A. Tujuan Hidup dan Pendidikan
Manusia dan hidup di dunia ini hanya sekedar untuk hidup, tetapi ada
suatu tujuan yang ia harus tempuh dalam kehidupannya. Yakni bagaimana ia dapat
menempuh kesejahteraan dalam hidupnya.
Kehidupan manusia di dunia ini dekelilingi oleh fenomena-fenomena
alam yang tidak terbilang, masing-masing muncul membawa maksud dan pesan
tertentu. Jika kenyataannya demikian, maka keberadaan manusia dalam alam ini
tidak terlepas dari tujuan-tujuan.
Manusia sebagai makhluk hidup yang menempati alam, eksistensinya di
alam ini ia tuntut agar dapat menggunakan, memanfaatkan serta melestarikan
untuk kesejahteraan hidupnya.
Kehidupan manusia menurut sejarah selalu berubah-ubah. Misalnya,
kehidupan antara mnusia purba dengan manusia sekarang ini. Kehidupan manusia
purba hidupnya sangat sederhana, hanya sekedar mencari makan untuk mengisi
perut setiap hari, dan melindungi diri dan keluarganya dari marabahaya dan serangan
bunatang buas. Mausia telah menguasai alam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan mausia
membuat dan mengerjakan apa saja, dari sejak membuat jarum sampai membuat
satelit. Implikasi dari pengertian tadi bahwa tujuan hidup yang ingin dicapai
manusia terus berkembang dari yang paling sederhana sampai yang paling
kompleks.
Pendidikan sebagai bagaian dari kehidupan manusia, karena dalam
pendidikan manusia sebagai inti utamanya. Pendidikan hendak mengantarkan
manusia dan mengarahkannya dalam kehidupan yang lebih baik.
Dalam integrasinya dengan alam, maka pendidikan harus mengarahkan
kehidupan manusia dan membekali manusia untuk persiapan perjuangannya di dunia
ini.
Pengertian tadi menunjukan bahwa tujuan hidup dan tujuan pendidikan
tidak boleh terpisah, artinya harus sesuai. Karena keduanya merupakan atau
kesatuan yang mengarahkan manusia kepada derajat yang lebih tinggi, yakni untuk
mencapai kebutuhan dan kesejahteraannya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan
dalam uraian berukutnya.
1. Manusia Sebagai Makhluk Hidup
Manusia
sebagai makhluk hidup berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaannya dapat kita lihat dari cara mengatur kehidupannya. Manusia
merupakan makhluk hidup yang paling unik. Keunikannya dapat kita lihat dari
segi berpikir, berbicara, dan seterusnya. Keunikannya itu tidak didapati pada
makhluk lainnya selain manusia.
Manusia
sebagai makhluk yang menempati alam yang paling mulia. Karena kedudukannya
sebagai pemimpin alam. Sebagai bagian dari alam, manusia harus berjuang untuk
memanfaatkan alam dan memakmurkannya untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Semua
yang ada di alam ini digunakan oleh manusia dan kadang-kadang diubah untuk
memudahkan hidupnya. Dalam menggunakan jasa alam ini, syarat yang harus ada
padanya adalah kemampuan untuk mengontrol. Seperti yang dijelaskan oleh Hamdani
Ali (1990:72).
Perkataan kontrol dapat diartikan bahwa
manusia itu adalah makhluk yang menundukan dan mengontrol energi alam buat
melanjutkan aktivitasnya. Hidup itu bagi makhluk hidup adalah proses pembaruan
diri sendiri melalui tindakannya mengendalikan lingkungannya.
Pengertian yang diutarakan oleh Hamdani tadi
menunjukan bahwa kelanjutan hidup adalah kelanjutan menyesuaikan diri terhadap
lingkungannya dan dengan kebutuhan organisme hidupnya.
Dunia manusia tidak beku atau tetap; manusia
mengatasi dunia yang ada karena manusia menciptakan dunianya sendiri, tetapi
dunia ciptaannya itu ada hubungannya dengan dunia orang-orang lain.
Manusia sebagai makhluk hidup dalam
hubungannya dengan alam sekitar membentuk adat istiadat, kebiasaan,
lembaga-lembaga kepercayaan, dan serentetan pengalaman yang lainnya. Pengalaman
manusia itu sebagai prinsip berkelanjutan pada manusia. Dengan adanya pembaruan
pengalaman dalam eksistensi alamiah dalam diri manusia, berlangsung pula
pembentukan kembali kepercayaan cita-cita, pengharapan dan semua dari
pengalaman, melalui pembaruan diri dalam kelompok sosial merupakan kenyataan
yang pasti.
