flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Selasa, 22 September 2015

KONSEP TARBIYAH DAN TA’LIM DALAM PERSPEKTIF TAFSIR

Oleh:
Sarmedi
 ABSTRACT
Al-Quran is a guide for all human beings in carrying out its mission as the representative of Allah on earth. In it contained various aspects of human needs, such as, spiritual, social, cultural, educational, and other aspects. Tarbiyah problems and ta’lim need to be assessed through the assessment by approach of interpretation, because of differences in the concepts used will greatly affect the implications and implementation. Results of assessment the verses of the Qur’an on the concept tarbiyah and ta’lim in the perspective of interpretation by using content analysis and semantic approach that the concept of al-tarbiyah in the Qur'an is the process of formation and development of human potential through the provision of various instructions, thereby causing the potential of the human being can grow productively and creatively without losing the divine ethics stipulated in his revelation. While the term ta'lim based on the Qur’an is a continuous process of delivering material to muta'alim to be aware of understand and practice the content of the material. The difference between tarbiyah and ta’lim, At-ta'lim a part of the at-tarbiyah al-aqliyah, which aims to acquire knowledge and skills to think, are referring to the cognitive domain. Instead, al-tarbiyah not only refers to the cognitive domain, but also affective and psychomotor domains. Thus, the differences between tarbiyah and ta’lim is universality itself that covers all aspects of education.

Keyword: Education and learning

ABSTRAK
Al-Quran itu petunjuk bagi segenap manusia dalam mengemban misinya sebagai khalifah di bumi. Di dalamnya terkandung aspek-aspek yang dibutuhkan manusia, seperti, spiritual, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lainnya. Masalah tarbiyah dan ta’lim perlu dikaji melalui pengkajian tafsir, karena perbedaan konsep yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada implikasi dan implementasinya. Hasil kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai konsep tarbiyah dan ta’lim dalam perspektif tafsir dengan menggunakan metode content analysis dan pendekatan semantik bahwa konsep al-Tarbiyah dalam al-Qur’an adalah proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian berbagai petunjuk, sehingga menyebabkan potensi yang dimiliki manusia dapat tumbuh dengan produktif dan kreatif tanpa menghilangkan etika Ilahi yang telah ditetapkan dalam wahyu-Nya. Sementara istilah ta’lim dalam al-Qur’an adalah penyampaian materi secara kontinyu kepada muta’alim agar dapat mengetahui, memahami dan mengamalkan isi materi pembelajaran. Adapun perbedaan antara tarbiyah dan ta’lim adalah at-ta’lim merupakan bagian kecil dari at-tarbiyah al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada ranah kognitif. Sebaliknya, al-tarbiyah tidak hanya mengacu pada domain kognitif, tetapi juga domain afektif dan psikomotor.

Keyword: Tarbiyah dan Ta’lim


PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan pedoman dan petunjuk bagi segenap manusia dalam mengemban misinya sebagai khalifatullah di bumi. Di dalamnya termuat berbagai aspek yang dibutuhkan manusia, seperti, aspek spiritual, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lainnya.
Kedudukan al-Quran sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dilihat pada al-Quran surat an-Nahl ayat 64 dan surat Shad ayat 29. Di sana terungkap bahwa pada hakikatnya Al-Quran itu merupakan khazanah yang penting untuk kehidupan dan kebudayaan manusia terutama bidang kerohanian. Al-Quran merupakan pedoman pendidikan kemasyarakatan, moral dan spiritual (kerohanian).
Naquib al-Atas dalam Ramayulis, (1994: 2-3) berpendapat bahwa dalam Islam ada dua istilah yang dipakai untuk makna pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta'dib. Tarbiyah secara bahasa tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesies lain seperti mineral, tanaman dan hewan. Sedangkan ta'dib mengacu pada pengertian ('ilm), pengajaran (ta'lim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Jadi, tarbiyah dalam konsep Naquib ini hanya salah satu sub sistem dari ta'dib. Perbedaan konsep tarbiyah di kalangan para ulama mendorong penulis untuk mengkajinya melalui ayat-ayat al-Qur’an.
