Oleh
Asep Ahmad Fathurrohman
Abstract
This research aims to discover the
role of boarding school about the concept of individual piety and
social as well as how to counteract radicalism. This research used a qualitative approach
and a research library. The result is that the
establishment and spread of boarding with
a social approach makes boarding schools still
survive. Social approach in
question is the way of peace. However, in
addition to boarding schools have
advantages such as discipline,
honest, sincere, social
minded, submissive-obedient,
loyal, friendly, independent,
and a series of properties
that have become habituation
in boarding schools. Boarding institutions also have
drawbacks, namely: the problematic figure center,
Habituation to boarding students with time-consuming
(annual), with saturation and static
cultural behavior, if no introduced to the
outside world boarding school life,
then they also will
not know the reality of his life. Most boarding
schools in Indonesia and yet had the infrastructure to
support the development of education
Keyword:
Boarding School, Individual Piety and Social, Radicaly
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui peran pondok
pesantren tentang konsep kesalehan individu dan sosial serta bagaimana
menangkal radikalisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
penelitian pustaka. Hasilnya adalah bahwa pembentukan dan penyebaran asrama
dengan pendekatan sosial membuat pesantren masih bertahan. Pendekatan sosial
yang dimaksud adalah cara yang aman. Namun, di samping pesantren memiliki
keunggulan seperti disiplin, jujur, tulus, berjiwa sosial, penurut, setia,
ramah, mandiri, dan serangkaian sifat yang telah menjadi sebuah kebiasaan di
pesantren. Lembaga pesantren juga memiliki kelemahan, yaitu: terpusat pada
figure kyai, kebiasaan santri di asrama dengan memakan waktu yang lama
(tahunan), dengan situasi dan perilaku budaya yang monoton, jika tidak diperkenalkan
dengan kehidupan di luar pesantren, maka mereka juga tidak akan faham kehidupan
yang sesungguhnya. Kebanyakan pesantren di Indonesia belum memiliki
infrastruktur untuk mendukung pengembangan pendidikan.
Kata kunci: Boarding School, Kesalehan Individu dan
Sosial, radikal ekstrem
LATAR BELAKANG
Dunia dewasa ini dikejutkan dengan munculnya Negara Islam
Irak dan Syam (ISIS: Islamic State of Iraq and The Levant) yang
diproklamirkan pada 9 April 2013. ISIS memiliki interpretasi radikal terhadap
ideologi Islam seperti bom bunuh diri, menjarah bank, menganiaya, membunuh dan
sebagainya. 95 persen korban radikalisme ISIS adalah umat Islam, baik Syiah
maupun Sunni. Sebelum radikalisme ISIS merebak, dunia sudah terbiasa
mendengarkan pergolakan Palestina dan Israel hampir setiap waktu, bahkan imvasi
Israel ke Gaza dalam waktu kurun waktu pertengahan Juli - Agustus merenggut
lebih dari 2000 jiwa yang didominasi oleh anak-anak dan kaum hawa.
Aksi radikal dan kekerasan di Timur Tengah dan Afrika
terjadi sangat masif mulai dari demonstrasi anarkis, sabotase, kudeta sampai
dengan revolusi. Awal tahun 2010/2011, dunia dikejutkan dengan konflik yang
terjadi di Timur Tengah dan Afrika yang kemudian terus bergulir seakan-akan
saling mewarisi dan menular.
Fakta dan fenomena kekerasan di Timur Tengah dan Afrika
tersebut sangat memperihatinkan karena kedua wilayah tersebut didominasi oleh
umat Islam. Oleh karena itu kekhawatiran umat Islam di Indonesia
direfresentasikan dengan berjamurnya deklarasi anti ISIS. Namun jika penanganan
dengan pendekatan, strategi dan metode tidak sesuai, maka dikhawatirkan justru
kontra produktif.
Kekhawatiran tertinggi jelas akan merebak di majelis
ilmu, dunia dakwah dan institusi pendidikan yang merasa diawasi ketika
berpendapat dan menyampaikan dakwah yang agak “keras” atau “nyeleneh”, karena
dengan mudah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), densus 88 atau polisi akan menangkap
dengan argumentasi tindak pencegahan.
Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana dunia
pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia memberikan
peran terhadap pencegahan faham radikalisme. Akar perilaku radikal diawali dari
individu yang radikal kemudian menyebar secara berkelompok (sosial), dengan
demikian perlu mengetahui konsep kesalehan individual dan sosial serta
relevansi dan kesenjangannya yang menyebabkan split personality sampai
dengan split community.
PEMBAHASAN
A. Teori Kesalehan,
Sosial, dan Individual
Kata kesalehan berasal dari kata saleh yang
diberi awalan dan akhiran ke-an, kata saleh sendiri berasal dari
bahasa arab yaitu صالح yang mempunyai arti baik, pantas, sesuai (Abd. Bin
Nuh dan Oemar Bakry, 2007: 159.). Dalam kamus bahasa Indonesia kata saleh
mempunyai arti taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah; suci dan beriman. Sedangkan
kesalehan berarti ketaatan (kepatuhan) dalam menjalankan ibadah; kesungguhan
menunaikan ajaran agama (W.J.S Poerwadarminta, 1988: 772). Dalam bahasa Inggris
saleh mempunyai arti pios, virtous, godly, sedangkan kesalehan adalah piety
(John M. Echols dan Hassan Shadily, 1992: 475).
Sedangkan istilah sosial berasal dari bahasa Inggris social
yang berarti kemasyarakatan, dan masyarakatnya disebut dengan society (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1992: 538). Manusia merupakan makhluk sosial
yang saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga
kecenderungan manusia untuk senantiasa berkumpul bersama mulai dari bersahabat-menikah-berorganisasi-bernegara
merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri.
