flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Selasa, 22 September 2015

PERAN PESANTREN TERHADAP PENDIDIKAN KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL DALAM MENANGKAL RADIKALISME

Oleh
Asep Ahmad Fathurrohman

Abstract

This research aims to discover the role of boarding school about the concept of individual piety and social as well as how to counteract radicalism. This research used a qualitative approach and a research library. The result is that the establishment and spread of boarding with a social approach makes boarding schools still survive. Social approach in question is the way of peace. However, in addition to boarding schools have advantages such as discipline, honest, sincere, social minded, submissive-obedient, loyal, friendly, independent, and a series of properties that have become habituation in boarding schools. Boarding institutions also have drawbacks, namely: the problematic figure center, Habituation to boarding students with time-consuming (annual), with saturation and static cultural behavior, if no introduced to the outside world boarding school life, then they also will not know the reality of his life. Most boarding schools in Indonesia and yet had the infrastructure to support the development of education

Keyword: Boarding School, Individual Piety and Social, Radicaly


Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pondok pesantren tentang konsep kesalehan individu dan sosial serta bagaimana menangkal radikalisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan penelitian pustaka. Hasilnya adalah bahwa pembentukan dan penyebaran asrama dengan pendekatan sosial membuat pesantren masih bertahan. Pendekatan sosial yang dimaksud adalah cara yang aman. Namun, di samping pesantren memiliki keunggulan seperti disiplin, jujur, tulus, berjiwa sosial, penurut, setia, ramah, mandiri, dan serangkaian sifat yang telah menjadi sebuah kebiasaan di pesantren. Lembaga pesantren juga memiliki kelemahan, yaitu: terpusat pada figure kyai, kebiasaan santri di asrama dengan memakan waktu yang lama (tahunan), dengan situasi dan perilaku budaya yang monoton, jika tidak diperkenalkan dengan kehidupan di luar pesantren, maka mereka juga tidak akan faham kehidupan yang sesungguhnya. Kebanyakan pesantren di Indonesia belum memiliki infrastruktur untuk mendukung pengembangan pendidikan.

