Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba
menganalisa beberapa ayat al-Quran yang di dalamnya telah menyiratkan tentang
filsafat, arah, sasaran, maksud, dan tujuan penciptaan, di antaranya,
“Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 30)
“Dan Dia-lah
yang menjadikanmu para khalifah di bumi...” (Qs. Al-An’am [6]: 165)
Berdasarkan ayat-ayat di atas yang
diturunkan berkaitan dengan penciptaan manusia, dikatakan bahwa tujuan dari
penciptaan manusia adalah dijadikannya manusia sebagai khalifah dan penerus
Tuhan.
Dan yang dimaksud dengan penerus Tuhan
adalah bahwa Tuhan meletakkan sebagian dari sifat yang dimiliki-Nya dalam diri
manusia sebagai sebuah amanah dimana jika manusia mengaktualkan potensi yang
dimilikinya ini, maka mereka akan bisa meraih tingkatan tertinggi dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari
penciptaan tak lain adalah manusia sempurna.
Pada ayat lain Allah Swt berfirman,
“Katakanlah,
“Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)
Berdasarkan ayat di atas, kehidupan, ibadah
bahkan kematian seorang manusia adalah berasal dari Tuhan, oleh karena itu,
dalam seluruh keadaan kehidupannya manusia harus melakukan penghambaan kepada
Tuhan.
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(Qs. Al-Dzariyyat [51]: 56)
Ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan dari
penciptaan manusia adalah untuk ibadah dan penghambaan Tuhan, yaitu manusia
harus menyerahkan dirinya untuk melakukan penghambaan kepada Tuhan dan tidak
menundukkan kepalanya kecuali di hadapan-Nya. Dengan mencermati ayat di atas,
kita akan menemukan beberapa poin berikut:
- Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku” menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan mereka”.[1]
- Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah (seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman, “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi” dan jika yang dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka ayat ini tidak hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja.[2]
Pada tempat lain Dia berfirman,
“Sesungguhnya
kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:
156)
Ayat di atas menyatakan bahwa selain
manusia berasal dari Tuhan, Dia juga merupakan tempat tujuan manusia, karena
awal manusia adalah dari Tuhan dan akhirnya pun menuju ke arah-Nya. Sesuai
dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah melakukan
perjalanan ke arah Tuhan. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui
bahwa kalimat yang disebutkan di atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan
“kembali di dalam-Nya” sehingga hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang
dilakukan oleh sebagian para sufi, dimana mereka meyakini bahwa tujuan
penciptaan manusia adalah kefanaan dalam Tuhan, melainkan kita harus mengatakan
bahwa manusia memiliki perjalanan ke arah-Nya, yaitu perjalanan ke arah
kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan gerakan kesempurnaannya inilah manusia
harus menarik dirinya ke arah Tuhan.
“….
dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara
keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-Maidah [5]:
18)
“Dan
kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali
(semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42)
“Dan
hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4).
“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi.
dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. (Qs. Al-Hadid [57]: 5).
“Ingatlah,
bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura [42]: 53)
“…
kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. As-Sajdah [32]: 11).
“Hanya
kepada Allah-lah kembali kamu semuanya….” (Qs. Al-Maidah [5]: 48).
“Hai
manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang
sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6)
Ayat di atas pun menempatkan manusia
sebagai pekerja keras yang bergerak dan berusaha menuju ke arah sumber
keberadaan.
Berdasarkan ayat di atas, manusia berada
dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun
merupakan perantara untuk sampai pada tujuan ini, yaitu perjalanan menuju ke
arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah pertanyaan yaitu apa makna dan mafhum
dari perjalanan ke arah Tuhan dan berdekatan dengan-Nya?
Apakah manusia yang terbatas dan tercipta
dari tanah ini memang bisa berdekatan dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki
wujud mutlak? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan
hakikat wujud setara dengan kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni
dan kesempurnaan yang mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam
tingkatan wujud lebih tinggi, pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat
dengan Tuhan. Oleh karena itu, dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna
melalui iman dan kesadaran diri, hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada
posisi yang semakin dekat kepada Tuhan.
Ringkasnya, manusia dikatakan tengah
melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena dia telah melewati tahapan-tahapan
wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah mengantarkannya ke arah keberadaan
mutlak. Demikian juga dengan yang dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang
juga merupakan tujuan penciptaan, tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan
yang telah diputuskannya sendiri, mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan
mensucikan dirinya lalu melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah
kesempurnaan mutlak.
Setiap manusia yang mengaktualkan
potensi-potensi keberadaannya bergerak menuju interaksi dengan Tuhan, maka
dalam kondisi ini, ia akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan.
