flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Rabu, 07 Oktober 2015

REPRESENTASI NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SYAIR-SYAIR ABŪ AL-‘ATĀHIYAH

Representasi Nilai Pendidikan Karakter
dalam Syair-syair Abū Al-‘Atāhiyah

oleh
Acep Hermawan

Abstrak
Penanaman nilai-nilai karakter adalah bagian dari Sistem Pendidikan Nasional. Hal itu ditandai oleh kesadaran nasional akan pentingnya pembinaan karakter generasi muda sebagai jaminan kekuatan bangsa. Salah satu media pembangunan karakter bangsa adalah karya sastra, yang dapat digali dan ditanamkan kepada peserta didik melalui penghayatan emotif.Salah satu karya sastra yang sarat dengan muatan-muatan pendidikan karakter adalah syair-syair Abū al-‘Atāhiyah. Melalui lantunan syair-syairnya, iaberpesan terbentuknya pribadi religius yang mampu berpikir kreatif dan sehat, berprilaku jujur, kerja keras, sopan santun (tidak sombong), cinta damai, toleran terhadap sesama dan bertanggungjawab.

Kata Kunci: Representasi nilai, pendidikan karakter, syairAbū al-‘Atāhiyah.



A.      Pendahuluan
Pendidikan karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional akhir-akhir ini menjadi sebuah terminologi yang trend.Terlepas dari jargon yang digunakan, sebenarnya semangat penanaman nilai-nilai karakter bukanlah “barang” baru. Hal itu berangkat dari sebuah kesadaran secara nasional bahwa penanaman nilai-nilai karakter bangsa bagi generasi muda, memberikan semacam jaminan bagi kekuatan sebuah bangsa.
Untuk menyikapi harapan-harapan tersebut, maka –sejak dahulu– dalam sistem pendidikan nasional sejumlah mata pelajaran telah diintegrasikan dalam Kurikulum Pendidikan Nasional. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, meskipun namanya selalu berubah-ubah, namun esensi yang dikehendaki adalah membentuk karakter peserta didik.
Pendidikan karakter bangsa dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa bagi peserta didik.Tujuannya, agar peserta didik memiliki nilai karakter sebagai karakter dirinya, yang pada gilirannya dapat diterapkan dalam dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masya-rakat, dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif (Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim, 2013: 1). Pelaksanaan pendidikan karakter diorientasikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Penekanannya dititik beratkan pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik para yang bersifat utuh dan seimbang. Dengan pendidikan karakter diharapkan dapat mem-bentuk manusia yang memiliki kemampuan dan watak serta berperadaban bangsa yang bermar-tabat sesuai amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Tujuannya untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bab 2 Pasal 3).
Amanat UU Sisdiknas di atas, menempatkan iman dan takwa, dan akhlak mulia sebagai penekanan utama dalam pendidikan. Jika dihubungkan dengan kurikulum pendidikan karakter, maka karakter utama keimanan dan ketakwaan, dan akhlak mulia bagi peserta didik. Hal ini mengisyaratkan bahwa nilai yang ingin ditanamkan sebelum yang lain adalah nilai-nilai universal tentang kebenaran dan kebaikan, tanpa menegaskan sumber yang harus disepakati bersama. Di sinilah peran utama seorang guru dibutuhkan. Oleh sebab itu, seorang guru harus berwawasan luas, dan menimba informasi tentang kebenaran dan kebaikan dari berbagai sumber. Salah satu sumber yang sarat dengan nilai-nilai moral kehidupan, khususnya dalam wilayah pendi-dikan sebagai proses pembentukan moral, adalah dunia sastra.
Karya sastra sebagai ekspresi tentang realitas dapat digali untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang bersifat penawaran untuk ditransfer kepada peserta didik. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam karya sastra dapat disampaikan melalui contoh-contoh tentang pemahaman tentang kehidupan. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam karya sastra dapat diajarkan melalui penghayatan emotif, dan memberikan kesem-patan kepada peserta didik dan masyarakat untukmemberikan penilaian dan interpretasi tanpa harus diceramahi.
Dalam telaah sejumlah karya sastra, khususnya syair, dijumpai nilai-nilai moral yang dalam. Di samping nilai estetika yang dapat menarik perhatian peserta didik, juga dalam waktu bersamaan dengan tidak disadari peserta didik dituntun untuk masuk ke dalam nilai-nilai kebenarandan kebaikan. Di antaranya adalah kumpulan syair-syair seorang pujangga besar, yakni Dīwān Abī al-‘Atāhiyah karya Abū al-‘Atāhiyah. Dīwān Abī al-‘Atāhiyah dalam tulisan ini merupakan hasil tahqīq (editing) Syukrī Faisal yang diberi judul Abū al-‘Atāhiyah: Asy’āruhuwaAkhbāruhu yang diterbitkan oleh Jāmi’ah Dimasyq Damaskus pada tahun 1965.
Alasan pemilihan buku tersebut karena di dalamnya banyak terkandung fatwa-fatwa moral dari seorang penyair besar yang memiliki latar belakang hidup bergelombang. Ia adalah orang yang pernah hidup di dunia hitam, hura-hura, dunia waria, politikus, dan berujung dalam kehidupan sufistik. Oleh sebab itu, fatwa-fatwa moral kehidupan yang dilantunkannya dalam syair-syair diyakini sangat menarik, khususnya jika dikaitkan dengan pendidikan karakter. Sementara itu pendidikan karakter adalah wacana pemerintah yang selalu diusung sebagai muatan kurikulum baru.
Bagaimanakah syair-syair karya Abū al-‘Atāhiyah dalam merepresentasikan nilai-nilai pendi-dikan karakter? Untuk mendeskrip-sikannya, penulis memandang perlu meneliti lebih dalam tentang kandungan syair-syair itu dalam judul penelitian: Representasi Nilai Pendidikan Karakter dalam Syair-syair Abū al-‘Atāhiyah.
Mengingat luasnya wilayah kajian DīwānAbī al-‘Atāhiyah, keterbatasan waktu dan kesem-patan, penulis membatasi kajian dalam empat aspek, yakni biografi Abū al-‘Atāhiyah, deskkripsi DīwānAbī al-‘Atāhiyah, tema-tema syair-syair Abū al-‘Atāhiyah, dan implikasi pedagogis dari syair-syair Abū al-‘Atāhiyah.

