Oleh:
Sarmedi
ABSTRACT
Al-Quran is a guide for all human beings in
carrying out its mission as the representative of Allah on earth. In it
contained various aspects of human needs, such as, spiritual, social, cultural,
educational, and other aspects. Tarbiyah
problems and ta’lim need to be
assessed through the assessment by approach of interpretation, because of
differences in the concepts used will greatly affect the implications and
implementation. Results of assessment the verses of the Qur’an on the concept tarbiyah and ta’lim in the perspective of interpretation by using content
analysis and semantic approach that the concept of al-tarbiyah in the Qur'an is the process of formation and
development of human potential through the provision of various instructions,
thereby causing the potential of the human being can grow productively and
creatively without losing the divine ethics stipulated in his revelation. While
the term ta'lim based on the Qur’an is
a continuous process of delivering material to muta'alim to be aware of understand and practice the content of the
material. The difference between tarbiyah
and ta’lim, At-ta'lim a part of the at-tarbiyah
al-aqliyah, which aims to acquire
knowledge and skills to think, are referring to the cognitive domain. Instead, al-tarbiyah not only refers to the
cognitive domain, but also affective and psychomotor domains. Thus, the
differences between tarbiyah and ta’lim is universality itself that
covers all aspects of education.
Keyword: Education
and learning
ABSTRAK
Al-Quran itu petunjuk bagi segenap manusia
dalam mengemban misinya sebagai khalifah
di bumi. Di dalamnya terkandung aspek-aspek yang dibutuhkan manusia, seperti,
spiritual, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lainnya. Masalah tarbiyah dan ta’lim perlu dikaji melalui pengkajian tafsir, karena perbedaan
konsep yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada implikasi dan
implementasinya. Hasil kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai konsep tarbiyah dan ta’lim dalam perspektif tafsir dengan menggunakan metode content analysis dan pendekatan semantik
bahwa konsep al-Tarbiyah dalam
al-Qur’an adalah proses
pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian berbagai petunjuk,
sehingga menyebabkan potensi yang dimiliki manusia dapat tumbuh dengan
produktif dan kreatif tanpa menghilangkan etika Ilahi yang telah ditetapkan
dalam wahyu-Nya. Sementara istilah ta’lim dalam al-Qur’an adalah penyampaian materi secara kontinyu
kepada muta’alim agar dapat
mengetahui, memahami dan mengamalkan isi materi pembelajaran. Adapun perbedaan
antara tarbiyah dan ta’lim adalah at-ta’lim merupakan bagian kecil dari at-tarbiyah
al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir,
yang sifatnya mengacu pada ranah kognitif. Sebaliknya, al-tarbiyah tidak hanya mengacu pada domain kognitif, tetapi juga domain afektif dan
psikomotor.
Keyword: Tarbiyah
dan Ta’lim
PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan pedoman
dan petunjuk bagi segenap manusia dalam mengemban misinya sebagai khalifatullah
di bumi. Di dalamnya termuat berbagai aspek yang dibutuhkan manusia, seperti,
aspek spiritual, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lainnya.
Kedudukan al-Quran sebagai
sumber pokok pendidikan Islam dapat dilihat pada al-Quran surat an-Nahl ayat 64
dan surat Shad ayat 29. Di sana terungkap bahwa pada hakikatnya Al-Quran itu
merupakan khazanah yang penting untuk kehidupan dan kebudayaan manusia terutama
bidang kerohanian. Al-Quran merupakan pedoman pendidikan kemasyarakatan, moral
dan spiritual (kerohanian).
Naquib al-Atas dalam Ramayulis, (1994: 2-3) berpendapat bahwa dalam Islam ada dua istilah yang
dipakai untuk makna pendidikan, yaitu tarbiyah dan ta'dib.
Tarbiyah secara bahasa tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi
dapat dipakai kepada spesies lain seperti mineral, tanaman dan hewan. Sedangkan
ta'dib mengacu pada pengertian ('ilm), pengajaran (ta'lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Jadi, tarbiyah dalam konsep Naquib ini
hanya salah satu sub sistem dari ta'dib. Perbedaan konsep tarbiyah di kalangan
para ulama mendorong penulis untuk mengkajinya melalui ayat-ayat al-Qur’an.
Masalah ini perlu dikaji
melalui pengkajian literatur ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan tafsir,
karena perbedaan konsep yang digunakan akan sangat berpengaruh kepada implikasi
dan implementasinya.