Setiap manusia yang baru lahir, baik dalam
lingkungan modern maupun lingkungan primitif, dilahirkan belum siap, belum
berdaya, belum mengenal bahasa, belum memiliki ide. Ia dilahirkan hanya membawa
kemampuan dasar.
Dalam pandangan Islam kemampuan dasar itu
disebut “Fitrah” (M. Arifin, 1991:88). Oleh karena itu pendidikan harus
mengarahkan kehidupan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang
mengarah pada proses pembentukan individu yang dapat memahami lingkungannya.
Sebab kehidupan berjalan terus. Kehidupan harus menjadikan manusia agar menjadi
manusia. Menjadi manusia menurut Paulo Freire (1984:3) adalah mengalami dunia
sebagai realitas obyektif yang tidak bergantung pada siapapun, dan dapat
dimengerti.
Manusia dalam hubungannya dengan
lingkungannya harus kreatif. Ia harus dapat memasuki realitasnya serta
mengubahnya.
Integrasi manusia dengan lingkungannya adalah
has aktivitas manusia. Integrasi manusia dengan lingkungannya dapat terlihat
kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan realitas ditambah dengan kemampuan
kritis untuk membuat pilihan dalam mengubah realitas.
Inti dari pendidikan adalah manusia, dan
manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup. Lingkungan hidup dari waktu ke
waktu berubahh dan bersifat dinamis. Maka pendidikan harus berusaha untuk
membentuk manusia sebagai makhluk yang berwawasan lingkungan.
Pendidikan akan berlangsung dengan baik
apabila si pendidik memahami dan memiliki ide yang jelas tentang ditrah dasar
manusia, akan membantu manusia untuk memahami dirinya sebagai makhluk hidup.
Yakni makhluk yang bersifat kreatif dan dinamis.
2. Kehidupan Manusia dan Tujuan
Hidupnya
Kehidupan manusia di permukaan bumi ini, baik
yang menyangkut aspek fisik maupun yang menyangkut aspek sosial budayanya
senantiasa mengalami perubahan. Sampai kapanpun perubahan itu akan berlangsung
cepat atau lambat. Akibat dari perubahan itu menimbulkan permasalahan bagi
kehidupan manusia. Ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan sarana
penunjang kebutuhannya, akan menimbulkan masalah yang kompleks. Permasalahan
itu menuntut perhatian dan pemikiran manusia untuk mengantisipasi agar dapat
diatasi dengan baik, sehingga tidak menimbulkan masalah yang kompleks lagi.
Pemanfaatan dan pengembangan akal budi
manusia telah terungkap pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara berpikir manusia dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya juga menjadi tulang punggung pembangunan bangsa
kita.
Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mengubah sebagian hamparan alam menjadi hamparan budaya. Hutan, rawa,
gunung, telah dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk pemukiman, dan seterunya
yang menjamin kelangsungan hidup manusia.
Perbedaan ilmu pengetahuan dan teknologi
diantara penduduk di berbagai pemukiman bumi telah memperbesar jurang antara
negara manu dengan negara berkembang atau negara kaya dengan negara miskin. Hal
ini menjadi salah satu sebab terjadinya ketegangan-ketegangan dunia dewasa ini.
Seperti diuraikan oleh Endang Saefudin Anshori (1987:35), bahwa “hidup adalah
aktivitas membawa bersertanya masalah-masalah tertentu. Masalah termaksud harus
dipecahkan dengan berhasil untuk menjadikan manusia suatu sukses”.
Pemnafaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang tidak disertai dengan pengendalian moral yang tinggi, yang hanya didasarkan
kepada penarikan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya telah menimbulkan masalah
sosial budaya.
Perkembangan teknologi komunikasi telah dapat
membantu manusia untuk mengetahui dengan cepat berbagai kejadian baru di dunia
ini. Hal ini telah membantu memecahkan masalah kehidupan yang dialami oleh
sebagian penduduk bumi. Di sisi lain jalinan komunikasi yang tidak dapat
dihindarkan yaitu bahwa informasi yang cepat dan lancar, terjadi efek sampingan
yang menimbulkan masalah baru. Keadaan seperti ini terjadi akibat kondisi
penerima informasi dan pembaruan yang datang. Dan dalam hal ini dituntut
kewaspadaan untuk mencegah meluasnya sifa-sifat yang menggoncangkan masyarakat.
Pemanfaatan teknologi komunikasi hendaknya diarahkan secara nyata untuk
pemerataan informasi dan pembaruan yang akhirnya menyebabkan pemerataan
pendapatan dan kemakmuran.
Perkembangan dan kemajuan teknologi dapat
mengendalikan alam dan menguasai dunia, hal ini tidak telepas dari pendidikan.