Kata kunci: Boarding School, Kesalehan Individu dan Sosial, radikal ekstrem


LATAR BELAKANG
Dunia dewasa ini dikejutkan dengan munculnya Negara Islam Irak dan Syam (ISIS: Islamic State of Iraq and The Levant) yang diproklamirkan pada 9 April 2013. ISIS memiliki interpretasi radikal terhadap ideologi Islam seperti bom bunuh diri, menjarah bank, menganiaya, membunuh dan sebagainya. 95 persen korban radikalisme ISIS adalah umat Islam, baik Syiah maupun Sunni. Sebelum radikalisme ISIS merebak, dunia sudah terbiasa mendengarkan pergolakan Palestina dan Israel hampir setiap waktu, bahkan imvasi Israel ke Gaza dalam waktu kurun waktu pertengahan Juli - Agustus merenggut lebih dari 2000 jiwa yang didominasi oleh anak-anak dan kaum hawa.
Aksi radikal dan kekerasan di Timur Tengah dan Afrika terjadi sangat masif mulai dari demonstrasi anarkis, sabotase, kudeta sampai dengan revolusi. Awal tahun 2010/2011, dunia dikejutkan dengan konflik yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika yang kemudian terus bergulir seakan-akan saling mewarisi dan menular.
Fakta dan fenomena kekerasan di Timur Tengah dan Afrika tersebut sangat memperihatinkan karena kedua wilayah tersebut didominasi oleh umat Islam. Oleh karena itu kekhawatiran umat Islam di Indonesia direfresentasikan dengan berjamurnya deklarasi anti ISIS. Namun jika penanganan dengan pendekatan, strategi dan metode tidak sesuai, maka dikhawatirkan justru kontra produktif.
Kekhawatiran tertinggi jelas akan merebak di majelis ilmu, dunia dakwah dan institusi pendidikan yang merasa diawasi ketika berpendapat dan menyampaikan dakwah yang agak “keras” atau “nyeleneh”, karena dengan mudah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme  (BNPT), densus 88 atau polisi akan menangkap dengan argumentasi tindak pencegahan.
Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana dunia pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia memberikan peran terhadap pencegahan faham radikalisme. Akar perilaku radikal diawali dari individu yang radikal kemudian menyebar secara berkelompok (sosial), dengan demikian perlu mengetahui konsep kesalehan individual dan sosial serta relevansi dan kesenjangannya yang menyebabkan split personality sampai dengan split community.
PEMBAHASAN
A.    Teori Kesalehan, Sosial, dan Individual
Kata kesalehan berasal dari kata saleh yang diberi awalan dan akhiran ke-an, kata saleh sendiri berasal dari bahasa arab yaitu  صالح yang mempunyai arti baik, pantas, sesuai (Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, 2007: 159.). Dalam kamus bahasa Indonesia kata saleh mempunyai arti taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah; suci dan beriman. Sedangkan kesalehan berarti ketaatan (kepatuhan) dalam menjalankan ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran agama (W.J.S Poerwadarminta, 1988: 772). Dalam bahasa Inggris saleh mempunyai arti pios, virtous, godly, sedangkan kesalehan adalah piety (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1992: 475).
Sedangkan istilah sosial berasal dari bahasa Inggris social yang berarti kemasyarakatan, dan masyarakatnya disebut dengan society (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1992: 538). Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga kecenderungan manusia untuk senantiasa berkumpul bersama mulai dari bersahabat-menikah-berorganisasi-bernegara merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri.
Istilah individual dalam bahasa Inggris berarti orang (seorang), perseorangan (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1992: 319). Kata individual yang menunjukkan sifat mempunyai konotasi negatif yaitu kepribadian yang mementingkan diri-sendiri dan mengabaikan atau tidak mempedulikan orang lain, pelakunya dinamai individualistis.
Menurut Kuntowijoyo kontruksi pengetahuan itu di bangun oleh Al Qurân  pertama-tama dengan tujuan agar  memiliki "hikmah" yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif Al Qurân, baik pada level moral maupun sosial (Kuntowijoyo, 1993: 327).
1.      Akar Problematika atas Konsep Kesalehan
Paradigma bahwa kelompoknya yang paling benar sementara yang lain adalah salah, bid’at, sesat dan kafir  merupakan selogan umum yang menjadi basis perbedaan untuk mengesahkan pemaksaan faham.
Dampak dan akibat dari fenomena tersebut disebabkan oleh problematika amal saleh yang berkembang di masyarakat, sering kali terjebak terhadap aspek tektualitas statis dan kontektualitas offer. Yang dimaksud dengan tektualitas statis adalah bahwa memang amal saleh harus sesuai dengan teks dalil naqly, jika tidak sesuai maka ia bukan amal saleh tetapi amal salah. Artinya bahwa amal saleh atau ibadah yang dimaksud formulasinya harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Bahkan pemahaman yang lebih sempit lagi termasuk kepada aspek pakaian dan teknis-teknis lainnya. Padahal Rasulullah Saw hidup pada masa itu dengan budaya dan kearifan lokalnya. Sementara zaman terus berganti dan perubahan-perubahan budaya juga terjadi seiring dengan perubahan sains dan teknologi.
Paradigma tektualitas statis menjadikan umat Islam terbelenggu dalam doktrin ideologi normatif yang sulit menerima terhadap pembaharuan dan kemajuan zaman. Belenggu tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a.       Menjadikan teks sebagai doktrin statis tanpa melihat teks-teks lain yang serupa dengan konteks yang berbeda.
b.      Kaum tektualis tidak menjadikan kearifan budaya (lokal dan global) sebagai metode dalam memahami teks secara kaffah. Sehingga yang berlaku hanya tafsiran lama, dan penafsiran baru terhadap masa yang baru boleh dikatakan tidak ada bahkan tidak berkembang. Kalaupun ada sifatnya hanya memperkuat.
c.       Memang teks sebagai satu-satunya hukum akan menghilangkan substansi dari pada teks tersebut, sebab walaupun tekstual, backround orang yang memahaminya akan berpengaruh kepada ketekstualan tersebut sehingga menyebabkan sikaf subyektif.
d.      Kaum tektualis tidak mengklasifikasi hukum dengan 'illatnya, artinya kapan harus tektualis, dan kapan harus kontektualis, serta kapan harus dipegang kedua-duanya atau boleh memilih satu satunya karena mempunyai  substansi yang sama.
Sedangkan yang dimaksud dengan kontektualitas offer adalah bahwa dalam memahami amal saleh terlalu berlebihan dan sembrono, misalnya karena terlalu toleran akhirnya ia ikut berdoa dalam versi kristen dan sebagainya. Sebab antara tektual dengan kontektual memiliki batasan tertentu sebagaimana ajakan orang kafir kepada Rasulullah Saw untuk menyembah berhala satu tahun, sebagai balasannya orang-orang kafir tersebut akan menyembah Allah selama satu tahun dan seterusnya (K.H.Q. Shaleh, H.A.A Dahlan dkk, 2007: 684).
Oleh karena itu konsep tektual dan kontektual harus dirumuskan agar umat memiliki batasan minimal, sehingga mereka dapat berperilaku toleran dan memahami pendapat orang lain. 
 2.      Konsep Kesalehan Individual
Setiap individu mempunyai tang-gungjawab untuk menjadi pribadi yang saleh, sebab semua perbuatan (amal) akan dipertanggungjawabkan kelak diakherat (Q.S Al-Muddatsir, [74]:38). Pertang-gungjawaban atas diri sendiri tersebut sebagai bentuk dari pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya ketika hidup di dunia. Artinya bahwa tidak ada suatu perbuatan kecuali memiliki efek atau dampak positif dan negatif, efek positif berarti mengandung kebaikan (kesalehan) dan berbuah pahala, sedangkan efek negatif mengandung keburukan (kethalehan/dosa) dan berbuah siksa. Sehingga semua amal manusia tidak akan sia-sia, sebab akan ada pembalasan terhadapnya sesuai dengan yang ia perbuat tanpa dikurangi amal baiknya atau dilebihi dosanya (Q.S Al-Mukmin, [40]:17).
Beban kesalehan individual tersebut disesuaikan dengan kemampuannya masing-masing, jika yang bersangkutan mau menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya untuk menghadapi problematika hidup dan beribadah kepada Allah Swt (QS. Al-Baqarah, [2]:286).
Pada umumnya manusia sangat mencintai dirinya sendiri, ini diimplemen-tasikan dengan memberikan apa yang diinginkan oleh diri (Hawa Nafsu). Namun demikian Rasulullah Saw justru memberikan petunjuk agar orang beriman juga peduli dan mencintai orang lain sama dengan mencintai dirinya sendiri. Artinya bahwa kesalehan individual berarti mempunyai hubungan dengan kesalehan sosial.
Kecenderungan hawa nafsu, jika ditempatkan sesuai dengan proforsinya, seperti makan dan minum dengan dzat dan dihasilkan dari usaha yang halal, berjima’ setelah menikah, memberikan sedekah karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau pamrih dan sebagainya, maka kecenderungan hawa nafsu yang dikawal dengan keimanan dan keikhlasan tentu akan membuahkan pahala dan mengun-dang rahmat serta keridloan Allah Swt.
Iman adalah potensi ruhani, sedangkan taqwa adalah prestasi ruhani. Supaya iman dapat mencapai prestasi ruhani yang disebut taqwa, diperlukan aktualisasi-aktualisasi iman yang terdiri dari beberapa macam dan jenis kegiatan yang dalam istilah al-Qur'an diformula-sikan dengan kalimat 'amilus-shâlihât, amal-amal shaleh. Kalau diterjemahkan dalam bahasa yang lain, amal-amal shaleh adalah kegiatan-kegiatan yang mempu-nyai nilai ibadah (Muhammad Tolchah Hasan, 2008: 21).
Menurut Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi orang saleh ciri utamanya ialah punya rasa malu, ia malu kepada Allah atas segala pelanggarannya. Ia merasa selalu dilihat Allah, bagaimana ia melanggar hak orang, sedang orang yang dilanggarnya melihat? Manusia, terkadang malu kepada sesama manusia, tetapi tidak malu kepada Allah. Yang benar ialah jika ia berbuat salah, akan malu kepada manusia dan lebih malu lagi kepada Allah (Mutawalli Asy-Sya'rawi, 2003: 275). Dengan demikian bahwa sifat malu yang demikian termasuk indikator keimanan seseorang.
Lebih rinci tetapi sederhana dan mudah untuk diingat dalam meningkatkan kesalehan individual, Syekh Zaenuddin bin Ali bin Ahmad asy-Syafi'i al-Kusyini dalam kitabnya yang terkenal Syi'abul Iman sebagai ringkasan (mukhtashor) dari kitab Syi'abul Iman karya Syekh Nuruddin al-Iji al-Farisi, dan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar telah memberikan syarah kepadanya dengan nama kitab Qami' al-Thughyan 'ala Mandzumah Syi'abil Iman.  Berikut bait-baitnya, dimulai dari cabang iman yang ke sepuluh (Syekh Zaenuddin bin Ali bin Ahmad asy-Syafi'i al-Kusyini, T.th.: 5-11):
واحبب الهك خف أليم عقابه ولرحمة ارج توكلن يا مسلم
واحبب نبيك ثم عظم قدره  وابخل بدينك ما يرى بك مأثم
واطلب لعلم ثم لقنه الورى عظم كلام الرب واطهر تعصم
صل الصلاة وزك مالك ثم صم واعكف وحجّ وجاهدن فتكرم
رابط تثبت أدّ خمس مغانم حتى بفرقه الامام الحاكم
واعتق وكفر أوف بالوعد اشكرن واحفظ لسانك ثم فرجك تغنم
أدّ الامانة لا تقاتل مسلما  واحذر طعاما ثم مالك تحرم
Dan seterusnya …
Bait-bait tersebut merupakan bait-bait yang biasa dikaji dipesantren-pesantren tradisional dan mengajarkan bahwa amal saleh merupakan bagian dari keimanan.

