flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Rabu, 30 Januari 2013

PENDAPAT PARA MUFASSIR DALAM MENJELASKAN QS AL-QALAM AYAT 2-5 TENTANG SIFAT-SIFAT PENDIDIK


A.    Metode Analisis Ilmu Pendidikan Islam

Ilmu pendidikan Islam sebagai suatu disiplin ilmu, bila dibandingkan dengan ilmu yang lainnya masih relatif baru. Oleh karena itu ilmu pendidikan Islam masih perlu dikembangkan, sekaligus untuk menjawab masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan Islam.
Dalam usaha pengembangan ilmu pendidikan Islam yang merupakan landasan teoritis dan praktis proses pendidikan serta menjawab masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan Islam, maka diperlukan analisis yang dilakukan oleh orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan. Hal ini telah terbukti bahwa pendidikan Islam berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga analisis ini sangat diperlukan oleh pendidikan Islam, karena konsepsi pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Quran dan As-Sunnah yang masih bersifat global dan masih perlu untuk dianalisis lebih mendalam.
Berkenaan dengan penganalisaan teori-teori pendidikan Islam, Arifin (1996:16) berpendapat bahwa masalah-masalah pendidikan Islam pada garis besarnya dapat dianalisis dari aspek konsepsional tentang:
  1. Hakikat pendidikan Islam adalah proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
  2. Asas pendidikan Islam adalah asas perkembangan dan pertumbuhan dalam kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani. Sedangkan asas dalam pendidikan praktis antara lain asas adil dan merata, menyeluruh dan integritas.
  3. Modal dasar pendidikan Islam adalah kemampuan dasar (fitrah) untuk berkembang dari masing-masing manusia karena karuni Tuhan.
  4. Sasaran strategis pendidikan Islam adalah menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai ilmu pengetahuan secara mendalam dan meluas dalam pribadi anak didik agar terbentuk sikap beriman dan bertaqwa. Dengan istilah lain sasaran pendidikan Islam adalah mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhhirat.
  5. Ruang lingkup pendidikan Islam menyangkut kegiatan-kegiatan kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi; lapangan hidup keagamaan agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma-norma ajaran Islam, lapamgan hidup keluarga agar berkkembang menjadi sistem kehidupan yang bebas dari penindasan manusia oleh manusia, lapangan hidup kemasyarakatan agar terbina masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridha dan ampunan Allah, lapanagan hidup seni politik agar tercipta sistem demokrasi yang sehat, dinamis dan sesuai dengan ajaran Islam, lapangan hidup seni budaya agar kehidupan manusia penuh dengan keindahan dan kegairahan yang telah gersang dari nilai moral agama dan lapangan hidup ilmu pengetahuan agar manusia dapat hidup sejahtera dengan disertai iman.
  6. Metode yang digunakan dalam proses pencapaian tujuan adalah metode yang didasarkan atas pendekatan-pendekatan keagamaan, kemanusiaan dan scientific.

Konsep tersebut masih perlu dijabarkan agar proses operasionalisasi pendidikan Islam lebih terpadu. Dalam proses penjabaran itu diperlukan adanya analisis, dan untuk menganalisis suatu masalah diperlukan suatu metode, begitu pula dengan pendidikan Islam.
Jika ditinjau dari segi keilmuannya, menurut Barnadib (1987:15) ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersifat empirik dan normatif. Dikatakan empiris karena objek ilmu pendidikan adalah situasi pendidikan yang terdapat dalam dunia pengalaman. Sedangkan dikatakan normatif karena ilmu pendidikan berdasarkan atas pemilihan antara yang baik untuk manusia sebagai makhluk edukandum.
Maka dapat ditarik suatu asumsi bahwa ilmu pendidikan Islam bersifat empiris dan normatif. Sesuai dengan pendapat Arifin sebelumnya, maka metode analisis empiris dan normatif tersebut disesuaikan dengan tuntunan keilmuan yang islami dengan berdasarkan pada pendekatan-pendekatan yang relevan dengan corak dan watak keilmuan.
Ilmu pendidikan Islam dapat dianalisis melalui norma-norma atau nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (1994:22) bahwa ilmu pendidikan Islam berdasarkan dan sumber dari al-Quran dan al-Hadis.
Apabila ungkapan di atas dihubungkan dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa ilmu pendidikan Islam merupakan ilmu yang normatif, maka analisis berdasarkan pada nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis adalah analisis yang bersifat normatif atau analisis yang berdasarkan pada nilai atau norma.
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa apabila ditinjau dari segi sumbernya, masalah-masalah dalam ilmu pendidikan Islam Islam dapat dianalisis melalui metode analisis empiris normatif.

Selanjutnya, selain dari metode-metode tersebut, masalah-masalah dalam ilmu pendidikan Islam dapat dianalisis melalui metode-metode yang lainnya, antara lain metode induksi dan deduksi. Menurut Ahmad Tafsir (1992:29) bahwa metode berfikir
deduktif adalah peraturan yang dimulai dari peraturan umum untuk membentuk putusan yang khusus. Sedangkan metode induktif adalah suatu penuturan yang dimulai dari putusan yang khusus untuk ditarik kepada keputusan yang umum.
Apabila dikaji dari apa yang dikemukakan sebelumnya, bahwa ilmu pendidikan Islam bersifat empiris dan normatif, maka metode deduktif dan induktif dapat dianggap relevan untuk dijadikan sebagai metode analisis ilmu pendidikan Islam.

B.     Analisis Ilmu Pendidikan Islam terhadap Esensi al-Quran Surat al-Qalam Ayat 2-5 tentang Sifat Pendidik

Dalam surat al-Qalam ayat 2-5, merupakan sebuah bujukan atau hiburan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw, sehingga beliau tetap optimis untuk menegakkan kebenaran dan pantang mundur untuk menyampaikan dakwah Islam, walaupun banyak cobaan yang beliau alami. Satu diantaranya adalah reaksi orang-orang kafir Mekah yang enggan menerima dakwah beliau dengan menuduhnya sebagai orang gila.
Tentu saja sebagai manusia sekali-kali tersinggung juga perasaan beliau lantaran tuduhan gila itu, sekurang-kurangnya menyedihkan hati beliau. Disaat seperti itulah turun ayat ini. Bahwasanya nikmat yang diberikan Allah kepada engkau (Muhammad saw) adalah banyak sekali. Di antara nikmat yang demikian banyaknya adalah satu hal yang jadi puncaknya, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan inilah yang menyebabkan berani karena yang benar.
Melihat dari prosesnya, dalam ayat tersebut terkandung proses pendidikan antara Allah swt dengan Nabi Muhammad saw dan antara Nabi Muhammad saw dengan umatnya. Bimbingan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dilakukan melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau. Dalam hal ini hubungan Allah dengan Rasul-Nya merupakan hubungan antara pendidik dengan terdidik, sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh al-Asakari dan Ibnu As-Samani bahwa beliau bersabda:

أدبنى ربى فأحسن تأديبى

Allah telah mendidikku, maka Allah membaguskan pendidikannya

Catatan: hadits ini sanadnya terdapat kelemahan, tapi maknanya shahih.
Proses pendidikan yang dilakukan Nabi Muhammad saw terhadap umatnya merupakan cermin tanggung jawab beliau dalam menyampaikan risalah Tuhan-nya, sehingga hubungan Nabi dengan umatnya merupakan hubungan antara pendidik dengan anak didik, karena Nabi sebagai pendidik umat yang membimbing dan menunjukkan kepada jalan yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Nur Uhbiyati (1997: 71), bahwa guru adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan dan bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan. Mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Berdasarkan penafsiran para mufassir dan esensi ayat yang terdapat dalam surat al-Qalam ayat 2-5, meskipun ayat tersebut khitabnya kepada Nabi saw, namun dalam kapasitas beliau sebagai pendidik umat, maka ayat tersebut sangat berhubungan dengan pendidikan, khususnya dengan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik ketika melaksanakan tugasnya. Dari sini dapat diambil beberapa sifat pendidik yang tersirat dalam surat al-Qalam 2-5 sebagai berikut:
  1. Sehat Jasmani dan Rohani (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Pada ayat (مَاأَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ), haruf (ما) adalah nafi yang mempunyai arti (kosong dari sesuatu) dalam hal ini Allah menyatakan bahwa Muhammad saw benar-benar terbebas (kosong) dari sifat gila, tidak seperti apa yang dituduhkan orang-orang kafir Makah bahwa beliau adalah orang gila. Serta ayat ini juga adalah bentuk pernyataan berupa pujian Allah, bahwasanya nikmat yang diberikan Allah kepada engkau (Muhammad saw) adalah banyak sekali. Di antara nikmat yang demikian banyaknya adalah satu hal yang jadi puncaknya, yaitu kesehatan jasmani dan rohani. Kesehatan inilah yang menyebabkan berani karena yang benar (Hamka, 1993:7566-7567).
Dalam dunia pendidikan tataran kesehatan rohani (psikis) hal ini mutlak harus ada pada diri seorang pendidik, sedangkan sehat jasmani sebagaimana yang dikatakan oleh Zakiyah Daradjat (1996: 41-44) bahwa seorang pendidik (guru), kesehatan jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi pendidik (guru). Pendidik (guru) yang mengidap penyakit menular umpamannya, sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Di samping itu pendidik (guru) yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Kita kenal ucapan: "Mens sana in corpore sano", yang artinya dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara menyeluruh, akan tetapi bahwa kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat kerja pendidik (guru) sakit-sakitan kerap kali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak-anak.
Ahmad Tafsir (1994: 82-84) ia mengutip beberapa pendapat para tokoh pendidikan Islam mengenai sifat-sifat pendidik (guru), diantaranya adalah yang dikemukakan al-Abrasyi (1974:131) bahwa satu di antara sifat yang harus dimiliki pendidik (guru) adalah bersih tubuhnya artinya penampilan lahirnya menyenangkan, ini juga dikategorikan sebagai sehat secara jasmani.
Masih menurutnya khusus pada tataran kesehatan jasmani, Islam dapat menerima guru (pendidik) yang cacat secara jasmani tetapi sehat, asalkan cacat itu tidak merintangi tugasnya dalam mengajar.
  1. Memiliki Budi Pekerti yang Agung (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Pada ayat (وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ) Menurut keterangan para mufassir merupakan bentuk pujian Allah kepada Nabi saw atas keteguhan sikap Nabi Muhammad saw, tenang dan tentram serta kesabaran ketika orang menuduhnya gila, beliau tidak marah
dan tidak kehilangan akal. Keberhasilan beliau dalam berdakwah karena kesanggupan beliau menahan hati menerima celaan-celaan dan makian dari orang yang bodoh.
Sungguh Allah telah mengumpulkan keutamaan dan kesempurnaan dalam diri Nabi Muhammad saw, keutamaan yang agung, tidak pernah berbuat jelek. Allah Azza Wajalla memberikan sifat yang agung ini kepada Nabi Muhammad. Adapun beberapa sifat yang termasuk dalam akhlak atau budi pekerti yang agung menurut para muffasir adalah:
  1. Sabar (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Sabar adalah menahan diri dan membawanya kepada yang dituntunkan syara dan akal serta menghadirkannya dari segala yang dibenci oleh keduanya (Usman dkk, 1976:95). Keteguhan sikap Nabi Muhammad saw, tenang dan tentram serta sabar ketika orang menuduhnya gila, dia tidak marah dan tidak kehilangan akal termasuk budi pekerti yang agung. Keberhasilan beliau dalam berdakwah karena kesanggupannya menahan diri menerima celaan dan makian dari orang-orang di sekitarnya (Hamka, 1993:7568).
Sebuah Hadis yang menggambarkan sifat sabar beliau sebagai berikut:
Seseorang dari Bani Suwad mengatakan, "aku bertanya kepada Aisyah, beritahukanlah kepadaku hai ummul muminin, tentang akhlak Rasulullah saw? Lalu dia menjawab, tidakkah kamu baca al-Quran" dan sesungguhnya kamu (Muhammad) berbudi pekerti yang agung," dia bertanya lagi, "ceritakanlah kepada kami tentang keagungan akhlaknya itu." Dia menjawab, "pada suatu hari aku pernah membuatkan makanannya utuknya. Ternyata Hafsah pun membuatkan makanan untuknya. Akupun berkata kepada pembantuku, "pergilah, jika Hafsah datang membawa makanan sebelum makananku, maka lemparlah makanan itu." Maka Hafsah pun datang dengan membawa makanan dan pembantu itupun melemparkan makanan tadi sehingga piringnya jatuh dan pecah. Rasulullah saw ketika itu sudah kenyang lalu Rasullah saw mengumpulkannya dan mengatakan, "mintalah pengganti piring itu dari bani Sawad dengan piring lain,"Aisyah berkata, "Dan Rasulullah saw sedikit pun tidak mengomentari hal itu."