Masalah ini perlu dikaji melalui pengkajian literatur ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan tafsir, karena perbedaan konsep yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada implikasi dan implementasinya.
Dikarenakan luasnya cakupan dan ruang lingkup bahasan ini, maka dalam pengkajian ini dibatasi pada hal mendasar, yaitu konsep tarbiyah dan ta’lim dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir.

PEMBAHASAN
A.    Konsep Tarbiyah
Konsep tarbiyyah (تربية) merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting. Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik dari fi’il (kata kerja) dan ism (kata benda), baik yang berhubungan langsung dengan ihwal pendidikan maupun yang tidak langsung (Dedeng Rosidin, 2003: 17).
Kata-kata yang termasuk kategori fi’il terdapat enam kata yang berbeda, yaitu: أَرْبَي، يُرْبِي، تُرَبِّكَ، رَبَّيَانِي، يَرْبُو، رَبَّتْ. Sedangkan kosa kata yang termasuk kelompok isim ditemukan ada dua belas kata, yaitu: رَبَّ، اَرْبَابٌ، اَرْبَبًا، رِبِّيُوْنَ، رَبَّنِيُوْنَ، رَبَائِبُكُمْ، رَبِيًا، رَبِيَةً، الرِبَا، رِبَا، رَبْوَةً.
Kalau dipilih-pilah sesuai dengan kepentingan pembahasan ini, maka kedelapan belas kosa kata tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang memiliki hubungan makna dengan istilah tarbiyah dan kelompok yang erat hubungannya dengan istilah pendidikan, baik tujuan, proses, cara atau strategi, prosedur, cakupan pendidikan dan sejenisnya.
Lafal-lafal yang ada hubungan makna atau memiliki kedekatan makna dengan ihwal pendidikan, pertama adalah: ارْبَابٌ (arbabun), terdapat dalam surat Yusuf: 39, dan para mufassir menjelaskannya bervariasi, antara lain menurut al-Juzi mengartikan berhala baik kecil maupun besar (Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzi, 1965: 225).
Kedua, lafal أرْبَابًا (arbaban), terdapat dalam surat Ali Imran ayat 64. Para mufaasir mengartikannya bervariasi, baik al-Thabari (1988: 304) al-Jauzi (1965:202) maupun al-Maraghi (t.th: 101-102) memiliki kemiripan maksud ayat tersebut, yakni diartikan orang-orang Yahudi menjadikan pendeta-pendetanya seperti ulama dalam bidang agama sebagai arbab, dan orang Nasrani menjadikan rahib-rahibnya sebagai arbab sebagai ikutan/pigur orang awam dalam hal ibadah.
Ketiga, lafal رِبْيُوْنَ (rabiyuna), terdapat dalam surat Ali Imran ayat 146. Para mufaasir mengartikannya bervariasi, baik al-Thabari, al-Jauzi, maupun al-Maraghi namun kalau dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat diartikan: sekelompok orang yang beribadah kepada tuhannya, baik dari kelompok ahli fiqih, para ulama maupun para pelajar/siswa atau para pengajar.
Keempat, lafal رَابِيًا (rabiyan), terdapat dalam surat al-Ra’du ayat 17. Para mufassir mengartikannya bervariasi, baik Ath-Thabari, Al-Jauzi maupun al-Maraghi, namun kalau dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat diartikan: tinggi di atas air/mengambang di atas air.
Kelima, lafal رَابِيَةً (rabiyatan), terdapat dalam surat Al-Haqqah ayat 10. Para mufaasir mengartikannya bervariasi, baik Ath-Thabari Al-Jauzi maupun al-Maraghi, namun kalau dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa رابية dalam ayat ini adalah kerasnya azab Allah.