Istilah individual dalam bahasa Inggris berarti orang
(seorang), perseorangan (John M. Echols dan Hassan
Shadily, 1992: 319). Kata individual yang menunjukkan sifat mempunyai konotasi negatif yaitu
kepribadian yang mementingkan diri-sendiri dan mengabaikan atau tidak
mempedulikan orang lain, pelakunya dinamai individualistis.
Menurut Kuntowijoyo kontruksi pengetahuan itu di bangun
oleh Al Qurân pertama-tama dengan tujuan
agar memiliki "hikmah" yang
atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif
Al Qurân, baik pada level moral maupun sosial (Kuntowijoyo, 1993: 327).
1. Akar
Problematika atas Konsep Kesalehan
Paradigma bahwa kelompoknya yang paling benar sementara
yang lain adalah salah, bid’at, sesat dan kafir merupakan selogan umum yang menjadi basis
perbedaan untuk mengesahkan pemaksaan faham.
Dampak dan akibat dari fenomena tersebut disebabkan oleh
problematika amal saleh yang berkembang di masyarakat, sering kali terjebak
terhadap aspek tektualitas statis dan kontektualitas offer. Yang
dimaksud dengan tektualitas statis adalah bahwa memang amal saleh harus
sesuai dengan teks dalil naqly, jika tidak sesuai maka ia bukan amal
saleh tetapi amal salah. Artinya bahwa amal saleh atau ibadah yang dimaksud
formulasinya harus sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan
para sahabatnya. Bahkan pemahaman yang lebih sempit lagi termasuk kepada aspek
pakaian dan teknis-teknis lainnya. Padahal Rasulullah Saw hidup pada masa itu
dengan budaya dan kearifan lokalnya. Sementara zaman terus berganti dan
perubahan-perubahan budaya juga terjadi seiring dengan perubahan sains dan
teknologi.
Paradigma tektualitas statis menjadikan umat Islam
terbelenggu dalam doktrin ideologi normatif yang sulit menerima terhadap
pembaharuan dan kemajuan zaman. Belenggu tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu:
a. Menjadikan
teks sebagai doktrin statis tanpa melihat teks-teks lain yang serupa dengan
konteks yang berbeda.
b. Kaum
tektualis tidak menjadikan kearifan budaya (lokal dan global) sebagai metode
dalam memahami teks secara kaffah. Sehingga yang berlaku hanya tafsiran
lama, dan penafsiran baru terhadap masa yang baru boleh dikatakan tidak ada
bahkan tidak berkembang. Kalaupun ada sifatnya hanya memperkuat.
c. Memang
teks sebagai satu-satunya hukum akan menghilangkan substansi dari pada teks
tersebut, sebab walaupun tekstual, backround orang yang memahaminya akan
berpengaruh kepada ketekstualan tersebut sehingga menyebabkan sikaf subyektif.
d. Kaum
tektualis tidak mengklasifikasi hukum dengan 'illatnya, artinya kapan
harus tektualis, dan kapan harus kontektualis, serta kapan harus dipegang
kedua-duanya atau boleh memilih satu satunya karena mempunyai substansi yang sama.
Sedangkan yang dimaksud dengan kontektualitas offer
adalah bahwa dalam memahami amal saleh terlalu berlebihan dan sembrono,
misalnya karena terlalu toleran akhirnya ia ikut berdoa dalam versi kristen dan
sebagainya. Sebab antara tektual dengan kontektual memiliki batasan tertentu
sebagaimana ajakan orang kafir kepada Rasulullah Saw untuk menyembah berhala
satu tahun, sebagai balasannya orang-orang kafir tersebut akan menyembah Allah
selama satu tahun dan seterusnya (K.H.Q. Shaleh, H.A.A Dahlan dkk, 2007: 684).
Oleh karena itu konsep tektual dan kontektual harus
dirumuskan agar umat memiliki batasan minimal, sehingga mereka dapat
berperilaku toleran dan memahami pendapat orang lain.
2. Konsep
Kesalehan Individual
Setiap individu mempunyai tang-gungjawab untuk menjadi
pribadi yang saleh, sebab semua perbuatan (amal) akan dipertanggungjawabkan
kelak diakherat (Q.S Al-Muddatsir, [74]:38). Pertang-gungjawaban atas diri sendiri tersebut sebagai bentuk dari
pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukannya ketika hidup di dunia.
Artinya bahwa tidak ada suatu perbuatan kecuali memiliki efek atau dampak
positif dan negatif, efek positif berarti mengandung kebaikan (kesalehan) dan
berbuah pahala, sedangkan efek negatif mengandung keburukan (kethalehan/dosa)
dan berbuah siksa. Sehingga semua amal manusia tidak akan sia-sia, sebab akan
ada pembalasan terhadapnya sesuai dengan yang ia perbuat tanpa dikurangi amal
baiknya atau dilebihi dosanya (Q.S Al-Mukmin, [40]:17).
Beban kesalehan individual tersebut disesuaikan dengan
kemampuannya masing-masing, jika yang bersangkutan mau menggunakan seluruh
potensi yang dimilikinya untuk menghadapi problematika hidup dan beribadah
kepada Allah Swt (QS. Al-Baqarah, [2]:286).
Pada umumnya manusia sangat mencintai dirinya sendiri,
ini diimplemen-tasikan dengan memberikan apa yang
diinginkan oleh diri (Hawa Nafsu). Namun demikian Rasulullah Saw justru
memberikan petunjuk agar orang beriman juga peduli dan mencintai orang lain
sama dengan mencintai dirinya sendiri. Artinya bahwa kesalehan individual
berarti mempunyai hubungan dengan kesalehan sosial.
