flash compugraphics

Segala sesuatu yang berhubungan dengan karya ilmiah

Jumat, 21 Juli 2017

PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
DEWASA INI
Oleh:
Deviana

ABSTRACT
World Islamic education is a place filled with twists and turns that are substantial issues can be regarded as a moon crater-squeezer upfront time, effort, cost and mind in perfect human form. Problem of Islamic education is still low at this time of educational equity, low quality and relevance of education, poor management of education, yet the realization of scientific and technological excellence in academics and independence issues. Various attempts have been made to address the issue of Islamic education, for example, change of national and local curriculum of the curriculum in 2006 or better known as Unit Level Curriculum (SBC) into the curriculum of 2013. The limited human resources make Islamic education was too slow in developing, alongside teachers' welfare that until now the problem, as well as facilities and infrastructure are inadequate hamper the development of Islamic education. Therefore, the ideal concept related to Islamic education management should be embedded in the person of the people involved in the world of Islamic education.

Keywords: Human resources, finance and infrastructure

ABSTRAKS
Dunia pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh dengan liku-liku permasalahan yang secara subtansial bisa dikatakan sebagai cawah candra-dimuka pemeras waktu, tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia yang paripurna. Problema pendidikan Islam saat ini adalah masih rendahnya pemerataan pendidikan, rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, lemahnya manajemen pendidikan, belum terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan masalah kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan Islam, misalnya pergantian kurikulum nasional dan lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Terbatasnya sumber daya manusia menjadikan pendidikan Islam itu terlalu lamban dalam berkembang, di samping kesejahteraan guru yang sampai sekarang menjadi problem, serta sarana dan prasarana yang belum memadai menghambat laju berkembangnya pendidikan Islam. Oleh sebab itu, konsep ideal terkait manajemen pendidikan Islam harus ditanamkan dalam pribadi orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan Islam.

Kata kunci: Sumber daya manusia, pembiayaan dan sarana prasarana


A.    PENDAHULUAN
Tujuan pertama reformasi pendidikan adalah membangun suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju dengan mengoptimalkan dan member-dayakan semua potensi dan partisipasi masyarakat. Sebab pendidikan merupa-kan struktur pokok yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa apa yang diperlukan (Zamroni, 2011: 83). Bahkan secara makro, pendidikan merupakan “jantung” sekaligus “tulang punggung” masa depan bangsa dan negara, (Zian Farodis, 2011: 7) bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan (Aulia Reza Bastian, 2002: 24). Sedangkan di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam merupakan suatu kawah candradimuka pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan peradaban madani (Sukarno, 2012:15), dan mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia (Abuddin Nata, 2010: 44). Dengan demikian, pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya, melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani kehidupannya (Jerry H. Makawimbang, 2011:1).
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya mana-jemen pendidikan, di samping belum terwujudnya keunggulan ilmu penge-tahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus pendidikan Islam, misalnya peng-gantian kurikulum nasional dan lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah me-nambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kom-petensi dan konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Terlebih dalam pengelolaan pendidikan Islam yang merupakan salah satu segi penopang kehidupan yang urgen untuk membangun peradaban dan menjadikan manusia yang lebih baik dan berkarakter serta penuh dengan “keridhaan” Tuhan. Pengelolaan pendidikan Islam yang profesional dan bermutu bukan merupakan hal yang mudah bagi seseorang atau lembaga pendidikan di negeri ini.
Dunia pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh dengan liku-liku permasalahan yang secara subtansial bisa dikatakan sebagai cawah candra-dimuka pemeras waktu, tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia yang paripurna. Oleh sebab itu, yang paling inti di dalamnya adalah pola manajemen pengembangan kelembaga-an dan kependidikan yang akan menjadi barometer keberhasilan pendidikan Islam itu sendiri dalam peningkatan mutunya (Siti Muriah, 2012:iii).
Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan Islam belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian mutu pendidikan Islam di negeri ini, terutama di pulau Jawa, menunjukan peningkatan mutu pen-didikan yang cukup signifikan dan menggembirakan, namun sebagian mutu pendidikan Islam lainnya yang berada di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua serta daerah lainnya masih memprihatinkan. Secara fungsional, pendidikan Islam pada dasarnya ditujukan untuk memelihara dan mengembangkan manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia ber-kualitas sesuai dengan pandangan Islam (Achmadi, 2010:32).
Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia-manusia unggul (insan kamil) dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah (selain nalar juga wahyu) (Abd. Rachman Assegaf, 2011: 2) merupakan suatu bentuk kemutlakan pada ranah teoritis-normatif maupun aplikatif-normatif. Artinya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan nilai normatif yang “harus” dijadikan sebagai kerang-ka yang bermuara pada pandangan hidup, sikap hidup, dan tujuan hidup yang semuanya harus bernapaskan Islam dan dijiwai oleh ajaran-ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah.