Keenam, lafal رَبْوَةً (rabwatan), terdapat dalam surat al-Mu’minun ayat 50. Para mufassir mengartikannya bervariasi, baik tafsir Shawi, Al-Dur al-Mantsur, maupun al-Maraghi namun kalau dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ربوة dalam ayat ini adalah tempat /tanah yang tinggi (Abdul Rahman Ibnu al-Kamal Jalaludin As-Suyuthi, 1993:100).
Ketujuh, lafal رَبَّتْ (rabbat), terdapat dalam surat Fushshilat ayat 39 dan surat al-Hajj ayat 5. Para mufassir mengartikannya bermacam-macam, baik tafsir al-Jauzi, maupun tafsir al-Maraghi namun kalau kedua tafsir tersebut dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa رَبَّتْ dalam ayat ini adalah memenuhi atau meninggi / mengembang, atau bertambah.
Kedelapan, lafal ربا / الربوا / الربا (riba, ar-riba), lafal ini terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130, surat al-Rum ayat 39, dan surat al-Baqarah ayat 257. Para mufassir mengartikannya bermacam-macam, baik tafsir al-Jauzi maupun tafsir al- Shawi namun kalau kedua tafsir tersebut dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ربا / الربوا dalam ayat ini adalah الزيادة yakni bertambah atau berkembang.
Kesembilan, lafal يَرْبُوْا (yarbu), lafal ini terdapat dalam surat al-Rum ayat 39. Menurut Al-Jauzi mana kata yarbu adalah yazku wa yudla’afu artinya bersih dan berlipatgan atau bertambah.
Kesepuluh, lafal يُرْبِي (yurbi), lafal ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 276. Para mufassir mengartikannya bermacam-macam, baik tafsir al-Thabari, maupun tafsir al-Maraghi namun kalau kedua tafsir tersebut dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa يربي dalam ayat ini adalah zada, yazidu wa yudla’afu yakni bertambah atau berkembang, dan berlipat ganda.
Kesebelas lafal أَرْبَى (arba), dalam al-Nahal 92 menurut Al-Maraghi berarti أغ نى , paling kaya, dan menurut al-Jauzi berarti أَكْثَرَ, lebih banyak. Keduanya menunjukan arti yang tidak berbeda.
Dalam al-Mu’jam al-Mufahrs li Alfazh al-Quran. Kosa kata tarbiyah meliputi 4 (empat) lafal dalam bentuk isim dan 2 (dua) lafal dalam bentuk fiil. Lafal-lafal yang termasuk kategori isim, yaitu sebagai berikut:
Pertama, rabb/ar-rabb (ربّ/الربّ) terdapat 952 kata dalam al-Qur’an. Kedua, rabbaniyyuna (رَبَّانِيُّوْنَ) terdapat 2 kali dalam al-Qur’an (QS. Al-Maidah [5]: 44 dan 63). Ketiga, rabbaniyyina (رَبَّانِيِّيْنَ), terdapat 1 kali dalam al-Qur’an (QS. Ali Imran [3]: 79). Keempat, rabbaibukum (رَبَائِبُكُمْ), terdapat satu kali dalam al-Qur’an (QS. an-Nisa [4]: 23)
Kata rabb dalam al-Qur’an menurut al-Maududi mengandung lima makna, yaitu: (1) pendidikan, bantuan, dan peningkatan; (2) menghimpun, memobili-sasi, dan mempersiapkan; (3) tanggung jawab, perbaikan, dan pengasuhan; (4) keagungan, kepemim-pinan, wewenang, dan pelaksanaan perintah; dan (5) pemilik dan juragan.
Adapun kosa kata yang berasal dari fi’il (kata kerja) ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu: Pertama, rabbayani (رَبَّيَانِي) terdapat dalam QS. Al-Isra [17]: 24). Kedua, nurabbika (نُرَبِّكَ), terdapat dalam QS. Asy-Syu’ara [26]: 18).