B.       Biografi Abū al-‘Atāhiyah
Nama lengkapnya ialah Ismā’īl bin al-Qāsim bin Suwaid bin Kisan Maulā ‘Anzah, yang populer dengan Abū Ishāq. Ia dilahirkan di ‘Ain al-Tamr, dekat al-Anbar, tahun 130 H. Ayahnya berdarah Nabzī dan termasuksalah seorang budak Banī ‘Anzah. Sedangkan ibunya bernama Ummu Ziyād al-Muhāribī, budak Banī Zahrah al-Qurasyī. Ayahnya bekerja sebagai tukang bekam. Keadaan ekonomi di daerahnya yang tidak menggem-birakan, menyebabkan ia membo-yong keluarganya menuju Kufah, termasuk istri dan kedua anaknya, yaitu Zaid dan Abū al-‘Atāhiyah.
Sebelum memasuki usia remaja, ia sudah menampakkan prilaku menyimpang. Ia mulai mengikuti gaya hidup banci, bersolek seperti layaknya perem-puan, dan mengenakan pakaian perempuan dengan berbagai atributnya. Menurut al-Ashfahānī, kemungkinan prilaku seperti itu ia lakukan karena ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga miskin yang tidak memiliki keistimewaan yang dapat ditonjolkan. Ia tidak memiliki harta dan tahta yang dapat ia banggakan. Sementara itu, di sisi lain, ia menyaksikan kehidupan mewah dan bergelimang harta di kalangan para khalifah dan penguasa pada zamannya. Perasaan minder tersebut menyebabkan ia memilih jalan hidup hura-hura dan bergabung dengan kelompok banci dari kalangan para seniman. Petualangan Abū al-‘Atāhiyah bersama kelompok waria justru membentuk kepribadiannya menjadi seorang penyair popular (Syauqī Zaif, 2004: 36).
Berangkat dari petualangan-nya di dunia yang bebas, Abū al-‘Atāhiyah memulai popularitasnya di Kūfah. Ia bergabung dalam ling-kungan para penyair yang permisif, seperti Muzi’ bin Iyās dan Walibah. Pada waktu bersamaan, ia aktif menimba ilmu dari para ulama dan teolog Kūfah. Kegiatan tersebut merupakan peluang besar baginya dalam memperdalam ilmu-ilmu bahasa Arab dan menelaah aliran-aliran teologi. Ketika itu, ia bertemu dengan Ibrāhīm al-Mausūlī, seorang yang dekat dengan Kalifah al-Mahdī. Selanjutnya Abū al-‘Atāhiyah diperkenalkan dengan Khalifah. Di sana ia banyak melantunkan syair-syair pujian untukkhalifah al-Mahdī. Karena kepiawaiannya dalam bersyair, ia mendapat penghargaan dari Khalifah. Bahkan selanjutnya, ia diangkat menjadi penasihat Khlaifah (Ibn al-Mu’tazz, t.th.: 231).
Karena popularitasnya semakin meninggi dan kedekatannya dengan khalifah semakin menguat, ia mendapat ancaman dari beberapa pembesar negara, terutama dari keluarga al-Mahdī sendiri. Kondisi itu menyebabkan Abū al-‘Atāhiyah terfitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Namun selanjutnya dibebaskan dan diusir dari istana.
Setelah al-Mahdī wafat, ia digantikan oleh al-Hādī (169-170 H). Padamasa tersebut Abū al-‘Atāhiyah kembali menjadi pendamping khifah dan banyak melantunkan syair-syair pujian, sehingga ia meraih banyak penghargaan. Demikian pula setelah al-Hādī digantikan oleh Hārūn al-Rasyīd, Abū al-‘Atāhiyah terus mendampinginya dan tidak henti-henti memuji dan membelanya dengan bait-bait syairnya. Penghar-aan demi penghargaanterus diperolehnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa setiap selesai melantunkan syairpujian, ia mendapatkan pulu-han sampai ratusan ribu dirham.
Ketika kekuasaan Hārūn al-Rasyīd mulai memasuki fase kemunduran (tahun 180 H.), Abū al-‘Atāhiyah tiba-tiba berputar haluan dari kebiasaan tenggelam dalam mabuk-mabukan dan hiburan, kepada kehidupan zuhud dan kesederhanaan, serta menjadi moralis. Kebiasaan melantunkan syair-syair pujian, ratapan, lirik cinta, ia tinggalkan. Demikian pula, menjauhi gaya hidup hura-hura sebelumnya, kemudian mengguna-kanpakaian sederhana (Anīs al-Maqdisī, 1989: 154). Perubahan orientasi hidup tersebut selanjutnya memberikan arti penting dan menyumbangkan filsafat-filsafat kehidupan yang bernilai tinggi, sekaligus memberi warna baru bagi syair-syairnya.
C.      Deskripsi Dīwān Abī al-‘Atāhiyah
Dīwān Abī al-‘Atāhiyah adalah kumpulan syair-syair pujangga besar bernama Abū al-‘Atāhiyah. Kum-pulan syair-syair itu disusun, dikategorisasi, dan dikomentari, oleh Syukrī Faisal dalam sebuah buku yang berjudul Abū al-‘Atāhiyah: Asy’āruhu wa Akhbāruhu. Buku setebal 721 halaman tersebut diterbitkan oleh Jāmi’ah Dimasyq tahun 1965 di Damaskus.
Syair yang telah dikumpulkan itu berjumlah 4163 bait yang disusun dan dikategorisasi berdasarkan qāfiyah. Qāfiyah dalam dunia kesu-sastraan Arab adalah persamaan bunyi akhir dalam sebuah syair (sajak) berdasarkan huruf hijā`iyah. Qāfiyah-qāfiyah tersebut digambar-kan dalam tabel berikut ini:




No.
Nama Qāfiyah
Jumlah Bait

No.
Nama Qāfiyah
Jumlah Bait
1.
Hamzah
54

15.
sād
53
2.
Alif
121

16.
sā`
15
3.
Bā`
406

17
zā`
4
4.
Tā`
325

18
‘Ain
297
5.
tsā`
10

19
Gin
5
6.
Jīm
64

20
Fā`
63
7
dā`
38

21
Qāf
124
8
Dāl
303

22
Kāf
164
9.
Żāl
5

23
Lām
639
10.
Rā`
484

24
Mīm
209
11.
Zāi
2

25
Nūn
454
12.
Sīn
90

26
Hā`
178
13.
Syīn
3

27
Wāu
22
14.
Sād
6

28
Yā`
25


Dari jumlah bait tersebut hanya 36 bait sebagai sampel yang akan dianalisa. Menentuan sampel ini disesuaikan dengan tema-tema yang telah teridentifikasi.

D.      Tema-tema Syair dan Pesan-pesan Pendidikan Karakter
Berdasarkan penelaahan terha-dap Dīwān Abī al-‘Atāhiyah, tema-tema yang terkandung di dalamnya sangat beragam, namun secara keseluruhan dapat dikategori-kan ke dalam tujuh aspek penting, yaitu kematian, kehidupan duniawi, lupa diri, gaya hidup penguasa, kepedulian terhadap sesama, dan introspeksi diri. Semuanya mengisyaratkan perlunya kepri-badian yang berkarakter beriman, kuat, dan mandiri.
Karakter dalam KBBI dimaknai sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Depdiknas, KBBI). Pendidikan karakter, atas dasar definisi ini, menghendaki terjadinya perilaku anak didik yang memperlihatkan kekuatan kejiwaan, akhlak, dan budi pekerti yang kuat melalui berbagai kegiatan pendi-dikan baik formal (sekolah), infor-mal (keluarga), maupun nonformal (masyarakat).
Berikut ini beberapa tema syair-syair Abū al-‘Atāhiyah dan pesan pendidikan karakter yang dikandung-nya.
1.        Kematian
Bait-bait yang berisi deskripsi tentang kematian merupakan senjataampuh bagi Abū al-‘Atāhiyah dalam mengajak masyarakat untuk melakukanpenyucian diri.Iamengkomunikasikannya kepada orang-orang yang tidak menyadari arti kematian dan berprilaku seolah-olah akan hidup abadi didunia. Abū al-‘Atāhiyah bermaksud membuka cakrawala berpikir umatmanusia agar tidak memandang kesenangan duaniawi sebagai tujuan akhir.
Untuk tujuan tersebut, Syukrī Faisal (ed) (1965: 74-75) mengajak manusia untuk melakukan renungan terhadap realitas kematian yang tidak asing bagi semuamanusia. Ajakan tersebut dieskpresikan dalam bait-bait syair berikut:
فطلبت في الدنيا التباتَ
*
أنساكمَحياك المماتَ
ترى جماعتها شتاتا
*
أَوَثِقْتَ بالدنيـا وأنتَ
أم خلتَ أن لك انْفِلاتـا
*
هل فيهما لك عـبرةٌ 
ـما قد رأى كانا فماتا
*
يا من رأى أبويه فيـ
Kehidupan melalaikanmu dari kematian
Kemudian di dunia ini kamu mencari keabadian
Apakah kamu percaya dengan kehidupan dunia?
Sementara kamu melihat penghuninya bercerai berai
Apakah kamu mengambil pelajaran dari keduanya?
Atau kamu mengira akan bebas dari kematian?
Wahai orang yang pernah menyaksikan kedua orang tuanya
Keduanya pernah hidup kemudian mati
Dalam bait-bait di atas, Abū al-‘Atāhiyah menggunakan gaya bahasa interogatif, agar pesan yang dikehandaki lebih menyentuh jiwa orang yang lalai dari kematian.Ia menggunakan logika sederhana dan analogi-analogi yang akrab dengan semua orang. Tujuannya agar semua pihak dapat menangkap pesan yang ia kehendaki. Semua orang memiliki orang tua, dan setiap saat merasakan kehilangan orang-orang terdekatnya. Jika hal itu terjadi pada orang tua, berarti semua orang akan mengalami hal yang sama.
Pembicaraan tentang kematian merupakan salah satu media untukmenyadarkan audiens dari kelalaiannya.Hal ini disadari oleh Abū al-‘Atāhiyah. Dalam hal ini, ia mengajak audiensnya untuk berpikir dengan mengemuka-kan berbagai argumen logis dan faktual tentang kematian. Cara penyampaian pesan seperti ini kepada peserta didik lebih mudah untukmemasukkan informasi ke dalam jiwanya. Ungkapan-ungkapan yangdigunakan untuk mengajak audiens berpikir secara kreatif misalnya:“Apakah kamu percaya dengan kehidupan dunia, sementara kamu melihat penghuni-nya berpisah-pisah. Apakah kamu mengambil pelajaran darikeduanya, atau kamu mengira akan bebas dari kematian. Wahai orang yang menyaksikan kedua orang tuanya, Ia menyaksikan sebelumnya kemudian keduanya mati”.
Cara mengkomunikasikan pesan dengan mengemukakan berbagai fakta dan argumen, akan memudah-kan audiens untuk menerima pesan yangdisampaikan. Dengan cara seperti ini, pendengar tidak merasa diceramahi, tetapi lebih bersifat pemberian pandangan dan tawaran. Selanjutnya, keputusan yang diambil oleh audiens sangat tergantung pada sejauhmanamana mereka mengarti-kulasikan pesan yang termuat dalam ungkapan-ungkapantersebut. Hal ini sejalan dengan konsep kebenaran dalam sastra.Kebenaran dalam sastra tidak bersifat memaksa, tetapi bersifat menyarankan (Nyoman Kutha Ratna, 2007: 67). Kontemplasi dan keputusan diserahkan sepenuh-nya kepadaaudiens.
Strategi penyampaian seperti yang digambarkan di atas, dijumpai pada hampir semua bait-bait syair yang berisi nasihat tentang kematian.Abū al-‘Atāhiyah berusaha meyakinkan semua orang bahwa kematian pasti datang.Menurutnya, prilaku hura-hura yang menjadi tradisi sebagian orang merupakan bukti kelalaian mereka dari kematian. Umur yang panjang bukanlah alasan untuk mengingkari kematian, sebab kematian merupa-kan kenyataan yang pasti terjadi bagi semua manusia. Pesan tersebut disampaikan dalam bait syairnya sebagai berikut:
والموتُ يغـدو ويـروح
*
كلـُّـنا في غفلة
إن كُنْـتَ تَــتـوح
*
نُحْ على نفسك يا مسكين
إنْ عُمِّرت ما عُمِّر نوح
*
لَتَـمُـوتُـنَّ ..........