B.     PEMBAHASAN
Problema pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya mana-jemen pendidikan, di samping belum terwujudnya keunggulan ilmu penge-tahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus pendidikan Islam, misalnya pengganti-an kurikulum nasional dan lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih di-kenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah me-nambah permasalahan baru dalam pen-didikan di negeri ini. Usaha selanjut-nya dalam mengatasi problema pen-didikan yaitu peningkatan kompetensi dan konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan per-baikan sarana dan prasarana pen-didikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Dari problem di atas tentunya sangat berpengaruh terhadap mana-jemen pendidikan yang ada pada saat ini, oleh karena itu dalam makalah ini membahas tiga komponen besar yang menjadi problem manajemen pendidik-an Islam dewasa ini antara lain: 1) Sumber Daya Manusia, 2) Pembiayaan, dan 3) Sarana/Prasarana dan Tekno-logi.
1.      Sumber Daya Manusia
a.       Terbatasnya Sumber Daya Manusia sebagai Problem Manajemen Pendidikan Islam
 Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makh-luk sosial yang adaptif dan trans-formatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian prak-tis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Sebagai ilmu, SDM dipelajari dalam manajemen sumber daya manusia atau (MSDM). Dalam bidang ilmu ini, terjadi sintesa antara ilmu manajemen dan psikologi. Mengingat struktur SDM dalam industri-organisasi dipelajari oleh ilmu manajemen, sementara manusia-nya sebagai subyek pelaku adalah bidang kajian ilmu psikologi.
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (ban-dingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban, cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. dalam rangka menjadi khalifah dimuka bumi, hal ini banyak di-cantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta meles-tarikannya (QS. Al Baqoroh: 29 – 32). Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat. (HR.Ibn Abd Barr)
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu: (1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Se-mentara Emil Salim menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitas-nya. Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam memper-tanggungjawabkan semua perbuatan-nya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia (Djaafar, 2001: 2).
T. Zahara Djaafar (2001:1) me-nyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial, nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian dari ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari pengembangan budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mem-punyai rasa kebersamaan dalam me-wujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan, tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pen-didikan dalam Islam menurut Hasan Langgulung adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh dan jasmani, kemauan yang bebas, dan akal. Pem-bentukan pribadi atau karakter sebagai khalifah tentu menuntut kematangan individu, hal ini berarti untuk me-menuhi tujuan utama tersebut maka pengembangan sumber daya manusia adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi untuk menggapai-nya. Karena strategi merupakan alter-natif dasar yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbang-an bahwa alternatif terpilih itu diperkirakan paling optimal
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya men-capai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat digali.  Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang telah diper-sempit berpendapat bahwa strategi memiliki makna sejumlah prinsip dan pikiran yang sepatutnya mengarahkan tindakan sistem-sistem pendidikan di dunia Islam. Menurutnya kata Islam dalam konteks tersebut, memiliki ciri-ciri khas yang tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah strategi pendidikan itu mempunyai corak Islam. Adapun strategi pendidikan yang dipilih oleh Langgulung terdiri dari dua model, yaitu strategi pendidikan yang bersifat makro dan strategi pen-didikan yang bersifat mikro. (Syukri Rifa’i, Skripsi)
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagai-nya (Djaafar, 2001: 2). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millenni-um ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus di bidang pendidikan Aly dan Munzier (2001: 227) menyebutkan bahwa tan-tangan pendidikan Islam terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar (eksternal), yaitu berupa pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam (internal) Islam itu sendiri, berupa kejumudan produktivitas ke-Islaman (Hasan Langgulung, 1995: 67).
Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang patut di-waspadai dalam mensikapi SDM Indonesia adalah globalisasi (per-dagangan pasar bebas). Perdagangan pasar bebas bukanlah gossip atau rumor yang kehadirannya sudah jelas kita ketahui bersama kemarin ketika tahun baru dating 01 Januari 2010 menjadi tanggal bersejarah beraninya bangsa ini membuka FTA (Free Trade Area) Asena dengan China. Globalisasi adalah pendatang baru yang sudah membeli tiket yang akan datang dan menetap di negeri ini dengan jangka waktu yang sangat lama. Banyak sekali masalah yang kemudian kita hadapi dengan globalisasi yang kini menjadi momok menakutkan terhadap pe-numbuhan kualitas SDM bangsa ini apalagi SDM bangsa ini sebenarnya belum siap menghadapi FTA ditambah adanya kesan seperti sangat dipaksakan entah karena gengsi atau apalah namanya bangsa ini ikut serta dalam menyetujui FTA Asean dengan China.
Faktor Internal
Kejumudan produktivitas ke-Islaman yang pada kenyataan kali ini ummat Islam banyak terkotak-kotakan dalam nuansa keasyikan bermadzhab sampai ke titik fanatis sehingga mnyalahkan madzhab yang lain yang notabenenya masih sesama Islam sehingga muncul banyak perdebatan-perdebatan sia-sia yang hanya me-nyumbat tingkat peningkatan kualitas pendidikan sebagai investasi pem-bentukan sumber daya manusia ummat Islam sehingga menyumbat pula tingkat produktivitas keislaman akibat kejumudan pemikiran serta taklid buta terhadap fanatisme kemadzhaban.
Abdul Rachman Shaleh (2000: 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah pe-nerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.
A. R. Saleh (2000: 205) menyata-kan ada beberapa ciri masyarakat atau manusia yang berkualitas, yaitu :
1)      Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan berkepribadian
2)    Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3)    Mandiri, cerdas dan terampil
4)    Sehat jasmani dan rohani
5)    Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetia-kawanan sosial
b.      Upaya untuk Mengatasi Terbatasnya Sumber Daya Manusia

