyata bagi seseorang muslim dalam meyakini dan memedomani aqidah Islamiyah.
Nilai-nilai keislaman itulah yang kemudian harus dikonstruk-sikan ke dalam penyusunan kurikulum unggulan. Artinya, kurikulum sekolah yang akan dibangun harus senantiasa memper-timbangkan antara pelajaran umum dengan pelajaran agama, antara aspek kognitif dengan aspek afektif dan psikomotorik, antara aspek teoretik dengan praksis.
Sebagaimana yang dikem-bangkan lembaga pendidikan Al-Azhar – dan karenanya dikenal dengan “Kurikulum Al-Azhar”, kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatiakan tolok ukur sebagai berikut : (1) taat beribadah, mampu berdzikir dan menjadi iamam shalat, (2) mampu bermuamalah dalam kehidupan masyarakat, (3) memiliki akhlak yang baik terhadap Allah dan makhluk-Nya, (4) meyakini kebenaran Islam, (5) mengetahui pengetahuan yang menyeluruh tentang Islam, (6) memiliki daya tahan dan peka terhadap paham atau ajaran yang dapat merusak aqidah, (7) mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan baik dan benar, (8) mau mendalami ajaran Islam dan medakwahkannya, (9) mampu membaca Alquran dengan baik dan benar, menghayati dan mengamal-kannya, dan (10) memiliki toleransi sosial.
 
E.     Pengertian dan Karakteristik Sekolah Unggul
Sekolah unggul yang dimaksud di sini dapat dipersamakan dengan sekolah berprestasi, yakni sekolah yang terbukti memiliki prestasi (keunggulan) lebih diban-ding sekolah-sekolah yang lain di daerahnya. Keunggulan bisa diwujudkan karena didukung oleh keunggulan dalam hal mengelola input, proses dan out put-nya.
Antara lain adalah Djojo Negoro (1998), yang berpendapat bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang memiliki (1) prestasi akademik dan non-akademik di atas rata-rata sekolah yang ada di daerahnya, (2) sarana dan prasarana pelayanan lebih lengkap, (3) system pembelajaran lebih baik dan waktu pembelajaran lebih panjang, (4) melakukan seleksi yang lebih ketat terhadap pendaftar (5) mendapatkan animo yang lebih besar dari masyarakat, yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah pendaftar dibanding kapasitas kelas, dan (6) biaya sekolah lebih tinggi dari sekolah disekitarnya.
Dalam pemikiran Edwards Sallis dan Sudirman Damin (2006), terdapat 13 ciri dari sekolah unggulan dilihat dari aspek pengelolaannya. Ke 13 karakteristik yang saling terkait itu meliputi: Sekolah harus (1) berfokus kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal, selain (2) berfokus kepada upaya untuk mencegah masalah yang muncul, dengan komitmen untuk bekerja secara benar dari awal, (3) mengelola dan memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk memperbaiki kulaitas, (4) memiliki investasi pada sumber daya manusianya, (5) memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik maupun administrative, (6) memiliki kebijakan dalam melakukan perencanaan untuk mencapai kualitas.
Ciri penting lainnya, sekolah juga harus bisa (7) memperjuangkan perbaikan prestasi dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya, (8) mendorong orang yang dipandang memiliki kreativitas mampu menciptakan kualitas, dan merangsang yang lainnya agar tetap mempertahankan kualitas, (9) memperjelas peran dan tanggung jawab setaip orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertical dan horizontal, (10) memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas, (11) memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja, (12) menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas pelayanan lebih lanjut, dan (13) selalu menumpatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai sebuah keharusan.
Intinya, sekolah berbudaya unggul pada prinsipnya adalah sekolah yang dikelola dengan menggunakan apa yang oleh Arthur R. Tenner and Irving J. DeToro (1994) disebut dengan Total Quality Management, model manajemen yang diorientasikan kepada peningkatan yang terus menerus (continuous improvement) yang difokuskan kepada customer focus, process improvement dan total involvement.
 
F.     Karakteristik Sekolah Unggul yang Islami
Mengacu kepada pengertian, nilai-nilai keislaman dan  ciri-ciri sekolah unggul sebagaimana dikembangkan Depdikbud (1994), terdapat beberapa dimensi yang bisa diangkat sebagai ciri sekolah unggul yang Islami dalam tulisan ini. Ciri-ciri tersebut meliputi:
a.    Masukan (input), yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan menggunkan kriteria dan prosedur yang bisa dipertang-gungjawabkan dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
b.    Sarana dan prasarana yang Islami dan menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa serta menyalurkan minat dan bakatnya.
c.    Lingkungan belajar yang kondusif untuk berkembangnya tidak saja potensi keunggulan kognitif-akademik, tetapi juga kondusif bagi pengembangan keunggulan nilai-nilai ajaran Islam, sebuah lingkungan belajar dan mengajar yang Islami.
d.   Guru dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul disamping dari segi penguasaan materi pelajaran umu, juga penguasaan nilai-nilai keislaman, termasuk keunggulan dalam metode mengajar, maupun komitmen dalam menjalankan tugasnya
e.    Kurikulumnya diperkaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal sesusi dengan tuntutan belajar perserta didik serta ruh serta semanagat keislaman.
f.     Kurukilum waktu belajar lebih lama dari sekolah lain. Karena itu, perlu adanya asrama untuk memaksimaalkan pembinaan keislaman dan menampung para siswa dari berbagai lokasi atau daerah. Di kompleks asrama juga tersedia sarana dan prasarana yang bisa mengembangkan bakat dan minat anak.
g.    Proses belajar-mengajar harus berkualitas dsan hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik kepada siswa maupun orang tua dan masyarakat atau umat secara keseluruhan
h.    Sekolah unggul tidak hanya memberi manfaat kepada peserta didik, tetapi juga harus memiliki resonansi sosial kepada lingkungan sekitar
i.        Nilai lebih sekolah unggulan terletak pada perlakuan tambahan di luar kurikulum nasional melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan, dan perluasan, pengajaran remedial, pelayanan bimbingan – konseling yang berkualitas, serta pembinaan kreativitas dan disiplin sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah keislaman.