Dari kedua fi’il (kata kerja) tentang tarbiyah itu dapat disimpulkan bahwa akar kata tarbiyah adalah rabba-yurabbi yang berarti namma-yunammi dengan mengan-dung konsep bahwa tarbiyah adalah proses mengembangkan, menumbuhkan yang meliputi jasad, ruh, dan akalnya dengan caranya yang lemah lembut penuh kasih sayang sejak usia kanak-kanak sampai usia dewasa.
Tarbiyah itu murabbinya terdiri dari Allah dan manusia termasuk di dalamnya rasul. Objek tarbiyah bagi Allah mencakup keseluruhan. Sedangkan objek bagi manusia/rasul dapat digunakan bagi manusia semua tingkat usia, binatang, dan kekayaan. Hal ini menunjukkan bahwa tarbiyah penekananannya pada pengem-bangan individu dan menunjukkan bahwa objek yang dididik tidak disebut, berarti sifatnya kompleks.
Jadi, dari uraian di atas tarbiyah dapat didefinisikan sebagai proses pengemba-ngan, pemeliharaan, penjagaan, penguru-san, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki bagi anak didik baik jasad, akal, jiwa, bakat, potensi, perasaan, secara berkelanjutan, bertahap, penuh kasih sayang, penuh perhatian, kelembu-tan hati, menyenangkan, bijak, mudah diterima, sehingga membentuk kesempur-naan fitrah manusia, kesenangan, kemulia-an, hidup mandiri, untuk mencapai ridha Allah swt.
Di samping uraian di atas, juga para tokoh tafsir lain seperti di bawah ini mengartikan tarbiyah sebagai berikut:
a.       Louis Ma’luf (1984), mengartikan al-Rabb dengan tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah, mengumpulkan, dan memperindah.
b.      Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-An،bari al-Qurthubi memberikan arti al-rabb dengan pemilik, tuan, Yang Maha Memperbaiki, Yang Maha Pengatur, Yang Maha Menambah, dan Yang Maha Menunaikan (Abí Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-An،ârí al-Qurthubí, t.th.:136-137).
c.       Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa al-rabb merupakan kata yang seakar dengan al-tarbiyah yang mempunyai makna al-tanmiyah (pertumbuhan dan perkembangan). (Imâm Fakhruddín al-Râzi, 1990: 153).
d.      Al-Jauharari memberikan makna al-tarbiyah, rabban dan rabba, adalah: Memberi makan, memelihara, dan mengasuh (Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, 1984: 66).
Secara terminologi para ahli memiliki cara yang beragam dalam memberikan makna al-tarbiyah. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut;
a.       Muhammad Jamaluddin al-Qasimi berpendapat bahwa al-tarbiyah ialah :
تَبْلِيْغُ الشَّيْئِ إِلَى كَمَالِهِ شَيْئاً فَشَيْئاً
(Proses penyampaian sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan secara tahap demi tahap) (Muhammad Jamâluddin al-Qâsimí, 1978: 8).
b.      Al-Ashfahani menyatakan bahwa pengertian tarbiyah adalah :
إِنْشَاءُ الشَّيْئِ حَالاً فَحَالاً إِلَى حَدِّ التّمَامِ
(Proses menumbuhkan secara bertahap yang dilakukan secara bertahap sampai pada batas kesempurnaan) (Abdurrahmân al-Nahlâwí, 1979: 13).
c.       Abdul Fattah Jalal mendefinisikannya istilah al-Tarbiyah adalah : Proses persiapan dan pemeliharaan anak pada masa kanak-kanak di dalam keluarga (Abdul Fattâh Jalâl, 1988: 28).
Pengertian-pengertian tersebut di atas, digali dari maksud QS. al-Isra (17): 24 dan QS. asy-Syu’ara’(26):18. Objek kedua ayat tersebut diperuntukkan bagi bayi dan fase kanak-kanak.
d.      Ismail Haqi al-Barusawi berpendapat bahwa al-Tarbiyah bermakna : Proses pemberian nafsu dengan berbagai kenikmatan, pemeliharaan hati nurani dengan berbagai kasih sayang, bimbingan jiwa dengan hukum-hukum syari’ah, serta pengarahan hati nurani dengan berbagai etika kehidupan dan penerangan rahasia hati dengan hakikat pelita (Ismail Haqi Al-Barusâwi, t.th.: 2).