Kecenderungan hawa nafsu, jika ditempatkan sesuai dengan
proforsinya, seperti makan dan minum dengan dzat dan dihasilkan dari usaha yang
halal, berjima’ setelah menikah, memberikan sedekah karena Allah, bukan karena
ingin dipuji atau pamrih dan sebagainya, maka kecenderungan hawa nafsu yang
dikawal dengan keimanan dan keikhlasan tentu akan membuahkan pahala dan mengun-dang
rahmat serta keridloan Allah Swt.
Iman adalah potensi ruhani, sedangkan taqwa adalah
prestasi ruhani. Supaya iman dapat mencapai prestasi ruhani yang disebut taqwa,
diperlukan aktualisasi-aktualisasi iman yang terdiri dari beberapa macam dan
jenis kegiatan yang dalam istilah al-Qur'an diformula-sikan dengan kalimat 'amilus-shâlihât,
amal-amal shaleh. Kalau diterjemahkan dalam bahasa yang lain, amal-amal shaleh
adalah kegiatan-kegiatan yang mempu-nyai nilai ibadah (Muhammad
Tolchah Hasan, 2008: 21).
Menurut Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi orang saleh ciri
utamanya ialah punya rasa malu, ia malu kepada Allah atas segala pelanggarannya.
Ia merasa selalu dilihat Allah, bagaimana ia melanggar hak orang, sedang orang
yang dilanggarnya melihat? Manusia, terkadang malu kepada sesama manusia,
tetapi tidak malu kepada Allah. Yang benar ialah jika ia berbuat salah, akan
malu kepada manusia dan lebih malu lagi kepada Allah (Mutawalli
Asy-Sya'rawi, 2003: 275). Dengan demikian bahwa sifat malu yang demikian termasuk indikator
keimanan seseorang.
Lebih rinci tetapi sederhana dan mudah untuk diingat
dalam meningkatkan kesalehan individual, Syekh Zaenuddin bin Ali bin Ahmad
asy-Syafi'i al-Kusyini dalam kitabnya yang terkenal Syi'abul Iman
sebagai ringkasan (mukhtashor) dari kitab Syi'abul Iman karya Syekh
Nuruddin al-Iji al-Farisi, dan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar telah memberikan
syarah kepadanya dengan nama kitab Qami' al-Thughyan 'ala Mandzumah Syi'abil
Iman. Berikut bait-baitnya, dimulai
dari cabang iman yang ke sepuluh (Syekh Zaenuddin bin Ali bin Ahmad asy-Syafi'i
al-Kusyini, T.th.: 5-11):
واحبب الهك خف أليم عقابه ولرحمة ارج توكلن يا
مسلم
واحبب نبيك ثم عظم قدره وابخل بدينك ما يرى بك مأثم
واطلب لعلم ثم لقنه الورى عظم كلام الرب
واطهر تعصم
صل الصلاة وزك مالك ثم صم واعكف وحجّ
وجاهدن فتكرم
رابط تثبت أدّ خمس مغانم حتى بفرقه الامام
الحاكم
واعتق وكفر أوف بالوعد اشكرن واحفظ لسانك ثم
فرجك تغنم
أدّ الامانة لا تقاتل مسلما واحذر
طعاما ثم مالك تحرم
Dan seterusnya …
Bait-bait tersebut merupakan bait-bait yang biasa dikaji
dipesantren-pesantren tradisional dan mengajarkan bahwa amal saleh merupakan
bagian dari keimanan.
3.
Konsep Kesalehan Sosial
Manusia memiliki dua tanggung jawab yang harus ditunaikan
dengan baik, yaitu: Pertama, manusia sebagai hamba (‘abid), di
mana manusia dituntut untuk sukses menjalin hubungan secara vertikal dengan
Allah Swt. (Q.S adz-Dzariyat [51]:56); Kedua,
manusia sebagai khalifah, di mana manusia dituntut untuk sukses menjalin
hubungan secara horizontal dengan sesama mahluk (Q.S al-Baqarah [2]: 30). Tidak akan sukses sebagai hamba, jika seseorang gagal
dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah. Begitu juga sebaliknya, tidak akan
sukses sebagai khalifah, jika seseorang gagal menjalin hubungan sebagai hamba
dengan Tuhan. Manusia yang paripurna atau manusia seutuhnya (insan kamil)
adalah orang yang sukses sebagai hamba juga sebagai khalifah.
Oleh karena itu Manusia sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan dituntut untuk dapat memberikan kemaslahatan atau kebaikan
(kesalehan) antara satu dengan yang lain. Sebab kesalehan tersebut akan
memberikan pengaruh baik terhadap keragaman hidup manusia yang menumbuhkan
saling percaya antara sesama walaupun kulit, ras, bangsa dan agama berbeda.
Saling percaya akan tumbuh dan muncul apabila manusia telah saling mengenal
dengan baik dan memahaminya dengan saling menghargai dan menghormati walaupun
berbeda pandangan, keinginan dan kecenderungan.
Prima kausa dari teori sosial umat manusia tercantum
dalam QS. Al-Hujurat [49]:13. Quraish Shihab menempatkan ayat ini sebagai
prinsip dasar hubungan antar manusia, dan semua manusia derajat kemanusiaannya
sama disisi Allah tidak ada perbedaan antara suku dengan yang lain. Tidak ada
juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan semua
diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan (Quraish Shihab, 2005:
260). Yang membedakannya adalah ketaqwaan kepada Allah Swt, semakin tinggi
ketaqwaan manusia, maka semakin tinggi kemuliaan manusia tersebut, bahkan lebih
mulia derajatnya dari pada malaikat. Sebaliknya manusia yang inkar dan lalai
(ghâfil) derajatnya lebih sesat dari pada hewan ternak.