Tanpa berkembangnya pendidikan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu
mustahil terjadi. Oleh karena itu metodologi pendidikan yang kita butuhkan
adalah yang kontekstual dengan kondisi yang obyektif. Sudah kita sepakati, yang
kita tuju adalah pendidikan manusia seutuhnya. Al Qur'an sebagai dasar falsafah
pendidikan Islam harus menjadi kenyataan yang konkret.
Dari uraian di atas, tampak bahwa tujuan
hidup manusia adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
suatu negara dan bangsa. Bagaimana melindungi diri dari bahaya, gangguan, rintangan
dan seterusnya yang mengancam kelestarian dan kelanggengan hidup bangsa dari
masa ke masa.
3. Tujuan Hidup Muslim
Secara umum dan sudah diyakini di kalangan
Muslim, bahwa tujuan hidup manusia adalah ingin mendapatkan ridho dar Allah
SWT. Tuhan Yang Maha Esa. Melalui iman dan beramal kebajikan. Firmannya:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَاد (البقرة: 207)
“Dan di
antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (Depag RI, 1984:50).
Pengertian di atas tadi bahwa arti dan makna
hidup hanya untuk mendapatkan ridho Allah SWT.
Sepanjang tujuan hidup manusia ingin
mendapatkan ridho Allah SWT, maka indikasi yang menentukan adalah bisikan hati.
Seperti dijelaskan oleh Nurcholis Madjid (1992:32) bahwa “Sepanjang……tujuan
hidup manusia, taruhan yang amat menentukan adalah hati nurani.
Masalah pribadi adalah masalah yang pelik,
karena kita harus berhadapan dengan masalah kedirian kita yang paling dalam
yaitu “qalbu” (Abdullah Haddad, 1991:93). Rasulallah saw bersabda:
إنّ فى الجسد مضغة
إذا صلحت صلح بها سائر الجسد وإذا فسدت فسد
سائر الجسد إلاّ هي القلب
“Dalam
tubuh manusia terdapat segumpal daging. Bila ia baik, maka baiklah seluruh
tubuh karenanya dan bila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah hati
atau qalbu” (Allamah Sayyid Abdullah Haddad, 1991:93).
Sebagai hakikat diri yang paling berharga,
qalbu juga sebagai hakekat diri yang paling berharga atau paling pribadi.
Artinya hanya masing-masing diri pribadi kita sendiri yang bersangkutanlah yang
mengetahui qolbunya sendiri, maka suara dan bisikan qolbu itu menurut Abdullah
Haddad (1991:85) adalah tempat yang paling penting nilainya dalam tujuan hidup
kita. Nabi saw. Bersabda:
إنّما الأعمال
بالنيات وإنّما لكلّ امرء مانوى
“Sesungguhnya
setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya dan bagi setiap orang ganjaran
sesuai dengan niat yang menyertai perbuatan itu” Abdullah Haddad
(1991:85).
Oleh sebab itu, niatkanlah untuk melaksanakan
sesuatu itu semata-mata demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta mengharap
pahala yang telah ditetapkan oleh-Nya atas setiap amalan yang diniatkan
tersebut, sesuai dengan karunia-Nya.
Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa yang
tidak sama dan tidak akan disamainya dengan makhluk ciptaannya. Tuhan maha
dekat kepada manusia. Firman-Nya:
وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ……(البقرة: 186)
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah)
bahwasanya Aku adalah dekat …(Depag RI, 1984:45).
Kedekatan manusia dengan Tuhan-Nya menurut
Nurcholis Madjid (1992:33) itu terwujud dalam kontak batin manusia dengan Tuhan
penciptanya. Kedekatan manusia dengan Tuhannya dan menimbulkan kesucian. Dan
dengan rasa kesucian itu, manusia dapat membedakan mana yang suci dan mana yang
keji melalui hakikat diri manusia yang paling dalam yaitu qolbunya. Firman
Allah SWT:
فَأَلْهَمَهَا
فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا(الشمش:8)
“Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Depag
RI, 1984:1064).
Firman Allah tersebut di atas menunjukan
bahwa qolbu kita mempunyai potensi untuk mengetahui mana yang benar dan mana
yang salah, maka tinggal kita sendiri yang akan membawa potensi tersebut
menjadi yang baru.
Suara hati yang suci akan terdengar oleh
manusia apabila ia sedang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Suci, pangkal dari
kesucian. Supaya tetap terpeliharanya kesucian qolbu, maka manusia harus
mendekatkan diri dan memelihara suasana dengan Yang Maha Suci, dengan pernuh
rasa pasrah dan dalam keserasian pribadinya yang paling dalam. Demikian pula
dalam do’a Rasualallah saq disebutkan: “Ya Allah jadikanlah batinku lebih baik
dari pada lahirku dan judakanlah lahirku lebih baik pula” Abdullah Haddad
(1991:92).