3.      Konsep Kesalehan Sosial
Manusia memiliki dua tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan baik, yaitu: Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid), di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan Allah Swt. (Q.S adz-Dzariyat [51]:56); Kedua, manusia sebagai khalifah, di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara horizontal dengan sesama mahluk (Q.S al-Baqarah [2]: 30). Tidak akan sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah. Begitu juga sebaliknya, tidak akan sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil) adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah.
Oleh karena itu Manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dituntut untuk dapat memberikan kemaslahatan atau kebaikan (kesalehan) antara satu dengan yang lain. Sebab kesalehan tersebut akan memberikan pengaruh baik terhadap keragaman hidup manusia yang menumbuhkan saling percaya antara sesama walaupun kulit, ras, bangsa dan agama berbeda. Saling percaya akan tumbuh dan muncul apabila manusia telah saling mengenal dengan baik dan memahaminya dengan saling menghargai dan menghormati walaupun berbeda pandangan, keinginan dan kecenderungan.
Prima kausa dari teori sosial umat manusia tercantum dalam QS. Al-Hujurat [49]:13. Quraish Shihab menempatkan ayat ini sebagai prinsip dasar hubungan antar manusia, dan semua manusia derajat kemanusiaannya sama disisi Allah tidak ada perbedaan antara suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Quraish Shihab, 2005: 260). Yang membedakannya adalah ketaqwaan kepada Allah Swt, semakin tinggi ketaqwaan manusia, maka semakin tinggi kemuliaan manusia tersebut, bahkan lebih mulia derajatnya dari pada malaikat. Sebaliknya manusia yang inkar dan lalai (ghâfil) derajatnya lebih sesat dari pada hewan ternak.
Prinsip dasar hubungan antar manusia ini merupakan hikmah al-Qurân  sebagai bentuk teologi-sosial yang lebih mengutamakan kepentingan sosial (jamâi) dari pada kepentingan individual (fardi). Prinsip ini adalah ajaran agama yang memiliki kekuatan substansial untuk memelihara dan mengolah bumi demi kemaslahatan alam semesta (baca: manusia, flora-fauna, bumi, langit dll). Syekh Zaenuddin bin Ali menegaskan dalam potongan baitnya : أمسك حبيبي ما عليه جماعة ... cabang iman ke 50 (Syekh Zaenuddin bin Ali, 16) bahwa umat Islam harus berpegang pada prinsip berjamaah, artinya bahwa kepentingan sosial lebih utama. Diantaranya adalah menghormati tetangga dan tamu, ini diungkapkan pada potongan bait ke 67 أكرم لجار ثم ضيف ... .
Mengutip Amin, agama –lebih-lebih teologi- tidak lagi terbatas sekadar menerangkan hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya. Secara tak terelakkan, teologi juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologi). Bahkan pada tataran tertentu dapat diteliti keterkaitan ajaran atau doktrin etika keagamaan dengan berbagai corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan yang optimal (ekonomi). Terkait dengan nilai-nilai etika yang fundamental, agama juga dapat didekati secara filosofis. Belum lagi jika dilihat dalam kaitannya degan fungsi profesionalisme, agama lebih menekankan pandangan kritis terhadap situasi lingkungan. Disitu tampak, bahwa fenomena "agama" memang perlu didekati secara multidimential approaches (Amin Abdullah, 1996:  10).
Pendekatan multidimensi dicontohkan oleh Rasulullah Saw dalam memahami keragaman karakteristik sahabat ketika beliau menyampaikan wahyu atau ide, sebagaimana Yusuf Qardhawi (1999: 166) menyatakan bahwa Rasulullah Saw dalam mendidik para sahabatnya sebagai murid atau peserta didik senantiasa memperhatikan perbedaan individu antara lain:
a.       Perbedaan pesan atau nasehat-nasehat Nabi Saw, disesuaikan dengan perbedaan setiap individu yang meminta wasiat (nasehat).
b.      Perbedaan jawaban dan fatwa beliau dari pertanyaan yang sama disesuaikan dengan perbedaan keadaan setiap penanya.
c.       Perbedaan sikap dan perilaku Nabi Saw disesuaikan dengan perbedaan setiap orang yang bergaul dengan beliau.
d.      Perbedaan perintah dan hukum pemberian beban (taklif) yang beliau berikan, sesuai dengan perbedaan kemampuan setiap orang yang menerimanya.
e.       Menerima sikap dan perilaku seseorang yang tidak diterimanya dari orang lain, karena perbedaan kondisi.
Metode Rasulullah Muhammad Saw tersebut merupakan representatif ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai sosial (kemanusiaan) dengan memahami keragaman karakteristik. Multi keragaman karakteristik manusia disikapi dengan sikap bijaksana sebagai hikmah dan rahmat lil a'âlamîn. Sehingga umat Islam yang demikian akan menjadi panutan dan dimuliakan sepanjang masa. Oleh karena itu memahami kesalehan sosial sebagai upaya mengamalkan ajaran Islam adalah wajib dan harus disebarluaskan dengan cinta damai serta diwujudkan melalui pondasi institusi pendidikan.
Institusi pendidikan merupakan media utama untuk mensosialisasikan kesalehan sosial dan menjadi Islam yang kuat terhadap militansi kesalehan sosial. Namun demikian untuk sampai kearah tersebut membutuhkan proses yang senantiasa berdinamika sesuai dengan situasi dan kondisi zaman, tentunya dengan kebutuhan dan tantangan yang tidak sama dengan zaman sebelumnya.
Proses sosialisasi dan institusiona-lisasi pendidikan Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah lokal atau daerah. Pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daerah. Interaksi sosial itu berpatokan dan mengacu kepada keyakinan (kesepakatan tentang benar salah), nilai (kesepakatan tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang yang mesti ditinggalkan), yang dianut oleh masyarakat, merupakan perwujudan amal saleh sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial (Departemen Agama Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005: 137-138).
Ekspresi keimanan yang diwujud-kan dalam kesalehan sosial merupakan elaborasi interaksi batin dan interaksi sosial sebagai fakta yang tidak terbantahkan dan akan melahirkan ketenangan jiwa berkaitan dengan interaksi batin dan melahirkan ketentraman lingkungan berkaitan dengan interaksi sosial. Keimanan tersebut senantiasa direformasi dengan kalimat tauhid sebagaimana sabda Rasulullah Saw
جددوا إيمانكم قيل : يا رسول الله وكيف نجدد إيماننا ؟ قال : أكثروا من قول لا إله إلا الله
"Perbaharuilah keimananmu! Dikatakan; Ya Rasululullah! Bagaimana kami memperbaharui keimanan kami, beliau menjawab; perbanyaklah membaca lâ ilâha illallôhu (tidak ada tuhan selain Allah) (H.R. Shahihain dari Abu Hurairah).