Dan kedekatan dengan Tuhan inipun memiliki tahapan dimana setiap individu yang
melakukan perjalanan lebih panjang dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun
akan mendapatkan kedekatannya yang lebih banyak pula dengan Tuhan.
Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang
kesempurnaan dan berada dalam lintasan menanjak ke arah yang tak terbatas,
dengan setiap langkah positif yang diambilnya untuk menuju ke arah-Nya, akan
menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi kepada-Nya.
Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt
berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah
menciptakan mereka.”
Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan
penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu manusia diciptakan untuk menerima rahmat
Tuhan, sebagaimana firman-Nya, “Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah
menciptakan mereka.” (Qs. Hud: 119)
Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa
yang dimaksud dengan rahmat. Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan
pernyataan yang mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk rahmat?
Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud
dengan rahmat tak lain adalah bimbingan dan hidayah Ilahi yang akan menjadi
bagian dari kondisi manusia supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dengan
perkataan lain, rahmat adalah hidayah takwiniyyah dan tasyri’iyyah yang
menyebabkan pertumbuhan dan kesempurnaan manusia.
Dengan uraian ini, antara ayat di atas
dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56) tidak ada sedikitpun perbedaan,
karena dengan melalui ibadah dan rahmat, seluruh potensi wujud manusia bisa
ditinggikan dan akan memperoleh kesempurnaan akhir wujud dirinya.
Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air,
agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (Qs. Hud
[11]: 7) “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai
perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang
terbaik perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup
supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan
manusia supaya bisa diketahui manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk.
Manakah manusia yang melakukan perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah
yang melakukan perbuatan yang tercela dan tak shaleh.
Menurut ayat-ayat ini, masing-masing
manusia yang memiliki perbuatan lebih baik, berarti dia telah lebih mendekatkan
dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya, ayat-ayat ini menempatkan tujuan
penciptaan manusia pada lintasan manusia menuju ke arah kesempurnaan
keberadaannya.
Nabi, Imam, dan Tujuan Penciptaan
Pada hadis-hadis Islam dikatakan bahwa
Rasulullah Saw merupakan tujuan dari penciptaan alam, dan Tuhan menciptakan
alam ini karena beliau.
Dalam salah satu hadis qudsi Allah Swt
berfirman, “Jika engkau tiada, maka niscaya Aku tidak akan menciptakan gugusan
bintang.”[3]
Pada hadis qudsi yang lain, Allah Swt
berfirman, “Andai bukan karena Muhammad (saw), maka Aku tidak akan menciptakan
dunia maupun akhirat, demikian juga Aku tidak akan menciptakan langit, bumi,
arsy, singgasana, lauh, qalam, surga dan neraka. Dan andai bukan karena
Muhammad Saw, maka wahai para manusia, Aku tidak akan menciptakan kalian,”[4]
demikian juga pada hadis lainnya Allah Swt berfirman, “Aku menciptakan
benda-benda untukmu dan Aku menciptakanmu untuk-Ku.”[5]
Syeikh Shaduq Ra meriwayatkan dari
Rasulullah Saw yang bersabda kepada Imam Ali As, “Wahai Ali, seandainya bukan
karena kita, maka Allah tidak akan menciptakan manusia dan juga tidak akan
menciptakan surga, neraka, maupun langit atau bumi”[6]
Dikarenakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As
merupakan individu-individu manusia yang paling sempurna, dan tujuan penciptaan
pun adalah terwujud dan tercapainya manusia paling sempurna, maka seakan
Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan arah, tujuan, dan sasaran penciptaan segala
realitas.
Demikian juga sesuai dengan apa yang
termaktub dalam surah Al-Dzariyyat ayat ke 56 dimana Allah Swt berfirman, “Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”,
dimana tujuan dari penciptaan adalah ibadah, bisa dikatakan bahwa karena
tahapan paling tinggi dan paling sempurna dari ibadah hanya akan terwujud dari
Rasulullah saw dan Imam Ali As, maka kesimpulannya, Rasulullah Saw dan Imam Ali
As tergolong sebagai tujuan dan filsafat penciptaan.
Berdasarkan ayat ke tiga puluh surah
al-Baqarah, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” pun bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw dan Imam Ali As
merupakan tujuan penciptaan, karena hanya Rasulullah saw dan Imam As As lah yang
mampu mengaktualkan potensi-potensi internalnya dan berahlak dengan ahlak Ilahi
serta layak untuk memegang peran sebagai “khalifatullah”.
Definisi Ibadah
Ketika dikatakan bahwa tujuan dari
penciptaan adalah ibadah, sebagian menyangka bahwa yang dimaksud dengan ibadah
adalah hanyalah melaksanakan amalan-amalan dan ritual-ritual yang bernama doa
seperti shalat, puasa dan bermacam-macam zikir.
Apakah hakikat ibadan dan penyembahan
hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak. Karena doa hanyalah bagian dari ibadah.