Pengertian tersebut khusus diperuntukkan bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian ai-Tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya, mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan, serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
e.       Mustafa al-Ghulayaini berpendapat bahwa al-Tarbiyah adalah: Penana-man etika yang mulia pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia memiliki potensi-potensi dan kompetensi-kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah airnya (Mustafa Al-Ghulâyaini, 1949: 185).
f.       Ahmad Musthafa Al-Maragi memberi-kan definisi al-Tarbiyah dengan membaginya kepada dua kategori :
1.      Tarbiyah Khalqiyah, yaitu pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk.
2.      Tarbiyah Diniyah Tahqibiyah, yaitu pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa (Al-Marâghi, 1969: 30).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Tarbiyah adalah proses pembinaan dan pengem-bangan potensi manusia melalui pemberian berbagai petunjuk, sehingga menyebabkan potensi yang dimiliki manusia dapat tumbuh dengan produktif dan kreatif tanpa menghilangkan etika Ilahi yang telah ditetapkan dalam wahyu-Nya.

B.     Konsep Ta’lim
Perkataan ta’lim (تعليم) pula dipetik dari kata dasar ‘allama (علّم), yu‘allimu ( يعلّم) dan ta’lim (تعليم).
Dalam surat al-Jum’ah [62] ayat 2,
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Al-Maraghi menjelaskan bahwa Muhammad saw mengajarkan syari’at dan urusan akal yang dapat menyempurnakan jiwa dan membersihkannya (Al-Maraghi, 95). Pada bagian lain al-Maraghi telah menjelaskan bahwa ‘allama menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan berulang-ulang atau sering (Al-Marâghi, 1969: 83).
Sedangkan ath-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud yu’allimu pada ayat tersebut adalah mengajar mereka tentang al-Kitab dan syari’at, serta perintah dan larangan yang ada di dalamnya. Maka makna yu’allimu menunjukkan ‘allama wa bayyana, artinya mengajarkan dan menjelaskan secara berulang-ulang.
Dari ayat tersebut juga bisa dimaknai bahwa Rasulullah juga seorang mu’allim, hal ini memperkuat sungguh dari beliau adanya keteladanan, termasuk bagaimana seharusnya menjadi seorang muallim. Bahkan hal tersebut merupakan nikmat Allah bagi orang-orang mukmin, sebagaimana firmanNya dalam QS. Ali Imran [3]: 164:
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øŒÎ) y]yèt/ öNÍkŽÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÅe2tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-hikmah…..

Allah Swt. berfirman dalam QS. Ar-Rahman [55]: 1-4
ß`»oH÷q§9$# . zN¯=tæ tb#uäöà)ø9$# . šYn=y{ z`»|¡SM}$# . çmyJ¯=tã tb$ut6ø9$# .
(Tuhan) yang Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.
Allah Swt. Berfirman dalam QS. al-‘Alaq [96] 4-5:
Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ . zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam kitab Shafwat at-Tafsir, ‘allama pada ayat di atas diartikan Allah telah mengajarkan baca-tulis dengan kalam (pena), mengajarkan manusia apa-apa yang tidak mereka tidak tahu berupa ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, menjadikan mereka dari situasi kegelapan (kebodohan) ke suasana terang benderang. Hal ini Allah telah mengajarkan manusia dengan perantaraan tulisan dan pena, manakala Dia tidak mengajarkan kamu maka kamu dalam keadaan ummi menurut mayoritas Ulama, mengandung dua pengertian, artinya tidak dapat membaca dan menulis. Kedua, tidak perlu membaca dan tidak perlu menulis (ash-Shabunni, t.th.: 582) tentu tidak dapat membaca dan menulis.
Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 31
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya
Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah menceritakan Âdam dan kemuliaan-Nya atas Malaikat kerena Dia mengajari-nya sesuatu yang tidak di ajarkan kepada Âdam nama-nama (benda) seluruhnya, maksudnya, nama-nama seluruh makhluk, baik yang besar maupun yang kecil.
Allah swt. berfirman dalam QS. al-Maidah [5]: 4
$tBur OçFôJ¯=tæ z`ÏiB ÇyÍ#uqpgø:$# tûüÎ7Ïk=s3ãB £`åktXqçHÍj>yèè? $®ÿÊE ãNä3yJ¯=tæ ª!$#
Dan apa yang telah kalian ajarkan kepada binatang buas dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah Allah ajarkan.
Para mufassir, antara lain Ath-Thabari, al-Maraghi, al-Khawarizmi dan As-Suyuthi, semuanya berpendapat sama bahwa kata ‘allama pada ayat di atas menunjukkan makna addaba al-jawarih, artinya melatih binatang supaya pandai berburu.
Ta’lim secara umum hanya terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim). Misalnya pada surat Yusuf, ayat 6, berarti ilmu pengeta-huan yang dimaksud, diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi. Sedangkan pada surat al-Maidah ayat 4, ilmu yang dimaksud adalah ilmu berburu.
Namun, istilah ta’lim dari beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan fungsinya di dunia ini menurut al-Qur’an dan Sunnah.
Berdasarkan beberapa contoh ayat di atas, kata ta’lim dalam al-Qur’an digunakan dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan ism (kata benda). Kata yang digunakan berupa fi’il terdapat dua bentuk, yaitu: (1) fi’il madly disebut 25 kali dalam 25 ayat di 15 surat; (2) fi’il mudlari disebut 16 kali dalam 16 ayat di 8 surat. Sementara dalam bentuk isim (kata benda) hanya terdapat 1 kali dalam QS. ad-Dukhan [44]: 14
§NèO (#öq©9uqs? çm÷Ztã (#qä9$s%ur ÒO¯=yèãB îbqãZøg¤C
Kemudian mereka berpaling dari-padanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila.

Mu’allim dalam ta’lim meliputi Allah, malaikat/Jibril, nabi/rasul, manusia, dan syaithan. Objek ta’lim terdiri dari dua objek, pertama muta’allim (murid) dan madatut ta’lim (bahan ajar). Hal ini menunjukkan bahwa ta’lim berhubungan erat dengan bahan ajar dan penekanannya pada transpormasi ilmu, maka dari itu ia disebut pengajaran.
Objek pertama dalam ta’lim dari mu’allim (Allah) terdiri dari: malaikat, bahan ajar berupa ilmu-ilmu. Objek kedua terdiri dari: nabi/rasul, bahan ajar berupa nama-nama jenis, al-Kitab (al-Qur’an, Taurat, Zabur dan Injil), al-bayan, al-hikmah, ta’wil mimpi, al-ahkam, ilmu yang bermanfaat, membuat baju besi, bahasa binatang, dan ilmu-ilmu lainnya. Objek ketiga manusia, bahan ajarannya adalah menulis, isi al-kitab, ilmu syariat, adab berburu, ilmu administrasi, dan ilmu lainnya.
Objek pertama dari mu'allim (malaikat/Jibril) adalah nabi/rasul dan bahan ajarannya adalah al-Kitab. Objek pertama dari mu'allim (nabi/rasul) terdiri dari: pertama, nabi ian bahan ajarannya adalah ilmu-ilmu/yang bermanfaat. Kedua, manusia dan bahan ajarannya al-Kitab, hikmah, ilmu-ilmu yang diajarkan Allah. Objek pertama dari mu'allim manusia) terdiri dari: pertama, manusia, bahan ajarannya adalah al-Kitab, as-Sunnah, membaca, menulis, dan ilmu-ilmu yang baik. Kedua, binatang dan bahan ajarannya adalah berburu. Objek dari mu'allim (syaithan) adalah manusia dan bahan ajarannya adalah sihir.