Refomasi keimanan dengan kalimat tauhid menuntun manusia agar juga mereformasi kesalehan sosial sesuai dengan perkembangan zaman dengan nilai-nilai kesalehan yang universal dan komprehensif. Sementara itu Muhammad Abduh berpandangan bahwa reformasi sosial serta pendidikan Islam merupakan jalan menuju reformasi politik serta pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat (Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, 1997: 69). Yang dimaksud dengan cengkraman barat ialah keluar dari pengaruh barat yang merusak tatanan kehidupan budaya umat Islam, sementara pengaruh positif seperti kerja keras, bersungguh-sungguh, dan semangat meneliti maka perlu diadopsi oleh umat Islam yang memang untuk sekarang ini sebagai umat terbelakang.
Pengadopsian keilmuan ini juga pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw dengan mengambil kearipan budaya lokal sebagai pranata hukum sosial seperti hukum potong tangan bagi pencuri, khitbah sebelum menikah, pelaksanaan thawaf dan sebagainya. Praktek adopsi dan akulturasi keilmuan juga dipraktekkan pada masa dinasti Abbasiyah dengan membangun baitul hikmah  sebagai pusat peradaban umat Islam ketika itu termasuk penterjemahan pengetahuan Yunani ke dalam bahasa arab. Usaha adopsi dan penterjemahan ini merupakan bagian dari kesalehan sosial dengan pemahaman bahwa semua ilmu adalah milik Allah Swt dari mana saja ilmu tersebut muncul dan menjadi cita-cita sosial.
Cita-cita sosial Islam dimulai perjuangannya dengan menumbuhsubur-kan aspek-aspek akidah dan etika dalam diri pemeluknya. Ia dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga dan masyarakat, hingga akhirnya menciptakan hubungan yangs serasi antara semua anggota masyarakat yang salah satu cerminannya adalah kesejahteraan lahiriah (Quraish Shihab, 1996: 242).
Al-Qur'an dan Sunnah menjelas-kan dengan rinci bahwa bersikap toleran kepada orang-orang yang tidak sependapat dengannya, terutama berbeda pendapat dalam masalah agama dan akidah, adalah merupakan salah satu unsur penting dalam perilaku beradab (Yusuf al-Qardhawy, 1999: 349). Q.S al-Mumtahanah:8-9 memberikan pencerahan bagaimana umat Islam memperlakukan orang-orang yang tidak mempunyai keyakinan yang sama, selama orang-orang kafir tidak mengganggu agama dan tidak mengusir, maka tidak dilarang bagi umat Islam untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, bahkan Allah Swt mencintai orang-orang yang berbuat adil.
Ajaran Islam adalah ajaran yang mendorong umatnya disamping melakukan ibadah secara fardliyah (individual dan masing-masing), juga ibadah secara berjama'ah (Didin Hafidhuddin, 2002: 103). Kedua ibadah ini mempunyai korelasi signifikan, walaupun kadang-kadang seringkali kali dipisahkan dan dianggap tidak mempunyai hubungan dan akibat antara ibadah individual dengan ibadah berjamaah. Padahal ibadah secara berjamaah sebagai wujud kesalehan sosial di samping memiliki pahala dan nilai yang lebih tinggi, berjamaah dalam ibadah dan muamalah memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
a.       Mengundang rahmat dan pertolongan Allah Swt (QS. al-Anfâl [8]: 62 dan QS. at-Taubah [9]: 71).
b.      Allah Swt sangat mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya secara bersama-sama (QS. ash-Shâf [61]: 4.
c.       Contoh membangun masyarakat yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah dengan melalui kesadaran berjama’ah.
d.      Orang-orang kafir pun (walaupun diantara mereka terdapat perbedaan-perbedaan) ketika menghadapi orang-orang yang beriman, mereka juga selalu bersama-sama (QS al-Anfâl [8]: 73.                                                               
Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap kesalehan sosial dibandingkan dengan kesalehan individual. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan kepentingan umum atas kepentingan pribadi. Walaupun demikian keduanya mempunyai balance sesuai dengan situasi dan kondisi, sebab ketika ada pemuda yang ingin ikut berjihad dan ternyata dirumahnya hanya terdapat ibunya yang sudah tua, maka yang paling utama bagi dia adalah mengurus dan berbakti kepadang ibu. Diantara contoh amal saleh yang berhubungan dengan kesalehan sosial dalam ajaran normatif Islam:
a.       Keutaman shalat berjama'ah.
b.      Pentingnya pernikahan.
c.       Perintah bermusyawarah.
d.      Perintah berjihad