Prinsip dasar hubungan antar manusia ini merupakan hikmah
al-Qurân
sebagai bentuk teologi-sosial yang lebih mengutamakan kepentingan sosial
(jamâi) dari pada kepentingan individual (fardi). Prinsip ini
adalah ajaran agama yang memiliki kekuatan substansial untuk memelihara dan
mengolah bumi demi kemaslahatan alam semesta (baca: manusia, flora-fauna, bumi,
langit dll). Syekh Zaenuddin bin Ali menegaskan dalam potongan baitnya : أمسك حبيبي ما عليه
جماعة ...
cabang iman ke 50 (Syekh Zaenuddin bin Ali, 16) bahwa umat Islam
harus berpegang pada prinsip berjamaah, artinya bahwa kepentingan sosial lebih
utama. Diantaranya adalah menghormati tetangga dan tamu, ini diungkapkan pada
potongan bait ke 67 أكرم لجار ثم ضيف ... .
Mengutip Amin, agama –lebih-lebih teologi- tidak lagi
terbatas sekadar menerangkan hubungan antara manusia dan Tuhan-Nya. Secara tak
terelakkan, teologi juga melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis),
kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk
membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologi). Bahkan pada
tataran tertentu dapat diteliti keterkaitan ajaran atau doktrin etika keagamaan
dengan berbagai corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk
memperoleh derajat kesejahteraan yang optimal (ekonomi). Terkait dengan
nilai-nilai etika yang fundamental, agama juga dapat didekati secara filosofis.
Belum lagi jika dilihat dalam kaitannya degan fungsi profesionalisme, agama
lebih menekankan pandangan kritis terhadap situasi lingkungan. Disitu tampak,
bahwa fenomena "agama" memang perlu didekati secara multidimential
approaches (Amin Abdullah, 1996: 10).
Pendekatan multidimensi dicontohkan oleh Rasulullah Saw
dalam memahami keragaman karakteristik sahabat ketika beliau menyampaikan wahyu
atau ide, sebagaimana Yusuf Qardhawi (1999: 166) menyatakan bahwa Rasulullah
Saw dalam mendidik para sahabatnya sebagai murid atau peserta didik senantiasa
memperhatikan perbedaan individu antara lain:
a.
Perbedaan pesan atau nasehat-nasehat
Nabi Saw, disesuaikan dengan perbedaan setiap individu yang meminta wasiat
(nasehat).
b.
Perbedaan jawaban dan fatwa beliau
dari pertanyaan yang sama disesuaikan dengan perbedaan keadaan setiap penanya.
c.
Perbedaan sikap dan perilaku Nabi Saw
disesuaikan dengan perbedaan setiap orang yang bergaul dengan beliau.
d.
Perbedaan perintah dan hukum pemberian
beban (taklif) yang beliau berikan, sesuai dengan perbedaan kemampuan setiap
orang yang menerimanya.
e.
Menerima sikap dan perilaku seseorang
yang tidak diterimanya dari orang lain, karena perbedaan kondisi.
Metode Rasulullah Muhammad Saw tersebut merupakan
representatif ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai sosial (kemanusiaan)
dengan memahami keragaman karakteristik. Multi keragaman karakteristik manusia
disikapi dengan sikap bijaksana sebagai hikmah dan rahmat lil a'âlamîn.
Sehingga umat Islam yang demikian akan menjadi panutan dan dimuliakan sepanjang
masa. Oleh karena itu memahami kesalehan sosial sebagai upaya mengamalkan
ajaran Islam adalah wajib dan harus disebarluaskan dengan cinta damai serta
diwujudkan melalui pondasi institusi pendidikan.
Institusi pendidikan merupakan media utama untuk
mensosialisasikan kesalehan sosial dan menjadi Islam yang kuat terhadap
militansi kesalehan sosial. Namun demikian untuk sampai kearah tersebut
membutuhkan proses yang senantiasa berdinamika sesuai dengan situasi dan
kondisi zaman, tentunya dengan kebutuhan dan tantangan yang tidak sama dengan
zaman sebelumnya.
Proses sosialisasi dan institusiona-lisasi pendidikan Islam terjadi dalam hubungan timbal balik dengan kaidah
lokal atau daerah. Pranata itu merupakan perwujudan interaksi sosial di dalam
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daerah. Interaksi sosial itu berpatokan dan
mengacu kepada keyakinan (kesepakatan tentang benar salah), nilai (kesepakatan
tentang baik dan buruk), dan kaidah (kesepakatan tentang yang mesti
ditinggalkan), yang dianut oleh masyarakat, merupakan perwujudan amal saleh
sebagai ekspresi keimanan dalam interaksi sosial (Departemen Agama Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2005: 137-138).
Ekspresi keimanan yang diwujud-kan
dalam kesalehan sosial merupakan elaborasi interaksi batin dan interaksi sosial
sebagai fakta yang tidak terbantahkan dan akan melahirkan ketenangan jiwa
berkaitan dengan interaksi batin dan melahirkan ketentraman lingkungan
berkaitan dengan interaksi sosial. Keimanan tersebut senantiasa direformasi
dengan kalimat tauhid sebagaimana sabda Rasulullah Saw
جددوا إيمانكم قيل : يا رسول الله وكيف نجدد إيماننا ؟ قال : أكثروا من قول
لا إله إلا الله
"Perbaharuilah keimananmu! Dikatakan;
Ya Rasululullah! Bagaimana kami memperbaharui keimanan kami, beliau menjawab;
perbanyaklah membaca lâ ilâha illallôhu (tidak ada tuhan selain Allah) (H.R. Shahihain dari Abu
Hurairah).