Berdasarkan pandangan dunia al-Quran, setiap gerakan dan perbuatan positif yang
dilakukan oleh manusia merupakan ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan
tersebut harus dilakukan berdasarkan pada motivasi untuk mendekat pada
rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada nilai-nilai kewajiban Ilahi.
Oleh karena itu, definisi dari petani yang
pada pertengahan malam menggunakan tangan-tangan kasarnya untuk mengairi
perkebunan dan lahan pertaniannya demi menyejahterakan kehidupannya dan
keluarganyam para pekerja yang bergelimang dengan suara-suara bising
mesin-mesin pabrik dari pagi hingga malam hari, dokter yang berada di ruang
operasi dengan seluruh daya dan konsentrasinya untuk menyelamatkan jiwa
manusia, seorang dosen yang melakukan observasi dan pengkajian pada tengah
malam untuk memecahkan kesulitan pemikiran manusia, dan sebagainya, jika
dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap saat baginya berada dalam
keadaan ibadah.
Ringkasnya, tujuan dari semua amal,
perbuatan dan perilaku manusia adalah untuk Allah Swt, yaitu manusia akan
sampai pada tahapan dimana bahkan makan, munum, tidur,, hidup dan matinya,
keseluruhannya adalah untuk Allah Swt, sebagaimana dalam salah satu firman-Nya,
“Katakanlah, “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-An’am [6]: 162)
Gerakan-gerakan dan pikiran-pikiran yang
ditekankan sebagai doa dalam Islam adalah supaya manusia menjaga penghambaannya
dan mengarahkan dirinya kepada Tuhan dengan kesadaran yang dimilikinya. Doa
tidaklah sebagaimana yang dipersangkakan oleh sebagian pihak tenang
ketiadaannya interfensi dalam perbuatan Tuhan, melainkan merupakan perantara
dan wasilah untuk memperkuat kehendak dan cahaya harapan dalam menghilangkan
hambatan-hambatan yang menghalangi jalan pertambahan tingkat manusia, ketika
seluruh pintu di hadapan manusia telah tertutup dan manusia berhadapan dengan
jalan buntu dan kehilangan harapan, maka doa merupakan satu-satunya wasilah
untuk kegembiraan dan kebahagiaan ruh dan berpaling dari kesedihan dan bergerak
ke arah jurang yang mendaki menuju kesempurnaan, Dengan melalui doa, manusia
akan mencuci karat-karat dan pencemaran yang terdaoat di dalam dirinya dan
mempersiapkan dirinya hingga melangkah pada lintasan kesempurnaan.
Hakikat doa merupakan “terbangnya” ruh ke
arah Yang Dicintai dan “terbangnya” hamba ke arah Tuhan, sebuah “penerbangan”
dari tingkatan yang sangat rendah yang tanpa batas ke arah tingkatan yang
sangat tinggi yang juga tanpa batas, dan merupakan “penerbangan” hamba yang rendah
ke arah kesempurnaan Ilahi.
Alexis Carel berkaitan dengan masalah ini
menuliskan, “Kepada manusia, doa memberikan kekuatan untuk menanggung kesedihan
dan musibah dan ketika kata-kata rasional tidak lagi mampu untuk memberikan
harapan, doa akan memberikan harapan kepadanya dan memberikan kekuatan dan
kodrat untuk berdiri tegak dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar.”[7]
Doa memberikan pengaruh pada sifat-sifat
dan karakteristik-karakteristik manusia. Oleh karena itu, doa harus dilakukan
secara kontinyu.[8]
Masyarakat yang membunuh kebutuhannya
berdoa, biasanya tidak akan terbebas dari kerusakan dan kerendahan.[9]
William James dalam masalah doa
mengatakan, “Sebagaimana kita menerima hakikat-hakikat dan
realitas-realitas yang ada pada dunia medis, para ahli medis mengungkapkan
bahwa pada banyak kasus, doa, memberikan pengaruh pada kesembuhan kondisi
pasien. Oleh karena itu, harus diketahui bahwa doa merupakan salah satu dari
perantara yang berpengaruh dalam pengobatan. Dalam banyak kasus yang dihadapi
oleh manusia, doa sangat berpengaruh untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ruh
dan hasilnya, akan diikuti dengan kesehatan badan dan jasmani mereka.[10]
Doa dan shalat bukan merupakan perintah
imajiasi atau benak melainkan perolehan lebih banyak dari kekuatan spiritual
atau dengan kata lain, rahmat Ilahi.[11]
Berdasarkan apa yang telah kami katakan,
ibadah -yang dalam agama Islam merupakan filosofi dan tujuan penciptaan-
memiliki suatu karakteristik penting yang sama sekali tidak dipunyai oleh satu
agama atau mazhab manapun hingga sekarang ini selain agama Islam, karakteristik
itu adalah meliputi aktivitas-aktivitas manusia, apakah manusia itu sedang
berdoa kepada Tuhannya, melakukan shalat, dan mensucikan dirinya, maupun sedang
sibuk dan melakukan kegiatan di tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah
keluarga, atau menjalin hubungan yang erat dengan istri, anak-anak, dan kedua
orang tua. Sementara ibadah dalam mazhab dan agama yang lain hanya berkaitan
dengan uapcara doa dan menjalin hubungan dengan Tuhan secara resmi, dan tidak
mencakup kegiatan-kegiatan budaya, politik, ekonomi, keluarga, dan yang
sejenisnya.