Dikarenakan luasnya cakupan
dan ruang lingkup bahasan ini, maka dalam pengkajian ini dibatasi pada hal
mendasar, yaitu konsep tarbiyah dan ta’lim dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir.
PEMBAHASAN
A. Konsep
Tarbiyah
Konsep tarbiyyah (تربية) merupakan salah satu konsep pendidikan Islam yang penting.
Perkataan “tarbiyyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik dari fi’il
(kata kerja) dan ism (kata benda), baik yang berhubungan langsung dengan
ihwal pendidikan maupun yang tidak langsung (Dedeng Rosidin, 2003: 17).
Kata-kata yang termasuk
kategori fi’il terdapat enam kata yang berbeda, yaitu: أَرْبَي، يُرْبِي، تُرَبِّكَ، رَبَّيَانِي، يَرْبُو، رَبَّتْ. Sedangkan kosa
kata yang termasuk kelompok isim ditemukan ada dua belas kata, yaitu: رَبَّ، اَرْبَابٌ، اَرْبَبًا، رِبِّيُوْنَ، رَبَّنِيُوْنَ،
رَبَائِبُكُمْ، رَبِيًا، رَبِيَةً، الرِبَا، رِبَا، رَبْوَةً.
Kalau dipilih-pilah sesuai
dengan kepentingan pembahasan ini, maka kedelapan belas kosa kata tersebut
dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yang memiliki hubungan makna dengan
istilah tarbiyah dan kelompok yang erat hubungannya dengan istilah pendidikan,
baik tujuan, proses, cara atau strategi, prosedur, cakupan pendidikan dan
sejenisnya.
Lafal-lafal yang ada
hubungan makna atau memiliki kedekatan makna dengan ihwal pendidikan, pertama
adalah: ارْبَابٌ (arbabun), terdapat dalam surat Yusuf: 39, dan para
mufassir menjelaskannya bervariasi, antara lain menurut al-Juzi mengartikan
berhala baik kecil maupun besar (Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzi, 1965: 225).
Kedua, lafal أرْبَابًا (arbaban), terdapat dalam surat Ali Imran ayat 64. Para
mufaasir mengartikannya bervariasi, baik al-Thabari (1988: 304) al-Jauzi (1965:202) maupun al-Maraghi (t.th: 101-102)
memiliki kemiripan maksud ayat tersebut, yakni diartikan orang-orang Yahudi
menjadikan pendeta-pendetanya seperti ulama dalam bidang agama sebagai arbab,
dan orang Nasrani menjadikan rahib-rahibnya sebagai arbab sebagai ikutan/pigur
orang awam dalam hal ibadah.
Ketiga, lafal رِبْيُوْنَ (rabiyuna),
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 146. Para mufaasir mengartikannya
bervariasi, baik al-Thabari, al-Jauzi, maupun al-Maraghi namun kalau
dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat diartikan: sekelompok orang yang
beribadah kepada tuhannya, baik dari kelompok ahli fiqih, para ulama maupun
para pelajar/siswa atau para pengajar.
Keempat, lafal رَابِيًا (rabiyan),
terdapat dalam surat al-Ra’du ayat 17. Para mufassir mengartikannya bervariasi,
baik Ath-Thabari, Al-Jauzi maupun al-Maraghi, namun kalau dikompromikan maka
tafsir ayat di atas dapat diartikan: tinggi di atas air/mengambang di atas air.
Kelima, lafal رَابِيَةً (rabiyatan),
terdapat dalam surat Al-Haqqah ayat 10. Para mufaasir mengartikannya
bervariasi, baik Ath-Thabari Al-Jauzi maupun al-Maraghi, namun kalau
dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa رابية dalam ayat ini adalah kerasnya azab Allah.
Keenam, lafal رَبْوَةً (rabwatan),
terdapat dalam surat al-Mu’minun ayat 50. Para mufassir mengartikannya bervariasi,
baik tafsir Shawi, Al-Dur al-Mantsur, maupun al-Maraghi namun kalau
dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ربوة dalam ayat ini adalah tempat /tanah yang tinggi (Abdul Rahman Ibnu al-Kamal Jalaludin
As-Suyuthi, 1993:100).