B.     Pesantren
Pesantren adalah tempat belajar mengaji secara bersama dan juga sebagian besar tinggal disana, yang terdiri dari komponen utama yaitu; Kyai, santri, masjid, dan asrama atau pondokan (Daryanto, 1997: 488).
Pesantren merupakan lembaga pendidikan model tertua sebelum berdirinya sekolah di bumi pertiwi. Awal mula pondok pesantren berdiri dimulai setelah  Islam masuk ke Indonesia dengan jalan perdagangan dan pernikahan yang membuahkan interaksi sangat kental dengan perdamaian dan persaudaraan (ukhuwah), sehingga terbentuklah perkampungan para pedagang muslim yang sudah berbaur dengan  penduduk lokal.
Bahkan sekarang lembaga negara dengan kementerian agama sebagai institusi mempunyai bidang yang mengangani khusus berkenaan dengan pondok pesantren dinamai dengan bidang PK Pontren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan model tertua sebelum berdirinya sekolah di bumi pertiwi Indonesia. Awal mula pondok pesantren berdiri dimulai setelah  Islam masuk ke Indonesia dengan jalan perdagangan dan pernikahan yang membuahkan interaksi sangat kental dengan perdamaian dan persaudaraan (ukhuwah), sehingga terbentuklah perkampungan para pedagang muslim yang sudah berbaur dengan  penduduk lokal.
Pendirian dan penyebaran pesantren dengan pendekatan sosial menjadikan pesantren tetap survive  sampai masa sekarang ini (kontemporer). Pendekatan sosial yang dimaksud adalah dengan jalan cinta damai, termasuk jalan perdagangan dan pernikahan sebagai suatu interaksi fundamental yang memperkuat keberadaan pondok pesantren karena melahirkan garis keturunan yang kuat.
Keterlibatan pesantren dalam mengusir penjajah merupakan bukti fundamental pesantren untuk cinta dan membela tanah air sebagai rasa nasionalisme (Qaumiyah). Bahkan pesantren senantiasa berada di garis terdepan dalam menghadapi dan mengusir penjajah dari tanah air. Sebab basis pesantren yang berdasarkan ajaran kewahyuan mengajarkan bela negara dan cinta tanah air, serta merupakan bagian dari keimanan.
Bahkan pesantren memberikan teladan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan pada bidang ekonomi, karena ajaran pesantren tidak hanya mengajarkan agar masyarakat cerdas dalam memahami ilmu agama, tetapi juga mengajarkan manusia agar mampu menjadi muzakki, artinya masyarakat harus memiliki harta lebih untuk dapat membantu orang lain, sehingga kesejahteraan yang diperoleh tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi ditularkan kepada masyarakat umum.
Oleh karena itu Sasono memandang bahwa pesantren, bukan sekedar sekolah keagamaan tradisional, tapi juga cermin pusat-pusat ekonomi desa, karena sifatnya yang mandiri dalam mendukung kehidupan pondok pesantren dan lingkungannya. Seorang Kiyai, yang mengelola hibah berupa tanah atau sumber daya lain dari warga sekelilingnya memiliki tanggung jawab moral dalam mengelola sumber daya untuk kemakmuran para anggota masyarakat sernya (Sasono A.,  2001: 10).
Dengan demikian keberadaan pondok pesantren dewasa ini memang sangat dituntut untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan dengan mengem-bangkan kegiatan-kegiatan keterampilan, untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat sekelilingnya (H. Mahpuddin Noor, 2006: 137).