Kaitannya dengan sifat pendidik, al-Abrasy (1997: 88) mengatakan bahwa seorang pendidik agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik harus memiliki sifat sabar dalam mengajarkan berbagai materi kepada anak didik. Pendidik harus menyadari bahwa setiap anak didik memiliki kemampuan yang berbeda, dengan demikian pendidik (guru) harus memberikan pengajaran dan latihan dengan berulang-ulang kepada anak didiknya, dia menjalankannya dengan penuh kesabaran. Dengan begitu, seorang pendidik tidak tergesa-gesa dari memaksakan keinginannya kepada siswa serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri siswa.
  1. Pemaaf (murah hati) (Tafsir al-Azhar, Ibn Katsir)
Menurut Hamka, sifat murah hati (pemaaf) dan tawadlu menjadi satu dari sekian sifat yang dimiliki oleh Rasulullah saw dalam kaitannya dengan Q.S. al-Qalam ayat 3. Sebagai contoh dalam sebuah Hadis tatkala beliau melakukan dakwah yang artinya:
Dari Abdullah bin Masud ra, dia berkata: seakan-akan aku melihat kepada Rasulullah saw ketika beliau menceritakan Nabi dari Nabi-nabi yang banyak itu, di dipukul oleh kaumnya sampai berdarah-darah, disapunya darah yang mengalir diwajahnya itu lalu dia berdoa: "Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu".

Sebenarnya Hadis ini menceritakan perjalanan dakwah Rasulullah saw. Ada, dua sifat yang kita temui disini, Pertama memberi maaf (pemaaf) karena mendoakan orang-orang yang berbuat jahat kepadanya supaya diberi ampun oleh Tuhan. Kedua ketika dia memberi pengajaran kepada sahabat-sahabatnya dirinya tidak ditonjolkan, melainkan dikatakannya ada seorang Nabi di antara Nabi-nabi yang demikian tinggi, patut ditiru.
Pemaaf (murah hati) berasal dari kata maaf, secara harfiyah "menghapus". Memaafkan berarti menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak yang dinilai tidak wajar (Quraish Shihab, 1995:474). Dengan kata lain sifat pemaafan atas dosa dan kekeliruan. Perkataan ini digunakan dalam al-Quran antara lain dalam konteks sebagai bagian dari sifat-sifat Allah. Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4:43):

إن الله كان عفوا غفورا

Sesungguhnya Allah Maha pemaaf dan Maha pengampun.
Rasulullah saw sebagai pendidik dan pembina umat dituntut oleh Allah Swt agar memiliki sifat pemaaf (al-Maraghi, 1993:192). Betapa tidak umat yang diseru dan dibimbingnya ke jalan kebenaran ini adalah makhluk yang dasarnya tidak bisa lepas dari kemungkinan berbuat salah dan berdosa. Mereka adalah orang-orang yang dalam upaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan kesalehan yang diajarkan Nabi terbentur dengan keterbatasan-keterbatasan mereka sendiri.
Dalam ayat 4 surat al-Qalam, Allah swt menyerukan kepada Rasulullah saw bahwa beliau benar-benar memiliki akhlak yang agung (luhur) satu diantaranya yang termasuk didalamnya adalah pemaaf. Hikmah yang dapat diambil adalah agar banyak memaklumi, mengerti kelemahan dan keterbatasan umat dalam memahami, menghayati dan mau menerima ajaran Islam. Begitu halnya, seorang pendidik benar-benar perlu memiliki sikap mental seperti ini.
Dalam profesi yang ditekuninya, seorang pendidik tentu akan menghadapi manusia-manusia yang sangat mungkin melakukan kesalahan, kekeliruan, kelalaian yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Kesalahan itu mungkin menyangkut sikap anak didiknya teerhadap pribadi pendidik, terhadap mated yang ia bawakan, terhadap cara bagaimana ia menyampaikan atau terhadap rekan mereka sendiri. Semua ini menuntut sikap arif seorang pendidik, sehingga ia dapat mengambil tindakan secara profesional dan edukatif. Karena itulah, seorang pendidik harus memiliki sikap lapang dada serta memaafkan yang merupakan atribut dari kearifan tersebut (al-Abrasyi, 1993:138).
Seorang pendidik harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia melaksanakan tugasnya dengan baik, yakni seorang guru bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil, berkepribadian dan mempunyai harga diri (Nut Uhbiyati, 1999:85).
Hal ini sejalan dengan pendapat Zakiyah Darajat (1996: 43), seorang guru hendaklah memiliki sifat manusiawi karena guru adalah manusia yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia yang sempurna, oleh karena itu ia harus berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera memperbaikinya. Dengan demikian, pandangannya tidak picik terhadap kelakuan manusia pada umumnya dan anak-anak pada khususnya. Ia dapat melihat perbuatan yang salah menurut ukuran yang sebenamya, ia memberi hukuman yang adil dan suka memaafkan apabila anak insyaf akan kesalahannya.
Pendidik yang pemaaf, boleh jadi akan mengundang simpatik siswanya, dan dengan kemaafannya itu ia masih akan bersikap positif terhadap amanah dan profesi yang diembannya. Bagaimanapun maaf-memaafkan merupakan salah satu kunci untuk melepas beban psikologis dan membuat ringan serta lapang jiwa. Hal ini merupakan kondisi yang baik bagi semua amal saleh dalam pendidikan.
  1. Demokratis (Tafsir Ibn Katsir)
Sebuah Hadis yang dirawikan oleh dua syaikh (Bukhari-Muslim):
Anas berkata; Sepuluh tahun lamanya aku menjadi pembantu Rasulullah saw beliau tidak pernah menghardikku, tidak pernah beliau menegurku: mengapa engkau kerjakan itu? Jika aku mengerjakan sesuatu. Tidak pernah pula beliau menegur; mengapa tidak engkau kerjakan? Jika sesuatu tidak aku kerjakan. Dan beliau adalah manusia yang paling baik akhlaknya, dan belum pernah aku menyentuh kain halus ataupun sutera ataupun yang lain yang sehalus telapak tangan beliau. Dan belum pernah aku mencium kasturi atau minyak alhar yang lebih harum daripada keringat beliau. (Tafsir Ibn Katsir, hal:363)