Kedekatan Kepada Tuhan (Taqarrub Ilallah)
Posisi tertinggi yang bisa diraih oleh
manusia adalah maqam kedekatan kepada Tuhan atau kedekatan Rububiyyah. Apa yang
dimaksud dengan kedekatan Rububiyyah ini?
Yang dimaksud dengan kedekatan rububiyyah
adalah bahwa manusia sampai pada maqam dimana dia menemukan hubungannya dengan
Tuhan.
Kita ketahui bahwa seluruh eksistensi dan
maujud-maujud dalam penciptaan memiliki interaksi dengan-Nya. Seluruh
maujud-maujud alam tidaklah bergantung sebagaimana kebergantungan mereka
kepada-Nya.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt
berfirman, “Hai manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah
Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fathir [35]: 15)
Yang dimaksud dengan kesempurnaan akhir
adalah bahwa manusia akan sampai pada suatu maqam dimana dia memahami
kekurangan dan kebergantungannya kepada Tuhan. Pemahaman ini, bukan merupakan
pemahaman yang diperolah secara hushuli (perolehan) karena pemahaman perolehan
ini bisa diperoleh dengan bantuan dari argumentasi-argumentas filosofi,
melainkan yang dimaksud pemahaman di sini adalah pemahaman hudhuri dan
penyaksian irfani (mukasyafah dan musyahadah).
Artinya
bahwa manusia akan menggapai maqam tersebut dimana dia tidak ada sesuatupun
yang akan mampu menarik perhatiannya selain Tuhan, wujudnya seakan telah
memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang dilakukannya selain untuk mencari
keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai maqam dan posisi seperti ini sama
sekali tidak akan pernah menganggap adanya kemandirian untuk dirinya dan dia
mengarungi kehidupannya salam satu interaksi permanen dan penyaksian irfani
dengan Tuhan. Pada posisi dan maqam seperti ini dimana tidak ada lagi bekas
dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada adalah dari Tuhan. Imam Ali As
berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani bersabda,
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”[12]
“Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya.”[13]
Imam Khomeini ra, dalam pembahasan mengenai
liqaullah (perjumpaan dengan Tuhan) dan maqam kedekatan Rububiyyah (kedekatan
kepada Tuhan) mengatakan, “Harus diketahui bahwa apa yang mereka maksud bahwa
jalan menuju pertemuan dengan Tuhan (liqaullah) dan penyaksian keindahan dan
keagungan Yang Maha Benar, ini bukanlah berarti bahwa pengenalan hakiki
terhadap dzat Tuhan Yang Maha Suci adalah merupakan suatu hal yang dibenarkan,
atau pada ilmu hudhuri dan penyaksian spiritual yang obyektif serta pelingkupan
menyeluruh atas Zat Tuhan adalah hal yang memungkinkan, melainkan kemustahilan
pencapaian pengetahuan dan pengenalan hakiki terhadap Zat Suci Tuhan baik dalam
lingkup pengetahuan universal (pengetahuan rasional dan persoalan-persoalan
argumentatif), tafakkur, penyaksian irfani, dan penyingkapan dengan mata batin
adalah kesepakatan seluruh filosof dan urafa. Akan tetapi, mereka yang
mengklaim berada di dalam maqam ini mengatakan bahwa seorang salik akan
mencapai kesucian hati dan menerima manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan
setelah mencapai ketakwaan sempurna, menyingkirkan segala keinginan hati kepada
segala sesuatu di seluruh alam, menolak segala tingkatan-tingkatan spiritual,
menyirnakan segala ego dan keakuan, perhatian sempurna dan penerimaan
menyeluruh atas Tuhan, Nama-nama, Sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada
Zat Suci Tuhan, dan melakukan riyadhah hati. Dengan demikian, akan terkoyaklah
hijab-hijab tebal antara hamba dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, kemudian
dia akan fana dalam Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, lalu dia akan mencapai suatu
kemulian, kesucian, dan keagungan. Puncaknya, dia akan menggapai kesempurnaan
zat. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada lagi hijab dan penghalang antara jiwa
suci para salik dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Dan kemungkinan
sebagian dari Urafa telah mampu menyirnakan hijab cahaya, yakni hijab Nama-nama
dan Sifat-sifat Tuhan, dan telah menerima manifestasi Zat Suci Tuhan serta
menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci-Nya. Dalam
penyaksiannya ini, dia menyaksikan dirinya berada dalam cakupan dan lingkupan
hakiki Zat Tuhan serta fana dalam Zat-Nya. Lantas dia melihat dengan mata
batinnya bahwa wujudnya dan seluruh makhluk adalah manifestasi-Nya. Dan apabila