Untuk meningkatkan mutu pen-didikan, kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa penerapan pola pening-katan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Mana-jemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS), Proyek Pe-ngadaan Buku Paket, Proyek Pening-katan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah disimpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada yang berpen-dapat mungkin manajemennya yang kurang tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan upaya yang dijalankan. Karena itu, kembali pada apa yang kita sebut sebagai kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya apa yang dapat dipraktikkan dengan baik di luar negeri bisa seratus persen juga berhasil di Indonesia, semua itu membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka yang jelas dan tidak dibebani oleh proyek yang demi kepentingan sesaat atau golongan. Hal-hal berikut adalah elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan mutu pendidikan atau sumber daya manusia di Indonesia.
1)      Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karena itu Berikanlah Penghargaan

“Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir). Mc. Keena & Beech (1995: 161).
Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang dan papan), ke-butuhan rasa aman (terhindar dari rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat. (Abraham H. Maslow).
Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
2)      Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik

Kurikulum dan panduan mana-jemen sekolah sebaik apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan peme-rintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pen-didikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi, maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun, fenomena menunjukkan bahwa pen-didik di sekolah masih banyak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
3)      Sebisa Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi

Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertontonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dari kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memung-kinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
4)      Berikan Sarana dan Prasarana yang Layak

Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajar-annya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus me-miliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/ laboratorium/ media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pen-didikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keter-batasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaan-nya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pen-didikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pen-didikan dengan memberikan per-timbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite sekolah/ madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan, diharapkan mutu pendidikan Indonesia terus meningkat dan terjadi perkembangan pada perbaikan yang terus menerus.
2.      Pembiayaan
a.       Terbatasnya Dana untuk Pembiayaan sebagai Problem Manajemen Pendidikan Islam