Manusia di hadapan Tuhan harus menunjukan
keikhlaasan hatinya untuk melawan hal-hal yang menyimpang dari kebenaran, dan
dengan memohon kepada Tuhan agar ditunjukan jalan menuju kesucian tersebut.
Yakni jalan yang lurus, jalan yang penuh nikmat dan bukan jalan yang dimurkai
serta bukan jalannya orang yang sesat seperti yang kita ucapkan pada saat
shalat, yang menjadi rukun shat, yaitu dalam surat pertama dalam al Qur'an.
Untuk menjaga kesucian hubungan manusia
dengan Tuhannya, maka manusia harus berjuang untuk selalu mendekatkan diri
kepada-Nya, dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidupnya. Firman Allah SWT:
وَمَا تُنْفِقُونَ
إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ (البقرة:272)
“…..dan
janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhoan Allah
SWT” (Depag RI, 1984:68).
Agar manusia dapat menyempurnakan jati
dirinya, maka Tuhan menurunkan petunjuk-Nya kepada Rosul-Nya, yang tiada
keraguan padanya. Petunjuk kepada mereka yang dekat pada Tuhannya, petunjuk
yang menjadikan makhluk berakhlak luhur.
Walaupun usaha manusia dalam menyempurnakan
jati dirinya itu berpedoman kepada Tuhan dan menuju kepada-Nya, tidak berarti
untuk kepentingan Tuhan. Melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.
Firman-Nya:
إِنَّمَا
نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا(الإنسان:9)
“Sesungguhnya
kami telah memberikan makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhoan
Allah SWT. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan
terima kasih” (Depag RI, 1984:1004).
Manusia sebagai bagian dari alam dan juga
sebagai bagian dari sesamanya, maka ia harus mengaktualisasikan diri dalam
sikap hidup yang menempatkan diri sebagai bagian dari kemanusiaan, dan dengan
nyata menunjukan kepedualiannya pada manusia dan makna hidupnya di dunia ini.
Dan sifat kemanusiaan merupakan wujud dari makna hidup manusia yang menyadari
dirinya, untuk mengenal sesamanya. Ajakan ke arah kesadaran diri, seperti kata
kenalilah dirimu sendiri agar engkau mengenal Tuhanmu dan janganlah lupakan
Tuhanmu agar engkau tidak lupa akan dirimu. Kalimat tersebut menurut Muthahari
(1992:155) merupakan himbauan dan ajakan dari ajaran agama dan al Qur'an.
Firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا
كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ(الحشر:19)
“Dan janganlah
kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, dan Allah menjadikan mereka
lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (Depag
RI, 1984:919).
Usaha untuk mengenali diri sendiri seperti
pada sirat al Hasyr ayat 19 merupakan obat yang bermanfaat bagi penyembuhan
penyakit hati, seperti sifat angkuh dan sombong. Bila rasa malu dan hati
tergugah ketika menyadari bahwa Allah SWT melihat segala perbuatan kita, dengan
demikian mendorong kita untuk taat kepada-Nya, dan meninggalkan pembangkangan
terhadap-Nya, maka kita akan merasa lega dari pengawasan diri karena takut
kepada Allah SWT.
4. Tujuan Pendidikan Islam
Sebenarnya tujuan pendidikan itu sama dengan
tujuan hidup manusia. Karena pendidikan sebagai suatu alat yang digunakan oleh
manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya. Baik sebagai hamba Allah,
individu, dan sebagai anggota masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai oleh setiap
pendidikan pada hakikatnya adalah perwujudan nilan-nilai ideal yang terbentuk
dalam pribadi manusia, singkatnya terbentuknya manusia yang sempurna.
Ahmad Tafsir (1992:46) menyatakan bahwa
manusia sempurna dalam pandangan Islam adalah:
1. Jasmaninya sehat serta kuat,
termasuk keterampilan
2. Akalnya cerdas dan pandai
3. Hatinya (qolbunya) penuh iman
kepada Allah SWT.
Jika kita berbicara mengenai tujuan
pendidikan Islam, berarti kita berbicara mengenai nilai-nilai ideal yang
bercorak Islami. Maka tidak lain pendidikan Islam bertujuan merealisasikan
idealitas Islam.
Untuk merealisasikan idealitas Islam, seperti
yang dijelaskan oleh Ahmad Tafsir, maka manusia harus memelihara iman dan
taqwanya kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Abdul Fatah Jalal (1988:119) menyatakan bahwa
tujuan umum pendidikan Islam adalah “menjadikan manusia sebagai hamba Allah
swt”. Selanjutnya Jalal menyatakan bahwa tujuan itu adalah untuk seluruh
manusia.