Kita semua dalam keadaan lalai
Sedang kematian datang setiap saat
Ratapilah dirimu wahai orang yang menyedihkan
Jika kamu ingin meratap
Kamu pasti mati ……
Meskipun diberi umur panjang seperti Nabi Nūh
Menurut Abū al-‘Atāhiyah, manusia keliru jika mendambakan keabadian dalam hidup di dunia, sebab kematian akan memutuskan semuaharapan tersebut. Hidup manusia di pagi hari bukan jaminan bahwa ia akanhidup sampai sore hari, begitupula sebaliknya. Hal ini digambarkan dalambait berikut:
يَثِبْن عليّ من كـل النواحي
*
أُؤَمِّلُ أنْ أُخَلِّدَ وَالْمـَنـَايَـا
لعلِّي لاَ أعيش إلى الصـباح
*
وما أدرِي إذ أمسـيتُ حيا
Aku mengidamkan hidup abadi
Namun kematian mengelilingiku dari segala penjuru
Jika sore hari datang, saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup
Kemungkinan saya tidak akan hidup sampai pagi hari
Tampak Abū al-‘Atāhiyah menggunakan gaya bahasa yang cukup variatif. Adakalanya menggu-nakan istifhām (interogatif), dan adakalanya menggunakan nidā` (interjeksi). Gaya bahasa seperti itu dalam tema-tema kematian, akan menambah ketakutan dan membawa manusia untuk menjadikan pelajaran terhadap fenomena kematian yang ia saksikan setiap saat.
2.        Kehidupan duniawi
Dalam keyakinan seorang muslim, kehidupan duniawi hanyalahsementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah hidup yang sesung-guhnya.Dunia adalah kehidupan yang memiliki batas akhir.Namun, faktamenunjukkan bahwa manusia terlena dan berlomba-lomba untukmenghabiskan umurnya untuk kepentingan duniawi.Abū al-‘Atāhiyah dalam bait syairnya banyak menggambarkan tentang kehinaan kehidupan dunia, antara lain sebagai berikut:

أماني يفني العمر قبل أن تفنى
*
نَصبْتِ لنا دون التفكير يا دنيا
إلى حاجة حتى تكون له أخـرى
*
متى نتقضي حاجات من ليس واصلا
Kamu menjerat kami tanpa berpikir,waha dunia,
Angan-angan menghabiskan umurku sebelum aku mati
Kapankah keinginan-keinginan berakhir?
Siapakan yang tidak sampai keinginannya?
Sampai kamu menginginkan yang lain
Abū al-‘Atāhiyah dalam bait di atas menggunakan personifikasi dan menggambarkan seolah-olah dunia memasang perangkap untuk menjeratnya. Perangkap yang dipasang dalam bentuk angan-angan, agar manusia terperangkap dalam kesenangannya.
Dalai bait lain ia pun berkata:
لكل عيش مدّة وانْتَها
*
يا آمِــنَ الدهرِ على أهـله
أصبح قد حلَّ عليه الْبَلَى
*
بينا يُرَى الإنسانُ في غبطة
والمرء يظغى كلما استغنى
*
المرء آفاتُه هـوى الدنيــا
فتركت ما أهوى لما أخشى
*
إني رأيتُ عواقبّ الدنيا
Wahai penjaga waktu bagi pemiliknya
Setiap hidup terbatas waktu dan berakhir
Banyak manusia di antara kita riang gembira
Akhirnya mereka tertimpa bencana
Penyakit manusia adalah cinta dunia
Saat menjadi orang kaya, ia membangkang
Padahal aku lihat akibat buruk dunia itu
Maka aku tinggalkan kecintaanku karena aku takut
Abū al-‘Atāhiyah mengingat-kan bahwa kecintaan yang berlebihan terhadap dunia membuat orang terlena dan lupa akan hidup yang terbatas oleh waktu. Saat manusia telah mencapai keinginan-nya, yaitu memperkaya diri dengan kehidupan dunia, ia membangkang dan melanggar norma kehidupan yang telah digarislkan oleh Tuhan. Kecintaan kepada dunia menurutnya adalah penyakit yang diderita manusia. Keterlenaan manusia ditunjukkan oleh kegembirannya yang tak terkendali, hingga akhirnya diperingatkan oleh Tuhan dengan banyaknya bencana.  Pada bait akhir, Abū al-‘Atāhiyah ingin memberikan contoh teladan kepada para pecinta dunia yang semu, yakni dengan meninggalkan kecintaan berlebihan kepada dunia.
Oleh sebab itu, penghayatan yang benar tentang hakikat kehidupan dunia bagi masyarakat, akan menuntun untuk menjadi manusia yang bertakwa,berakhlak mulia danberpikir yang sehat. Bertakwa berarti senantiasa mem-bentengi diri dari berbagai prilaku-prilaku menyimpang. Berakhlak mulia berarti senantiasa bekerja secara produktif sesuai norma-norma ketuhanan dan kemanusiaan, sehing-ga tidak rela mendapatkan kesena-ngan duaniwai dengan jalan yang tidak normatif atau membenarkan semua cara. Sedangkan berpikiran sehat diartikan sebagai cara tidak memanipulasi argumen untuk mengklaim bahwa apa yang dilakukan itu benar.
3.        Lupa diri
Kepribadian Abū al-‘Atāhiyah termasuk cukup rumit. Perasaan minder mendominasi jiwanya disebabkan keadaan sosial dan ekonominya yang menyedihkan. Perasaan tersebut selanjutnya mendorongnya memilih dua kecen-derungan pada waktu bersamaan. Di satu sisi, ia menyerang kelasatau kasta yang tinggi di masyarakat, sehingga ia menjadi oposisi dan pembangkang terhadap kelas masyarakat tersebut. Di sisi lain, kesadaran tersebut mendorongnya untuk memilih jalan sufi untuk menarik perhatianmasyarakat umum.
Bait-bait syair Abū al-‘Atāhiyah mengandung banyak nasihat-nasihat tulus, di antaranya sebagai berikut:
ونلعـب والموت لا يلعب
*
أَنَلْهُو وأيـامنـا تـذهب
عجبتُ وما لي لا أعْجَب
*
عجبتُ لذي لعـب قَدْ لَهَا
تموت ومنزلُه يَخْرَب
*
أيَلْهُو ويلعب مـنْ نَفْسُه
على كُلِّ ما سرّنا يَغْلِب
*
نرى كل ما ســاءنا دائما
Lalaikan dan main-mainkah kami, sedangkan hari-hari berlalu?
Padalhal kematian tak pernah main-main
Aku heran kepada orang yang main-main telah lalaiu
Dan kenapa aku tidak harus heran
Apakah orang yang akan mati dan rumahnya akan hancur
Akan lalai dan main-main
Kamisaksikan semua yang selalu menyedihkan
Selalu mengalahkan yang menggem-birakan

Abū al-‘Atāhiyah tidak saja melontarkan syair-syair nasihat kepada masyarakat umum. Ia juga merangkai bait-bait syair yang berisi nasihat kepada khalifah dan penguasa pada zamannya. Di antara bait-bait syairnya yang berisi nasihat yang membuat al-Rāsyid menangis tersedu-sedu, sebagai berikut:

وإن تمنعت بالْحُجَابِ والحـرسِ
*
لاَ تأْمَنِ الموتَ في طرفٍ ولا نفسٍ
في جنب مُدَّرعٍ منها ومتَّرسِ
*
فما زال سِهامُ الموت نافـذة
إن السفينة لا تجــــري على اليبس
*
ترجو النجاةَ ولم تَسْلُك مسالكها
Kemegahan dan kekayaan tidak melindungimu dari kematian
Meskipun kamu membentengi diri dengan benteng dan tentara
Panah kematian selalu mengenai sasarannya
Baik orang yang berbaju besi maupun yang menggunakan tameng
Kau harapkan keselamatan tanpa menempuhjalannya
Perahu itu tidak dapat berlayar di tanah kering
Abū al-‘Atāhiyah menjadikan kematian sebagai pintu masuk untuk menyampaikan nasihat-nasihatnya. Ia tidak saja memberikan nasihat kepada masyarakat umum, tetapi nasihatnya juga ditujukan kepada para penguasa pada zamannya. Bait-bait syairnya tersebut mengandung muatan pendidikan yang sangat besar.Ia tidak gentar dengan penguasa dalam rangka melakukan perbaikan terhadap masyarakatnya. Ia menginginkan semua dibalik itu adalah agar masyarakat – termasuk penguasa – berjalan di atas rel kebenaran. Ia berkata: Kau harapkan keselamatan tanpa menempuh jalannya. Perahu itu tidak dapat berlayar di tanah kering.
Mencapai keselamatan, menurut Abū al-‘Atāhiyah, harus memerlukan kerja keras. Keselamatan tidak akan dapat dicapai hanya dengan hayalan. Terlebih lagi, keselamatan tidak dijamin oleh kemewahan dan kekuasaan.