Dalam perkembangan dunia pendidikan dewasa ini dengan mudah dapat dikatakan bahwa masalah pembiayaan menjadi masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan oleh para pengelola pendidikan. Karena masalah pembiayaan pendidikan akan me-nyangkut masalah tenaga pendidik, proses pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan aspek lain yang terkait dengan masalah keuangan.  Fungsi pembiayaan tidak mungkin dipisahkan dari fungsi lainnya dalam pengelolaan sekolah.  Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembiayaan menjadi masalah sentral dalam pengelolaan kegiatan pendidikan.  Ketidakmampuan suatu lembaga untuk menyediakan biaya, akan menghambat proses belajar mengajar. Hambatan pada proses belajar mengajar dengan sendirinya menghilangkan kepercayaan mas-yarakat pada suatu lembaga. Namun bukan berarti bahwa apabila tersedia biaya yang berlebihan akan menjamin bahwa pengelolaan sekolah akan lebih baik.
Dalam memahami permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia, kita perlu memahami permasalahan apa saja yang timbul serta alternatif penyelesaiannya. Pemahaman tentang pembahasan ini juga akan membawa kita pada bagaimana praktik pelaksanaan pembiayaan pendidikan beserta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya.
Biaya dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (Indirect Cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua, maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa ke-untungan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar (Nanang Fattah: 2000:23).
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Untuk sekolah dasar negeri, umumnya memiliki sumber-sumber anggaran penerimaan, yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sekitar, orang tua murid, dan sumber lain.
Berdasarkan pendekatan unsur biaya (ingredient approach), penge-luaran sekolah dapat dikategorikan ke dalam beberapa item pengeluaran, yaitu :
1)       Pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran
2)       Pengeluaran untuk tata usaha sekolah,
3)       Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah,
4)       Kesejahteraan pegawai,
5)       Administrasi,
6)       Pembinaan teknis educative, dan
7)       Pendataan. (Nanang Fattah: 2000:24)
  
b.      Upaya untuk Mengatasi Terbatas-nya Dana untuk Pembiayaan dalam Lembaga Pendidikan Islam