Sikap demokratis tercermin dalam Hadis di atas, beliau tidak pernah memaksa ataupun menegur bahkan memarahi. Beliau membiarkan sahabatnya untuk memilih apa yang dikehendakinya karena mereka masih dalam tahap belajar. Di dalam mendidik anak, seorang pendidik harus bersikap demokratis, dalam arti tidak pernah memaksakan kehendak kepada mereka. Demokrasi merupakan modal bagi setiap orang untuk mengembangkan kreativitas. Selain itu dikhawatirkan apabila anak-anak dididik dengan cara yang serba ditekan, tidak demokratis berarti pendidik telah ikut menyumbangkan dan membenkan kontribusi menciptakan orang-orang yang otoriter.
Seorang pendidik hendaklah menyesuaikan pendidikan anak-anak itu sejajar dengan perubahan yang terjadi dan bersikap sebagai layaknya pendidik anak-anak kita, tidak selalu menuntun mereka, harus seperti ini, harus seperti itu, jangan seperti ini atau jangan seperti itu, didiklah anak-anak kita agar mereka dapat melihat dan membedakan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, agar mereka nanti mampu berdiri sendiri dan tidak sentiasa bergantung kepada pendidik (guru).
Dalam hubungan ini, anak-anak itu boleh diberikan kebebasan yang terbatas dalam arti kita memberikan mereka bimbingan, nasehat dan teguran. Juga walaupun kita sibuk, kita hendaklah memberikan masa untuk kita berkomunikasi dengan anak-anak kita, berbincang dengan mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat. Anak-anak itu juga hendaklah diberikan kesempatan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat dan merasakan bahwa mereka adalah salah satu dari anggota keluarga yang dihargai.
  1. Berilmu (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Bagi seorang pendidik (guru), ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Guru pun harus mempunyai ijazah supaya ia dibolehkan mengajar, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah murid sangat meningkat, sedangkan jumlah pendidik jauh dari mencukupi, maka terpaksa menyimpang untuk sementara, yakni menerima pendidik yang belum berijazah, tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru makin baik mutu pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam bagi seorang pendidik adalah agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengajarkan pada muridnya. Apabila banyak kekeliruan yang dilakukan seorang pendidik akan mengurangi kepercayaan anak didik kepadanya sehingga anak didik merendahkan dan menyepelekan segala ilmu yang diberikan kepadanya. Kekeliruan seorang guru dapat menimbulkan keraguan dalam diri siswa. Maka, penambahan wawasan dan pengetahuan bagi seorang pendidik merupakan hal yang paling penting sehingga dia dapat meraih simpati dan minat anak didiknya.
  1. Tawadlu (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Orang muslim sebaiknya memiliki sifat tawadlu tanpa menghinakan dirinya. Tawadlu adalah akhlak dan sifat yang mulia, sedangkan lawan dari tawadlu adalah sombong. Karena itu tawadlu untuk tinggi dan tidak sombong agar tidak rendah. Ini karena ketentuan Allah swt yang menghendaki mengangkat orang-orang yang tawadlu karena-Nya dan merendahkan orang-orang yang sombong. Rasulullah saw bersabda yang artinya:
Harta itu tidak berkurang karena sedekah, Allah tidak menambahkan pada hamba yang memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadlu karena Allah melainkan Allah mengangkatnya (Muslim)
Seorang pendidik mesti hadir dalam dirinya sifat yang demikian. Karena dengan sifat tawadlu ini secara otomatis seseorang itu akan melahirkan sifat kasih sayang, lemah lembut, tidak sombong, sopan santun, bisa menghormati orang lain dan sebagainya. Selain itu akan melahirkan kewibawaan di mata orang-orang khususnya pada anak didiknya. Orang lain juga akan bisa menaruh kepercayaan padanya. Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku bahwa hendaklah kalian bersikap tawadlu hingga seseorang tidak sombong dan tidak berbuat zalim terhadap orang lain (HR. Muslim)
  1. Banyak beribadah kepada Allah swt (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Pendidik yang sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak agar selalu beribadah serta bertaqwa kepada Allah swt, jika ia sendiri tidak pernah melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh agama serta bertaqwa kepada Allah. Sebab ia adalah teladan bagi muridnya sebagaimana Rasulullah Muhammad saw menjadi tauladan bagi umatnya. Sejauhmana seorang pendidik mampu memberi teladan baik kepada murid-muridnya sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia.
  1. Banyak bersyukur (Shofwatu at-Tafasir, hal: 426)
Sangat berat ujian dan cobaan menjadi seorang pendidik, "belum selesai" urusan yang menyangkut para muridnya, ia dihadapkan dengan kebutuhan hidupnya (finansial) yang menyangkut keluarga. Oleh karena itu rasa selalu untuk bersyukur harus tertanam pada diri seorang pendidik. Apabila seorang pendidik mampu menampakkan sesuatu sesuai dengan fungsi dan kegunaannya melalui petunjuk al-Quran dan al-Hadis, maka ia akan mengetahui arah dan tujuan si-Pemberi sehingga tidak "mengecewakan" si-Pemberi.
Dalam literatur ke Islaman dipahami bahwa seluruh keberadaan alam semesta ini adalah pemberian Allah swt, Dia-lah yang menjadikan alat untuk menikmati kenikmatan begitu pula "materi" yang akan dinikmati. Tugas kita sebatas mengubahnya menjadi yang kita minati dan sukai sesuai kebutuhan, hanya saja dalam beberapa proses ini kita sering lupa bahwa "seolah" kita telah "menciptakan" yang telah diciptakan Allah. Sikap itu lama-lama mengkristal menjadi "kesombongan" untuk menggeser peran Allah swt sebagai Sang Maha Pencipta.
Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur'an” mengatakan: Ulama ketika menafsirkan firman Allah “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS. al-Baqarah, ayat: 152), menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Hal ini menunjukkan bahwa makna syukur sebenarnya menghadirkan Allah disegenap nikmat-nikmat-Nya, dengan mensyukuri nikmat-Nya maka secara otomatis kita mengakui eksistensi Allah swt, dalam kehidupan ini.
Dengan cara pandang seperti ini (salah satunya) maka akan didapati bahwa sebenarnya kebahagiaan sejati itu tidaklah terletak pada “kekayaan”, namun kebahagiaan sejati didapati pula dan jiwa manusia yang selalu bersyukur.
Memang rasa syukur itu sendiri adalah “anugerah” tidak semua orang bisa menikmati perasaan itu, karena belum tentu orang yang selalu bertaburan dari lidahnya ungkapan syukur ia adalah benar-benar pengamal sikap syukur. Karena seringkali apa yang tampil dari diri kita ternyata belum tentu cerminan dari kesungguhan hati, semua sekadar tradisi atau pergaulan. Akhirnya begitu menerima kenikmatan "lupa" dengan mengungkapkan syukur baik kepada yang memberi maupun pada diri sendiri.
Banyak di antara kita terjebak memandang fatamorgana ini menjadi standar kebahagiaan dan pergaulan, padahal tatkala itu semua tidak ada lagi maka alangkah sedihnya, karena kita akan sendiri, tidak dipandang dan diakrabi orang lagi. Sungguh kita akan menuai hasil sebagai akibat desain pergaulan yang kita buat itu.
Harta, tahta dan mahkota sangat “"labil” dibalik itu semua tersimpan "amanah" untuk mensyukurinya, bahkan seperti yang dijelaskan pada ayat-ayat yang sering diulang-ulang dalam surat ar-Rahman bahwa Allah swt kerab bertanya “dari sekian banyak dari nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan kamu dustakan”?
Sudah menjadi sifat dasar dari manusia bahwa ia adalah makhluk yang sering mengalami rasa "berkeluh kesah" disebutkan dalam al-Quran: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (keberuntungan) maka ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat". (Q.S. al-Maarij ayat: 19-22).
Maka dengan segenap fasilitas yang kita miliki hari ini sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, karena kunci kesejahteraan diri bukan terletak pada banyak sedikitnya harta, tetapi pada besar-kecilnya ungkapan syukur yang mampu kita wujudkan. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin dekat, dengan begitu hati
inipun semakin tenteram.
  1. Zuhud (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
عن ابى هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا نظر احدكم الى من فضل عليه فى المال والخلق، فلينظر الى من هو أسفل منه (اخرجه البخارى)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang di antara kamu melihat orang lain yang memiliki kelebihan harta dan kecantikannya. Maka hendaklah ia melihat juga orang yang berada di bawahnya (dikeluarkan oleh Bukhari).
Hadis ini mengisyaratkan agar menempuh jalan qanaah dan mengisi dirinya dengan keridhaan Allah. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melihat orang di bawah kita. Dengan cara ini nikmat Allah akan dikenalinya. Demikiana rasa syukur terhadap-Nya dengan tanpa dibarengi rasa merendahkan dan menghinakan orang lain.
Sebagai seorang pendidik Islam sudah seharusnya mengikuti dan meneladani akhlak Rasulullah saw yang melaksanakan tugas risalah tanpa pamrih, kecuali semata-mata untuk mencari keridhaan Allah (Moh. Zuhri, 1990:172). Dengan cara ini seorang pendidik makin dekat kepada Tuhannya dan semakin besar pahalanya.
Karena pendidik (guru) memiliki posisi tinggi dan suci, sudah selayaknya seorang pendidik (guru) tahu kewajiban yang sesuai dengan posisinya sebagai pendidik. Kewajiban pendidik (guru) itu adalah menyebarkan dan mengajarkan ilmu kepada siapa saja termasuk murid. Oleh karena itu tidak selayaknya seorang pendidik mengajar dengan maksud semata-mata mencari upah, gaji atau balas jasa. Dengan kata lain pendidik hendaknya tidak memandang anak didik sebagai pihak yang diberi, sehingga mengharapkan imbalan jasa atas pemberiannya; tetapi sebagai pihak yang memberi jalan untuk memperoleh pahala yang besar dan medekatkan diri kepada Allah swt dan menyebarkan pengetahuan.
Dengan demikian bisa diibaratkan bahwa keuntungan akan diperoleh oleh petani dan bukan oleh orang yang punya ladang, maksudnya, bahwa pahala di sisi Allah itu lebih banyak untuk pengajar dibanding untuk anak didiknya (Sudirman, 197:57)
  1. Sopan Santun (Tafsir al-Azhar, Shofwatu At-Tafasir, Ibn Katsir)
Sebuah Hadis yang diterima oleh Hisyam bin Urwah bin Zuber juga dari Aisyah berkata: “Tidak seorangpun yang sebaik Rasulullah saw budinya: walaupun yang memanggilnya keluarga ataupun sahabatnya, beliau selalu menjawab: “Labaik”. (Hamka, 1993:7570)
Sikap sopan santun atau keramahan yang sangat tinggi, tercermin dari Hadis di atas. Beliau selalu menghormati siapa saja tanpa membedakan status atau golongan manapun, ia menganggap bahwa semuanya saudara dan harus mendapat perlakuan sebagaimana layaknya saudara.
Keteladanan dalam pendidikan anak adalah metode yang paling meyakinkan untuk keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual dan sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam tindak-tanduknya, dan sopan santunnya, disadari ataupun tidak, hal ini akan tercetak dalam jiwa dan perasaan dari gambaran pendidik tsb, baik dalam ucapan atau perbuatan, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak diketahui.
Allah swt juga telah mengajarkan, dan Dia adalah peletak metode samawi yang tiada taranya, bahwa Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada ummat manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral maupun intelektual." Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw suri tauladan yang baik" (QS. al-Ahzab: 21). Al-Asakari dan Ibnu As-Samani meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda yang artinya: "Tuhanku telah mendidikku dengan pendidikan yang baik"
Dengan demikian, ketahuilah oleh para ayah, ibu dan pendidik, bahwa pendidikan dengan memberikan teladan yang baik adalah penopang dalam upaya meluruskan anak. Bahkan menjadi dasar dalam peningkatan keutamaan, kemuliaan dan etika sosial yang terpuji.
Tanpa memberikan teladan yang baik ini, pendidikan terhadap anak-anak tidak akan berhasil, dan nasihat tidak akan membekas. Karenanya, bertakwalah kepada Allah swt, wahai para pendidik dalam mendidik anak-anak kita. Mendidik mereka adalah tanggung jawab yang dibebankan atas pundak kita.
  1. Rasa malu untuk melakukan kejelekan (Ibn Katsir)
عن ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان
Dari Abu Hurairah ra berkata: keimanan itu mempunyai cabang lebih dari tujuh puluh, dan sifat malu itu cabang dari keimanan.
Perasaan enggan untuk berbuat jahat, karena ingat bahwa Allah mengetahuinya, kecewa jika meninggalkan berbuat baik yang dapat dikerjakannya.
Seorang pendidik hendaklah selalu ingat dan sadar apa sebenarnya tujuan dari mendidik. Dengan sadar akan tugasnya maka ia tidak akan berbuat hal-hal yang dapat merugikan dirinya, dan orang lain khususnya muridnya. Dengan malu akan berbuat kejelekan memberikan ketaatan kita kepada syariat Allah swt.
Malu untuk menyimpang dari tugas dan kewajiban ia menjadi pendidik, artinya menjalankan amanah Allah agar mendidik dan memimpin anak-anak ke jalan yang benar. Memberikan pendidikan yang sesuai dengan aturan yang telah digariskan dan memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah. Tidak memalingkan pendidikan anak-anak kepada mereka yang tidak sehaluan, tidak seiman dan tidak seagama dengan ummat Islam serta hams mempertahankan aqidah anak-anak dengan mendidik mereka melalui cara-cara yang islami.
Nabi Muhammad saw memperingatkan kepada setiap ibu bapak dan pendidik ummat Islam tentang kewajiban terhadap anak-anak. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa mengurus pendidikan anak-anak lebih dari sekedar fardhu kifayah.
Selain itu pendidik juga harus menjaga diri pribadinya dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran Islam dengan cara memegang teguh cara mengerjakan apa yang diperintahkan dan ilarang oleh Allah swt. Karena bagaimanapun tidak, sedikit atau banyaknya anak didik akan mencontoh bahkan meniru segala yang dilihatnya dari seorang pendidik.
  1. Lemah lembut dan kasih sayang (Tafsir Shafwatu At-Tafasir, Ibn Katsir)
Dalam konsep pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi (pentarbiyah) dan Muaddib (pembentuk tingkah laku). Kedua istilah ini mempunyai perbedaan yang mencolok. Menurut pendapat Ramayulis dengan mengutip pendapat Naquib al-Attas (1994: 1-2), bahwa kata tarbiyah secara semantik tidak khusus untuk mendidik manusia, melainkan dapat dipakai pada spesies lain, seperti mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah juga berkonotasi, ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan juga berarti menjinakkan. Adapun kata ta'dib mengacu pada kata ilmu, pengajaran (ta'lim) dan pengasuh yang baik (tarbiyah). Dari situlah menurutnya kata ta'dib lebih tepat untuk digunakan dalam istilah pendidikan Islam.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa Allah swt adalah pendidik yang paling tinggi. Dan Allah yang pertama kali mengajarkan asma-Nya kepada manusia yang pertama tentang nama-nama yang ada di alam jagat raya ini (QS. 2:31).