Refomasi keimanan dengan kalimat tauhid menuntun manusia
agar juga mereformasi kesalehan sosial sesuai dengan perkembangan zaman dengan
nilai-nilai kesalehan yang universal dan komprehensif. Sementara
itu Muhammad Abduh berpandangan bahwa reformasi sosial serta pendidikan Islam
merupakan jalan menuju reformasi politik serta pembebasan kaum muslimin dari
cengkraman Barat (Abdul Majid Abdussalam
Al-Muhtasib, 1997: 69). Yang dimaksud dengan cengkraman barat ialah keluar dari pengaruh barat
yang merusak tatanan kehidupan budaya umat Islam, sementara pengaruh positif
seperti kerja keras, bersungguh-sungguh, dan semangat meneliti maka perlu
diadopsi oleh umat Islam yang memang untuk sekarang ini sebagai umat
terbelakang.
Pengadopsian keilmuan ini juga pernah terjadi pada masa
Rasulullah Saw dengan mengambil kearipan budaya lokal sebagai pranata hukum
sosial seperti hukum potong tangan bagi pencuri, khitbah sebelum menikah,
pelaksanaan thawaf dan sebagainya. Praktek adopsi dan akulturasi keilmuan juga
dipraktekkan pada masa dinasti Abbasiyah dengan membangun baitul hikmah sebagai pusat peradaban umat Islam ketika itu
termasuk penterjemahan pengetahuan Yunani ke dalam bahasa arab. Usaha adopsi
dan penterjemahan ini merupakan bagian dari kesalehan sosial dengan pemahaman
bahwa semua ilmu adalah milik Allah Swt dari mana saja ilmu tersebut muncul dan
menjadi cita-cita sosial.
Cita-cita sosial Islam dimulai perjuangannya dengan
menumbuhsubur-kan aspek-aspek akidah dan etika dalam
diri pemeluknya. Ia dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi,
keluarga dan masyarakat, hingga akhirnya menciptakan hubungan yangs serasi
antara semua anggota masyarakat yang salah satu cerminannya adalah
kesejahteraan lahiriah (Quraish Shihab, 1996: 242).
Al-Qur'an dan Sunnah menjelas-kan
dengan rinci bahwa bersikap toleran kepada orang-orang yang tidak sependapat
dengannya, terutama berbeda pendapat dalam masalah agama dan akidah, adalah
merupakan salah satu unsur penting dalam perilaku beradab (Yusuf al-Qardhawy, 1999: 349). Q.S al-Mumtahanah:8-9 memberikan
pencerahan bagaimana umat Islam memperlakukan orang-orang yang tidak mempunyai
keyakinan yang sama, selama orang-orang kafir tidak mengganggu agama dan tidak
mengusir, maka tidak dilarang bagi umat Islam untuk berbuat baik dan adil
kepada mereka, bahkan Allah Swt mencintai orang-orang yang berbuat adil.
Ajaran Islam adalah ajaran yang mendorong umatnya
disamping melakukan ibadah secara fardliyah (individual dan masing-masing),
juga ibadah secara berjama'ah (Didin Hafidhuddin, 2002: 103). Kedua ibadah ini
mempunyai korelasi signifikan, walaupun kadang-kadang seringkali kali
dipisahkan dan dianggap tidak mempunyai hubungan dan akibat antara ibadah
individual dengan ibadah berjamaah. Padahal ibadah secara berjamaah sebagai
wujud kesalehan sosial di samping memiliki pahala dan nilai yang lebih tinggi,
berjamaah dalam ibadah dan muamalah memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
a.
Mengundang rahmat dan pertolongan
Allah Swt (QS. al-Anfâl [8]: 62 dan QS. at-Taubah [9]: 71).
b.
Allah Swt sangat mencintai orang-orang
yang berjuang di jalan-Nya secara bersama-sama (QS. ash-Shâf [61]: 4.
c.
Contoh membangun masyarakat yang
dilakukan Rasulullah Saw. adalah dengan melalui kesadaran
berjama’ah.
d.
Orang-orang kafir pun (walaupun
diantara mereka terdapat perbedaan-perbedaan) ketika menghadapi orang-orang
yang beriman, mereka juga selalu bersama-sama (QS al-Anfâl [8]: 73.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa
Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap kesalehan sosial dibandingkan
dengan kesalehan individual. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan
kepentingan umum atas kepentingan pribadi. Walaupun demikian keduanya mempunyai
balance sesuai dengan situasi dan kondisi, sebab ketika ada pemuda yang
ingin ikut berjihad dan ternyata dirumahnya hanya terdapat ibunya yang sudah
tua, maka yang paling utama bagi dia adalah mengurus dan berbakti kepadang ibu.
Diantara contoh amal saleh yang berhubungan dengan kesalehan sosial dalam
ajaran normatif Islam:
a. Keutaman
shalat berjama'ah.
b. Pentingnya
pernikahan.
c. Perintah
bermusyawarah.
d. Perintah
berjihad
B. Pesantren
Pesantren adalah tempat belajar mengaji secara bersama
dan juga sebagian besar tinggal disana, yang terdiri dari komponen utama yaitu;
Kyai, santri, masjid, dan asrama atau pondokan (Daryanto, 1997: 488).