1)   Pembiayaan Pendidikan
Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya. Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti.
Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu. Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui jika Pemerintah tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk bidang pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika bicara dana BOS khusus buku yang masih minim untuk membeli satu buku pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin ada yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan meringankan beban masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah antara usia 7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop out (DO) dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis sejak 2005.
Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pem-biayaan pendidikan. Di lihat dari kon-stitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak membiayai anak-anak usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi. Jika mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa. UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pun menggariskan agar Pemerintah menjamin terseleng-garanya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya.
Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 % dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No 18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8% bertentangan dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada 2006 lalu, dimana Pemerintah tidak merespon positif putusan MK yang memutuskan UU No 13/2005 tentang APBN 2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1 % bertentangan dengan UUD 1945
Bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri ini. Ketika disinggung tentang anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN/APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas, pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor kebutuhan non-pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping terus mengupayakan secara bertahap ang-garan pendidikan menuju 20 %.
Melihat kenyataan pengelolaan anggaran negara di republik ini, tampaknya terjadi ketidakefektifan di samping mentalitas korupsi yang masih akut. Pemerintah tidak bisa tidak memang perlu memikirkan lebih serius lagi pembiayaan pendidikan di Indo-nesia. Anggaran negara seyogianya dikelola lebih hemat dan efektif agar benar-benar memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelenggaraan pendidikan. 
Disadari atau tidak, apa yang tertera dalam UUD 1945 tentu menyimpan harapan besar terhadap kemajuan pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 (2) merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 dan Pasal 31 (4) merupakan perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Rumusan UUD 1945 hasil amandemen itu secara implisit mengajak Pemerintah untuk memper-hatikan pembangunan sektor pen-didikan. Siapa pun tentu sepakat bahwa pembangunan sektor pendidikan tidak bisa diabaikan mengingat salah satu fungsi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait dengan pembiayaan pen-didikan, kita selalu mengharapkan komitmen Pemerintah agar tidak berlepas tangan. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan harus dimiliki para penyelenggara negara untuk lebih memprioritaskan pembangunan ma-nusia melalui usaha pendidikan. Hasil pendidikan yang tidak bisa dinikmati seketika mungkin memberatkan para penyelenggara negara yang bermental pragmatis alias ingin menikmati hasil dengan segera. Yang perlu diingat, pendidikan merupakan aspek fun-damental meningkatkan kualitas individu-individu manusia. Melalui pendidikan, individu-individu manusia diupayakan memiliki kemampuan dan daya adaptabilitas terhadap perkem-bangan zaman. Bangsa yang ingin maju tentu saja tidak bisa mengabaikan pendidikan anak bangsanya. 
Biaya pendidikan memang mahal. Tidak ada satu individu yang dari dirinya sendiri mampu membiayai kebutuhan pendidikan. Karena itu harus ada manajemen publik dari negara. Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang semestinya berada di garda depan menyelamatkan pen-didikan anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan negara, orang miskin tak akan dapat mengenyam pendidikan.
Namun, ketika negara sudah dibelenggu oleh empasan gelombang modal, sistem pendidikan pun bisa ditelikung dan diikat oleh lembaga privat. Serangan ini pada gilirannya semakin mereproduksi kemiskinan, melestarikan ketimpangan, mematikan demokrasi dan menghancurkan so-lidaritas di antara rakyat negeri!
Mengapa sekolah mahal bisa dilacak dari relasi kekuasaan antar-instansi ini, yaitu antara lembaga publik negara dan lembaga privat swasta. Ketimpangan corak relasional di antara dua kubu ini melahirkan kultur pendidikan yang abai pada rakyat miskin, menggerogoti demok-rasi, dan melukai keadilan.
Sekolah kita mahal, pertama, karena dampak langsung kebijakan lembaga pendidikan di tingkat sekolah. Ketika negara abai terhadap peran serta masyarakat dalam pendidikan, pola pikir Darwinian menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Sebab tanpa biaya, tidak akan ada pendidikan. Karena itu, membebankan biaya pada masyarakat dengan berbagai macam iuran merupakan satu-satunya cara bertahan hidup lembaga pendidikan swasta. Ketika lembaga pendidikan negeri yang dikelola oleh negara berlaku sama, semakin sempurnalah penderitaan rakyat negeri. Sekolah menjadi mimpi tak terbeli!
Kedua, kebijakan di tingkat sekolah yang membebankan biaya pendidikan pada masyarakat terjadi karena kebijakan pemerintah yang emoh rakyat. Ketika pemerintah lebih suka memuja berhala baru ala Adam Smith yang "gemar mengeruk kekayaan, melupakan semua, kecuali dirinya sendiri," setiap kewenangan yang semestinya menjadi sarana pelayanan berubah menjadi ladang penjarahan kekayaan. Pejabat peme-rintah dan swasta (kalau ada kesempatan) akan berusaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari proyek anggaran pendidikan.
Ketiga, mental pejabat negara, juga swasta, terutama karena tuntutan persaingan di pasar global. Indikasi Noam Chomsky tentang keterlibatan perusahaan besar Lehman Brothers dalam menguasai sistem pendidikan rupanya juga telah menyergap kultur pendidikan kita. "Jika kita dapat memprivatisasi sistem pendidikan, kita akan menggunungkan uang." Itulah isi pesan dalam brosur mereka
Negara sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya pendidikan jika kebijakan politik pen-didikan yang berlaku memiliki se-mangat melindungi rakyat miskin yang sekarat di jalanan tanpa pendidikan. Jika semangat "mengeruk kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri" masih ada seperti sekarang, sulit bagi kita menyaksikan rakyat miskin keluar dari kebodohan dan keterpurukan. Maka yang kita tuai adalah krisis solidaritas, mandeknya demokrasi, dan terpuruknya keadilan sosial.
2)   Pendidikan Gratis
Impian masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu, pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini-itu, gaji guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
Sekolah menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar. Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi, dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orang-tua mendapat penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pen-didikan anak-anaknya.
Tidak hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini. Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya, maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Sekolah, terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional sekolah, apalagi men-sejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air, perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Pemberlakuan sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinerja guru dalam kegiatan belajar mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah telah memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk pendidikan sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk menaikkan pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya berpen-dapatan Rp. 2 juta.
Dari dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan ujian, serta biaya perawatan operasio-nal sekolah.