Orang yang pertama mengaplikasikan pendidikan sejak munculnya Islam adalah Nabi Muhammad saw dan beliau yang telah menjadikan al-Quran sebagai dasar pendidikan Islam di samping sunnahnya sendiri. Allah swt telah mengisyaratkan kepada Nabi Muhammad saw agar dalam pelaksanaan penyiaran Islam dilakukan dengan lemah lembut, begitu juga dalam melakukan pengajaran kepada umatnya penuh dengan kelembutan dan kasih sayang. Kasih sayang dalam pendidikan merupakan modal yang pertama dan utama yang mesti dimiliki oleh pendidik. Bila pendidik telah memiliki kasih sayang yang tinggi kepada muridnya maka pendidik akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan yang terbaik dalam rangka meningkatkan keahliannya, karena ia ingin memberikan yang terbaik pada si terdidik yang disayanginya (Ahmad Tafsir, 1992:85).
Abu Ahmadi (1996: 75) menegaskan bahwa seorang pendidik hams dapal menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum menjadi seorang guru. Dengan sifat ini seorang pendidik harus mencintai murid-muridnya dengan kasih sayang seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia memikirkan anaknya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan mencintai anak murid yang bukan anak kandungnya sendiri adalah pekerjaan yang secara psikologis cukup berat.
Sementara itu, menurut al-Abrasyi (19993: 138), kelembutan adalah ciri penyampai kebenaran dan kebaikan, karakter pendidik dan pembina umat. Hal ini seperti yang diamanahkan Allah kepada Musa as. dan Harun a.s. ketika mereka diutus menyampaikan nilai-nilai risalah kepada Fir'aun dan Yahudi, sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran surat Thaha (20: 42-44)
اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي. اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى.
Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan (dengan itu) ia mau ingat atau takut" (Depag RI, 1993:480).
Dari ayat di atas dapat diambil beberapa hal penting berkaitan dengan kelemahlembutan sebagai sebuah karakter seorang pendidik.
  1. Kelemah-lembutan seorang pendidik diorientasikan bagi terciptanya suasana kondusif untuk melahirkan kesadaran, kefahaman dan ketundukan terhadap nilai-nilai yang diajarkan serta terhadap materi pendidikan.
  2. Kelemah-lembutan harus ditunjang oleh bobot isi yang menjadi nilai esensial suatu pendidikan yaitu kualitas materi pendidikan.
Kelemahlembutan pada suatu sisi merupakan media atau metode pendekatan psikologis yang menjadikan media antara pendidik dan anak didiknya, sehingga proses pendidikan dapat mencapai hasil optimal.
  1. Jujur (Tafsir UII)
Kejujuran adalah puncak keutamaan yang menjadikan dasar tegaknya masyarakat, tertibanya segala urusan dan perjalanan hidup yang terpuji. Kejujuran juga akan mengangkat tinggi martabat seseorang di hadapan orang banyak, tempat kepercayaan, dicintai orang banyak, perkataan terhormat di sisi penguasa dan persaksian yang diterima di majelis hakim.
Seorang pendidik harus dapat dipercaya sebagai tempat titipan untuk anak didik (amanah). Tidak membiarkan murid berada dalam kesalahan, melainkan membimbingnya ke arah yang benar (perhatian dan tanggung jawab). Selain itu di dalam sikap, pendidik harus menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya. Jika apa yang diajarkan pendidik sesuai dengan apa yang dilakukannya, maka anak didik akan menjadikan gurunya sebagai teladan. Namun, jika perbuatan gurunya bertentangan degan apa yang dikatakannya, anak didik akan menganggap apa yang diajarkan gurunya sebagai materi yang masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
  1. Adil (Tafsir Ibn Katsir, UII)
...ولو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها...
...Jika seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya...
Dari Hadis di atas jelas terlihat bagaimana keadilan Rasulullah saw dalam memberikan hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah walaupun kepada keluarganya. Termasuk dalam hal ini seorang pendidik tidak berpihak atau mengutamakan kelompok tertentu. Artinya dia harus menyikapi setiap anak didiknya sesuai dengan perbuatan dan bakatnya, mengarahkan dan memberikan apa yang menjadi haknya masing-masing. Seumpamanya seorang pendidik dalam memberikan hukuman kepada anak didiknya tanpa memandang anak siapa, kalau jelas anak tersebut melakukan kesalahan maka berikanlah mereka hukuman sesuai dengan kesalahan yang dibuatnya dalam rangka melakukan pendidikan.
  1. Tegas dan Berani (Tafsir Ibn Katsir)
Sifat tegas dan berani selalu ditunjukkan dalam diri Rasulullah saw misalnya pada saat beliau menetapkan hukum pada suatu perkara. Sebagai pendidik sudah selayaknya bersikap tegas dan berani menindak anak yang bertindak buruk dengan cara menegurnya sebisa mungkin atau dengan cara menyindir dan penuh kasih sayang, bukan dengan terus terang dan mencelanya, sebab teguran yang terakhir dapat membuat anak didik membangkang dan sengaja terus menerus bertingkah laku buruk.
Selain itu pendidik juga harus mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa. Jika dia dituntut untuk di kelas, dia tidak boleh menampakkan kelunakannya; dan sebaliknya jika dia dituntut untuk lembut, dia harus menjauhi kekerasan, bagaimanapun, seorang guru adalah pemimpin kelas yang perintahnya harus diikuti dan diindahkan oleh anak didiknya. Lebih jauh lagi, seorang guru harus menunjukan kasih sayangnya kepada anak didik, tanpa sikap berlebihan sehingga sewaktu-waktu dia bisa bersikap toleran tanpa menjadikannya generasi yang santai dan malas (Abdurahman An Nahlawi, 1996:72)
  1. Suka menolong (Tafsir UII)
Pendidik selain mengajar ia juga harus bisa memberikan pertolongan khususnya kepada anak didiknya. Pertolongan itu berupa memberikan bimbingan ataupun lainnya yang dapat memberikan motivasi kepada siswa. Sebagaimana Oemar Hamalik (1995:65) mengatakan bahwa seorang guru (pendidik) diharapkan bersikap menunjang, membantu, adil dan terbuka dalam kelas.
Proses bantuan yang diberikan oleh guru sangat besar perannya dalam proses belajar mengajar. Dengan bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik (guru), akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan serta menciptakan antusiasme terhadap pelajaran yang sedang diberikan.
Para pendidik, yang dianggap sudah dewasa rohani dan jasmaninya itu harus membawa anak-anak didiknya yang masih berada dalam taraf ketergantungan atau dependency serta masih memerlukan bimbingan dan bantuan itu kearah berdiri sendiri dan kearah kedewasaan.
Perlu diingat bahwa selain guru berperan sebagai pembimbing, juga berkaitan dengan masalah sikap siswa dalam menanggapi peran guru sebagai pembimbing tersebut. Hal ini dipandang penting karena bagaimanapun juga efektivitas proses belajar mengajar yang berlangsung di dalam kelas sedikit banyak ditentukan pula oleh cara siswa dalam menyikapi gurunya ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Kepercayaan dan tumpuan harapan tentang pentingnya kedudukan pendidik atau guru dalam proses belajar mengajar sampai kapanpun tidak akan pernah "luntur". Berbagai penelitian telah dilakukan dan memberikan hasil yang menggembirakan tentang efektivitas peranan pendidik dalam mempengaruhi mutu hasil belajar peserta didik.
Kegagalan pendidik atau guru dibidang tugasnya antara lain sebagian mereka kurang memahami fungsinya sebagai orang kedua bagi peserta didiknya.
  1. Optimis yang disertai tawakal (Tafsir UII)
Optimis adalah sifat percaya diri yang tinggi bahwa yang diperbuatnya akan mencapai keberhasilan. Sedang tawakal harfiah "tawakal" (Arab, dengan ejaan dan vokalisasi yang benar: tawakal) berarti bersandar atau mempercayai diri. Dalam agama, tawakal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa. Karena mengandung makna "mempercayakan diri" maka tawakal merupakan implikasi langsung dari iman. Sebab iman tidak saja berarti "dipercayakan adanya" Tuhan (sesuatu yang orang-orang musyrik Mekah di zaman jahiliyah pun melakukannya), tetapi lebih bermakna "mempercayai" atau "menaruh kepercayaan" kepada Tuhan satu-satunya tanpa sekutu yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Nurcholis Madjid, 1992:46). Sebagaimana diungkapkan oleh Hamka (1987: 185), bahwa tawakal adalah menyerahkan keputusan segala perkara ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam.
Dari kedua uraian di atas dapat kita pahami bahwa optimistis merupakan sifat yang pantang mundur dan yakin bahwa yang dilakukannya akan berhasil atau bermanfaat, sedangkan tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah kita berusaha sepenuhnya, kendati demikian hendaknya kita memperhatikan sebab-sebab lahiriah yang bisa mengantarkan ke arah keberhasilan. Hanya saja tidak boleh sepenuhnya percaya terhadap sebab-sebab lahiriah itu, bahkan harus berkeyakinan bahwa yang dilakukannya hanyalah untuk memelihara hikmah Ilahi.
Jadi tawakal merupakan aspek transendental dari suatu usaha atau amal. Tawakal selalu dinisbahkan kepada Allah, dengan kata lain Allah tempat manusia muslim bertawakal. Tawakal adalah penyerahan urusan kepada Allah seiring dengan usaha yang sedang atau sudah dilakukan dengan sekuat kemampuan manusiawinya (optimis). Dengan demikian tawakal menggambarkan sikap optimis dalam berbuat. Namun disertai dengan kerendahan hati (tawadlu) bahwa keberhasilan dari usaha tersebut tidak terlepas dari pertolongan Allah. Di sini terdapat penghayatan bahwa Allah terlibat dalam perbuatan dan amal yang sedang dilakukan.
Kesadaran serupa ini mcnurut Nurcholis Madjid (1992: 45), tidak saja merupakan realisme metafisik, tetapi juga memerlukan kcberanian moral karena bernilai aktif yaitu keberanian untuk menginsyafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam ilmu pendidikan, pendidikan adalah proses yang tidak mudah bila hal itu dilakukan dengan segenap amanah dan tanggung jawab. Karenanya, tidak heran jika pendidikan menuntut adanya tekad yang tinggi (optimis) untuk menghadapi manusia-manusia didik yang sedang tumbuh berkembang dan belajar dengan segala kekurangan, kelemahan dan keterbatasan mereka yang terkadang menggiring mereka kepada hal-hal negatif adalah hal yang tidak ringan. Terlebih lagi, hal itu dihadapi juga oleh semua manusia biasa.
Pendidik bukanlah makhluk super yang dapat melakukan semuanya, namun juga mereka bukanlah manusia yang mudah menyerah menghadapi tantangan yang berat. Optimis disertai dengan kekentalan sikap mental spiritual pada diri seorang pendidik merupakan bekal yang baik bagi proses pendidikan.

Pengertian Kisah-kisah dalam Al-Qur'an


Pengertian Kisah
Qashash berarti bekasan atau mengikuti bekasan (jejak).Lafadz qashash adalah mashdar yang berarti mencari bekasan atau jejak.Qashash bermakna: urusan, berita, khabar dan keadaan. Qashash juga berarti berita-berita yang berurutan. Qashash al-Qur’an ialah khabar-khabar dari al-Qur’an tentang keadaan-keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri serta menerangkan bekasan-bekasan dari kaum-kaum purba itu (T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1993: 187).
Al-Qur’an telah menyebutkan kata qashash dalam beberapa konteks, pemakaian, dan tashrif (konjungsinya); dalam bentuk fi’il mâdhi (kata kerja lampau), fi’il mudhâri’ (kata kerja sedang atau akan dating), fi’il amar (lata kerja perintah), dan dalam bentuk mashdar (kata kerja yang dibendakan).
Imam ar-Raghib al-Ashfahani mengatakan dalam kitab Mufradat-nya (al-Muradât fi Ghârib al-Qur’an) tentang kata ini (qishash), “al-Qashash berarti mengikuti jejak”.Dikatakan, qashashtu atsaruhu “saya mengikuti jejaknya”.
Al-Qashash berarti jejak (atsar). Allah Swt berfirman:
... #£s?ö$$sù #n?tã $yJÏdÍ$rO#uä $TÁ|Ás% ÇÏÍÈ   .
"… lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Q.S. al-Kahfi: [18]: 64).
ôMs9$s%ur ¾ÏmÏG÷zT{ ÏmÅ_Áè% ...
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: "Ikutilah dia" …” (Al-Qashash: [28]: 11).
Al-Qashash ialah cerita yang dituturkan (kisah). Allah Swt. berfirman:
 ¨bÎ) #x»yd uqßgs9 ßÈ|Ás)ø9$# ,ysø9$# ...
“Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar….” (Ali Imrân: [3]: 62).
... $£Jn=sù ¼çnuä!$y_ ¡Ès%ur Ïmøn=tã }È|Ás)ø9$# tA$s% Ÿw ô#ys? ...
“Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut”. (al-Qashash: [28]: 25).
ß`øtwU Èà)tR y7øn=tã z`|¡ômr& ÄÈ|Ás)ø9$#   ....
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik ...” (Yusuf; [12]: 3)
Adapun qishash adalah menuntut. balas atas darah (pencederaan fisik atau pembunuhan) dengan balasan serupa (Shalah al-Khalidi, 1999: 21-22).
Macam-macam kisah dalam al-Qur’an
Kisah dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu kisah anbiya, kisah orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiannya dan kisah yang berpautan dengan peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah Saw.
Al-Qur’an mengandung tentang dakwah para nabi dan mukjizat-mukzijat para Rasul dan sikap umat-umat yang menentang, serta marhalah-marhalah dakwah dan perkembangannya, di samping menerangkan akibat-akibat yang dihadapi para mukmin dan golongan-golongan yang mendustakan, seperti qashash Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad Saw. dan lain-lain.
Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan orang-orang yang tidak dapat dipastikan kenabiannya, yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati dan seperti kisah Thalut dan Jalut, dua putera Adam, Ahlu al-Kahfi, Dzu al-Qornanin, Qarun, Ashhâb as-Sabti, Maryam, Ashhâb al-Ukhdûd, Ashhâb al-Fîl dan lain-lain.
Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah Saw. seperti peperangan Badar dan Uhud yang diterangkan dalam surat Ali Imrân, peperangan Hunain dan Ahzab yang diterangkan dalam surat al-Ahzab dan Hijrah serta Isra dan lain-lain.