Ketujuh, lafal رَبَّتْ (rabbat), terdapat dalam surat
Fushshilat ayat 39 dan surat al-Hajj ayat 5. Para mufassir mengartikannya
bermacam-macam, baik tafsir al-Jauzi, maupun tafsir al-Maraghi namun kalau
kedua tafsir tersebut dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan
bahwa رَبَّتْ dalam ayat ini adalah memenuhi atau meninggi / mengembang, atau
bertambah.
Kedelapan, lafal ربا / الربوا / الربا (riba, ar-riba),
lafal ini terdapat dalam surat Ali Imran ayat 130, surat al-Rum ayat 39, dan
surat al-Baqarah ayat 257. Para mufassir mengartikannya bermacam-macam, baik
tafsir al-Jauzi maupun tafsir al- Shawi namun kalau kedua tafsir tersebut
dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ربا / الربوا dalam ayat ini adalah الزيادة yakni bertambah
atau berkembang.
Kesembilan, lafal يَرْبُوْا (yarbu),
lafal ini terdapat dalam surat al-Rum ayat 39. Menurut Al-Jauzi mana kata yarbu
adalah yazku wa yudla’afu artinya bersih dan berlipatgan atau bertambah.
Kesepuluh, lafal يُرْبِي (yurbi), lafal ini terdapat dalam
surat al-Baqarah ayat 276. Para mufassir mengartikannya bermacam-macam, baik
tafsir al-Thabari, maupun tafsir al-Maraghi namun kalau kedua tafsir tersebut
dikompromikan maka tafsir ayat di atas dapat disimpulkan bahwa يربي dalam ayat ini adalah zada, yazidu wa yudla’afu yakni
bertambah atau berkembang, dan berlipat ganda.
Kesebelas lafal أَرْبَى (arba), dalam al-Nahal 92 menurut
Al-Maraghi berarti أغ نى , paling kaya, dan menurut al-Jauzi
berarti أَكْثَرَ, lebih banyak. Keduanya menunjukan arti yang tidak berbeda.
Dalam al-Mu’jam
al-Mufahrs li Alfazh al-Quran. Kosa kata tarbiyah meliputi 4 (empat) lafal
dalam bentuk isim dan 2 (dua) lafal dalam bentuk fiil. Lafal-lafal yang
termasuk kategori isim, yaitu sebagai berikut:
Pertama, rabb/ar-rabb (ربّ/الربّ) terdapat 952 kata
dalam al-Qur’an. Kedua, rabbaniyyuna
(رَبَّانِيُّوْنَ) terdapat 2 kali dalam al-Qur’an (QS.
Al-Maidah [5]: 44 dan 63). Ketiga, rabbaniyyina
(رَبَّانِيِّيْنَ), terdapat 1 kali dalam al-Qur’an (QS. Ali
Imran [3]: 79). Keempat, rabbaibukum
(رَبَائِبُكُمْ), terdapat satu kali dalam al-Qur’an (QS. an-Nisa
[4]: 23)
Kata rabb dalam
al-Qur’an menurut al-Maududi mengandung lima makna, yaitu: (1) pendidikan,
bantuan, dan peningkatan; (2) menghimpun, memobili-sasi, dan mempersiapkan; (3)
tanggung jawab, perbaikan, dan pengasuhan; (4) keagungan, kepemim-pinan,
wewenang, dan pelaksanaan perintah; dan (5) pemilik dan juragan.
Adapun kosa kata yang
berasal dari fi’il (kata kerja) ditemukan dalam al-Qur’an sebanyak dua
kali, yaitu: Pertama, rabbayani
(رَبَّيَانِي) terdapat dalam QS. Al-Isra [17]: 24). Kedua, nurabbika (نُرَبِّكَ), terdapat dalam
QS. Asy-Syu’ara [26]: 18).
Dari kedua fi’il
(kata kerja) tentang tarbiyah itu dapat disimpulkan bahwa akar kata tarbiyah
adalah rabba-yurabbi yang berarti namma-yunammi dengan mengan-dung
konsep bahwa tarbiyah adalah proses mengembangkan, menumbuhkan yang meliputi
jasad, ruh, dan akalnya dengan caranya yang lemah lembut penuh kasih sayang
sejak usia kanak-kanak sampai usia dewasa.
Tarbiyah itu murabbinya terdiri dari Allah dan manusia
termasuk di dalamnya rasul. Objek tarbiyah bagi Allah mencakup keseluruhan.