di antara Tuhan dan makhluk pertama-Nya -yang bersifat non marteri itu tidak
terdapat hijab dan bahkan telah ditegaskan secara rasional bahwa di antara
makhluk-makhluk non materi itu sendiri tidak terdapat hijab-, maka di antara
Tuhan dan hati salik -yang keberluasan dan keberliputannya sederajat dengan
mahluk non materi dan bahkan memiliki derajat yang paling tinggi- tidak
terdapat hijab dan penghalang.[14]
Maqam spiritual ini disebut juga maqam fana
manusia di dalam Zat Suci Tuhan. Akan tetapi fana di sini tidak bermakna hulul[15]
atau menyatu dengan Zat Ilahi sebagaimana yang dianggap oleh sebagian kelompok
Sufi. Melainkan fana yang dimaksud adalah sirnanya segala kondisi dan keadaan
jiwa manusia yang bersifat ego, keakuan, dan ananiyyah. Menurut Ayatullah
Tehrani, fana itu memiliki dua bentuk, “Pertama, dia berada dalam lingkup
kehidupan alami dan jasmani, tetapi pada kondisi ini dia berhasil mencapai
maqam fana, dan fana ini berada sebelum kematian. Sebagian orang-orang mukmin
yang berhati ikhlas yang meniti jalan menuju Tuhan telah berhasil menggapai
maqam fana di dalam kehidupan dunia ini. Oleh karena itu, maqam fana bagi
mereka ini seperti penjelmaan keadaan-keadaan berbeda. Kedua, fana bagi
orang-orang yang tidak berada dalam ruang kehidupan materi dan dunia. Mereka
telah melewati kehidupan barzakh dan kiamat, dan termasuk orang-orang yang
ikhlas dan yang dekat dengan Tuhan serta tinggal dalam maqam fana pada Zat Suci
Ilahi. Mereka meninggalkan badan mereka sendiri dan tidak lagi dalam keadaan
berjasmani, begitu pula telah melewati kehidupan barzakh dan kiamat serta tidak
lagi memiliki keinginan dan ego. Dengan demikian, mereka telah “masuk” dalam
wilayah ketuhanan karena berhasil meninggalkan segala manisfestasi-manifestasi-Nya.
Mereka tidak lagi berada dalam “bentuk-bentuk” ego kemanusiaan dan tidak
terlingkupi dengan manifestasi suatu Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi tertentu”[16]
Manusia yang telah mencapi maqam fana dalam
Tuhan (fana fillah) akan mempunyai suatu karakterisitk dan kekhususan -yang
tidak perlu disampikan pada kesempatan ini-, akan tetapi kami mencukupkan untuk
menutip dua hadis dalam persoalan ini supaya menjadi jelas tanda-tanda
seseorang yang telah mencapai kedekatan dengan Tuhan.
“Hamba-Ku tidak akan mencapai kedekatan
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih dicintai di sisi-Ku dari apa-apa yang
diwajibkan atasnya dan sesungguhnya dia pasti dekat kepada-Ku dengan perbuatan
nawafil (perbuatan-perbuatan yang sunnah dan mustahab) sedemikian sehingga Aku
mencintainya, dan ketika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang
dengannya dia mendengar dan Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia
melihat dan Aku menjadi lisannya yang dengannya dia berbicara serta Aku menjadi
tangannya yang dengannya di mengambil, apabila dia berdoa kepada-Ku Aku akan
mengabulkannya dan kalau dia meminta kepada-Ku Aku akan memberikannya.”[17]
Berdasarkan hadis tersebut, manusia yang
telah mencapai maqam kedekatan kepada Tuhan maka keinginan dan kehendaknya
dengan izin Tuhan akan berlaku di alam ini seperti kehendak dan iradah Tuhan
Yang Maha Tinggi. Penglihatannya menjadi penglihatan Tuhan, pendengarannya
menjadi pendengaran Tuhan, dan tangannya menjadi tangan Tuhan. Yakni segala
amal dan perbuatannya telah mendapatkan warna ketuhanan, dengan demikian,
dengan izin Tuhan, dia dapat mengatur dan mengubah sesuatu di alam ini. Dengan
ungkapan lain, karena dia memiliki kekuasaan penuh atas hukum-hukum alam (hukum
takwiniyyah) maka dia adalah penguasa atas kekuatan-kekuatan alam. Lebih dari
itu, doanya senantiasa terkabulkan, yakni apa saja yang diinginkan dari Tuhan
niscaya Tuhan akan mengabulkan segala permintaan dan permohonannya. “Bagi Tuhan
terdapat hamba-hamba yang taat terhadap apa-apa yang Dia inginkan, maka Tuhan
pun mengikuti apa-apa yang mereka kehendaki sedemikian sehingga ketika mereka
menyatakan: jadilah, maka jadilah sesuatu itu.”[18]
Alam Eksistensi Mengarah kepada Kesempurnaan
Dari pembahasan sebelumnya kita akan sampai
pada kesimpulan berikut bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kembali pada
manusia itu sendiri, dan bukan karena penciptaan alam dan eksistensi merupakan
motivasi bagi Tuhan sehingga dengan kemunculan alam dan alam-alam Ia akan
sampai pada tujuan-Nya. Melainkan karena keniscayaan dari kemuliaan tak
terbatas Tuhan adalah penciptaan eksistensi dan alam eksistensi.