Faidah-faidah dari Kisah-kisah al-Qur’an
Beberapa faidah dari kisah-kisah al-Qur’an ialah:
a.       Menjelaskan dasar-dasar dakwah kepada agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syari’at yang disampaikan oleh para nabi
b.      Mengokohkan hati Rasul dan hati umat Muhammad dalam beragama dengan agama Allah dan menguatkan kepercayaan para mukmin tentang datangnya pertolongan Allah dan kehancuran kebathilan.
c.       Mengabdikan usaha-usaha para nabi dan pernyataan bahwa mereka dahulu adalah benar.
d.      Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad Saw. dalam dakwahnya dengan dapat beliau menerangkan keadaan-keadaan umat-umat yang telah lalu.
e.       Menyingkap kebohongan Ahl al-Kitâb yang telah menyembunyikan isi kitab mereka yang masih murni.
f.       Menarik perhatian para pendengar yang diberikan pelajaran kepada mereka.

Hikmah berulang-ulang disebut kisah dalam al-Qur’an
Al-Qur’an melengkapi berbagai kisah yang diulang-ulang menyebutnya di beberapa surat. Sebuah kisah disebut berulang kali dalam bentuk yang berbeda-beda, kadang-kadang pendek, kadang-kadang panjang. Di antara hikmah yang demikian itu, ialah:
a.       Menandaskan kebalaghahan al-Qur’an dalam bentuk yang paling tinggi. Di antara keistimewaan-keistimewaan balaghah ialah menerangkan sebuah makna dalam berbagai macam susunan. Dan di tiap-tiap tempat tersebut dengan susunan dan perkataan yang berbeda dari yang telah disebutkan. Dengan demikian selalu lah terasa sedap kita mendengar dan kita membacanya.
b.      Menampakkan kekuatan ijaz. Menyebut suatu makna dalam berbagai bentuk susunan perkataan yang tak dapat ditantang salah satunya oleh sastrawan-sastrawan Arab. Menjelaskan bahwasannya al-Qur’an itu benar-benar dari pada Allah.
c.       Memberikan perhatian yang penuh kepada kisah itu. Mengulang-ulang sebutan adalah salah satu dari pada jalan-jalan ta’kid (penguatan) dan salah satu dari tanda-tanda besarnya perhatian. Seperti keadaannya kisah Musa dan Fir’aun.
d.      Karena berbeda tujuan yang karenanya lah disebut kisah itu. Di suatu tempat diterangkan sebagiannya, karena itu saja yang diperlukan dan di tempat-tempat yang lain disebut lebih sempurna karena yang demikianlah yang dikehendaki keadaan.

Tujuan Kisah dalam Al-Qur'an
Kisah dalam al-Qur'an bertujuan semata-mata untuk mewujudkan maksud dan tujuan keagamaan sebagaimana yang telah kita ketahui. Tujuan-tujuan ini sangat banyak sekali hingga sulit untuk dihitung dengan jari.
Penetapan wahyu dan risalah, penetapan keesaan Allah, kesatuan beragama pada dasarnya, memberi peringatan dan kabar gembira, penayangan fenomena-fenomena kekuasaan Tuhan, akibat dari kebaikan dan kejahatan, terburu-buru dan pelan-pelan, sabar dan gundah, syukur dan kufur dan banyak lagi yanglainnya daripada maksud dan tujuan keagamaan serta tujuan-tujuan moral, semua itu sungguh telah dicakup oleh kisah dan kisah merupakan jalan dan alat untuk itu (Sayyid Quthb, 2004: 158).
Seandainya kita memaparkan tujuan-tujuan kisah dalam al-Qur'an, sebenarnya hanya menetapkan tujuan-tujuan terpenting dan yang jelas kelihatan saja, bukan membatasi, yaitu sebagai berikut:
a.       Tujuan kisah al-Qur’an antara lain adalah untuk menetapkan wahyu dan risalah. Muhammad bukanlah seorang yang biasa membaca dan menulis. Dia juga tidak pernah bersama atau datang kepada seorang pendeta Yahudi dan Nasrani. Kemudian ada kisah-kisah dalam al-Qur'an - yang sebagian kisahnya dipaparkan secara detail - seperti kisah tentang Ibrahim, Yusuf, Musa, dan Isa. Kedatangan kisah-kisah ini dalam al-Qur'an menjadi dalil dan bukti bahwa itu adalah wahyu yang diwahyukan kepda Muhammad Saw.
Dalam pembukaan atau akhir kisah itu, al-Qur'an dengan jelas menyatakan akan tujuan ini. Contohnya dalam pembukaan surah Yusuf [12]: 2-3.
“Sesungguhnya kami menurunkannya berupa AI Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran lni kepadamu, dan Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah terrnasuk orang-orang yang belum Mengetahui".
b.      Tujuan kisah dalam al-Qur'an yang lainnya adalah menerangkan agama seluruhnya dari Allah, sejak masa Nabi Adam sampai masa Nabi Muhammad Saw. Juga menerangkan bahwa kaum mu'minin seluruhnya adalah umat yang saru dan Allah Maha Esa, Tuhan semua makhluk. Banyak sekali terdapat kisah-kisahbeberapa nabi dalam satu surah, yang disajikan dengan cara yang special bentuk mengukuhkan kebenaran ini.
Ketika tujuan ini merupakan tujuan mendasar dalam dakwah, maka sering kali kisah-kisah ini terulang, serupa tapi tak sama dalam penyajiannya. Tujuannya adalah untuk lebih mengukuhkan kebenaran ini dan mengokoh-kannya di dalam jiwa. Mari kita lihat misalnya, seperti dalam surah al-Anbiya',
"Dan Sesungguhnya Telah kami berikan kepr la Musa dan Harun Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat. Dan Al-Quran Ini adalah suatu Kitab (peringatan) yangmempunyai berkah yang Telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkari-nya?". (Q.S. Al-Anbiya' [28]: 48-50).

"Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, Maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang kami Telah memberkahinya untuk sekalian manusia (yang dimaksud dengan negeri di sini ialah twa yam, terrnasuk di dalamnya Palestina. Tuhan memberkahi negeri itu artinya: kebanyakan nabi berasal dari negeri lni dan tanahnya pun subur). Dan kami Telah memberikan kepada-Nya (Ibrahim) lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). dan masing-masingnya kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah (Q.S. Al-Anbiya [28]: 70-73).

c.       Tujuan-tujuan kisah dalam al-Qur'an lainnya adalah menerangkan bahwa seluruhnya adalah satu dasar apalagi agama itu seluruhnya datang dari Allah Swt. Berdasarkan tujuan itu, ada beberapa kisah dalam al-Qur'an juga tentang para nabidan dalam satu surah pula. Dalam kisah itu diulang-ulangi akidah dasar, yaitu beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Seperti yang ada di dalam surat al-A'raf.
"Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)". (Q.S. al-A’raf [7]: 59)
"Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (Q.S. al-A’raf [7]: 65).
"Dan (Kami Telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka shafeh. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. unta betina Allah Ini menjadi tanda bagimu, Maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (Q.S. al-A’raf [7]: 73)
"Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan (Madyan adalah nama putera nabi Ibrahim a.s. Kemudian menjadi nama kabilah yang terdiri dari anak cucu Madyan itu. Kabilah ini diam di suatu tempat yang juga dinamai Madyan yang terletak di pantai laut Merah di tenggara gunung Sinai) saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (Q.S. al-A’raf [7]: 85)

d.      Menjelaskan bahwa cara-cara para nabi dalam berdakwah itu satu dan penerimaan kaum mereka hampir mirip semuanya - apalagi agama itu dari Tuhan yang samadan berdasarkan satu asas yang sama pula. Berdasarkan tujuan ini, ada beberapa kisah dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan para nabi yang juga terkumpul dalam satu surah, terulang di dalam kisah-kisah itu cara berdakwah mereka.
Seperti dalam surah Huud,
"Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (Dia berkata): "Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu. Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta". (Q.S. Hud [11]: 25-27)

“Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan Aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi Aku memandangmu suatu kaum yang tidak Mengetahui" (Q.S. Hud [11]: 25-27).

''Mereka Berkata "Hai Nuh, Sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, Maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar" (Q.S. Hud [11]: 32).
"Dan kepada kaum 'Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. kamu hanyalah mengada-adakan saja. Hai kaumku, Aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang Telah menciptakanku. Maka Tidakkah kamu memikirkan(nya)?" Kaum 'Ad berkata: "Hai Huud, kamu tidak menda-tangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan nieninggalkan sembahan-sembahan kami Karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami Telah menimpakan penyakit gila atas dirimu." Huud menjawab: "Sesungguhnya Aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadaoku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku (Q.S. Hud [11]: 53-55).
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kah tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. dia Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, (Maksudnya manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkan dunia). Karena itu mohonlah ampunan-Nya, Kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya). Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, Sesungguhnya kamu sebelum Ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan Sesungguhnya kami betul-betul dalam keiaguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."

e.       Menerangkan asal yang sama antara agama Nabi Muhammad dan agama Nabi Ibrahim, secara khusus, dan agama-agama Bani Israil secara umum. Juga menampakkan bahwa hubungan ini lebih erat dan hubungan-hubungan umum lainnya antara seluruh agama. Isyarat ini diulang-ulangi dalam kisah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa.
"Sesungguhnya Ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa" (Q.S. Hud [11]: 61-62)
"Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak kan memikul dosa orang lain" (Q.S. al-A’la [87]: 18-19).
"Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman" (Q.S. Ali Imran [3]: 68).
"..... (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim, dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu..... (Q.S. Al-Hajj [22]: 46).
'"Dan kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. dan kami telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan Kitab yang  sebelumnya, yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa" (Q.S. Al-Maidah [5]: 46). Sampai pada ayat "Dan kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti havva nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu untuk tiap-tiap umat diantara kamu, (umat Nabi Muhammad Saw. dan umat-umat sebelumnya) kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu". (Q.S. Al-Maidah [5]: 48).

f.       Menerangkan bahwa Allah Swt., pada akhirnya pasti akan menolong para nabi-nabi-Nya dan membinasakan orang-orang yang menaustakan mereka. Hal itu untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw. dan memberikan pengaruh di dalam jiwa orang-orang yang diajaknya kepada iman.
Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dan dalam surat Ini Telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman" (Q.S. Hud [11]:120).
Atas tujuan ini, ada kisah-kisah para nabi yang juga dikumpulkan dalam satu surah dan mirip satu sama lainnya, kemudian diakhiri dengan kisah kebinasaan orang-orang yang mendustakan mereka,
"Dan Sesungguhnya kami Teiah mengutus Nun kepada kaumnya, Maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kvrang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim". Maka kami selamatkan Nuh dan penumpang-penumpang bahtera itu dan kami jadikan peristiwa itu pelajaran bagi semua umat manusia" (Q.S. Al-Ankabut [29]: 14-15).

"Dan (Ingatlah) ketika Luth Berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu" (Q.S. Al-Anikabut [29]: 28).
"Sesungguhnya kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota Ini Karena mereka berbuat fasik. Dan Sesungguhnya kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata (Maksudnya bekas-bekas runtuhan kota Sodom, negeri kaum Luth) bagi orang-orang yang berakal (Q.S. Al-Anikabut [29]: 34-35).
"Dan (Kami Telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan, saudara mereka Syu'aib, Maka ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah  pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan. Maka mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka (Q.S. Al-Ankabut [29]: 36-37).

g.      Membenarkan kabar gembira dan kabar ancaman serta menyajikan contoh-contoh nyata dari pembenaran ini. Seperti yang ada di dalam surah al-Hijr,
"Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Q.S. Al-Hijr [15]: 49).
Dan kabarkanlah kepada mereka tentang tamu-tamu Ibrahim (Tamu Nabi Ibrahim di sini adalah malaikat). Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan: "Salaam". Berkata Ibrahim: "Sesungguhnya kami merasa takut kepadamu". Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim" (yang dimaksud dengan seorang anak laki-laki yang alim ialah Ishak a.s.).
"Maka tatkala para utusan itu datang kepada kauin Luth, beserta pengikut pengikutnya. la berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal". Para utusan menjawab: "Sebenarnya kami Ini datang kepadamu dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan kami datang kepadamu membawa kebenaran dan Sesungguhnya kami betul-betul orang-orang benar. Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutlah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kamu menoleh kebelakang (Perhatikan kembali surat Hud ayat 81) dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu". Dan Telah kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh" (Q.S. Al-Hijr [15]: 61-66).