Banyaknya jenis bahan ajar atau ilmu dalam ta'lim tidak menunjukkan sebatas jenis-jenis tadi, tapi bermakna bahwa kegiatan dalam ta'lim itu mencakup banyak jenis ilmu yang mesti diajarkan, dan hal ini mengisyaratkan akan pentingnya ilmu-ilmu tersebut.
Secara terminologi para ahli mengartikan term al-ta’lim, sebagai berikut:
1)      Muhammad Rasyid Ridha mendevinisikan bahwa al-Ta’lim adalah: Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu (Muhammad Rasyid Ridhâ, t.th: 262.). Definisi tersebut didasarkan pada Allah Swt.. QS. al-Baqarah (2): 31 tentang Allama (pengajaran) Tuhan kepada Nabi Adam a.s. Sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya.
2)      Abdul Fattah Jalal memberikan pengertian al-ta’lim dengan: Proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung-jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi tazkiah (penyucian) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Perbedaannya adalah: Bahwa ruang lingkup term al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan lingkup term al-tarbiyah. Hal tersebut karena al-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa, sedangkan al-tarbiyah, khusus diperuntukkan pada pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
3)      Syed Muhammad an-Naquib Al-Attas memberikan makna al-ta’lim dengan : Pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta’lim disinonimkan dengan kata al-tarbiyah, maka kata al-ta’lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.
Dalam pandangan an-Naquib, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara terma al-tarbiyah dengan al-ta’lim. Ruang lingkup al-ta’lim menurutnya lebih bersifat universal daripada ruang lingkup al-tarbiyah. Hal ini karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada konotasi eksistensial. Lagi pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik, karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanya milik Allah.
4)      Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasy memberikan pengertian al-ta’lim yang berbeda dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas. Beliau menyatakan bahwa at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan al-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.
At-ta’lim merupakan bagian kecil dari at-tarbiyah al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada domain kognitif. Formulasi tersebut karena term “allama” dalam QS. al-Baqarah ( 2):31 dikaitkan dengan term “‘arafa” yang membawa konotasi bahwa proses pengajaran Adam tersebut pada akhirnya diakhiri dengan tahapan evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi domain kognitif, yakni penyebutan asma-asma benda yang diajarkan , belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini menandakan bahwa al-ta’lím sebagai bentuk mashdar dari “‘allama,” hanya bersifat khusus dibandingkan dengan al-tarbiyah. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 133). Sebaliknya, al-tarbiyah tidak hanya mengacu pada domain kognitif, tetapi juga domain afektif dan psikomotorik.

SIMPULAN
Dari makna-makna tarbiyah dan ta’lim beserta analisanya diperoleh gambaran bahwa tarbiyah itu merupakan proses menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia, jiwa dan raganya, akal dan perasaannya, perilaku dan kepribadiannya, sikap dan pemahaman-nya, cara hidup dan berfikirnya. Tarbiyah merupakan proses kegiatan, bukan sesuatu yang bersifat materi. Kegiatan (aktivitas) ini meliputi perhatian, pengarahan dan pembantuan yang membantu formasi perilaku individu dan membantu pula pengembangan aspek-aspek pertumbuhan individu, baik akal, tubuh, sosial, kejiwaan, akhlak dan lainnya. Dari segi proses yang bertujuan, tarbiyah merupakan seni yang elastis dan berkembang. Ia mempunyai dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang diterapkan dengan bijak, pengetahuan dan latihan.