Pesantren merupakan lembaga pendidikan model tertua
sebelum berdirinya sekolah di bumi pertiwi. Awal mula pondok pesantren berdiri
dimulai setelah Islam masuk ke Indonesia
dengan jalan perdagangan dan pernikahan yang membuahkan interaksi sangat kental
dengan perdamaian dan persaudaraan (ukhuwah), sehingga
terbentuklah perkampungan para pedagang muslim yang sudah berbaur dengan penduduk lokal.
Bahkan sekarang lembaga negara dengan kementerian agama
sebagai institusi mempunyai bidang yang mengangani khusus berkenaan dengan
pondok pesantren dinamai dengan bidang PK Pontren. Pondok pesantren merupakan
lembaga pendidikan model tertua sebelum berdirinya sekolah di bumi pertiwi
Indonesia. Awal mula pondok pesantren berdiri dimulai setelah Islam masuk ke Indonesia dengan jalan
perdagangan dan pernikahan yang membuahkan interaksi sangat kental dengan
perdamaian dan persaudaraan (ukhuwah), sehingga terbentuklah
perkampungan para pedagang muslim yang sudah berbaur dengan penduduk lokal.
Pendirian dan penyebaran pesantren dengan pendekatan
sosial menjadikan pesantren tetap survive sampai masa sekarang ini (kontemporer).
Pendekatan sosial yang dimaksud adalah dengan jalan cinta damai, termasuk jalan
perdagangan dan pernikahan sebagai suatu interaksi fundamental yang memperkuat
keberadaan pondok pesantren karena melahirkan garis keturunan yang kuat.
Keterlibatan pesantren dalam mengusir penjajah merupakan
bukti fundamental pesantren untuk cinta dan membela tanah air sebagai rasa
nasionalisme (Qaumiyah). Bahkan pesantren senantiasa berada di garis
terdepan dalam menghadapi dan mengusir penjajah dari tanah air. Sebab basis
pesantren yang berdasarkan ajaran kewahyuan mengajarkan bela negara dan cinta
tanah air, serta merupakan bagian dari keimanan.
Bahkan pesantren memberikan teladan kepada masyarakat
dalam meningkatkan kesejahteraan pada bidang ekonomi, karena ajaran pesantren
tidak hanya mengajarkan agar masyarakat cerdas dalam memahami ilmu agama,
tetapi juga mengajarkan manusia agar mampu menjadi muzakki, artinya masyarakat
harus memiliki harta lebih untuk dapat membantu orang lain, sehingga
kesejahteraan yang diperoleh tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya,
tetapi ditularkan kepada masyarakat umum.
Oleh karena itu Sasono memandang bahwa pesantren, bukan
sekedar sekolah keagamaan tradisional, tapi juga cermin pusat-pusat ekonomi
desa, karena sifatnya yang mandiri dalam mendukung kehidupan pondok pesantren
dan lingkungannya. Seorang Kiyai, yang mengelola hibah berupa tanah atau sumber
daya lain dari warga sekelilingnya memiliki tanggung jawab moral dalam
mengelola sumber daya untuk kemakmuran para anggota masyarakat sernya (Sasono A., 2001: 10).
Dengan demikian keberadaan pondok pesantren dewasa ini
memang sangat dituntut untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan dengan
mengem-bangkan kegiatan-kegiatan keterampilan, untuk ikut berpartisipasi aktif
dalam pembangunan masyarakat sekelilingnya (H. Mahpuddin Noor, 2006: 137).
C.
Pesantren dan tantangan zaman
Pondok pesantren harus mampu mendesain pola sistem
pendidikannya menjadi sebuah lembaga pendidikan yang representatif mampu
menjawab kebutuhan dan tantangan jaman, sehingga diperlukan pengembangan sistem
pendidikan baik dalam metodologi belajar-mengajar, visi, misi dan kerangka
dasar kurikúlûm pendidikan sangat penting untuk dikaji ulang dan disempurnakan.
Juga masa belajar di pesantren yang relatif panjang. Padahal, prinsip masyarakat
modern cenderung praktis-pragmatis. Prinsip ini tidak hanya berlaku di sektor
ekonomi saja, tetapi mulai juga merambah dunia pendidikan.
Fakta pendidikan dengan metode privat, kursus sampai
pelatihan telah merebak dan berjamur seakan-akan dengan pendidikan yang
singkat, akan memahami dan menguasai ilmu yang dimaksud. Padahal pendidikan
tidak dapat diperoleh dengan instan dan karbitan, pendidikan membutuhkan
pola fikir matang melalui pelatihan pembiasaan yang kontinyuitas dan teladan
yang baik dalam berinteraksi.
Masalah ini akan dapat diatasi kalau pesantren mampu
melakukan transformasi terhadap kondisi sosial pesantren antara local social
dan modern social, sistem kelembagaan, metode belajar-mengajar,
kerangka dasar kurikúlûm, dan visi, misi, tujuan dan target pendidikannya.
Di banyak pesantren tradisional, pengajaran kitab-kitab
kuning berbahasa Arab, baik secara “bandongan” dan “sorogan”, memiliki
kelemahan metodologis yang memprihatinkan, karena para santri tidak dibekali
terlebih dahulu dengan keterampilan berbahasa arab yang memadai. Akibatnya,
santri hanya mampu menguasai b yang pernah diajarkan saja, serta lemah dalam
mengkaji secara mandiri b-b yang belum pernah dipelajari. Kelemahan metodologis
ini juga menyebabkan masa belajar yang ditempuh santri menjadi lebih lama.
Tidak salah jika komisi UNESCO mengenai pendidikan abad XXI menyatakan empat
pilar, yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning
to live toghether (Delors, j., 1996).
Menurut Abdullah Gymnastiar, ulama masa depan harus
memiliki minimal 3 kemampuan, yaitu:
a.