Sedangkan objek bagi manusia/rasul dapat digunakan bagi manusia semua tingkat
usia, binatang, dan kekayaan. Hal ini menunjukkan bahwa tarbiyah penekananannya
pada pengem-bangan individu dan menunjukkan bahwa objek yang dididik tidak
disebut, berarti sifatnya kompleks.
Jadi, dari uraian di atas
tarbiyah dapat didefinisikan sebagai proses pengemba-ngan, pemeliharaan,
penjagaan, penguru-san, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan,
penyempurnaan, dan perasaan memiliki bagi anak didik baik jasad, akal, jiwa,
bakat, potensi, perasaan, secara berkelanjutan, bertahap, penuh kasih sayang,
penuh perhatian, kelembu-tan hati, menyenangkan, bijak, mudah diterima,
sehingga membentuk kesempur-naan fitrah manusia, kesenangan, kemulia-an, hidup
mandiri, untuk mencapai ridha Allah swt.
Di samping uraian di atas,
juga para tokoh tafsir lain seperti di bawah ini mengartikan tarbiyah sebagai
berikut:
a.
Louis Ma’luf (1984), mengartikan al-Rabb dengan tuan,
pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah, mengumpulkan, dan memperindah.
b.
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-An،bari al-Qurthubi memberikan arti al-rabb
dengan pemilik, tuan, Yang Maha Memperbaiki, Yang Maha Pengatur, Yang Maha
Menambah, dan Yang Maha Menunaikan (Abí Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-An،ârí al-Qurthubí, t.th.:136-137).
c. Imam Fakhruddin al-Razi
berpendapat bahwa al-rabb merupakan kata yang seakar dengan al-tarbiyah
yang mempunyai makna al-tanmiyah (pertumbuhan dan perkembangan).
(Imâm Fakhruddín al-Râzi, 1990: 153).
d. Al-Jauharari
memberikan makna al-tarbiyah, rabban dan rabba, adalah: Memberi makan,
memelihara, dan mengasuh (Syed
Muhammad al-Naquib al-Attas,
1984: 66).
Secara terminologi para ahli memiliki cara yang beragam dalam
memberikan makna al-tarbiyah. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut;
a. Muhammad Jamaluddin
al-Qasimi berpendapat bahwa al-tarbiyah ialah :
تَبْلِيْغُ الشَّيْئِ إِلَى
كَمَالِهِ شَيْئاً فَشَيْئاً
(Proses penyampaian sesuatu
sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan secara tahap demi tahap)
(Muhammad Jamâluddin al-Qâsimí,
1978: 8).
b.
Al-Ashfahani menyatakan bahwa pengertian tarbiyah adalah :
إِنْشَاءُ الشَّيْئِ حَالاً
فَحَالاً إِلَى حَدِّ التّمَامِ
(Proses menumbuhkan secara
bertahap yang dilakukan secara bertahap sampai pada batas kesempurnaan)
(Abdurrahmân al-Nahlâwí, 1979: 13).
c.
Abdul Fattah Jalal mendefinisikannya istilah al-Tarbiyah adalah :
Proses persiapan dan pemeliharaan anak pada masa kanak-kanak di dalam keluarga
(Abdul Fattâh Jalâl, 1988: 28).
Pengertian-pengertian tersebut di atas,
digali dari maksud QS. al-Isra’ (17): 24 dan QS. asy-Syu’ara’(26):18.
Objek kedua ayat tersebut diperuntukkan bagi bayi dan fase kanak-kanak.
d.
Ismail Haqi al-Barusawi berpendapat bahwa al-Tarbiyah bermakna :
Proses pemberian nafsu dengan berbagai kenikmatan, pemeliharaan hati nurani
dengan berbagai kasih sayang, bimbingan jiwa dengan hukum-hukum syari’ah, serta
pengarahan hati nurani dengan berbagai etika kehidupan dan penerangan rahasia
hati dengan hakikat pelita (Ismail
Haqi Al-Barusâwi, t.th.: 2).
Pengertian tersebut khusus
diperuntukkan bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian ai-Tarbiyah
yang dikaitkan dengan alam raya, mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi
segala yang dibutuhkan, serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.
e. Mustafa al-Ghulayaini
berpendapat bahwa al-Tarbiyah adalah: Penana-man etika yang mulia pada
jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga
ia memiliki potensi-potensi dan kompetensi-kompetensi jiwa yang mantap, yang
dapat membuahkan sifat-sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi
tanah airnya (Mustafa Al-Ghulâyaini, 1949: 185).
f.