Shalih Abdullah (1991:151) menyatakan bahwa
“Pendidikan adalah upaya mengembangkan individu yang memiliki kualitas dan
peran sebagai khalifah”. Menurutnya bahwa kepentingan utama khalifah adalah
beriman kepada Allah SWT dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Tujuan
hidup manusia menurut Allah SWT adalah beribadah kepada-Nya (Ahmad Tafsir,
1992:47). Firman-Nya:
وما خلقت الجنّ
والإنس إلاّ ليعبدون
“Dan
Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya beribadah kepada-Ku”
(Depag RI, 1984:862).
Konsep ibadah dalam ayat tersebut di atas
menurut Addur Rahman Shalih Abdullah (1991:152) mengandung ari bahwa menyerah
kepada-Nya dan beribadah sesuai dengan ajaran-Nya.
Fatah Jalal (1988:121-T124) menyatakan bahwa:
Sebagian
orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bula
Ramadhan, mengeluarkan zakat dan beribadah haji, setelah mengucapkan dua
kalimat syahadat. Di luar itu bukanlah ibadah. Sebenarnya ibadah itu mencakup
segala amal, pikiran atau perasaan manusia, selama maunsia itu dihadapkan
kepada Allah SWT.
Penyebutan al Qur'an terhadap Rasulallah saw
dengan gelar ‘abid atau ‘ibad menurut Shalih Abdullah (1991:152) mengisyaratkan
bahwa manusia sempurna tidak dapat dilepaskan dari penyerahan diri secara penuh
kepada Allah SWT dan pendidikan harus mempersiapkan manusia beribadah
kepada-Nya serta menjadi hamba-Nya. Ahmad Tafsir (1992:47) menyatakan bahwa
“Dengan melihat tujuan umum pendidikan seperti ini dapatlah dibuat dengan
rumusan pendidikan yang lebih khusus, yaitu dengan mempelajari terlebih dahulu
aspek ibadah”. Lebih lanjut Ahmad Tafsir menyatakan aspek ibadah yang pertama
yang oleh fuqaha disebut “ibadah adalah rukun Islam, agar ia mengamalkannya
dengan cara yang benar” ini disebutkan dalam surat at Taubat ayat 122:
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang mu’min itu pergi semuanya ke medan perang, mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya” (Depag RI, 1984:301).
Dalam ayat tersebut, pengetahuan tentang
agama menurut Ahmad Tafsir adalah pengetahuan tentang al Qur'an dan al Hadits
terutama tentang kelima rukun Islam, dan harus menjadi salah satu tujuan
pendidikan Islam.
Aspek ibadah yang kedua menurut Ahmad Tafsir
adalah aspek amal untuk mencari rizki. Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ
لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ(الملك:15)
“Dia
menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan
makanlah sebahagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali
setelah dibangkitkan” (Depag RI, 1984:956).
Shalih Abdullah (1991:151) menyatakan bahwa
“Tujuan umum pendidikan adalah tujuan yang berada jauh dari masa sekarang;
sebuah hasil yang pencapaian atasnya tidak dapat terlaksana melalui sekali
kerja, ia merupakan tujuan akhir.
Pernolakan terhadap tujuan umum adalah
kemunduran. Sebab tujuan umum menjadi arah pendidikan Islam. Untuk keperluan
pelaksanaannya perlu dirinci ke dalam tujuan khusus, bahkan sampai tujuan
operasional.
Dari pengenalan tentang manusia sempurna,
seperti yang telah dijelaskan di muka, maka tujuan pendidikan dalam Islam harus
disusun sedemikian rupa sehingga dari setiap tiga ciri manusia sempurna itu
benar-benar mendapat perhatian seoptimal mungkin. Apabila ketiga ciri tadi
mendapat perhatian yang seimbang, pada gilirannya akan mengakibatkan munculnya
pribadi yang tidak berkualitas sebagai khalifah. Menyisihkan salah satu dari
tiga unsure manusia sempurna itu akan mengakibatkan rusaknya tatanan tiga
komponen utama manusia.
Dari pernyataan di atas, maka tujuan
pendidikan Islam terumuskan dalam tujuan yang bersifat fisik, mental atau akal
dan yang bersifat spiritual.
Tujuan yang bersifat fisik, bertujuan
membantu siswa dalam mencapai kemampuan yang menjadikannya lebih kuat dan
membantunya menanamkan nilai yang positif terhadap tubuhnya.
Tujuan yang bersifat mental, bertujuan
mengembangkan intelegensi yang akan mengantarkan siswa kepada pencapaian
kebenaran. Kegagalan untuk berbuat demikian merupakan penyimpangan mental yang
paling serius.