"Dan Sesungguhnya penduduk-penduduk kota Al-Hijr (Penduduk kota al-Hijr ini ialah kaum Tsamud. Al-Hijr tempat yang terletak di Wadi Qura antara Madinah dan Syiria) Telah mendustakan rasul-rasul, (Yang dimaksud dengan rasul-rasul di sini ialah Shaleh. Mestinya di sini disebut rasul, tetapi disebut rasul-rasul (jamak) karena mendustakan seorang rasul sama dengan mendustakan semuar rasul-rasul) Dan kami Telah mendatangkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami, tetapi mereka selalu berpaling daripadanya. Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang didiami) dengan aman. Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur di waktu pagi (Peristiwa tersebut terjadi pada hari yang keempat, sesudah datangnya peringatan kepada mereka). Maka tak dapat menolong mereka, apa yang Telah mereka usahakan" (Q.S. al-Hijr [15]: 81-86).

h.      Menerangkan nikmat Allah atas para Nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya, seperti kisah Nabi Sulaiman, Nabi Dawud, Nabi Ayyub, Nabi Ibrahim, Maryam, Nabi Isa, Nabi Zakaria, Nabi Yunus, dan Nabi Musa. Ada beberana episode kisah temang para nabi itu, yang di dalam kisah itu ditampakkan nikmat yang diberikan kepada mereka dalam beberapa situasi. Penampakkan nikmat ini adalah tujuan irama dari kisah tersebut.
Memberi peringatan kepada anak-anak Adam terhadap godaan rayuan setan, juga menampakkan pennusuhan abadi antara setan dan mereka, yang berawal sejak bapak mereka, Adam.
i.        Menerangkan kekuasaan Allah atas hal-hal yang di luar kebiasaan. Seperti kejadian Nabi Ibrahim a.s. dan kisah lahirnya Nabi Isa a.s. Juga kisah Nabi Ibrahim dan burung yang kembali kepadanya setelah dia memisahkan begian-bagian tubuh burung itu dan meletakkannya di beberapa gunung yang terpisah pula. Juga kisah tentang "orang-orang yang melalui suaru negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya", lalu Allah menghidupkan mereka setelah berlalu seratus tahun.
Menjelaskan tentang akibat dari perbuatan baik dan saleh serta akibat dari perbuatan jahat dan merusak. Seperti kisah dua orans anak Adam, kisah pemilik kebun, dan kisah-kisah Bani Israil setelah mereka berbuat maksiat, juga kisah Ashab al-Ukhdud orang yang membuat parit (Sayid Quthb, 2004: 158-171).
2.1.1        Maksud dan Tujuan Keagamaan dari Kisah-kisah al-Qur'an
Kisah-kisah dalam al-Qur'an tunduk (tergantung) dengan maksud tujuan keagamaan, sebagaimana yang telah kita ketahui. Oleh karena itu, ketundukan ini menimbulkan bekas atau pengaruh yang sangat jelas dalam cara pemaparan kisah, bahkan dalam materi kisahnya. Pengaruh ketundukan dari kisah al-Qur'an akan penulis paparkan sebagaimana berikut:
a.       Pengaruh pertama ketundukan ini bahwa satu kisah kebanyakan bisa datang terulang di beberapa tempat yang terpisah. Namun pengulangan sebagian episodenya saja, dan kebanyakan hanya berupa isyarat sekilas akan hal-hal yang dijadikan sebagian i'tibar di dalam kisah itu.
Kisah keseluruhannya, tidak terulang. Kalaupun ada, itu sangat jarang sekali. Ketika seseorang membaca episode yang terulang ini sambil memperhatikankonteks yang ada di sana, dia pasti akan menemukan episode terulang tersebut sangat cocok dengan konteks itu. Hal khususnya dalam metnilih episode yang dikisahkan di sini atau yang dikisahkan di sana, juga dalam cara penyampaiannya.
Kita harus ingat selalu bahwa al-Qur'an adalah kitab dakwah keagamaan dan keserasian antara episode kisah yang dikisahkan dan konteks yang kisah itu ada dan sama sekali tidak merusak ciri khas seni.
Selain itu, hal tersebut mirip dengan susunan yang telah ditetapkan dalam memaparkan beberpa episode yang terulang dari satu kisah; yang akan jelas ketika kita membaca sesuai dengan urutan turunnya ayat, maka sebagian besar kisah dalam al-Qur'an didahului isyarat singkat. Kemudian isyarat itu memanjang sedikit demi sedikit, yang kemudian memaparkan beberapa episode panjang yang terbentuk dalam keseluruhannya menjadi sebuah kisah. Terkadang isyarat-isyarat singkat itu terus ada di antara pemaparan episode-episode panjang manakala terdapat kecocokan. Hingga apabila episode kisah itu sempurna, isyarat-isyarat itu kebali ke tujuan pemaparannya masing-masing.
b.      Pengaruh ketundukan kisah dalam al-Qur'an dengan tujuan keagamaan - selain adanya pengulangan - ialah kisah itu dipaparkan dengan maksud itu telah tersampaikan dan dari episode yang sesuai dengan maksud tersebut saja. Terkadang kisah dikisahkan dari awalnya, terkadang dari tengahnya, dan terkadang juga dari aklurnya. Terkadang dikisahkan secara sempurna, terkadang cukup dengan beberapa episode saja, dan terkadang pula setengah-setengah sesuai i'tibar atau maksud tujuan yang tersirat di dalamnya.
c.       Pengaruh ketundukan kisah dalam al-Qur'an dengan maksud tujuan keagamaan bahwa dimasukkan ke dalam konteks kisah beberapa arahan dan petunjuk keagamaan, sebelumnya, sesudahnya, atau di pertengahan kisah.

Agama dan Seni dalam Kisah
Semua nabi yang diutus, dia mengatakan kalimat penuh hidayah, lalu didustakan oleh manusia sesat, kemudian dia wafat. Setelah itu, datang lagi nabi seianjutnya dan berkata seperti kalimat yang dikatakan oleh Nabi sebelumnya dan Items berlalu (wafat), begitulah seterusnya (Sayyid Quthb, 2004: 191-192).
Hal ini terkadang timbul suatu kemiripan dengan susunan umum, sebab akhir episode yang dipaparkan sesuai susunan surah serasi cocok dengan inti keagamaan yang karenanya kisah itu disampaikan. Di waktu yang sama, penutup (akhir) ini serasi dan cocok: dengan dasar-dasar seni, seakan-akan itu semata-mata penutup artistik (yang bersifat seni), tidak ada sedikit pun untuk maksud keagamaan belakangnya.

Keistimewaan-keistimewaan Artistik dalam Kisah
Penulis akan paparkan tentang beberapa keistimewaan artistik umum dengan maksud keagamaan dalam kisah dapat terwujud lewat keindahan artistik. Sebab, keindahan ini bisa lebih memudahkan masuknya kisah itu ke dalam dan mampu memperdalam kesannya dalam perasaan.
Pembahasan tentang hal ini mencakup empat tampilan penuh artistik, karena masuk hal terpenting dalam pelajaran seni kisah di dunia seni. Keistimewaan artistik pertama adalah keanekaragaman cara penyampaian.
1.      Menyebutkan sinopsis kisah, kemudian baru setelah itu memaparkan rincian-rinciannya dari awal sampai akhir. Seperti cara penyampaian kisah Ahl al-Kahfi (penghuni goa). Kisah itu dimulai seperti ini.
"Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan kami yang mengherankan. (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian kami bansunkan mereka, agar kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu" yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).

Itulah ada ringkasan atau sinopsis kisah, baru setelahnya diikuti oleh rincian-rincian tentang berembuknya mereka sebelum masuk ke dalam goa, keadaan mereka setelah memasukinya, tidur mereka dan terbangunnya mereka. Juga tentang salah seorang dari mereka diminta untuk membeli makanan ke kota dan tentang kembalinya dari kota, serta kematian mereka dan pembangunan tempat ibadah di atas kubur mereka. Juga tentang perselisihan manusia saat itu tentang mereka dan seterusnya. Seakan-akan sinopsis adalah pendahuluan yang mampu menimbulkan keinginan untuk mengetahui kisah selanjutnya.
2.      Menyebutkan kesimpulan kisah dan maksudnya, baru kemudian dimulai kisah itu dari awal dan terus berlanjut dengan memaparkan rincian-rincian episodenya. Seperti kisah Musa dalam al-Qashash. Kisah itu dimulai seperti ini
y7ù=Ï? àM»tƒ#uä É=»tGÅ3ø9$# ÈûüÎ7ßJø9$# ÇËÈ   (#qè=÷GtR šøn=tã `ÏB Î*t7¯R 4ÓyqãB šcöqtãöÏùur Èd,ysø9$$Î/ 5Qöqs)Ï9 šcqãZÏB÷sムÇÌÈ   ¨bÎ) šcöqtãöÏù Ÿxtã Îû ÇÚöF{$# Ÿ@yèy_ur $ygn=÷dr& $YèuÏ© ß#ÏèôÒtGó¡o Zpxÿͬ!$sÛ öNåk÷]ÏiB ßxÎn/xムöNèduä!$oYö/r& ¾ÄÓ÷ÕtGó¡our öNèduä!$|¡ÏR 4 ¼çm¯RÎ) šc%x. z`ÏB tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÍÈ   ߃̍çRur br& £`ßJ¯R n?tã šúïÏ%©!$# (#qàÿÏèôÒçGó$# Îû ÇÚöF{$# öNßgn=yèøgwUur Zp£Jͬr& ãNßgn=yèôftRur šúüÏOͺuqø9$# ÇÎÈ   z`Åj3yJçRur öNçlm; Îû ÇÚöF{$# y̍çRur šcöqtãöÏù z`»yJ»ydur $yJèdyŠqãZã_ur Nßg÷YÏB $¨B (#qçR$Ÿ2 šcrâxøts ÇÏÈ  
ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari Allah). Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun de- ngan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).

Baru kemudian dirincikan kisahnya: keiahirannya, masa pertumbuhannya, penyusuannya, besarnya, pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang Mesir, dan keluarnya dari Mesir. Seakan-akan pendahuluan yang mengungkapkan kesimpulan dari kisah ini sebagai prolog yang menimbulkan keinginan untuk mengetahui alur kisah hingga terwujud kesimpulan yang telah tertulis dan telah diketahui ini.
3.      Menyebutkan kisah langsung tanpa ada pendaghuluan juga tanpa sinopsis dan dalam ketiba-tibaan ini juga memiiiki keistimewaan tersendiri. Seperti kisah Maryam saat melahirkan Nabi Isa, kisah Sulaiman dengan semut, Hudhud, dan Ratu Bilqis.
4.      Terkadang kisah itu berubah seperti sandiwara. Dan terkadang disebutkan beberapa lafal yang memberitahukan akan awal pemaparan, kemudian membiarkan kisah bercerita tentang kisahnya dengan perantara para pemainnya.
Keistimewaan kedua adalah keanekaragaman dengan cara tiba-tiba. Terkadang rahasia secara tiba-tiba disembunyikan dari pemain dan dari pemirsanya, hingga dibukakan untuk mereka berdua dengan tiba-tiba secara bersamaan dan di waktu yang sama pula. Seperti kisah Musa dan Hamba yang shaJeh dan alim di dalam surah al-Kahfi [18]: 60-82,
"Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada muridnya : "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau Aku akan berjalan sampai bertahun-tahun". Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikarmya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari nakanan kita; Sesungguhnya kita Telah merasa letih Karena perjalanan kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya Aku Iupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan Aku untuk mencerita-kannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang Telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama Aku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati Aku sebagai orang yang sabar, dan Aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganiah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai Aku sendiri menerangkannya kepadamu". Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu Telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah Aku Telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku". Musa berkata: "Janganiah kamu menghukum Aku Karena keiupaanku dan janganiah kamu membebani Aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku". Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan Kaieaa dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu Telah melakukan suatu yang mungkar". Khidhr berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" Musa berkata: "Jika Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganiah kamu memperbolehkan Aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku". Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau. niscaya kamu mengambil upah untuk itu". Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara Aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Terkadang rahasia dapat ditemukan oleh pemirsa dan para pemain dalam kisah dibiarkan tidak tahu. Mereka bertingkah laku tanpa mereka ketahui apa rahasia dan semua mansuai menyaksikan akan tingkah laku mereka tersebut. Hal ini terjadi kebanyakan dalam adegan atau kisah pengejekan agar pemirsa ikut mengejek jugasejak awal kisah, di mana dia dipeboiehkan mengejek sebab tingkah laku pada pemainnya sendiri. Seperti kisah pemilik kebun dalam al-Qur'an surat al-Qalam ayat 17-20.
Sesungguhnya kami Telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana kami Telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akanmemetik (hasil)nya di pagi hari. Dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin), Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita. Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari: "Pergilah diwaktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya". Maka pergilah mereka saling berbisik-bisik.