Ahmad Musthafa Al-Maragi memberi-kan definisi al-Tarbiyah dengan membaginya kepada dua kategori :
1.
Tarbiyah Khalqiyah, yaitu
pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk.
2.
Tarbiyah Diniyah Tahqibiyah, yaitu pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa
(Al-Marâghi, 1969: 30).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Tarbiyah adalah
proses pembinaan dan pengem-bangan
potensi manusia melalui pemberian berbagai petunjuk, sehingga menyebabkan
potensi yang dimiliki manusia dapat tumbuh dengan produktif dan kreatif tanpa
menghilangkan etika Ilahi yang telah ditetapkan dalam wahyu-Nya.
B. Konsep Ta’lim
Perkataan ta’lim (تعليم) pula dipetik dari kata dasar ‘allama (علّم), yu‘allimu ( يعلّم) dan ta’lim (تعليم).
Dalam surat al-Jum’ah [62]
ayat 2,
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan
mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnya
mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Al-Maraghi menjelaskan bahwa
Muhammad saw mengajarkan syari’at dan urusan akal yang dapat menyempurnakan
jiwa dan membersihkannya (Al-Maraghi, 95). Pada bagian lain al-Maraghi telah
menjelaskan bahwa ‘allama menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan
berulang-ulang atau sering (Al-Marâghi,
1969: 83).
Sedangkan ath-Thabari
menjelaskan bahwa yang dimaksud yu’allimu pada ayat tersebut adalah
mengajar mereka tentang al-Kitab dan syari’at, serta perintah dan larangan yang
ada di dalamnya. Maka makna yu’allimu menunjukkan ‘allama wa bayyana,
artinya mengajarkan dan menjelaskan secara berulang-ulang.
Dari ayat tersebut juga bisa
dimaknai bahwa Rasulullah juga seorang mu’allim,
hal ini memperkuat sungguh dari beliau adanya keteladanan,
termasuk bagaimana seharusnya menjadi seorang muallim.
Bahkan hal tersebut merupakan nikmat Allah bagi orang-orang mukmin, sebagaimana
firmanNya dalam QS. Ali Imran [3]: 164:
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# øÎ) y]yèt/ öNÍkÏù Zwqßu ô`ÏiB ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÅe2tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur
“Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-hikmah…..
ß`»oH÷q§9$# . zN¯=tæ tb#uäöà)ø9$# . Yn=y{ z`»|¡SM}$# . çmyJ¯=tã tb$ut6ø9$# .
(Tuhan) yang
Maha pemurah, yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai
berbicara.
Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ . zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt
Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.
Dalam kitab Shafwat at-Tafsir, ‘allama pada ayat di atas
diartikan Allah telah mengajarkan baca-tulis dengan kalam (pena), mengajarkan
manusia apa-apa yang tidak mereka tidak tahu berupa ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan, menjadikan mereka dari situasi kegelapan (kebodohan) ke suasana
terang benderang. Hal ini Allah telah mengajarkan manusia dengan perantaraan
tulisan dan pena, manakala Dia tidak mengajarkan kamu maka kamu dalam keadaan ummi
menurut mayoritas Ulama,
mengandung dua pengertian, artinya tidak dapat membaca dan menulis. Kedua, tidak perlu membaca dan tidak
perlu menulis (ash-Shabunni, t.th.: 582) tentu tidak dapat membaca dan menulis.
Allah swt. berfirman dalam
QS. Al-Baqarah [2]: 31
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä.
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya
Menurut Ibnu Katsir,
dalam ayat ini Allah menceritakan Âdam dan kemuliaan-Nya atas Malaikat kerena
Dia mengajari-nya sesuatu yang tidak di ajarkan kepada Âdam nama-nama (benda)
seluruhnya, maksudnya, nama-nama seluruh makhluk, baik yang besar maupun yang
kecil.
Allah swt. berfirman dalam
QS. al-Maidah [5]: 4
$tBur OçFôJ¯=tæ z`ÏiB ÇyÍ#uqpgø:$# tûüÎ7Ïk=s3ãB £`åktXqçHÍj>yèè? $®ÿÊE ãNä3yJ¯=tæ ª!$#
Dan apa yang telah kalian ajarkan kepada binatang buas
dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah Allah
ajarkan.