Tujuan yang bersifat spiritual, bertujuan
agar pendidikan mengharuskan adanya pembersihan terhadap sikap-sikap yang
negatif, seperti menyekutukan Allah SWT dan sebagainya yang tidak kenal dengan
ajaran Islam. Dan yang demikian itu bukan tujuan dari pendidikan Islam.
Pendidikan Islam bertujuan membersihkan diri dari segala sifat negatif seperti
yang telah disebutkan di atas misalnya. Dan pembersihan memiliki nilai tinggi.
B. Pendidikan dalam Kehidupan Manusia
1. Tugas dan Fungsi Pendidikan
Menurut M. Arifin (1991:33) pendidikan adalah “Suatu proses tanpa
akhir, atau pendidikan itu berlangsung sepenjang hidup”
Pendidikan sebagai usaha membentuk pribadi manusia harus melalui
proses yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera,
berbeda dengan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan
keinginan pembuatnya. Dalam proses pembentukan tersebut diperlukan suatu
perhitungan yang matang dan hati-hati berdasarkan pandangan dan pikiran-pikiran
atau teori yang tepat, sehingga kegagalan atau kesalahan-kesalahan langkah
terhadap pembentukan anak didik dapat dihindarkan. Karena lapangan dan sasaran
pendidikan adalah makhluk yang mengandung berbagai kemungkinan. Bila kita salah
bentuk, maka kita akan sulit memperbaikinya.
Tugas dan fungsi pendidikan itu pada intinya berdasrkan pada manusia
yang senantiasa tumbuh dan berkembang dari mulai masih dalam kandungan sampai
dengan meninggalkan alam yang fana ini.
Tugas dan fungsi pendidikan dapat dibedakan sebagai berikut:
a.
Tugas Pendidikan
M. Arifin (1991:33) menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah “membimbing
dan mengarahkan perumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke tahap
kehidupan anak didik sampai mencapai titik kemampuan optimal. Manusia
diciptakan oleh Tuhan dalam struktur yang paling sempurna diantara mahluk Tuhan
yang lainnya. Struktur manusia terdiri dari unsure jasmani dan rohani.
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu Tuhan memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang ada pada manusia itu dapat berkembang dengan
baik, maka perlu adanya suatu bimbingan dan pengarahan. Bimbingan dan perngarahan
tersebut menyangkut potensi kemampuan dasar serta bakat manusia yang mengandung
kemungkinan-kemungkinan berkembang ke arah kemampuan yang oprimal. Arifin
(1991:34) menyatakan bahwa, “kemampuan potensial pada diri manusia itu baru
actual dan fungsional bila disediakan kemampuan untuk muncul dan berkembang
dengan menghilangkan segala gangguan yang menghambatnya”.
Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani
dalam pengertain pengertian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengertian
secara psikologis, karena pekerjaan mendidik yang inti sasarannya manusia yang
sedang bertumbuh dan berkembang, itu harus didasarkan atas tahap-tahap
pertumbuhan dan perkembangan psikologis.
Tanpa didasari dengan perkembangan psikologis dalam bimbingan dan
pengarahan yang bernilai paedagogik tidak akan menemukan dasarnya yang tepat.
Berbagai hambatan dan rintangan yang bersifat psikologis itu dapat
diatasai dengan metode pendidikan yang tepat guna dan berdaya guna. Hambatan
psikologis banyak corak dan ragamnya seperti hambatan pribadi dan sosial.
Misalnya hambatan emosional dan lingkungan masyarakat yang tidak mendorong
kepada kemajuan pendidikan dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan upaya menghilangkan hambatan dan rintangan
yang bersifat psikologis tadi, maka pendidikan Islam mengembangkan sumber utama
kekuatan mental spiritual yang mampu menangkal segala bentuk penyakit
psikologis, yaitu dengan kekuatan iman, yang berdasarkna tauhid kepada Allah
SWT. Oleh sebab itu, agama hendaknya mendapatkan tempat utama dan pertama dalam
pendidikan. Agama merupakan sumber yang sangat vital bagi idealisme, dan bagi
kasih saying kemanusiaan yang intuitif, sehingga berkat kehidupan yang religius
itu manusia hanya akan mengguanakan segala-galanya untuk kebaikan bukan untuk
kejahatan. Oleh karena itu pendidikan hendaknya dijiwai pula oleh semangat
keagamaan yang mendalam.
Jiwa keagamaan yang diintegrasikan kedalam sistem pendidikan menurut
Iqbal adalah “kehidupan yang menyatakan diri dalam kehidupan yang mulia,
disertai jiwa penjelajah sambil terus mengumandangkan asma Allah SWT. (K.G
Sayidain, 1981:173).
Dari uraian di atas, maka corak dan sistem pendidikan hendaknya
mempersiapkan dan memperlengkapi anak untuk kehidupan yang aktif dengan bekal
ilmu dan iman kepada Allah SWT.
b.