Sedangkan biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti: study tour (karyawisata), studi banding, pembeli-an seragam bagi siswa dan guru untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung biaya BOS. Dan pe-mungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin agar biaya-biaya tersebut tidak mem-beratkan para siswa dan orangtua. Bagaimana jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Melihat kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk men-sejahterahkan rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa. Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua orang, tidak hanya para murid dan orang-tuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal, orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasi-kan kepada kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
Dan bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika konsentrasinya harus terbagi memikir-kan dana sekolahnya yang belum terlunasi orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
Adanya sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pe-merintah akan segera didengar dan dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di pihak mereka dan berusaha mensejahterahkan masyarakatnya. Se-baliknya, pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari rakyatnya.
3)   Konsekuensi Pendidikan Gratis
Pendidikan gratis seperti kita ketahui bersama, mungkin saja dapat dilaksanakan oleh suatu pemerintahan, namun tentunya dengan menimbulkan beberapa konsekuensi yaitu anggaran pemerintah daerah di bidang pendidikan akan terkuras untuk membiayai operasional pendidikan di daerah tersebut, sehingga anggaran untuk peningkatan mutu pendidikan yang menyangkut perbaikan/peningkat-an sarana-prasarana tentulah harus dikalahkan. Konsekuensi lainnya pen-didikan gratis untuk semua dapat dilakukan, namun dengan mutu yang sangat minim atau dengan kualitas yang seadanya. Sebab, seluruh ang-garan telah terkuras untuk operasional sekolah saja.
Di samping itu dengan terkon-sentrasinya dana pendidikan untuk pendidikan gratis maka kesejahteraan dan peningkatan kualitas SDM pendidik akan dikesampingkan, dan menempati urutan berikutnya. Apabila ini telah terjadi maka akan sia-sia saja memberikan pendidikan gratis tetapi output-nya atau lulusannya tidak bermutu.
Yang patut dan harus diprogramkan adalah memberikan pendidikan gratis bagi anak didik tertentu saja, yaitu yang memiliki kemampuan tinggi dan prestasi yang bagus (pintar), dan bagi yang kehidupan perekonomian orang-tuanya di bawah rata-rata (miskin), atau pun bagi anak-anak yatim piatu. Anak-anak yang tergolong seperti itulah yang patut dan wajib mendapatkan pen-didikan gratis dari pemerintah.
Kata gratis sering menjebak kita dan memberikan harapan besar kepada masyarakat, akan lebih tepat kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya, pendidikan yang disubsidi. Atau pendidikan yang terjangkau, atau pendidikan bagi yang tidak mampu. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena kenyataan pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan.Kata gratis memang mudah sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta di lapangan gratis, tetapi masih banyak pungutan.
Penyelenggaraan pendidikan ber-mutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Kata gratis membuat masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian bergantung. Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan tambahan, seperti sekarang ini gratis.
Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya, pemerintah menerapkan konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para penyelenggara pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi silang dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.
Model ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat dan terutama orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
4)   Permasalahan Pembiayaan Pendidikan di Tingkat Mikro
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah pem-biayaan/keuangan, karena seluruh kom-ponen pendidikan di sekolah erat kaitannya dengan komponen pem-biayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun pembiayaan ber-kaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan ber-kualitas, namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak. 
Terkait dengan efisiensi dan efiktifitas, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada sehingga dapat menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas pem-biayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan dana operasional, peme-liharaan, dan biaya lain yang mengarah pada pemborosan.
Menurut Bobbit yang kami kutip dari sumber internet  (1992), sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Suatu contoh efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (pemkab) Jembrana-Bali. Kabupaten Jembrana sejak tahun 2001 yang mampu memberikan pendidikan gratis 12 tahun bagi warga asli daerah tersebut. “Pemerataan pendidikan, manajemen pendidikan yang efektif, dan peningkatan partisipasi masyarakat merupakan pijakan dalam memuluskan program pendidikan di Jembrana”. 
Adanya konsep manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan konsep pengelolaan anggaran pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan bagaimana mendayagunakan sumber-sumber pem-biayaan yang relatif kecil dan terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana mengembangkan sumber-sumber baru pembiayaan bagi pembangunan pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai secara optimal.
Dalam kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah dihadapkan kepada kebutuhan yang beragam, maka sekolah harus mampu membuat keputusan dengan berpedoman kepada peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki rencana untuk mengadakan perbaikan suasana dan fasilitas lain seperti memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki sarana olah raga. Tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar mengajar lebih kecil dibanding dengan pengadaan alat peraga atau laboratorium, maka keputusan yang paling efisien adalah mengadakan alat peraga atau melengkapi laboratorium.
Dalam biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di dalam mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa. Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan suatu rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah berupa Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat atau orang tua siswa. 
Dalam merancang dan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan merupakan faktor penting yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan efisiensi, artinya suatu program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat tetapi tidak memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan dana pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran pembelajaran harus ber-dasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses pembelajaran yang bermutu (kaka22mln.blogspot.com/ 2011/02/pendidikan-gratis.htm).
5)   Penganggaran
Penganggaran merupakan kegiatan atau proses penyusunan anggaran (Budget). Budget merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan lembaga dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam anggaran tergambar kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga.
Penyusunan anggaran merupakan langkah-langkah positif untuk me-realisasikan rencana yang telah disusun. Kegiatan ini melibatkan pimpinan tiap-tiap unit organisasi. Pada dasarnya, penyusunan anggaran merupkan negosiasi atau perundingan/ kesepakatan antara puncak pimpinan dengan pimpinan dibawahnya dalam menentukan besarnya alokasi biaya suatu penganggaran. Hasil akhir dari suatu negosiasi merupakan suatu pernyataan tentang pengeluaran dan pendapatan yang diharapkan dari setiap sumber dana (Nanang Fattah: 2000:49).
-      Fungsi Anggaran
Apabila melihat perkembangannya, anggaran mempunyai manfaat yang dapat digolongkan ke dalam 3 jenis yaitu :
a)   Sebagai alat penaksir
b)   Sebagai alat otorisasi pengeluaran dana, dan
c.       Sebagai alat efisiensi
-      Tahap penyusunan anggaran
Tahap penyusunan anggaran adalah sebagai berikut:
a.       Mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama periode anggaran.
b.      Mengidentifikasi sumber-sumber yang dinyatakan dalam uang, jasa, dan barang.
c.       Semua sumber dinyatakan dalam bentuk uang sebab anggaran pada dasarnya merupakan pernyataan finansial.
d.      Memformulasikan anggaran dalam bentuk format yang telah disetujui dan dipergunakan oleh instansi tertentu.
e.       Menyusun usulan anggaran untuk memperoleh persetujuan dari pihak yang berwenang.
f.       Melakukan revisi usulan anggaran
g.      Persetujuan revisi usulan anggaran.
h.      Pengesahan anggaran (Nanang Fattah: 2000:50).