G.    Kerangka Model Sekolah Unggul yang Islami
Menurut Elias MA (1997), model itu tidak lebih dari sebuah pencerminan, penggambaran system yang nyata atu direncanakan. Sejalan dengan itu, Murdik dan Ros (1982) mengatakan bahwa sebuah model itu merupakan abstraksi realitas.
Dengan demikian, pengemba-ngan model budaya dalam makalah ini merujuk kepada upaya untuk membangun dan mengembangkan nilai-nilai budaya ke dalam sekolah dengan tujuan bisa mengubah perilaku organisasi sekolah menuju keunggulan yang diidamkan, keung-gulan yang Islami sebagaimana bisa ditelaah dalam chart di bawah ini:

Dijelaskan bahwa nilai-nilai budaya sekolah unggul dan nilai-nilai budaya sekolah yang Islami, merupakan dua kekuatan yang diharapkan bisa saling megisi dan memperkuat satu sama lainnya. Lebih-lebih, akan selalu ada keserasian dan kesesuaian arah serta isi antara nilai-nilai sekolah unggul dengan sekolah berbasis nilai keislaman. Kerja keras, integritas, kejujuran, keikhlasan dan sejenisnya, adalah beberapa saja dari nilai sekolah unggul yang sesungguhnya juga merupakan nilai keislaman.
  Lebih jauh lagi, dari diagram  tersebut di atas juga nampak  bahwa model sekolah unggul yang Islami akan terjadi manakala terjadi proses pembentukan budaya melalui sebuah transformasi dua kekuatan nilai tersebut, kekuatan nilai sekolah unggul dan nilai sekolah Islami, ke dalam system pengelolaan pendidikan, mulai dari pengelolaan input, proses penyelenggaraan pendidikan, sampai kepada out put dan out come-nya. Logika sederhananya, output yang dihasilkan oleh sebuah lembaga pendidikan, dalam hal ini adalah sekolah, akan memiliki nilai-nilai keunggulan dan semangat keislaman manakala dua kekuatan nilai tersebut berhasil ditransformasikan ke dalam input dan prosesnya.

H.    Simpulan
Dengan uraian di atas, penulis ingin menegaskan sekali-gus menyimpulkan: Pertama, bahwa membangun sekolah unggulan yang islami merupakan sebuah aktivitas proses yang kompleks dan panjang karena berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan budaya sebuah organisasi yang didalamnya banyak faktor saling berpengaruh dan menentukan.
Dalam proses yang kompleks dan panjang itu, kedua, paling tidak ada dua jenis budaya atau nilai yang harus dikembangkan, yakni nilai-nilai sekolah unggul dan nilai-nilai keislaman, dua nilai yang mesti bisa diintegrasikan dalam sebuah iklim atau kultur sekolah yang akan dibangun. Singkatnya, model budaya sekolah unggulan yang Islami seperti dimaksudkan dalam makalah ini tidak lebih dari sekolah yang berhasil memadukan sekaligus mewujudkan nilai-nilai sekolah unggul dengan nilai-nilai keislaman.
Dilihat dari out-put-nya, ketiga, status unggul dan islami yang melekat dalam sekolah unggulan di sini juga harus benar-benar bisa diukur tidak saja dari keunggulan mutu lulusannya hanya dilihat dari aspek kognitifnya, tetapi juga dimensi afektif dan psikomotoriknya.                     

I.       Daftar Pustaka
Allport, G.W. 1961. Pattern and Growth in Personality. New York.. Holt Rinehart and Wanston.
Athur R. Tenner and Irving J. DeTero. 1994. Total Quality Management (Three Steps To Continuous Improvement). California, New York. Addison-Wesley Publishing Company.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi.Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Barton M. Schwartz and Robert H. Ewald. 1968. Cultur and Society. USA. The Ronald Press Cpmpany.
Depdikbud. 1994. Pengembangan Sekolah Unggul. Jakarta. Direjen Dikdasmen
Edward Sallis dan Sudarman Damin. 2006, 13 Ciri Sekolah Unggulan. Jurnal Risbang LPIT TBZ,  dikutip lebih lanjut  dalam Tabloid Intajiyah Edisi Agustus 2009 dan dipublikasikan dalam Compasiana 6 Oktober 2013.
Hamzah Ismail. 2011. Sekolah Islam Unggulan dalam Hamzahsmile. Bologspot.com/2011/05/ ekolah-islam-unggulan.html.31 Mei2011.
Kimberly Kinsler and Mae Gamble. 2001. Reforming School. London and New York. Continuum.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta. Gramedia
Kotter & Heskett. 1992. Corporate Culture and Performance Terjemahan). Jakarta. Gramedia
Rahmat Hariyadi. 2002. Budaya Sekolah Berprestasi (Disertasi). Bandung. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Razik and Swanson. 1993. Fundamental Concept of Educational Leadership and Management. Englewood Cliffs. New Jersey: Merril
Robbins, S.P. 1991. Organizational Behaviour. Englewood Cliffs. New Jersey : Prentice – Hall, Inc
Yusuf Qordowi. 2000. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta. Mitra Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.