Di sini kita akan membahas bahwa hikmah
Ilahi meniscayakan eksistensi-eksistensi di alam penciptaan ini terutama yang
bernama manusia akan melakukan perjalanan ke arah kesempurnaan. Terdapat dua
argumentasi yang bisa diutarakan untuk membuktikan bahasan ini, yaitu:
- Perangkat penciptaan akan mengarahkan segala eksistensi dan maujud-maujud ke arah puncak kesempurnaan (hidayah takwiniyyah)
- Pengangkatan dan pengutusan para Nabi (hidayah tasyri’iyyah)
Dalam pengamatan terhadap maujud-maujud
alam keberadaan -sekecil apapun pengamatan tersebut- akan menunjukkan bahwa
seluruh mereka akan melangkah ke arah kesempurnaan. Biji-biji gandum atau biji
buah-buahan yang tersembunyi di dalam tanah akan senantiasa melintasi
tahapan-tahapan sehingga sampai pada kesempurnaan akhirnya yaitu menjadi
tangkai-tangkai gandum atau buah-buah yang ranum. Demikian pula sebuah nutfah
yang menggumpal di dalam rahim seorang ibu, sejak awal kemunculan akan bergerak
ke arah tujuan akhirnya yaitu menjadi manusia dalam keadaan yang sempurna.
Apabila kita perhatikan, secara umum setiap
maujud-maujud alam penciptaan berada dalam keadaan bergerak dengan hidayah
takwiniyyah ke arah kesempurnaan jenisnya masing-masing.
Di sini kami akan mengisyarahkan pada
beberapa poin:
- Untuk menganalisa bagaimana alam tabiat melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan, maka kita harus mengetahui makna dan mafhum dari kesempurnaan. ita harus pula melihat apa sebenarnya maksud dan tujuan filosofi Islam dari kesempurnaan.[19]
Dari pandangan filsafat Islam, jika sesuatu
dari potensi mencapai tahapan aktualisasinya, maka kita akan mengatakan bahwa
sesuatu tersebut menemukan kesempurnaannya. Dan gerak substansi yang
dikemukakan oleh Mula Sadra dengan definisi ini pun merupakan penjelas wujud
kesempurnaan dalam sesuatu, karena pada gerak substansi dimana gerakan terjadi
pada zat sesuatu, sesuatu tersebut dalam setiap tahapan dari tahapan-tahapan
wujudnya akan mengubah potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya menjadi
teraktual. Dan sesuatu tersebut pada tahapan barunya akan kehilangan
kesempurnaan yang sebelumnya dia miliki dan akan memperoleh kesempurnaan
lainnya. Para filosof dalam mendefinisikan gerak mengatakan, “Gerak adalah
keluarnya sesuatu dari potensi secara bertahap kepada aktualisasi “
Berdasarkan definisi ini, setiap jenis
gerak merupakan gerak yang mengarah pada kesempurnaan. Hal ini dikarenakan
dalam setiap bentuk gerak, potensi-potensi akan berubah menjadi aktual.
Bebijian yang tersembunyi di kedalaman tanah dan tumbuh hingga menjadi sebatang
pohon yang rimbun dengan buah, setiap saatnya berada dalam keadaan menyempurna.