3.      Sarana/Prasarana dan Teknologi
a.       Sarana/Prasarana dan Teknologi yang tidak memadai sebagai Problem dalam Manajemen Pendidikan Islam

Pendidikan sebagai proses peng-ubahan sikap dan tata laku/pem-bentukan pribadi yang terarah pada diri peserta didik (manusia) dalam usaha mendewasakan peserta didik melalui upaya pengajaran dan pelatihan, pendidikan sebagai kegiatan pewarisan budaya, pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara yang berjiwa patriotik, serta pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, menjadikan pendidikan harus mendapatkan perhatian besar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari sisi pendidikan adalah sarana dan prasarana pendidikan itu sendiri dimana sarana dan prasarana pendidikan ini merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses pembelajaran.
Mutu sarana dan prasarana masih sangat bervariasi. Hal ini dapat kita lihat dilingkungan kita dimana masih banyak sekolah-sekolah yang keadaan gedungnya tidak aman dan kurang memadai untuk digunakan melak-sanakan proses belajar mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh). Sering juga dijumpai bahwa lahan/tanah (status hukum) bukan milik sekolah atau dinas pendidikan; letaknya yang kurang memenuhi persyaratan lan-carnya proses pendidikan misalnya letak sekolah berada di tempat yang ramai, terpencil, kumuh, dan lain-lain; perabotan berkenaan dengan sarana yang kurang memadai bagi pelaksana-an proses pendidikan misalnya meja/ kursi yang kurang layak digunakan, alat peraga yang tidak lengkap, buku-buku paket yang kurang memadai, dan lain-lain.
1)    Fasilitas yang Minim
Volume sarana dan prasarana yang minim masih menjadi permasalahan utama disetiap sekolah di Indonesia. Terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Kasus seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta didik yang berada di desa tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas pendidikan di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di kota. Selain itu masih banyak fasilitas yang belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Hal seperti ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan kurang mem-fasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat ketidak tersedianya fasilitas tersebut, para pelajar mengalokasiakan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang negatif.
2)    Alokasi dana yang terhambat
Banyaknya kasus penyalahgunaan dana adminitrasi sekolah, membuat sarana dan prasarana sekolah tidak terwujud sesuai dengan harapan, adanya permainan uang dalam administrasi membuat pendidikan semakin tidak cepat mencapai titik keberhasilan.
3)      Perawatan yang Buruk
Ketidakpedulian dari sekolah ter-hadap perawatan fasilitas yang ada menjadikan buruknya sarana dan prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak adanya pengawasan dari pemerintah, membuat banyak fasilitas sekolah yang terbengkalai. Ketidak-nyamanan menggunakan fasilitas yang ada, akibat kondisi yang banyak rusak, membuat para pelajar enggan menggunakannya. Kasus seperti ini biasanya terjadi karena tidak adanya kesadaran dari setiap guru, siswa, dan pengurus sekolah.
Dari ketiga point di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia masih perlu dibenahi. Banyaknya permasalahan sarana dan prasarana akan menghambat proses pembelajar-an, yang akibatnya berpengaruh pada ketercapaian dari tujuan pendidikan.
Dengan keterbatasan sarana dan prasarana tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat. Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan yaitu:
a)      Rendahnya Mutu Output Pendidikan
Kurangnya sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri, sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang membutuh-kan sarana dan prasarana yang sangat kompleks agar dapat bersaing dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya. Ironisnya pemerintah kurang men-dukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang pendidik-an lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis tek-nologi ini. Kerusakan sekolah merupa-kan masalah klasik yang cenderung dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi permainan politik disaat pemilu saja.
b)      Kenakalan Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan dimana didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kreativitas yang sangat tinggi. Jika luapan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya laboratorium, perpustaka-an, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengeks-presikan diri mereka. Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi sebelumnya, pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam pengembangan kematangan emosi misalnya saja grup band, sepak bola, basket, otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung membuat perkumpulan-perkumpulan yang cen-derung menyalahi norma. Di Indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana penyaluran emosi ini.
b.      Upaya untuk Mengatasi Kurang Memadainya Sarana/ Prasarana dan Teknologi Pendidikan

Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki anomali-anomali pendidikan ini antara lain:
1)      Terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan peme-rintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun sehingga tidak terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
2)      Dengan adanya koordinasi peme-rintah pusat dengan pemerintah daerah maka selanjutnya kita dapat meningkatkan Sarana dan Pra-sarana Pendidikan. Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang digunakan dalam rangka mening-katkan output pendidikan tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.

Sarana fisik
Pemenuhan sarana fisik sekolahan ini meliputi pembangunan gedung sekolahan, laboratorium, perpustakaan, sarana-sarana olah raga, alat-alat kesenian dan fasilitas pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasional. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sarana non fisik
Sarana non fisik ini diibaratkan software dalam komputer, jika software ini dapat mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai. Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a)   Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan psikologis guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa, psikologi perkembangan dan sebagai-nya. Dengan adanya peningkatan ini tentunya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
b)      Pembentukan lembaga studi mandiri
Pembentukan lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kepribadian siswa. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunya akan memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.

C.    SIMPULAN
Ada tiga hal pokok yang menjadi problem Manajemen Pendidikan Islam yang dihadapi dewasa ini. Ketiga hal tersebut sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia, 2. Pembiayaan, dan 3. Sarana/Prasarana dan Teknologi.
Dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) tidak akan bisa tercapai dengan baik tanpa didukung oleh biaya dan sarana/prasarana dan teknologi yang memadai.
Kaitannya dengan pembiayaan, tidak akan terkelola dengan baik tanpa didukung oleh SDM yang handal kemudian difasilitasi dengan sarana/ prasarana dan teknologi yang modern.
Begitupula dengan pengadaan dan penggunaan sarana/prasarana dan teknologi harus dibekali dengan SDM dan biaya cukup memadai agar bisa terkelola dengan baik pula.

Referensi:
Al-Qur’an : 29 - 32
Aassegaf, Abd. Rachman.2011. Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Achmadi. 2010. Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastian,Aulia Reza. 2002. Reformasi Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Farodis, Zian.  2011. Panduan Manajemen Pendidikan ala Harvard University.Yogyakarta: Diva Press.
Fattah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
kaka22mln.blogspot.com/2011/02/pendidikan-gratis.html
Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif.
Makawimbang, H. Jerry. 2011. Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Muriah, Siti. 2011. Kata Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis. Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Rosda Karya, Bandung, cet ke-1, 2000.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Partanto, Pius dan Dahlan Albari.  2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Shaleh, A.R. (2000). Pendidikan Agama dan Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa.
Subroto, B. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta.
Sukarno. 2012. Budaya Politik Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik.Yogyakarta: Interpena.
Zamroni. 2011. Dinamika Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama. Malang: UMM Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.