Terkadang di suatu tempat, beberapa rahasia terbuka untuk pemirsa namun masih menjadi misteri bagi pemainnya dan di tempat lain menjadi misteri bagi pemirsa juga bagi pemainnya di dalam satu kisah. Contohnya adalah kisah singgasana Ratu Bilqis yang didatangkan dalam sekejap mata.
Kadang pula tidak ada di sana rahasia yang tersembunyi, namun di waktu yang sama kekagetan melanda pemirsa juga pemain, padahal di saat itu keduanya mengetahui akan rahasianya. Seperti kekagetan-kekagetan kisah Maryam, ketika ia membuat tabir (dinding) yang melindunginya. Di sana dia dikagetkan dengan munculnya Rûh al-Amîn (Jibril) dalam bentuk seorang laki-laki.
Keistimewaan artistik ketiga adalah dalam penyampaian kisah, yaitu celah-celah antara satu adegan dan adegan lain yang mengakibatkan terjadinya pembagian dan pemotongan adegan-adegan, yang dalam kisah sandiwara modern dilakuikan dengan penurunan tirai dalam film modern dilakukan dengan perpindahan episode. Yakni dengan meninggalkan antara setiap dua adegan atau dua episode celah atau jeda yang bisa diisi sengan khayalan dan dapat dinikmati dengan menebak apa yang akan terjadi, dalam waktu antara adegan yang sudah lewat dan antara adegan yang akan dating itu.
Cara ini dapat ditelusuri dalam kisah al-Qur’an dan bisa juga anda telusuri dalam kisah-kisah yang telah dipaparkan sebelumnya. Misalnya, kisah Yusuf sebagaimana berikut:
$£Jn=sù (#qÝ¡t«øŠtFó$# çm÷YÏB (#qÝÁn=yz $wŠÅgwU ( tA$s% öNèd玍Î7Ÿ2 öNs9r& (#þqßJn=÷ès? žcr& öNä.$t/r& ôs% xyzr& Nä3øn=tæ $Z)ÏOöq¨B z`ÏiB «!$# `ÏBur ã@ö6s% $tB óOçFÛ§sù Îû y#ßqム( ô`n=sù yytö/r& uÚöF{$# 4Ó®Lym tbsŒù'tƒ þÍ< þÎ1r& ÷rr& zNä3øts ª!$# Í< ( uqèdur çŽöyz tûüÏJÅ3»ptø:$# ÇÑÉÈ   (#þqãèÅ_ö$# #n<Î) öNä3Î/r& (#qä9qà)sù !$tR$t/r'¯»tƒ žcÎ) y7uZö/$# s-ty $tBur !$tRôÍky­ žwÎ) $yJÎ/ $uZôJÎ=tæ $tBur $¨Zà2 É=øtóù=Ï9 tûüÏàÏÿ»ym ÇÑÊÈ   È@t«óur sptƒös)ø9$# ÓÉL©9$# $¨Zà2 $pkŽÏù uŽÏèø9$#ur ûÓÉL©9$# $uZù=t6ø%r& $pkŽÏù ( $¯RÎ)ur šcqè%Ï»|Ás9 ÇÑËÈ  
 “Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya". Kembalilah kepada ayahmu dan Katakanlah: "Wahai ayah kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri, dan Kami hanya menyaksikan apa yang Kami ketahui, dan sekali-kali Kami tidak dapat menjaga (mengetahui) barang yang ghaib. Dan tanyalah (penduduk) negeri yang Kami berada disitu, dan kafilah yang Kami datang bersamanya, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang benar".
Tirai diturunkan untuk kembali bertemu bersama mereka dalam adegan Iain, bukan di Mesir dan bukan pula di jalan, tetapi di hadapan bapak mereka. Saat itu, mungkin mereka telah menceritakan kepada bapaknya apa yang diminta oleh saudara mereka (Yusuf) tapi kita tidak mendengar apa yang mereka katakan. Namun saat tirai diangkat kembali, kita dapati bapaknya berkata kepada mereka,
"Ya'qub berkata: "Kanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Ilustrasi dalam Kisah
Ilustrasi pada adegan-adegan kisah ada beberapa warna. Pertama tampak pada penyajian dan menghidupkan cerita. Kedua, tampak pada pengimajinasian atau pengilustrasian perasaan dan emosional. Ketiga, tampak pelukisan karakter. Ketiga warna ini tidak terpisah satu sama lain, namun bisa salah satunya lebih tampak dan lebih jelas di suatu adegan atau kisah melebihi dua warna lainnya.
Hakikatnya, sentuhan-sentuhan artistik ini semuanya bisa dilihat di adegan-adegan dalam semua kisah. Contohnya kisah Ashabul Kahfi, adegan Ibrahim dan Ismail juga adegan Nuh dan anaknya dalam kisah bencana topan. Semuanya adalah contoh-contoh kekuatan penyajian dan menghidupkan cerita hingga pembaca mengira bahwa adegan itu ada di hadapan. Dapat dia rasakan dan dapat dia lihat.

Menggambarkan Karakter dalam Kisah
Kisah mempunyai pengaruh yang kuat terhadap jiwa, maka seorang pendidik selayaknya memperbanyak kisah-kisah yang bermanfaat. Dalam hal ini penulis akanmenerangkan tujuan pengajaran kisah yang berada dalam kisah itu sendiri,khusunya kisah-kisah Qur'ani. Menurut Abdurahman al-Nahlawi, bahwa tujuan pengajaran kisah yang terpenting antara lain:
1)       Kisah-kisah Qur'ani disajikan untuk mengokohkan wahyu dan risalah Rasulullah. Artinya Nabi Muhammad Saw tidak pernah belajar kepada pendeta Yahudi dan Nasrani ketika beliau harus membacakan kisah-kisah tersebut kepada kaumnya.
2)       Kisah-kisah dalam al-Qur'an merupakan penjelasan bahwa seluruh agama yang dibawa para nabi berasal dari Allah.
3)       Melalui kisah-kisah Qur'ani kita memperoleh kejelasan bahwa Allah adalah penolong para rasul dan penoJong orang-orang beriman lainnnya serta mengasihi dan menyelamatkan mereka dari berbagai bencana, mulai zaman nabi Adam a.s. hingga zaman Nabi Muhammad Saw.
4)       Kisah-kisah Qur'ani mampu menghibur kaum mukminin yang sedang bingung, sedih atau tertimpa musibah melalui penggambaran kokohnya keimanan Rasulullah Saw. dan pengikutnya serta mampu memberikan sugesti besar kepada orang-orang yang cenderung pada keimanan.
5)       Kisah-kisah dalam al-Qur'an pun mengingatkan manusia pada bahaya yang datang dari sepak terjang setan melalui penonjolan permusuhan abadi anatara setan dengan manusia.
6)       Kisah-kisah al-Qur'an mampu memberikan penjelasan rinci tentang kekuasaan Allah dan melalui itu kita dapat menyajikan penjelasan yang dapat mempengaruhi emosi kedahsyatan dan ketakutan terhadap Allah, sehingga kekhusyukan, ketundukan, serta kepasrahan terhadap-Nya dapat terbina.
Panduan materi berkisah yang dikemukakan penuiis antara lain mengenai; Kisah (cerita) dalam pendidikan, daya tarik cerita (kisah), jenis-jenis kisah cerita), etika berkisah (bercerita), bahasa dalam berkisah (bercerita), cara al-Qur'an berkisah (bercerita), perencanaan berkisah (bercerita), media dan metode penyampaian kisah (cerita), panduan pengajaran kisah (cerita), dan penanaman nilai moral dalam berkisah (bercerita). Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut.
a)      Kisah (cerita) dalam Pendidikan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa cerita Islami dinamakan kisah. Oleh Karena itu penuiis berpendapat bahwa pebedaan antara cerita dengan kisah secara umum duihat dari sumbernya bahwa, cerita adalah bersumber dari seorang sastrawan (pengarang) yang isinya hasil karangan namun tetap isinya mengandung pesan-pesan sesuai dengan tujuan pengarangnya walaupun alur kisahnya hasil pemikiran manusia (pengarang), sedangkan kisah adalah bersumber dari al-Qur'an ataupun Hadits yang isinya mengandung kebenaran mutlak sehingga alur kisahnya pun benar-benar terjadi (nyata). Dalam pembahasan mengenai kisah (cerita) ini rasanya antara kisah dan cerita adalah hal yang sama dalam bentuknya, yaitu dengan melalui penceritaan (narasi) atau dengan menggunakan metode ceramah, atau melalui metode lain.
Bercerita merupakan salah satu bentuk cara dalam pendidikan, dan cara yang paling baik awal-awal kegiatan mendidik adalah dengan melalui cerita. Centa adalah salah satu bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak mampu membaca. Perhatikanlah ketika anak telah sedikitnya memahami dan imengenali lingkungannya, sebab anak mulai dapat mendengarkan cerita (kisah) sejak ia dapat memahami dan mengenali apa yang terjadi di sekelilingnya, dan mampu mengingat apa yang disampaikan orang kepadanya. Oleh karena itu yang dilakukan orangtua dalam mendidik anak biasanya diawali dengan bercerita yang sesederhana mungkin, sebab bercerita yang sederhana itu merupakan cara yang paling mudah diserap anak untuk pengembangan imajinasinya, seperti cerita dunia binatang, cerita seorang raja, dan lain-lain.
Seorang anak biasanya mulai bisa memahami cerita pada akhir usia tiga tahun. Pada usia ini anak bisa mampu mendengarkan dengan baik dan cermat ceritapendek yang sesuai, yang diceritakan kepadanya. Bahkan ia meminta cerita tambahan sebagai ungkapan kepenasarannya atau keasikannya dalam mendengar-kan cerita.
Abdul Aziz Abdul Majid menyebutkan bahwa seni adalah sumber dari rasa keindahan dan bagian dari pendidikan. Seni juga mempunyai pengaruh kepada jiwaorang dewasa ataupun anak-anak, karena ia dapat mengasah rasa dan akal. la juga menyebutkan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan cerita yang tidak bisa dipisah-pisahkan, yaitu karangan, pengarang, penceritaan, pencerita atau pendongeng, penyimakan, dan penyimak.
b)      Daya Tarik Cerita (Kisah)
Dunia anak adalah dunia yang kaya dengan fantasi penuh dengan berbagai khayalan-khayalan. Tidaklah mengherankan apabila anak-anak sangat menggemari segala bacaan atau tontonan yang dapat membangkitkan gaya imajinasinya. Hal ini juga dapat kita perhatikan pada usia anak-anak sampai orang dewasabanyak mendatangi tempat-tempat hiburan dan media-media lainnya, seperti nonton film cerita anak, membaca buku-buku komik, dan lain-lain. Ini menandakan bahwa mereka masih butuh untuk mengembangkan imajinasinya, terkadang usia laja yang masih senang melakukan hal-hal yang dilakukan anak kecil, sehingga disebut "'masa kecil yang kurang bahagia", sebab memang anak kecillah yang suka imajinasi yang tinggi, dan sudah menginjak usia dewasa sudah bukan saatnya lagi, malahan melangkah pada tataran imajinasi yang dapat dirasionalkan. Cerita memang memiliki daya tarik tersendiri, baik dikalangan anak-anak ataupun dewasa bahkan orangtua punmasih tertarik dengan berbagai cerita-cerita. Namun perbedaan antara anak kecil dengan orang dewasa dan orangtua terletak pada bobot ceritanya, seperti halnya anak suka sekali dengan cerita yang berimajinasi tinggi,-sedangkan orang dewasa dan orangtua lebih kepada imajinasi yang rasional.