Sebuah apel yang awalnya berwarna kuning senantiasa akan melakukan gerak
menyempurna ke arah warna merah, supayaa potensi warna merah yang sejak awal
telah dimilikinya sampai pada pengaktualannya. Sel-sel yang berubah menjadi
manusia, geraknya adalah gerak yang menyempurna, karena pada awalnya dia telah
memiliki potensi untuk menjadi manusia, dan ketika telah berubah menjadi
seorang manusia berarti potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya telah sampai
pada tahapan aktual. Bahkan gerak di tempat pun merupakan sebuah gerakan yang
menyempurna, karena benda yang bergerak dan berpindah dari satu tempat ke
tempat lainnya, memiliki potensi ini yang kemudian telah berubah menjadi
aktual. Demikian pula dengan gerak bumi yang merotasi atau gerakannya
mengelilingi matahari, juga merupakan gerakan menyempurna, karena bumi pada
awalnya telah memiliki potensi untuk melakukan gerak rotasi atau gerak mengelilingi
bumi dan ketika gerakan ini terwujud, maka apa yang ditampakkannya adalah
potensi dan kemampuannya yang telah berubah mengaktual.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
menyempurna adalah perubahan mengaktualnya potensi dan kemampuan yang dimiliki
oleh sesuatu, baik hal ini akan menambahkan volume pada sesuatu ataupun tidak,
sebagaimana yang persangkaan salah yang dikemukakan oleh sebagian yang
mengatakan, jika sebuah sesuatu telah menemukan penyempurnaannya, maka pasti
volumenya akan bertambah. Sekarang ketika dikatakan, kesempurnaannya bertambah,
maka yang dimaksudkan disini bukanlah kebertambahan dalam dimensi sesuatu
tersebut, melainkan sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, yang
dimaksud dengan kesempurnaan di sini adalah mengaktualnya potensi-potensi dan
kemampuan-kemampuan.
- Setiap maujud memiliki potensi dimana berdasarkan potensi tersebutlah ia akan menyempurna. Sebagai contoh, potensi yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan sama sekali tidak akan pernah dimiliki oleh in-organik. Dari sinilah sehingga kemudian dikatakan bahwa masing-masing akan menemukan pengaktualan sifat dan keberadaannya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain, setiap maujud akan bergerak menyempurna berdasarkan sifat dan potensi yang dimilikinya.Oleh karena itu, kesempurnaan setiap maujud harus dilihat dari hubungan dan interaksi dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh maujud tersebut dan sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa satu bentuk kesempurnaan tertentu bisa diletakkan untuk seluruh maujud.
- Kesempurnaan merupakan persoalan yang nisbi. Yaitu suatu sifat mungkin saja bisa menjadi sebuah kesempurnaan bagi sesuatu, akan tetapi bagi sesuatu lainnya hal ini merupakan ketaksempurnaannya, misalnya rasa manis, untuk buah-buahan seperti apel dan buah pear merupakan sebuah kesempurnaan, akan tetap untuk jeruk nipis hal ini menjadi ketaksem-purnaan baginya.
- Kondisi lingkungan dan faktor-faktor eksernal dzat kadangkala menjadi penghambat bagi mengaktualnya potensi-potensi internal yang dimiliki oleh maujud-maujud. Misalnya, air dan udara yang tidak layak dan ketiadaan perhatian terhadap tumbuh-tumbuhan akan menyebabkan terhambatnya perwujudan sifat-sifat keberwujudan tumbuhan. Biji-biji gandum yang tertanam di bawah tanah, jika tidak mendapatkan perawatan yang baik, maka ia akan menjadi layu dan musnah.
Ringkasnya, di dalam diri setiap eksistensi
senantiasa terdapat kekuatan potensi yang tersembunyi, dimana ia akan melewati
tahapan-tahapan berdasarkan gerak substansinya. Setiap tahapan jika
diperbandingkan dengan tahapan sebelumnya merupakan aktual dan jika
diperbandingkan dengan tahapan setelahnya merupakan potensial.
Setiap eksistensi setelah melewati seluruh
lintasan kesempurnaan dan meninggalkan potensi-potensi dan aktual-aktual yang
beragam, pada akhirnya akan sampai pada kesempurnaan dirinya. Sebagai contoh,
buah-buahan seperti apel dan jeruk yang pada tahapan awalnya merupakan
biji-bijian, ia akan meninggalkan tahapan-tahapan dan bergerak menyempurna
dalam kediriannya yaitu sampai pada jenis buah-buahan yang memiliki rasa,
bentuk dan khasiat-khasiat yang khas.