Para mufassir, antara lain
Ath-Thabari, al-Maraghi, al-Khawarizmi dan As-Suyuthi, semuanya berpendapat
sama bahwa kata ‘allama pada ayat di atas menunjukkan makna addaba al-jawarih, artinya melatih
binatang supaya pandai berburu.
Ta’lim secara umum hanya terbatas
pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses pengalihan
ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar (muta’alim).
Misalnya pada surat Yusuf, ayat 6, berarti ilmu pengeta-huan yang dimaksud,
diajarkan atau dialihkan kepada Nabi adalah tabir mimpi. Sedangkan pada surat al-Maidah
ayat 4, ilmu yang dimaksud adalah ilmu berburu.
Namun, istilah ta’lim dari
beberapa ayat diatas menunjukkan bahwa ilmu yang bisa untuk dialihkan meliputi
semua ilmu termasuk diantaranya sihir. Sehingga memang istilah tersebut lebih
dekat pada pengajaran bukan pendidikan, karena pendidikan dalam pengertian
Islam tentu saja harus mengarah pada manusia yang lebih baik, sesuai peran dan
fungsinya di dunia ini menurut al-Qur’an dan Sunnah.
Berdasarkan beberapa contoh
ayat di atas, kata ta’lim dalam al-Qur’an digunakan dalam bentuk fi’il
(kata kerja) dan ism (kata benda). Kata yang digunakan berupa fi’il
terdapat dua bentuk, yaitu: (1) fi’il madly disebut 25 kali dalam 25 ayat di 15
surat; (2) fi’il mudlari disebut 16 kali dalam 16 ayat di 8 surat. Sementara
dalam bentuk isim (kata benda) hanya terdapat 1 kali dalam QS. ad-Dukhan
[44]: 14
§NèO (#öq©9uqs? çm÷Ztã (#qä9$s%ur ÒO¯=yèãB îbqãZøg¤C
Kemudian mereka berpaling dari-padanya dan
berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi
pula seorang yang gila.
Mu’allim dalam ta’lim meliputi Allah, malaikat/Jibril,
nabi/rasul, manusia, dan syaithan. Objek ta’lim terdiri dari dua objek, pertama
muta’allim (murid) dan madatut ta’lim (bahan ajar). Hal ini menunjukkan bahwa
ta’lim berhubungan erat dengan bahan ajar dan penekanannya pada transpormasi
ilmu, maka dari itu ia disebut pengajaran.
Objek pertama dalam ta’lim
dari mu’allim (Allah) terdiri dari: malaikat, bahan ajar berupa
ilmu-ilmu. Objek kedua terdiri dari: nabi/rasul, bahan ajar berupa nama-nama
jenis, al-Kitab (al-Qur’an, Taurat, Zabur dan Injil), al-bayan, al-hikmah,
ta’wil mimpi, al-ahkam, ilmu yang bermanfaat, membuat baju besi, bahasa
binatang, dan ilmu-ilmu lainnya. Objek ketiga manusia, bahan ajarannya adalah
menulis, isi al-kitab, ilmu syariat, adab berburu, ilmu administrasi, dan ilmu
lainnya.
Objek pertama dari mu'allim
(malaikat/Jibril) adalah nabi/rasul dan bahan ajarannya adalah al-Kitab.
Objek pertama dari mu'allim (nabi/rasul) terdiri dari: pertama, nabi ian
bahan ajarannya adalah ilmu-ilmu/yang bermanfaat. Kedua, manusia dan bahan
ajarannya al-Kitab, hikmah, ilmu-ilmu yang diajarkan Allah. Objek pertama dari mu'allim
manusia) terdiri dari: pertama, manusia, bahan ajarannya adalah al-Kitab,
as-Sunnah, membaca, menulis, dan ilmu-ilmu yang baik. Kedua, binatang dan bahan
ajarannya adalah berburu. Objek dari mu'allim (syaithan) adalah manusia
dan bahan ajarannya adalah sihir.
Banyaknya jenis bahan ajar
atau ilmu dalam ta'lim tidak menunjukkan sebatas jenis-jenis tadi, tapi
bermakna bahwa kegiatan dalam ta'lim itu mencakup banyak jenis ilmu yang
mesti diajarkan, dan hal ini mengisyaratkan akan pentingnya ilmu-ilmu tersebut.