Kekuatan ruhiyah sehingga
ceramahnya memiliki daya hujam pada qalbu terdalam, daya gugah dan daya ubah
yang tinggi;
b.
Kemampuan leardership dan
manajeman, karena pemimpin membaca potensi umat,
menggali dan mensinergikannya; dan
c.
Ulama harus memiliki kemampuan
membentuk opini publik dengan menggunakan aneka media yang sudah ada di abad
ini. Kalau shaleh tetapi tidak memiliki manajemen dan tanpa menggunakan media,
maka dia hanya untuk dirinya sendiri atau wilayah lokal. Sedangkan untuk
perubahan global dan mendalam dia harus memiliki ketiganya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada dekade terakhir
sebagian kaum santri memperlihatkan kecenderungan untuk mempelajari sains dan
teknologi di lembaga-lembaga pendidikan formal di luar pesantren. Namun, pada
saat yang sama mereka juga enggan meninggalkan pesantren sebagai wahana untuk
mendalami agama dan memperteguh nilai-nilai moral. Gejala ini menyiratkan
adanya kegelisahan sebagian kaum santri dalam merespons tuntutan modernisasi
yang tak mungkin dielakan.
Kenyataan di atas seharusnya dapat melecut mereka yang
berkompeten dalam pengembangan pesantren agar melakukan langkah-langkah
transformatif, bila pesantren akan dijadikan sebagai institusi pendidikan yang
menjanjikan pada era modern. Kini saatnya bagi pesantren utnuk melakukan
reorientasi tata nilai dan tata operasional pendidikannya, agar lebih relevan
dengan dinamika kemoderenan, tanpa meninggalkan nilai-nilai trandisional yang
telah lama mengakar kuat di pesantren.
Untuk merealisasikan kenyataan itu, maka pondok pesantren
perlu mengadopsi sistem pendidikan sekolah dengan cara memadukan kedua sistem
itu, khususnya dalam bidang kelembagaan. Walaupun demikian, keterpaduan sistem
pendidikan ini harus memperhatikan visi, misi, tujuan dan target yang menjadi
acuan pondok pesantren. Karena dikhawatirkan justru dengan adanya keterpaduan
sistem pendidikan, malah orientasi lembaga pendidikan menjadi kabur, akhirnya
output tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
D.
Peran pesantren
terhadap pendidikan kesalehan sosial dan individual
Dari eksistensi dan kesiapan pesantren dalam menghadapi
tantangan zaman tersebut, maka jelas bahwa pesantren memiliki peran dan fungsi
yang sangat besar dalam mewarnai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan untuk
dikombinasikan lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Potret keadaan pesantren sehari-hari menunjukkan
bagaimana pesantren membentuk lingkungan yang senantiasa dijalani bersama-sama
dengan berbagai rutinitas normatif dan melebur dengan budaya lokal. Walaupun
belakangan muncul pesantren ekslusif tetapi jumlahnya masih sedikit.
Kebersamaan rutinitas pesantren terjadi karena ada komitmen antara kiayi
sebagai figur dan santri sebagai orang yang mengikuti figur tersebut.
Meskipun santri berasal dari pelbagai daerah yang berbeda
bahasa dan suku, namun mereka dapat hidup rukun dan saling tolong menolong.
Pengkondisian lingkungan pesantren tersebut adalah pengkondisian kesalehan
sosial secara mikro. Misalnya bagaimana santri lama membimbing santri baru,
bahkan memberikan sesuatu yang belum dimilikinya, dan santri baru belajar
menghormati santri lama, kalaupun ada kesalahan masih ditoleransi sampai batas
waktu yang telah ditentukan.
Kemudian semua santri harus hormat kepada semua guru (ustadz),
guru sebagai wakil kiayi juga menghormati kiayi. Namun demikian selain
pesantren memiliki kelebihan seperti disipin, jujur, ikhlas, berjiwa sosial,
patuh-taat, setia, ramah, mandiri, dan sederet sifat-sifat yang sudah menjadi
pembiasaan di lingkungan pesantren. Institusi pesantren juga memiliki
kelemahan, yaitu:
a.
Problematika figur, kebanyakan
pesantren di Indonesia masih mengunggulkan figur untuk menarik banyak santri
dan popularitas. Masih sedikit pesantren yang berusaha mengunggulkan pada
bidang manajemen. Ini mungkin disebabkan pesantren belum memiliki manajemen
yang baik sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Jika figur kiayi lemah
maka gaya tarik pesantrenpun akan melemah, berarti jika figur kiayi dalam
memahami kesalehan sosial kurang baik, maka akan berdampak kepada lemahnya
santri dalam memahami kesalehan sosial. Berbeda dengan pesantren modern yang
relatif memiliki manajemen pengelolaan yang baik, namun dari sisi sosial
kebersamaan dan penghormatan mereka kepada guru dan pimpinan kurang begitu menonjol,
sebab di pesantren modern kiayi tidak dijadikan figur sentral, tetapi lebih
sebagai managerial, sehingga dibeberapa pesantren modern istilah pimpinan dan
pengasuh pesantren tidak disebut kiayi, tetapi dengan sebutan direktur atau
pimpinan.
b.