4.        Gaya hidup penguasa
Status sosial dan ekonomi Abū al-‘Atāhiyah menyebabkan ia mengeritik keras raja-raja, khalifah, orang-orang yang memiliki populari-tas, dan orang kaya. Untuk kelom-pok-kelompok seperti ini ia berkata:
تلحَّف فيها بالثَّرَى وتَسَرْبَلا
*
وَكم مِن عظيم الشأن في قَعْرِ حُفْرة
Sudah berapa banyak orang memiliki derajat tinggi berada di lianglahad
(Liang lahad) menyeret orang-orang kaya ke dalamnya dan menutupinya
Masyarakat yang sezaman dengan Abū al-‘Atāhiyah sangat membenci kelas sosial yang permisif. Keadaan seperti itu tidak mampu ia sembunyikan, dan tidak kuat bersabar terhadap kesombongan yang ia saksikan. Ia juga menegas-kan akan berakhirnya kekuasaan para raja. Seolah-olah kekuasaan hanyalah imajinasi, lalu ia berkata:

فكأنّ ذاك الملـوك كان خَيَـالا
*
وَكم مِن ملوك زال عنهم ملكُهم

Berapa banyak raja hilang kekuasaannya
Seolah-olah kekuasaan hanya hayalan

Dalam makna yang sama ia berkata:

فعَطّلَتْ الأيام منها حُصُونَهَا
*
وَكم مِن ملوك قد رأينا تَحَصَّـنتْ

Berapa banyak kita saksikan raja yang membentengi diri
Namun masa jua yang menghentikan perlindungannya
Pesan-pesan moral dalam bait-bait tersebut di atas sangat mendalam. Namun, inti pesan dari bait-bait di atas adalah himbauan untuk meninggalkan keangkuhan, kesombongan, kesewenang-wenangan. Kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan, dan bukan sebagai sarana untuk bermegah-megahan dan melecehkan masyarakat kecil.Kekuasanharus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Kesadaran seperti ini,tidak akan memunculkan fenomena persaingan untuk menca-pai kekuasaan untuk kepentingan pragmatis.
Kondidi itu sebenarnya meru-pakan salah satu sasaran pendidikan. Salah satu tujuan pendidikan adalah tumbuhnya kesadaran manusia akan jati diri, yakni menyadari posisi diri sendiri sebagai makluk yang lemah dan berasal dari sesuatu yang tidak berharga. Kekuatan dan kesem-purnaan hanya milik Tuhan.Jabatan sosial yang dimiki manusia benar-benar hanya titipan Tuhan dan akan dikembalikan lagi kepada Tuhan. Dengan demikian tidak pantas manusia bersikap sombong.

5.        Kepedulian terhadap sesama
Abū al-‘Atāhiyah memiliki sejumlah bait yang menggambarkan tentang pengalaman-pengalamannya, baik pengalaman pribadi, sosial, historis, maupun religius. Syair-syair seperti ini sarat dengan nilai-nilai yangsejalan dengan logika, etika, maupun nilai-nilai religius. Ia memandang bahwa semua manusia memiliki kecenderungan yang sama. Manusia pada umumnya cenderung egois. Ia hanya ingin diperhatikan tetapi tidak mau memperhatikan dan membantu orang lain:
سـائلا مـا وصلوه
*
لو رأى النــــاسُ نبيـــًــا
حِبِكَ الدهـرَ أخـوه
*
أنت ما استغنيتَ عن صا
سـاعة مجّـك فُوْه
*
فإذا احتـجت إليــه
Sekiranya orang-orang bertemu nabi dan iabertanya apa yang mereka lakukan
Niscaya ia berkata: kamu tidak peduli dengan sahabatmu
Jika sewaktu-waktu kamu mengajukan alasan kepadanya
Niscaya mulutnya akan mencelamu
Dalam bait lain, Abū al-‘Atāhiyah menegaskan keharusan berusaha untuk memahami saudara jika ia melakukan kesalahan. Manusia tidakluput dari kesalahan. Oleh sebab itu, jika seseorang mencela saudaranyasetiap melaku-kan kesalahan, maka pasti orang tersebut tidak akan memilikisahabat.