Tarbiyah menyiapkan individu dengan berbagai media agar memanfaat-kan bakat dan minatnya, dan hidup dengan sempurna dalam masyarakat tempat dia berada. Dengan tarbiyah, kita menghidupkan bakat fitrah yang ada pada individu, dan mengarahkannya ke arah yang baik hingga sampai kepada kesempurnaan. Tarbiyah menuntut pekerjaan yang teratur, kegiatan yang berlanjut, dan kemajuan yang terus menerus, serta perhatian yang penuh terhadap pemikian anak, perasaan, emosi, keinginan, pertumbuhan, akal, lidah, dan tangannya. Tarbiyah lebih memperhatikan penyiapan anak bagi kehidupannya, dan membantunya untuk hidup secara manusiawi dan mulia baik lahir maupun batin.
Tarbiyah adalah kegiatan yang membawa manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah kepada Allah swt. dan menyiapkannya untuk hidup dengan bahagia dalam naungan Allah swt.. Seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada kesempurnaan bagi manusia kecuali dalam naungan ibadah kepada Allah swt dan menjalankan syariatnya.
Adapun ta’lim dalam al-Quran menunjukan kepada proses pengajaran dan pendidikan, seperti antara lain ditunjukan oleh data ta'lim kelompok fi'l mudlari' dalam al-Quran. Makna dalam data-data itu menunjukkan bahwa Rasulullah Saw dalam mengajarkan bacaan al-Quran tidak hanya dapat membaca dan hafal akan lafazh-lafazhnya, tetapi membaca dengan renungan dan pemahaman, kemudian menyucikan diri dan mendidiknya, selanjutnya melahirkan amal yang dapat menjadi contoh bagi yang lain baik dalam perkataan dan juga perbuatan.

Referensi:
Abdul Fattâh Jalâl, Min al-Ushul al-Tarbawiyah fí al-Islâm, diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul “Asas-Asas Pendidikan Islam” (Cet.I; Bandung: CV. Dipenogoro, 1988)
Abdul Rahman Ibnu al-Kamal Jalaludin As-Suyuthi, Tafsirur Durul Mantsur fit-Tafsiril Ma’tsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Jilid VI.
Abdurrahmân al-Nahlâwí, Ushul al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Asâlibihâ fí al-Baiti wa Madrasati wal Mujtama’, (Cet. I; Beirut; Dâr al-Fikr, 1979).
Abí Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-An،ârí al-Qurthubí, al-Jâmi’ li-Ahkâmi al-Qur'ân, Jilid I (t.d)
Abu ‘Ala al-Maududi, Bagaimana Memahami Al-Qur’an: al-Ilah, Al-Rabb, al-Ibadah, ad-Din, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981)
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari, Jami al-Bayan ‘an Ta’wil ayil-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988)
Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzi, Zadul Masir fi Ilmit Tafsir, (Beirut: al-Maktabul Islami, 1965), jilid IV
Ahmad Ash-Shawi, Hatsiyatush-Shahwy ‘ala Tafsiril Jalalini, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Jilid III.
Ahmad Musthafa Al-Marâghi, Tafsír al-Marâghi, Jilid I ( Cet.IV; Mesir: Musthafa al-Bâb al-Halaby,1969)
Dedeng Rosidin, Akar-akar Pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Hadits, (Bandung: Pustaka Umat, 2003)
Imâm Fakhruddín al-Râzi, Tafsír al-Kabír, Jilid X. Juz XX (Cet. I. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1990)
Ismail Haqi Al-Barusâwi, Tafsír Ruhul al-Bayân, Jilid I, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th)
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Cet. XXVII; Beirut: Dâr al- Masyriq, 1984)
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran pendidikan Islam : Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Cet. I; Bandung: PT. Trigenda Karya, 1993)
Muhammad Jamâluddin al-Qâsimí, Tafsír Mahâsin al-Ta’wíl (Cet. II; Beirut: Dâr al- Fikr, 1978)
Mustafa Al-Ghulâyaini, Ishatun Nâsyi,ín (Cet.VI; Beirut Maktabah ‘A،riyah, 1949).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 1994)

Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Frame Work for an Islamic Philosophy of Education. Diterjemahkan oleh Haidar Baqir dengan judul “ Konsep Pendidikan Dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam” (Cet. I ; Bandung: Mizan, 1984)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.