Secara terminologi para ahli mengartikan
term al-ta’lim, sebagai berikut:
1) Muhammad Rasyid Ridha
mendevinisikan bahwa al-Ta’lim
adalah: Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa
adanya batasan dan ketentuan tertentu (Muhammad Rasyid Ridhâ, t.th: 262.). Definisi tersebut didasarkan pada Allah Swt..
QS. al-Baqarah (2): 31 tentang Allama (pengajaran) Tuhan kepada Nabi
Adam a.s. Sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana
Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan oleh Allah
kepadanya.
2) Abdul Fattah Jalal
memberikan pengertian al-ta’lim dengan: Proses pemberian
pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung-jawab, dan penanaman amanah,
sehingga terjadi tazkiah (penyucian) atau pembersihan diri manusia dari
segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang
memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta mempelajari segala apa yang
bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Perbedaannya adalah: Bahwa ruang lingkup
term al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan
lingkup term al-tarbiyah. Hal tersebut karena al-ta’lim mencakup
fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa, sedangkan al-tarbiyah,
khusus diperuntukkan pada pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.
3)
Syed Muhammad an-Naquib Al-Attas memberikan makna al-ta’lim dengan :
Pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta’lim disinonimkan
dengan kata al-tarbiyah, maka kata al-ta’lim mempunyai makna
pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.
Dalam pandangan an-Naquib, ada konotasi
tertentu yang dapat membedakan antara terma al-tarbiyah dengan al-ta’lim.
Ruang lingkup al-ta’lim menurutnya lebih bersifat universal daripada
ruang lingkup al-tarbiyah. Hal ini karena at-tarbiyah tidak
mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada konotasi eksistensial. Lagi
pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik, karena ditujukan pada
objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat
pemilikan yang sebenarnya hanya milik Allah.
4) Muhammad ‘Athiyah
Al-Abrasy memberikan pengertian al-ta’lim yang berbeda dengan
pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas. Beliau menyatakan bahwa at-ta’lim
lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim
hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek
tertentu saja, sedangkan al-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek
pendidikan.
At-ta’lim merupakan bagian kecil dari at-tarbiyah
al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir,
yang sifatnya mengacu pada domain kognitif. Formulasi tersebut karena term “allama”
dalam QS. al-Baqarah ( 2):31 dikaitkan dengan term “‘arafa” yang membawa konotasi bahwa proses pengajaran
Adam tersebut pada akhirnya diakhiri dengan tahapan evaluasi. Konotasi konteks
kalimat itu mengacu pada evaluasi domain kognitif, yakni penyebutan asma-asma
benda yang diajarkan , belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini menandakan
bahwa al-ta’lím sebagai bentuk mashdar dari “‘allama,”
hanya bersifat khusus dibandingkan dengan al-tarbiyah. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 133).
Sebaliknya, al-tarbiyah tidak hanya mengacu pada domain kognitif, tetapi
juga domain afektif dan psikomotorik.
SIMPULAN
Dari makna-makna tarbiyah
dan ta’lim beserta analisanya diperoleh gambaran bahwa tarbiyah itu merupakan
proses menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia, jiwa dan raganya, akal dan
perasaannya, perilaku dan kepribadiannya, sikap dan pemahaman-nya, cara hidup
dan berfikirnya. Tarbiyah merupakan proses kegiatan, bukan sesuatu yang
bersifat materi. Kegiatan (aktivitas) ini meliputi perhatian, pengarahan dan
pembantuan yang membantu formasi perilaku individu dan membantu pula
pengembangan aspek-aspek pertumbuhan individu, baik akal, tubuh, sosial,
kejiwaan, akhlak dan lainnya. Dari segi proses yang bertujuan, tarbiyah
merupakan seni yang elastis dan berkembang. Ia mempunyai dasar-dasar dan
kaidah-kaidah yang diterapkan dengan bijak, pengetahuan dan latihan.