كـأنّ به عن كل فاحشة وَقـْــرًا
*
أحب الفَتَى يُنْفِي الفواحش سمعه
ولا مانعا خيرا ولا قائلا هُجْرا
*
سَلِيمَ دواعي الصدرِ لا باسـطًا يدًا
فَكُـــنْ أنتَ محُتْاَلًالِزلَّتِه عُـــذرا
*
إذا ما بدت من صاحب لك زلَّـــةً
Aku sukai orang yang menutup pendengarannya dari yangkeji
Seolah-olah ia tuli dari segala kekejian
Hatinya bersih, tidak ringan tangan
Tidak menghalangi kebaikan,tidak pula mengucapkan kata yang menjauhkan orang
Jika tampak kesalahan dari sahabatmu
Pahamilah kesalahannya dan maafkanlah
Bait-bait syair di atas secara implisit menghimbau masyarakat untuk bersikap toleran. Secara sederhana, toleran diartikan sebagai sikap selalu berusaha untuk memahami eksistensi orang atau kelompok lain. Toleran adalah keniscayaan bagi sebuah demokrasi, dan sikap demokratis mencerminkan kecintaan terhadap kehidupan yang damai. Beliau mendukung penuh sikap toleran terhadap sesama manusia.
Abū al-‘Atāhiyah pun sangat menyadari bahwa tidak mungkin dapat menyatukan seseorang dalam sebuah sikap yang disepakati bersama. Jika hal itu mustahil, maka sejatinya setiap orang mampu mempersepsikan orang lain sesuai dengan cara orang tersebut mempersepsikan dirinya sendiri. Dengan cara seperti ini, maka manusia akan hidup bahu membahu dalam membangun bangsa, sekaligus kedamaian akan tercipta.
6.        Introspeksi diri
Syair adalah pantulan jiwa yang mendeskripsikan keaadaan yang melingkupinya. Abū al-‘Atāhiyah menyadari bahwa masa-masa yang telah ia lewati penuh dengan penyimpangan dari nilai-nilai religius. Keadaan tersebut ia sesali dan akui sebagai perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Sang Pencipta. Dalam hal ini ia menggambarkan sebagai berikut:
كأنّا لم نكـن حينا شبابا
*
كَبِرْنا أيّهــا الأترابُ حتَّى
من الريحان مُوْنِقَة رِطابا
*
وكنّا كالغصون إذا تثنَّـتْ
إذا ما اغترّ مُكْتَهِلٌ تَصَابَى
*
ألا ما للكهول وللتصابي
فعند الله أحتسب الشبابـا
*
مضى عنى الشباب بغير ودي
لِمَن خَلِقَتْ شَبِيْبَتُهُ وَشَابًا
*
وما مِن غــاية إلّا المنايــا

Kita telah dewasa wahai teman sezaman
Seolah-olah kita tidak pernah remaja
Kita pernah laksana dahan
Jika ditiup angin saling berpelukan
Ketahuilah, orang yang tua
Jika tertipu dengan ketuaan akan menjadi bencana
Masa muda telah berlalu bagiku tanpa cinta
Di sisi Allah aku mengharap keremajaan
Tidak ada tujuan selain kematian
Kecuali untuk Sang Pencipta keremajaan dan remaja
Di antara bentuk kesadaran Abū al-‘Atāhiyah ialah ia merasakan bahwa zaman telah menggantikan hidupnya dan menghilangkan kesenangannya. Bahkan telah menghilangkan masa mudanya. Ia merasakan bahwa masa muda baginya hanyalah sebuah hayalan yang tidak pernah terwujud. Kesenangan yang sering menjadi kebanggaan orang dalam usia remaja, tidak pernah ia nikmati dengan baik. Oleh sebab itu tugas manusia adalah melakukan apa yang bisa dilakukan dengan realistis dan tanggung jawab.