C.    Pesantren dan tantangan zaman
Pondok pesantren harus mampu mendesain pola sistem pendidikannya menjadi sebuah lembaga pendidikan yang representatif mampu menjawab kebutuhan dan tantangan jaman, sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan baik dalam metodologi belajar-mengajar, visi, misi dan kerangka dasar kurikúlûm pendidikan sangat penting untuk dikaji ulang dan disempurnakan. Juga masa belajar di pesantren yang relatif panjang. Padahal, prinsip masyarakat modern cenderung praktis-pragmatis. Prinsip ini tidak hanya berlaku di sektor ekonomi saja, tetapi mulai juga merambah dunia pendidikan.
Fakta pendidikan dengan metode privat, kursus sampai pelatihan telah merebak dan berjamur seakan-akan dengan pendidikan yang singkat, akan memahami dan menguasai ilmu yang dimaksud. Padahal pendidikan tidak dapat diperoleh dengan instan dan karbitan, pendidikan membutuhkan pola fikir matang melalui pelatihan pembiasaan yang kontinyuitas dan teladan yang baik dalam berinteraksi.
Masalah ini akan dapat diatasi kalau pesantren mampu melakukan transformasi terhadap kondisi sosial pesantren antara local social dan modern social, sistem kelembagaan, metode belajar-mengajar, kerangka dasar kurikúlûm, dan visi, misi, tujuan dan target pendidikannya.
Di banyak pesantren tradisional, pengajaran kitab-kitab kuning berbahasa Arab, baik secara “bandongan” dan “sorogan”, memiliki kelemahan metodologis yang memprihatinkan, karena para santri tidak dibekali terlebih dahulu dengan keterampilan berbahasa arab yang memadai. Akibatnya, santri hanya mampu menguasai b yang pernah diajarkan saja, serta lemah dalam mengkaji secara mandiri b-b yang belum pernah dipelajari. Kelemahan metodologis ini juga menyebabkan masa belajar yang ditempuh santri menjadi lebih lama. Tidak salah jika komisi UNESCO mengenai pendidikan abad XXI menyatakan empat pilar, yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live toghether (Delors, j.,  1996).
Menurut Abdullah Gymnastiar, ulama masa depan harus memiliki minimal 3 kemampuan, yaitu:
a.       Kekuatan ruhiyah sehingga ceramahnya memiliki daya hujam pada qalbu terdalam, daya gugah dan daya ubah yang tinggi;
b.      Kemampuan leardership dan manajeman, karena pemimpin membaca potensi umat, menggali dan mensinergikannya; dan
c.       Ulama harus memiliki kemampuan membentuk opini publik dengan menggunakan aneka media yang sudah ada di abad ini. Kalau shaleh tetapi tidak memiliki manajemen dan tanpa menggunakan media, maka dia hanya untuk dirinya sendiri atau wilayah lokal. Sedangkan untuk perubahan global dan mendalam dia harus memiliki ketiganya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada dekade terakhir sebagian kaum santri memperlihatkan kecenderungan untuk mempelajari sains dan teknologi di lembaga-lembaga pendidikan formal di luar pesantren. Namun, pada saat yang sama mereka juga enggan meninggalkan pesantren sebagai wahana untuk mendalami agama dan memperteguh nilai-nilai moral. Gejala ini menyiratkan adanya kegelisahan sebagian kaum santri dalam merespons tuntutan modernisasi yang tak mungkin dielakan.
Kenyataan di atas seharusnya dapat melecut mereka yang berkompeten dalam pengembangan pesantren agar melakukan langkah-langkah transformatif, bila pesantren akan dijadikan sebagai institusi pendidikan yang menjanjikan pada era modern. Kini saatnya bagi pesantren utnuk melakukan reorientasi tata nilai dan tata operasional pendidikannya, agar lebih relevan dengan dinamika kemoderenan, tanpa meninggalkan nilai-nilai trandisional yang telah lama mengakar kuat di pesantren.
Untuk merealisasikan kenyataan itu, maka pondok pesantren perlu mengadopsi sistem pendidikan sekolah dengan cara memadukan kedua sistem itu, khususnya dalam bidang kelembagaan. Walaupun demikian, keterpaduan sistem pendidikan ini harus memperhatikan visi, misi, tujuan dan target yang menjadi acuan pondok pesantren. Karena dikhawatirkan justru dengan adanya keterpaduan sistem pendidikan, malah orientasi lembaga pendidikan menjadi kabur, akhirnya output tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