- Tujuan akhir penciptaan adalah manusia, sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya, setiap maujud alam penciptaan memiliki tujuan dan sasaran dimana sejak awal kemunculannya akan bergerak ke arah tujuan dan sasarannya tersebut. Bebijian tumbuhan yang berada di dalam kedalaman tanah berada dalam geraknya sehingga setelah melintasi tahapan-tahapan akan sampai pada aktualisasinya dan misalnya berubah menjadi buah. Atau telur yang berada di bawah eraman seekor ayam akan melakukan persiapan untuk mengalami perubahan menjadi seekor anak ayam, sehingga setelah melewati tahapan ini pun dia akan berubah menjadi seekor ayam dan …
Selain itu, masing-masing dari maujud dan
eksistensi ini akan menjadi tujuan dari maujud-maujud lainnya, yaitu alasan
terciptanya suatu maujud adalah supaya maujud lainnya bisa memanfaatkannya,
misalnya tumbuh-tumbuhan telah tercipta supaya manusia dan binatang bisa
memanfaatkannya, atau binatang-binatang tercipta supaya manusia bisa
memanfaatkannya, dengan ibarat lain, begitu maujud-maujud ini mencapai
aktualisasi akhir dari dirinya dan dipergunakan oleh manusia, maka dia telah
sampai pada tujuan akhirnya.
Allah Swt berfirman dalam ayat-ayat-Nya,
“Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia
(berkehendak) menciptakan langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.“ (Qs. Al-Baqarah [2]: 29) “Dia-lah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap…” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 22) “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya…” (Qs. Hud [7]: 7)
Dengan memperhatikan apa yang telah disebutkan,
kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kita memiliki kesempurnaan awal dan
kesempurnaan akhir. Kesempurnaan maujud-maujud merupakan sebuah kesempurnaan
awal untuk kesempurnaan manusia. Bahkan pada manusia sendiri terdapat pula
kesempur-naan-kesempurnaan permulaan atau awal yang kesempurnaan itu bukan
merupakan tujuan akhir, misalnya ilmu dan pengetahuan yang secara sendirinya
merupakan sebuah bentuk kesempurnaan yang harus dipergunakan untuk mendukung
kesempurnaan akhir manusia yang tak lain adalah kedekatan rububiyyah. Oleh
karena itu, seluruh kesempurnaan eksistensi-eksistensi di alam penciptaan
merupakan kesempurnaan awal bagi kesempurnaan akhir yang tak lain adalah
kedekatan rububiyyah.
[1] Pada dasarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa manusia itu harus
secara sadar, berpengetahuan, dan bebas menjadi hamba Tuhan. Manusia harus
yakin bahwa Tuhanlah yang layak untuk disembah dalam segala bentuknya. Tuhan
tidak ingin memaksa makhluk dan ciptaannya untuk menyembahnya. Dengan demikian,
manusia dan makhluk adalah penyembah Tuhan yaitu bahwa ia senantiasa
menyembah-Nya. Jadi titik tekan penyembahan dan ibadah di sini adalah bahwa
manusia dan makhluk sebagai subyek yang menyembah, bukan obyek yang disembah
(baca: Tuhan).
[2] Untuk mendalami tafsir dari ayat di atas, rujuklah: al-Mizan, J.
36, hal. 298-302.
[3] Syarh Ushul Kafi, J. 9, hal. 62; Biharul Anwar, J. 16, hal. 406.
[4] Ahadits Matsnawi, hal. 172.
[5] Rasail Kurki, J. 3, hal. 162; Syarh Asma al-HUsna, J. 1, hal. 139.
[6] Mustadrak Safinah al-Bihar, J. 8, hal. 215.
[7] Roh-e Rasm-e Zendegi, hal. 137.
[8] Niyoyesh, hal. 12.
[9] Ibid, hal. 17.
[10] Din wa Rawon, hal. 154-158
[11] Ibid
[12] Mukhtashar Bashair ad-Darajat, hal. 160.
[13] Al-Lum’atu al-Baidha, hal. 169.
[14] Risalah Liqaullah, hal. 253-254.
[15] Seperti air yang meresap kedalam tanah atau ruh yang berada dalam
badan (menurut pemikiran filsafat Peripatetik), atau sebagaimana faham
Reinkarnasi.
[16] Mehr-e Tobon, hal. 200-202.
[17] Risalah Liqaullah, hal. 29-30
[18] Kalimatullah, hal. 143.
[19] Kesempurnaan berasal dari kategori kedua filosofi, dan yang
dimaksud dengan kategori kedua filosofi adalah aksidensinya berada di dalam
benak dan pensifatannya berada di luar, wujud dirinya tidak berada di luar secara
mandiri melainkan tersifatkan pada sesuatu yang lain, seperti tunggal dan
banyak, sebagaimana kita mengetahui di alam eksternal kita tidak memiliki
sesuatu yang bernama tunggal atau banyak, apa yang terdapat di alam
eksternal-lah yang tunggal atau banyak. Kesempurnaan pun berasal dari kategori
kedua filosofi yaitu aksidensinya berada di dalam benak dan pensifatannya
berada di alam eksternal. Di alam eksternal tidak ada sesuatu yang secara
mandiri bernama kesempurnaan, melainkan kesempurnaan adalah sebuah sifat yang
disifatkan kepada sesuatu lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.