Fungsi Pendidikan
Menurut M. Arifin (1991:34), fungsi pendidikan
adalah “menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan tersebut
berjalan lancar. Penyediaan fasilitas ini mengandung arti dan tujuan yang
bersifat struktural dan institusional”. Arifin menyatakan bahwa arti dan tujuan
struktur menuntut terwujudnya struktur organisasi yang mengantur jalannya
proses kependidikan baik dilihat dari segi vertikal maupun horizontal, dimana
factor-faktor pendidikan dapat berfungsi secara instruksional yang mengandung
implikasi bahwa proses kependidikan yang terjadi di dalam struktur organisasi
itu berjalan secara konsisten dan berkesinambungan, mengikuti kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan manusia yang cenderung ke arah tingkat kemampuan
yang optimal. Oleh karena itu terwujudlah berbagai jenis dan jalur kependidikan
yang formal dan yang non-formal di dalam masyarakat.
Salah satu sistem yang memungkinkan proses pendidikan Islam
berlangsung secara berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah
intitusi atau kelembagaan pendidikan Islam.
Sejak nabi Muhammad saw melakukan dakwahnya secara aktif di kota
Makkah, telah didirikan lembaga, dimana Nabi memberi pelajaran tentang agama
Islam secara menyeluruh di rumah-rumah dan masjid-mesjir (M. Arifin, 1991:83).
Lebih lanjut Arifin menyatakan bahwa dalam salah satu rumah yang
terkenal dijadikan tempat berlangsungnya pendidikan Islam adalah “Daar al
Arqom” di Makkah dan masjid an-Nabawi di Madinah. Di dalam masjid inilah
berlangsungnya proses belajar mengajar berkelompok dalam balagoh dengan
masing-masing gurunya yang terdiri dari para sahabat nabi saw.
Karena perkembangan jumlah penduduk yang semakin bertambah, dimana
pelaksanaan pendidikan tidak seperti di zaman nabi saw, dengan menggunakan
sistem balagah, maka lahirlah bentuk institusi pendidikan yang disebut madrasah
dimana proses pengajarannya secara klasikal.
Di Indonesia, sistem pendidikan yang paling tertua adalah pesantren.
Sistem yang digunakannya sangat unik, sebab tidak memakai kurikulum, dan
metodenya pun sangat unik juga, seperti metode wetonan, bandungan dan sorogan.
Untuk masa sekarang ini mungkin metode tersebut di pesantren tertentu masih
digunakan.
Secara konstitusional, lembaga pendidikan pada umumnya lembaga
pendidikan Islam pada khususnya pada dasarnya untuk melaksanakan pengalihan
nilai budaya pada generasi berikutnya. Proses ini akan dapat berlangsung dengan
baik, apabila diarahkan melalui proses kependidikan dalam lembaga-lembaga yang
terorganisasi secara struktural dan institusional.
Sistem pendidikan seharusnya mengarahkan kehidupan manusia sesuai
dengan ideologi Islam. Dimana ruang lingkupnya mengalami perubahan sesuai
dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan Islam sebagai alat pembudayaan Islam, dimana ruang
lingkupnya mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan Islam
mengarahkan dan mengendalikannya, sehingga nilai spiritual yang bersumber dari
ajaran al Qur'an dapat berfungsi pada manusia yang mencptakan ilmu pengetahuan
dan teknologi tersebut. Dimana dalam penggunaannya diarahkan kepada upaya
mensejahterakan hidup ummat manusia. Karena nilai spiritual yang bersumberkan
al Qur'an akan menghantarkan dalam kehidupan yang penuh dengan rasa Illahiah.
Oleh karena itu, nilai-nilai Islam hendaknya diterapkan dalam
pembentukan peradaban manusia.
2.
Manusia sebagai Makhluk
yang Mendidik dan Dididik
Sebelum membahas permasalah ini lebih lanjut, maka ada suatu
pertanyaan yang akan menghantarkan pembahasan ini. Pertanyaannya adalah mengapa
manusia dapat menerima pendidikan? Jawabannya sangatlah sederhana, karena
manusia mempunyai rasio dan akal pikiran. Akal pikiran yang dimilikinya itu
berguna untuk mengelola segala apa yang dilihatnya, didengarnya, dan apa yang
dirasakannya menjadi pengetahuan yang kemudian sebagai pedoman untuk berbuat di
masa yang akan datang.
Tingkah laku manusia sebagaian dipengaruhi oleh hasil belajar
(pendidikan). Apabila belajar (pendidikan) itu terjadi, maka keberagaman
tingkah laku akan terjadi pula. Dan hal ini dapat dilihat atau dipelajari dari
kebudayaan, dimana manusia sendiri ada di dalamnya.