c)      Jenis-jenis Kisah (cerita)
Menurut Manna' Khalil al-Qathan bahwa kisah-kisah dalam al-Quran terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Qishash al-anbiya' (kisah-kisah para nabi). yang tersebar banyak dalam al-Qur'an, seperti kisah Nabi Adam, Nuh, Hud, Isa (alahim al-salam) dan lainnya.Pengulangan kisah dalam al-Qur'an sering terjadi Nabi Adam, Nuh, dan Musa (alaihim at-salam), disamping itu kisah yang diceritakan terkadang jarang bahkan hanya sekali seperti kisah Nabi Yusuf as. Kisah tersebut menerangkan tentang dakwah dan mu'jizat para nabi dan rasul, serta sikap-sikap umatnya baik yang beriman maupun inkar, serta akibat-akibat yang mereka terima berupa pahala dan adzab.
2)      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Kisah ini ada hubungan dengan kisah-kisah para nabi, seperti kisah Maryam dengan Nabi Isa as., kisah Thalut dan Jalut dengan Nabi dawud, dan kisah Qarun dengan Nabi Musa a.s.kisah-kisah lainnya seperti Ashhab al-Kahfi, Ashhab al-Ukhdud, serta Dzul Qarnain dan lainnya.
3)      Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pa Rasulullah S.a.w., seperti perang Badar, Uhud, Hunain, tabuk, serta peristiwa Hijrah, peristiwa Isra' dan lainnya.

d)     Etika Berkisah (Bercerita)
Etika dalam berkisah menyangkut beberapa prinsip praktis, yaitu:
1)      Prinsip pentahapan. Hal ini sejalan pada tahap-tahap perkembangan kepribadian para nabi pada masa bayi, anak-anak, remaja, serta dewasa, terutama menyangkut faktor tugas perkembangan. Misalnya apabila yang ingin diubah itu adalah prilaku remaja agar sesuai dengan tuntutan nilai standar al-Qur'an, pilihlah beberapa episode kisah nabi dalam usia remaja pula, misalkan sikap kritis seorang remaja versi Nabi Ibrahim a.s. atau cara mengendalikan nafsu biologis versi Nabi Yusuf.
2)      Prinsip pengalaman. Yang merupakan prinsip umpan balik adanya dialog dan penghayatan menuju perubahan prilaku secara nyata. Secara umum, sebagai seorang anak, sang nabi pun mengalami kondisi psikologi yang sama seperti halnya anak anak disekitar kita.
3)      Prinsip penentuan sikap praktis. Tujuan utama pendidikan berkisah adalah agarprilaku anak-anak selaras dengan figur para nabi dalam tahap-tahap perkembangan individualnya. Dalam berkisah pendidik dituntut menentukan dan menunjukan sikap-sikap praktis apa yang harus diteladani.
4)      Prinsip pelatihan. Sikap dan prilaku praktis anak setelah mengikuti aktivitas berkisah harus terus dipelihara. Hal ini dapat diupayakan dengan menjalankan prinsip pelatihan pada anak, diantaranya, mengisahkan kembali kisah tersebut, mengisahkan kembali dengan sudut pandang lain, membacakan kisah yang berbentuk prosa liris ataupun puitis, melatih mengucapkan teks dialog, memerankan tokoh dalam kisah, pementasan kisah nabi.

e)      Bahasa dalam Berkisah (Bercerita)
Bahasa yang digunakan dalam berkisah harus sesederhana mungkin, yang sekiranya anak didik itu paham akan bahasa yang dipakai. Atau bisa saja  menggunakan bahasa yang sedikitnya agak tinggi sekedar memberikan kosa kata baru pada anak, tetapi perlu sekali penerangan arti bahasa yang dipakai, sehingga anak itu merasa paham akan maksud ucapan gurunya dalam berkisah. Sebaliknya  bahasa yang tinggi yang diterapkan pada anak tanpa penerangan akan artinya atau  maksudnya, akan membuat anak kabur dalam memahami kisah. Oleh karena itu pandai-pandailah pendidik (guru) dalam berkisah dengan menggunakan bahasa yang sederhana ditambah lagi bahasanya yang indah maka akan lebih mudah diserap olehanak didiknya.

f)       Cara al-Qur'an Berkisah (Bercerita)
Al-Qur'an banyak mengandung berbagai ayat kisah, tetapi ingat al-Qur'an bukanlah buku kisah. Apabila ingin meagetahui nama-nama nabi mulai dari awal sampai akhir, maka harus menelaah dengan anak, maksudnya bahwa al-Qur'an itu memberi peluang kepada pembacanya untuk memilih episode kisah tentang apa yang ingi'n diketahuiuya, dan yang dipetik dalam al-Qur'an bukanlah ketuntasan alur kisahnya, tetapi pesan-pesan moral mana yang relevan dengan kondisi psikologis sang pembaca itu.
g)      Perencanaan Bercerita (Berkisah)
Melakukan pengajaran bercerita atau kisah, meliputi tiga langkah, yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap progaram pengajaran tersebut. Dalam berkisah pun seorang pendidik harus mengikuti ketiga Iangkah tersebut.
Pendidik dalam melakukan perencanaan pengajaran dalam berkisah tentunya harus melakukan perencanaan yang matang sebab akan menentukan langkah pelaksanaan dan evaluasi. Oleh karena itu dibuatlah sebuah satuan pelajaran (Satpel) untuk merencanakan pelaksanaan dan evaluasi, yang mana dalam hal ini pendidik (guru) mempunyai kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan perubahan dalampelaksanaannya, akan tetapi jika program pengajarannya itu terdapat dalam pengajaran dengan kaset video/audio/ komputer serta pelajaran berprogram, maka dalam hal ini apa yang dilakukan pendidik (guru) harus sesuai dengan apa yang telafa direncanakan.
Menurut Nunu Achdiyat bahwa agar ektifitas berkisah memiliki nilai edukatif sebagai persiapan dengan beberapa langkah, yaitu:
1)      Menentukan tujuan dan fokus pengisahan, apakah dengan pribadinya. Misalnya, Ibrahim sebagai ayah. Adapun tujuannya menentukan kira-kira prilaku apa yang diharapkan terjadi pada diri anak sesudah mengikuti kisah tersebut.
2)      Menentukan episode mana dari kisah nabi yang akan anda misahkan. Misalnya untuk konsumsi anak-anak, episode nabi kala nak-anak lebih menarik dan mudah dicerna oleh mereka. Demikian seterusnya.
3)      Jika memungkinkan, persiapkan alat bantu berkisah. Misalnya dalam bentuk buku,gambar, foto, slide, video, atau boneka-boneka untuk menarik minat anakmenyimak kisah anda.
4)      Pada peserta yang telah berusia remaja dan dewasa, metode berkish ini tidak perlu sepenuhnya digunakan, cukup sebagai ilustrasi. Selebihnya, ajaklahmelakukan dialog tanya jawab yang bersifat reflektif (Nunu Ahdiyat, 10 dan R. Ibrahim dan Nana Saodih, 55).


Media dan Metode dalam Berkisah (Bercerita)
Media menurut T. Handayu yaitu perantara yang diperlukan dalam suatu aktifitas tertentu, agar berjalan dengan efektif dan efesien. Sedangkan media pengajaran menurut Muhammad Ali merupakan bagian integral dalam system pengajaran. Penggunaan media juga harus didasarkan kepada pemilihan yang tepat, sehingga dapat memperbesar arti dan fungsi dalam menunjang efektifitas dan efesiensi proses belajar mengajar.
Menurut Gegne dan Briggs yang dikutip Muhammad Ali menekankan pentingnya media sebagai alat untuk merangsang proses belajar. Biasanya dalam melakukan pengajaran kisah, media yang digunakan itu antara lain buku/majalah, radio/tape, VCD player, Komputer, dan Iain-lain yang sifatnya visual, audio, atau audio-visual. Kesemuanya ini merupakan sarana untuk penyampaian kisah.
Setelah adanya media, maka langkah selanjutnya yaitu metode (cara) untuk menyampaikan kisah. T. Handayu menyebutkan dua cara dalam penyampaian kisah, yaitu bercerita secara langsung diluar kepala, dan membacakan buku cerita kepada anak. Dari dua cara tadi merupakan aktivitas yang mempergunakan kata-kata dalam berkisah yang dapat didengarkan dan disaksikan oleh anak didik dalam proses berkisah.

Panduan Pengajaran Kisah (Cerita)
Melakukan pengajaran kisah berarti anda sedang melakukan proses berkisah, berarti pula tengah berkisah untuk melakukan tujuan-tujuan tertentu yang digali dari bahan-bahan dan materi yang dikisahkan. Dalam hal ini seorang guru telah melakukan perencanaan yang matang untuk berkisah, tentunya mempunyai :ujuan-tujuan tertentu setelah selesai proses belajar mengajar. Tujuan umum dalam berkisah pada semua lingkatan dengan perbedaan keluasan dan kedalaman mengacu pada aspek-aspek: keimanan, kecintaan, kebiasaan, dan hapalan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam berkisah yaitu sebagaimana yang diamanatkan oleh al-Qur'an yang diarahkan kepada proses pembelajaran reflektif yang menekankan fungsi akal dan intelektual.

Penanaman Nilai Moral dalam Berkisah (Bercerita)
Seorang pendidik (guru) setelah berkisah di depan anak didiknya tentunya mempunyai sasaran-sasaran tertentu, dalam hal ini sasaran-sasaran yang dilakukan seorang pendidik itu berbeda-beda tergantung tingkatan usia anak didiknya. Sepert1 sasaran pada anak seusia SD berbeda dengan sasaran anak seusia SMP, hingga seterusnya sampai ketingakatan usia selanjutnya. Secara umum sasaran moral sebagi tujuan akhir dari tingkatan-tingkatan mulai dan" anak-anak hingga dewasa dalam pengajaran kisah adalah agar mereka menjadi pelaku sejarah yang sadar sebagai penerus risalah para nabi tersebut untuk diikuti jejaknya, khususnya risalah Nabi Muhammad Saw.
Sasaran moral pada anak tingkat dasar lebih ditekankan pada aspek kognitifnya, seperti menghapal para nabi, mengenal jalannya cerita para nabi dan keluarganya, serta dapat menyebutkan beberapa rujukan ayat-ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan kisah para nabi tersebut. Sehingga anak itu mampu menghayati kepribadian para nabi sebagai pemimpin keluarga dan diharapkan mereka akan belajar berakhalakul karimah terhadap keluarganya, yang selanjutnya mengamalkan prilaku para nabi dalam praktek kesehariannya. Kemudian sasaran moral pada tingkat anjutan yaitu pemahaman kognitif yang diisyaratkan adalah pengenalannya terhadap segi-segi keberhasilan nabi dalam masyarakat, aspek-aspek yang berkenaan dengan pembangunan masyarakat. Selanjutnya sasaran moral pada anak tingkat pengemba--gan yaitu anak diharapkan sudah mampu memahami 'ibroh dan hikmah dalam kisahpara nabi tersebut. Sehingga yang ditekankan itu selain kognitif, juga reflektif dan filosofis atau peran sejarah nabi yang merupakan persyaratan mutlak.
Pendekatan Pengajaran Kisah (cerita)
Nunu Achdiyat menyebuikan bahwa ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam berkisah, yaitu:
a.       Studi al-Qur'an
Studi al-Qur'an meliputi bacaan (qira 'ah), hafalan (hqfizh), tulisan (khot), dan pemahaman (tafsir). Berita mengenai kisah para nabi dan rasul dalam ayat-ayat al-Qur'an tersebut dapat diajarkan sebagai materi bacaan dan hapalan pada tingkat dasar, dan sebagai materi kajian pemahaman pada tingkat selanjutnya.
b.      Studi sejarah
Banyak sekali peristiwa sejarah yang terdapat dalam al-Qur'an. Mengenai pengajaran kisah para nabi dan rasul dalam studi sejarah menyangkut pengetahuan tentang asal-usul dan sebab musabab binasanya, ataupun sejahteranya suatu kaum, terutama yang diakibatkan oleh kemorosotan moral ataupun penyimpangan dan penentang akan hukum-hukum Allah.
c.       Apresiasi sastra
Sastra merupakan bagian dari karya seni, yang mana di dalamnya mengandung keindahan-keindahan gaya bahasa yang dipakai seorang sastrawan. Dalam pengajaran kisah sebagai studi dan apresiasi sastra menyangkut keterlibatan emosi dan kognitif ialam pengalaman keagamaan seorang anak secara utuh, yang diintegrasikan untuk dinikmati, dihayati dan diterapkannya, bukan sekedar untuk dikhotbahkan belaka.