D.    Peran pesantren terhadap pendidikan kesalehan sosial dan individual
Dari eksistensi dan kesiapan pesantren dalam menghadapi tantangan zaman tersebut, maka jelas bahwa pesantren memiliki peran dan fungsi yang sangat besar dalam mewarnai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan untuk dikombinasikan lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Potret keadaan pesantren sehari-hari menunjukkan bagaimana pesantren membentuk lingkungan yang senantiasa dijalani bersama-sama dengan berbagai rutinitas normatif dan melebur dengan budaya lokal. Walaupun belakangan muncul pesantren ekslusif tetapi jumlahnya masih sedikit. Kebersamaan rutinitas pesantren terjadi karena ada komitmen antara kiayi sebagai figur dan santri sebagai orang yang mengikuti figur tersebut.
Meskipun santri berasal dari pelbagai daerah yang berbeda bahasa dan suku, namun mereka dapat hidup rukun dan saling tolong menolong. Pengkondisian lingkungan pesantren tersebut adalah pengkondisian kesalehan sosial secara mikro. Misalnya bagaimana santri lama membimbing santri baru, bahkan memberikan sesuatu yang belum dimilikinya, dan santri baru belajar menghormati santri lama, kalaupun ada kesalahan masih ditoleransi sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Kemudian semua santri harus hormat kepada semua guru (ustadz), guru sebagai wakil kiayi juga menghormati kiayi. Namun demikian selain pesantren memiliki kelebihan seperti disipin, jujur, ikhlas, berjiwa sosial, patuh-taat, setia, ramah, mandiri, dan sederet sifat-sifat yang sudah menjadi pembiasaan di lingkungan pesantren. Institusi pesantren juga memiliki kelemahan, yaitu:
a.       Problematika figur, kebanyakan pesantren di Indonesia masih mengunggulkan figur untuk menarik banyak santri dan popularitas. Masih sedikit pesantren yang berusaha mengunggulkan pada bidang manajemen. Ini mungkin disebabkan pesantren belum memiliki manajemen yang baik sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Jika figur kiayi lemah maka gaya tarik pesantrenpun akan melemah, berarti jika figur kiayi dalam memahami kesalehan sosial kurang baik, maka akan berdampak kepada lemahnya santri dalam memahami kesalehan sosial. Berbeda dengan pesantren modern yang relatif memiliki manajemen pengelolaan yang baik, namun dari sisi sosial kebersamaan dan penghormatan mereka kepada guru dan pimpinan kurang begitu menonjol, sebab di pesantren modern kiayi tidak dijadikan figur sentral, tetapi lebih sebagai managerial, sehingga dibeberapa pesantren modern istilah pimpinan dan pengasuh pesantren tidak disebut kiayi, tetapi dengan sebutan direktur atau pimpinan.
b.      Pembiasaan santri dengan pondok atau asrama yang memakan waktu lama (tahunan), dengan kejenuhan dan kestatisan perilaku budaya, jika tanpa dikenalkan dengan kehidupan duniar luar pesantren, maka merekapun tidak akan mengetahui realita hidupnya. Oleh karena itu, pesantren perlu turun untuk belajar dari masyarakat, termasuk aspek sosial-budaya, yang secara teori mungkin sudah diajarkan dipesantren. Beberapa tahun yang lalu, di pemerintah daerah Jawa Barat pernah diadakan program santri raksa desa, dan program, ini dibiayai penuh oleh pemerintah. Program pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk dari belajar langsung dilapangan merupakan program yang mendukung untuk menumbuhkembangkan aspek kesalehan sosial dengan melihat fakta bahwa bangsa Indonesia beraneka ragam dengan multi bahasa dan multi etnis. Dan untuk mendiagnosa suatu permasalahan yang sama dengan lokasi yang berbeda tentu akan berbeda, karena faktor budaya dan sosial yang berbeda pula, maka diagnosa yang dilakukan juga harus berbeda, agar mampu memecahkan permasalahan-permasalahan sosial yang ada pada budaya lokal tersebut.  
c.       Kebanyakan pesantren di Indonesia belum memiliki sarana-prasarana yang mendukung untuk mengembangkan pendidikan, seperti media pembela-jaran, teknologi pembelajaran, seperangkat komputer (software dan hardware) sampai kepada LCD proyektor dan media internet untuk menjelajah dunia, sarana olah raga, sarana meningkatkan life skill yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan ser dan kebutuhan santri (kompetensi), seperti otomotif, komputer, teknologi informatika-komunikasi, pertanian, peternakan, perikanan, industri textil dan sebagainya. 