Pembiasaan santri dengan pondok atau
asrama yang memakan waktu lama (tahunan), dengan kejenuhan dan kestatisan
perilaku budaya, jika tanpa dikenalkan dengan kehidupan duniar luar pesantren,
maka merekapun tidak akan mengetahui realita hidupnya. Oleh karena itu, pesantren
perlu turun untuk belajar dari masyarakat, termasuk aspek sosial-budaya, yang
secara teori mungkin sudah diajarkan dipesantren. Beberapa tahun yang lalu, di
pemerintah daerah Jawa Barat pernah diadakan program santri raksa desa, dan
program, ini dibiayai penuh oleh pemerintah. Program pengabdian kepada
masyarakat sebagai bentuk dari belajar langsung dilapangan merupakan program
yang mendukung untuk menumbuhkembangkan aspek kesalehan sosial dengan melihat
fakta bahwa bangsa Indonesia beraneka ragam dengan multi bahasa dan multi
etnis. Dan untuk mendiagnosa suatu permasalahan yang sama dengan lokasi yang
berbeda tentu akan berbeda, karena faktor budaya dan sosial yang berbeda pula,
maka diagnosa yang dilakukan juga harus berbeda, agar mampu memecahkan
permasalahan-permasalahan sosial yang ada pada budaya lokal tersebut.
c.
Kebanyakan pesantren di Indonesia
belum memiliki sarana-prasarana yang mendukung untuk mengembangkan pendidikan,
seperti media pembela-jaran, teknologi pembelajaran,
seperangkat komputer (software dan hardware) sampai kepada LCD proyektor
dan media internet untuk menjelajah dunia, sarana olah raga, sarana
meningkatkan life skill yang disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan ser dan
kebutuhan santri (kompetensi), seperti otomotif, komputer, teknologi
informatika-komunikasi, pertanian, peternakan, perikanan, industri textil dan
sebagainya.
SIMPULAN
Pendirian dan penyebaran pesantren dengan pendekatan
sosial menjadikan pesantren tetap survive sampai masa sekarang ini (kontemporer). Pendekatan
sosial yang dimaksud adalah dengan jalan cinta damai, termasuk jalan
perdagangan dan pernikahan. Begitu juga dengan keterlibatan pesantren dalam
mengusir penjajah merupakan bukti fundamental pesantren untuk cinta dan membela
tanah air sebagai rasa nasionalisme (Qaumiyah). Bahkan pesantren
memberikan teladan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan pada
bidang ekonomi, karena ajaran pesantren tidak hanya mengajarkan agar masyarakat
cerdas dalam memahami ilmu agama, tetapi juga mengajarkan manusia agar mampu
menjadi muzakki, artinya masyarakat harus memiliki harta lebih untuk dapat
membantu orang lain, sehingga kesejahteraan yang diperoleh tidak hanya untuk
diri sendiri dan keluarganya, tetapi ditularkan kepada masyarakat umum.
Potret keadaan pesantren sehari-hari menunjukkan
bagaimana pesantren membentuk lingkungan yang senantiasa dijalani bersama-sama
dengan berbagai rutinitas normatif dan melebur dengan budaya lokal. Namun
demikian selain pesantren memiliki kelebihan seperti disipin, jujur, ikhlas,
berjiwa sosial, patuh-taat, setia, ramah, mandiri, dan sederet sifat-sifat yang
sudah menjadi pembiasaan di lingkungan pesantren. Institusi pesantren juga
memiliki kelemahan, yaitu: problematika figur center, Pembiasaan santri dengan
pondok atau asrama yang memakan waktu lama (tahunan), dengan kejenuhan dan
kestatisan perilaku budaya, jika tanpa dikenalkan dengan kehidupan duniar luar
pesantren, maka merekapun tidak akan mengetahui realita hidupnya. Dan
Kebanyakan pesantren di Indonesia belum memiliki sarana-prasarana yang
mendukung untuk mengembangkan pendidikan
Referensi:
Abd. Bin Nuh dan
Oemar Bakry, Kamus Arab-Indonesia-Inggris, Indonesia-Arab-Inggris, (Jakarta:
PT Mutiara Sumber Widya, 2007)
Abdul Majid Abdussalam
Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur'an, (Bangil: Al-Izzah,
1997)
Amin Abdullah, Studi Agama:Normativitas atau
Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Daryanto, S. Sos, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap,
(Surabaya: Apollo, 1997)
Delors, j., Learning:Tthe
Treasure Within, (Paris:UNESCO, 1996)
Departemen Agama Dirjen
Kelembagaan Agama Islam, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Depag RI, 2005)
Depdikbur RI, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depdikbud,1988)
Didin Hafidhuddin, Membentuk
Pribadi Qurani, (Jakarta: Harakah, 2002)
H. Mahpuddin Noor, Potret Dunia Pesantren, (Bandung:
Humaniora, 2006)
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Indonesia-Inggris, (Jakarta: PT Gramedia, 1992)
K.H.Q. Shaleh, H.A.A Dahlan dkk, Asbabun
Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Quran, (Bandung: CV.
Diponegoro, 2007)
Kuntowijoyo, Paradigma
Islam; Interpretasi untuk aksi, (Bandung: Mizan, 1993)
Muhammad Tolchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius, (Jakarta:
Listafariska, 2008)
Mutawalli Asy-Sya'rawi, Bertanya Islam Menjawab, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003)
Nova No. 722\ X1V-30 Desember 2001 “Da’wah dengan berbagai media.’’
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung:
Mizan, 1996)
Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, (Tangerang: Lentera Hati,
2005)
Sasono A., Tantangan Kebangsaan
Dalam Dinamika Global: Menelaah Peran ICMI, (Jakarta: Pustaka Mimbar
Minang, 2001)
Syekh Zaenuddin bin
Ali bin Ahmad asy-Syafi'i al-Kusyini, Syi'abul Iman, (Semarang: Toha
Putra, T.th.)
Yusuf Al-Qardhawy, As-Sunnah
Sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, alih bahasa: Setiawan Budi Utomo,
(Jakarta: Al-Kautsar, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.