E.       Pembahasan
Syair-syair Abū al-‘Atāhiyah dalam Dīwān Abī al-‘Atāhiyah, sebagaimana dijelaskan di atas, sarat dengan pesan-pesan moral yang bisa dihayati untuk dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari. Terben-tuknya karakter-karakter pribadi yang beriman, kuat, dan madiri dalam menghadapi kehidupan merupakan pesan inti melalui lantunan syair-syair sang pujangga ini.
Enam tema yang telah dikemu-kakan di atas, secara garis besar dapat dikatgorikan dalam tiga kategori, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungannya dengan sesama, dan hubungannya dengan diri sendiri.
Tema tentang kematian, kehidupan duniawi, dan lupa diri mengisyaratkan keharusan manusia mempererat hubungannya dengan Tuhankarena kematian sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Kehidupan dunia adalah situasi yang membuat orang lupa akan adanya Tuhan. Sedangkan lupa diri lebih diakibat-kan oleh keterlenaan manusia akan kehidupan dunia. Keterlenaan ini membuatnya lupa akan jati diri, sehingga akhirnya lupa akan adanya Tuhan dan kematian.
Kematian merupakan kejadian yang tak bisa ditawar-tawar lagi dalam hal waktu waktu dan tempat. Tak ada seorang pun yang mengetahui di kapan dan di mana ia akan mati. Oleh karena itu, siapapun harus siap mengalaminya dengan tidak berleha-leha, melainkan mem-bekali diri dengan ketakwaan.Abū al-‘Atāhiyah, misalnya, mengatakan:
Aku mengidamkan hidup abadi
Namun kematian mengelilingiku dari segala penjuru
Jika sore hari datang, saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup
Kemungkinan saya tidak akan hidup sampai pagi hari
***
Wahai penjaga waktu bagi pemiliknya
Setiap hidup terbatas waktu dan berakhir
Banyak manusia di antara kita riang gembira
Akhirnya mereka tertimpa bencana
***
Panah kematian selalu mengenai sasarannya
Baik orang yang berbaju besi maupun yang menggunakan tameng
Tema tentang gaya hidup penguasa dan dan kepedulian terhadap sesama mengisyaratkan keharusan manusia mempererat hubungannya dengan sesama. Orang-orang yang memiliki kekuasaan pada umumnya lupa dan lalai akan kekuasaan yang telah diamanatkan oleh pemberi amanat. Bentuk kelupaan dan kelalaian itu antara lain menyalahgunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi atau golongan. Banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme adalah indikasi bahwa pemegang kekuasaan dipemerintahan sudah lupa dan lalai akan an amanat. Padahal ketika mencalonkan diri sebagai penguasa, ia begitu saleh membuat simpati masyarakat. Kondisi ini mengundang pertanyaan, apakah keinginan untuk memegang jabatan itu didasari oleh niat untuk kepentingan masyarakat banyak?
Oleh sebab itu Abū al-‘Atāhiyah begitu tegas menkritik para penguasa yang nyata-nyata menyalagunakan kekuasaannya. Kritikan itu antara lain:
Berapa banyak raja hilang kekuasaannya
Seolah-olah kekuasaan hanya hayalan
Berapa banyak kita saksikan raja yang membentengi diri
Namun masa jua yang menghentikan perlindungannya
Sementara itu, tugas anggota masyarakat tidak hanya memberi kritik dan masukan kepada penguasa, tetapi juga salaing asah, asih, dan asuh antara sesama. Bentuknya antara lain menolong orang lain baik moral maupun spriritual, tidak meng-anaiaya orang lain, tidak mencela, memaafkan kesalahan dan sebagai-nya. Dalam hal ini, Abū al-‘Atāhiyah berkata:
Aku sukai orang yang menutup pendengarannya dari yangkeji
Seolah-olah ia tuli dari segala kekejian
Hatinya bersih, tidak ringan tangan
Tidak menghalangi kebaikan,tidak pula berkata yang menjauhkan orang
Jika tampak kesalahan dari sahabatmu
Pahamilah kesalahannya dan maafkanlah
Tema tentang introspeksi diri merupakan ajaran yang mengajak kepada penataan diri sendiri baik dalam kaitannya dengan Tuhan maupun dengan sesama. Intrispeksi diri pada dasarnya adalah melihat, mengevaluasi, dan memperbaiki diri. Cara ini adalah proses belajar dari pengalaman yang telah lewat. Pengalaman yang telah lewat meru-pakan gambaran yang menginfor-masikan hal-hal yang telah dilalukan, apakah itu merupakan perbuatan yang benar atau salah. Jika benar, perbuatan itu harus ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas. Sedangkan jika salah, perbuatan itu harus diperbaiki.
Dalam hal ini, Abū al-‘Atāhiyah berkata:
Kita telah dewasa wahai teman sezaman
Seolah-olah kita tidak pernah remaja
Kita pernah laksana dahan
Jika ditiup angin saling berpelukan
Ketahuilah, orang yang tua
Jika tertipu dengan ketuaan akan menjadi bencana
Masa muda telah berlalu bagiku tanpa cinta
Di sisi Allah aku mengharap keremajaan
Tidak ada tujuan selain kematian
Kecuali untuk Sang Pencipta keremajaan dan remaja

F.       Simpulan
Analisis dan pembahasan tentang Dīwān Abī al-‘Atāhiyah dalam buku Abū al-‘Atāhiyah: Asy’āruhu wa Akhbāruhu, dapat disimpulkan:
Tema-tema yang terkadung dalam kumpulan syair beragam, namun secara garis besar dapat dikategorikan menjadi enam: kema-tian, kehidupan duniawi, lupa diri, gaya hidup penguasa, kepedulian terhadap sesama, dan introspeksi diri.
Tema-tema itu mengisyaratkan terbentuknya karakter pribadireligius yang mampu berpiki kreatif dan sehat, berprilaku jujur, kerja keras, sopan santun (tidak sombong), cinta damai, toleran terhadap sesama dan bertanggung jawab.
Karakter-karakter ini telah lama diwacanakan oleh pemerintah dalam Sistem Pendidikan Nasional, teruta-ma dalam kurikulum baru. Namun terbuka untuk dimplementasikan dalam pendidikan informal non-formal.
Daftar Pustaka
‘Atāhiyah, Abū. 1986. Dīwān Abī al-‘Atāhiyah. Bīrūt: Dār Bīrūt li al- Thibā’ah wa al-Nasyr.
Andalusī, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd Rabbih. 1983. Al-‘Iqd al-Farīd. Tahqīq Abd Majid al-Tarhinī.Juz` 3. Bīrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah.
Saif, Syauqī. 2004. Tārīkh al-Adab al-‘Arabī: al-‘Asr al-Abbāsī al-Awwal. Misr: Dār al-Ma’ārif.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Faishal, Syukri (ed). 1965. Abu al-‘Atâhiyah: Asy’âruh wa Akhbâruh. Dimasyq: Mathba’ah Jūmi’ah Dimasyq.
Maqdisī, Anīs, 1989. Umarā` al-Syi’r al-‘Arabī fi al-‘Asr al-‘Abbāsī. Bīrūt: Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn.
Mu’tazz, Ibn, t.th. Tabaqāt al-Syu’arā`, Tahqīq Abd as-SattārAhmad Farrāj.Misr: Dār al-Ma’ārif.
Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengem-bangan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.
Ratna, Nyoman Kutha, 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 2 Pasal 3.
Wahyuni, Sri & Ibrahim, Abd. Syukur. 2013. Perencanaan Pembelajaran Bahasa Berkarakter. Bandung: Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.