SIMPULAN
Pendirian dan penyebaran pesantren dengan pendekatan sosial menjadikan pesantren tetap survive  sampai masa sekarang ini (kontemporer). Pendekatan sosial yang dimaksud adalah dengan jalan cinta damai, termasuk jalan perdagangan dan pernikahan. Begitu juga dengan keterlibatan pesantren dalam mengusir penjajah merupakan bukti fundamental pesantren untuk cinta dan membela tanah air sebagai rasa nasionalisme (Qaumiyah). Bahkan pesantren memberikan teladan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan pada bidang ekonomi, karena ajaran pesantren tidak hanya mengajarkan agar masyarakat cerdas dalam memahami ilmu agama, tetapi juga mengajarkan manusia agar mampu menjadi muzakki, artinya masyarakat harus memiliki harta lebih untuk dapat membantu orang lain, sehingga kesejahteraan yang diperoleh tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi ditularkan kepada masyarakat umum.
Potret keadaan pesantren sehari-hari menunjukkan bagaimana pesantren membentuk lingkungan yang senantiasa dijalani bersama-sama dengan berbagai rutinitas normatif dan melebur dengan budaya lokal. Namun demikian selain pesantren memiliki kelebihan seperti disipin, jujur, ikhlas, berjiwa sosial, patuh-taat, setia, ramah, mandiri, dan sederet sifat-sifat yang sudah menjadi pembiasaan di lingkungan pesantren. Institusi pesantren juga memiliki kelemahan, yaitu: problematika figur center, Pembiasaan santri dengan pondok atau asrama yang memakan waktu lama (tahunan), dengan kejenuhan dan kestatisan perilaku budaya, jika tanpa dikenalkan dengan kehidupan duniar luar pesantren, maka merekapun tidak akan mengetahui realita hidupnya. Dan Kebanyakan pesantren di Indonesia belum memiliki sarana-prasarana yang mendukung untuk mengembangkan pendidikan

Referensi:
Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, Indonesia-Arab-Inggris, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2007)
Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur'an, (Bangil: Al-Izzah, 1997)
Amin Abdullah, Studi Agama:Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Daryanto, S. Sos, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997)
Delors, j.,  Learning:Tthe Treasure Within, (Paris:UNESCO, 1996)
Departemen Agama Dirjen Kelembagaan Agama Islam, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2005)
Depdikbur RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud,1988)
Didin Hafidhuddin, Membentuk Pribadi Qurani, (Jakarta: Harakah, 2002)
H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung: Humaniora, 2006)
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT Gramedia, 1992)
K.H.Q. Shaleh, H.A.A Dahlan dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung: CV. Diponegoro, 2007)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk aksi, (Bandung: Mizan, 1993)
Muhammad Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, (Jakarta: Listafariska, 2008)
Mutawalli Asy-Sya'rawi,  Bertanya Islam Menjawab, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003)
Nova No. 722\ X1V-30 Desember 2001 “Da’wah dengan berbagai media.’’
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1996)
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, (Tangerang: Lentera Hati, 2005)
Sasono A.,  Tantangan Kebangsaan Dalam Dinamika Global: Menelaah Peran ICMI, (Jakarta: Pustaka Mimbar Minang, 2001)
Syekh Zaenuddin bin Ali bin Ahmad asy-Syafi'i al-Kusyini, Syi'abul Iman, (Semarang: Toha Putra, T.th.)
Yusuf Al-Qardhawy, As-Sunnah Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, alih bahasa: Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Al-Kautsar, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.