Tarbiyah menyiapkan individu dengan
berbagai media agar memanfaat-kan bakat dan minatnya, dan hidup dengan sempurna
dalam masyarakat tempat dia berada. Dengan tarbiyah, kita menghidupkan
bakat fitrah yang ada pada individu, dan mengarahkannya ke arah yang baik
hingga sampai kepada kesempurnaan. Tarbiyah menuntut pekerjaan yang
teratur, kegiatan yang berlanjut, dan kemajuan yang terus menerus, serta
perhatian yang penuh terhadap pemikian anak, perasaan, emosi, keinginan,
pertumbuhan, akal, lidah, dan tangannya. Tarbiyah lebih memperhatikan
penyiapan anak bagi kehidupannya, dan membantunya untuk hidup secara manusiawi
dan mulia baik lahir maupun batin.
Tarbiyah adalah kegiatan yang membawa
manusia sedikit demi sedikit kepada kesempurnaan yang terwujud dalam beribadah
kepada Allah swt. dan menyiapkannya untuk hidup dengan bahagia dalam naungan
Allah swt.. Seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada kesempurnaan bagi manusia
kecuali dalam naungan ibadah kepada Allah swt dan menjalankan syariatnya.
Adapun ta’lim dalam al-Quran menunjukan kepada proses pengajaran dan
pendidikan, seperti antara lain ditunjukan oleh data ta'lim kelompok fi'l
mudlari' dalam al-Quran. Makna dalam data-data itu menunjukkan bahwa
Rasulullah Saw dalam mengajarkan bacaan al-Quran tidak hanya dapat membaca dan
hafal akan lafazh-lafazhnya, tetapi membaca dengan renungan dan pemahaman,
kemudian menyucikan diri dan mendidiknya, selanjutnya melahirkan amal yang
dapat menjadi contoh bagi yang lain baik dalam perkataan dan juga perbuatan.
Referensi:
Abdul Fattâh Jalâl, Min al-Ushul al-Tarbawiyah fí al-Islâm, diterjemahkan
oleh Herry Noer Ali dengan judul “Asas-Asas Pendidikan Islam” (Cet.I; Bandung:
CV. Dipenogoro, 1988)
Abdul Rahman Ibnu al-Kamal Jalaludin
As-Suyuthi, Tafsirur Durul Mantsur fit-Tafsiril Ma’tsur, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), Jilid VI.
Abdurrahmân al-Nahlâwí, Ushul al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Asâlibihâ fí
al-Baiti wa Madrasati wal Mujtama’, (Cet. I; Beirut; Dâr al-Fikr, 1979).
Abí Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-An،ârí al-Qurthubí, al-Jâmi’
li-Ahkâmi al-Qur'ân, Jilid I (t.d)
Abu ‘Ala al-Maududi, Bagaimana
Memahami Al-Qur’an: al-Ilah, Al-Rabb, al-Ibadah, ad-Din, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1981)
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir
Ath-Thabari, Jami al-Bayan ‘an Ta’wil ayil-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr,
1988)
Abul Faraj Abdur Rahman Ibnul Jauzi, Zadul
Masir fi Ilmit Tafsir, (Beirut: al-Maktabul Islami, 1965), jilid IV
Ahmad Ash-Shawi, Hatsiyatush-Shahwy
‘ala Tafsiril Jalalini, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Jilid III.
Ahmad Musthafa Al-Marâghi, Tafsír al-Marâghi, Jilid I ( Cet.IV;
Mesir: Musthafa al-Bâb al-Halaby,1969)
Dedeng Rosidin, Akar-akar Pendidikan
dalam al-Qur’an dan al-Hadits, (Bandung: Pustaka Umat, 2003)
Imâm Fakhruddín al-Râzi, Tafsír al-Kabír, Jilid X. Juz XX (Cet. I.
Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1990)
Ismail Haqi Al-Barusâwi, Tafsír Ruhul al-Bayân, Jilid I, Juz I
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th)
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Cet. XXVII;
Beirut: Dâr al- Masyriq, 1984)
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran pendidikan Islam :
Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Cet. I; Bandung: PT.
Trigenda Karya, 1993)
Muhammad Jamâluddin al-Qâsimí, Tafsír Mahâsin al-Ta’wíl (Cet. II;
Beirut: Dâr al- Fikr, 1978)
Mustafa Al-Ghulâyaini, Ishatun Nâsyi,ín (Cet.VI; Beirut Maktabah
‘A،riyah, 1949).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam.
(Jakarta: Kalam Mulia, 1994)
Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A
Frame Work for an Islamic Philosophy of Education. Diterjemahkan oleh
Haidar Baqir dengan judul “ Konsep Pendidikan Dalam Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam” (Cet. I ; Bandung: Mizan, 1984)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.