Hamdani Ali (1990:94-95) menyatakan bahwa “manusia itu mau belajar
karena ia didesak oleh kebutuhan rangsangan dari dalam dirinya”, lebih lanjut
Hambani menyatakan bahwa rangsangan itu besar kecilnya dipengaruhi oleh
stimulus. Rangsangan dibagi kedalam dua kategori; yaitu primer dan sekunder.
Rangsangan primer bersifat physiologis, sedangkan rangsangan sekunder bersifat
sosial.
Kebutuhan berarti menunjukan kekurangan yang menimbulkan suatu
ketidakseimbangan seseorang secara optimal. Kekurangan ini menumbuhkan
aktivitas, dan merupakan pendorong untuk bertindak.
Rangsangan sekunder yang timbul dari lingkungan sosial hendaknya
diperhatikan, karena sangat berpengaruh terhadap anak didik, tetapi tidak
bertanggung jawab atas kedewasaan dari anak didik. Mengenai hal ini Imam
Barnadib (1987:119) berpendapat “sajikanlah lingkungan yang baik kepada anak
dan singkirkan jauh-jauh lingkungan yang berbahaya kepada anak, dan harus
diusahakan agar anak memiliki lingkungan yang baik”.
Kemampuan belajar manusia sangat berjautab dengan kemampuan manusia
untuk mengetahui dan mengenal terhadap lingkungannya melalui pengamatan panca
indera. Pertanyaan ini ditegaskan juga oleh Arifin (1991:76):
Kemampuan belajar mausia pertama-tama berkembang dari pengamatan
panca indera kemudian diolah oleh kemampuan pikiran dan ingatannya serta
dorongan kemauannya, sehingga menjadi pola-pola pengetahuan yang kemudian
terbentuk menjadi ilmu pengetahuan.
Agar manusia dapat mencapai ilmu pengetahuan dan mengenal
hakikatnya, Islam telah meletakan kaidah, cara dan undang-undang yang diikuti
manusia dengan menggunakan alat dan potensi yang diciptakan oleh Allah SWT
seperti pendengaran, penglihatan, dan hati.
Menurut Fatah Jalal (1988:169-175) menyatakan bahwa kaidah, cara,
dan undang-undang yang harus diikuti dalam mencari ilmu pengetahuan,
diantaranya:
1.
Hindarkan bertaqlid tanpa
meneliti dan memikirkan persoalannya terlebih dahulu
2.
Hindarkan purbasangka
3.
Membersihkan akal dari segala
hukum yang tidak berdasarkan keyakinan
4.
Bertahap dari yang konkret
sampai kepada yang abstrak dan dari yang parsial kepada yang global
5.
Menyaring dan menguji pendapat
sebelum mengambilnya.
Pernyataan Jalal tadi sesungguhnya mengajarkan kepada kita agar
cinta terhadap ilmu pengetahuan. Cinta ilmu pengetahuan ini harus ditanamkan
kepada generasi penerus sejak dini. Jalannya menurut al-Abrasyi (1990:19)
adalah “menyibukan diri untuk belajar”. Tegasnya harus rajin membaca.
Belajar (membaca) merupakan jalan yang mengantarkan manusia mencapai
derajat kemanusiaan yang sempurna. Membaca adalah syarat utama guna membangun
peradaban. Semakin banyak membaca, maka semakin tinggi pula peradabannya,
demikian pula sebaliknya.
Manusia sebagi ‘abid Illah dan juga sebagai khalifah fil ard.
Kedua fungsi ini menurut Quraish Shihab (1992:171) adalah “konsekuensi dari
potensi keilmuan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, sekaligus
prasyarat mutlak bagi pelaksanaan kedua tugas tersebut”.
Potensi psikologis untuk mengenal gejala alam sekitar melalui proses
belajar untuk mengetahui, telah pula diberikan oleh Tuhan pada setiap diri
manusia. Untuk mengenal dan mengetahui hal-hal yang belum diketahui, diperlukan
bantuan para pendidik, dimana dalam pandangan Tuhan, pendidik menempati tempat
yang mulia. Oleh karena itu, sikap dan tingkah laku Tuhan terhadap makhluknya
yang digambarkan dalam firman-Nya sebagai Robbul ‘Alamiin (Maha Pendidik
atas makhluk-Nya di alam ini).
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa
manusia itu sebagai khalifah Tuhan. Ini berarti bahwa kekhalifahan menuntut
hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan
Tuhannya. Kekhalifahan menurut kearifan, karena dalam kaitannya dengan alam,
kekhalifahan menuntut bimbingan terhadap makhluk agar mencapai tujuan
penciptaan-Nya. Untuk maksud tersebut, dibutuhkan usaha, yaitu dengan jalan
membaca, menelaah, meneliti, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.