Oleh:
Sofyan
Sauri
ABSTRACT
There are
a number of internal and external challenges of education in the era of free
trade. This educational challenge consists of the problem of national unity,
the democratization of education, decentralization of education management, and
quality of education. Character education is difficult to apply in the
framework of adult education performance is due to unfamiliarity conceptual
about character education, so it is not targeted and face serious problems
surrounding the evaluation procedure. One of the efforts in the face of free
trade, the character education effort focused on establishing and maintaining
good character because learners is at the core of all types of education and
can lead to the creation of inner and outer human behavior so that a balanced
person. It also morals are irreplaceable basic support for the integrity of
character education in schools.
Keywords: Education, Character, Free Trade
ABSTRAK
Terdapat sejumlah tantangan
internal dan eksternal pendidikan di era perdagangan bebas. Tantangan pendidikan
ini terdiri atas masalah kesatuan
bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas
pendidikan. Pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka kinerja
pendidikan dewasa ini karena ketidak pahaman konseptual tentang pendidikan
karakter, sehingga tidak tepat sasaran dan mengalami persoalan serius seputar
tata cara evaluasi. Salah satu upaya dalam menghadapi perdangan bebas, yaitu pendidikan karakter yang berfokus
kepada upaya membentuk dan memelihara akhlak peserta didik karena merupakan
inti dari semua jenis pendidikan dan dapat mengarahkan pada terciptanya
perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang. Selain itu juga akhlak merupakan
dukungan dasar yang tak
tergantikan bagi keutuhan pendidikan karakter di sekolah.
Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Perdagangan Bebas
PENDAHULUAN
Belum
usai diserbu produk China melalui program ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), kini rakyat Indonesia harus siap
dengan rencana serbuan negara-negara di dunia lainnya dalam rencana program perdagangan
bebas 2015. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke 18 yang berlangsung di
Jakarta pada 7-8 Mei 2011, Indonesia yang saat ini menjadi Ketua ASEAN bertekad
melaksanakan Masyarakat Ekonomi ASEAN tepat waktu di 2015. Selain berdampak
langsung terhadap dinamika makro dan mikro ekonomi nasional, program-program
tersebut mem-berikan dampak pengiring yang teramat dahsyat terhadap semua ranah
kehidupan, seperti perubahan life style,
paradigma berpikir (mindset),
pergeseran nilai-nilai sosial dan budaya, pergeseran karakter bangsa, tergerusnya
moral dan akhlak gerenasi muda, sampai serbuan idiologi.
Menurut Mazarr dalam Tilaar (2004) bahwa
setidaknya terdapat enam kecenderungan peran utama perubahan kehidupan masa
depan sebagai berikut, yakni:
1. Berubahnya fondasi-fondasi kehidu-pan dunia yang telah melahirkan
kelompok negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Dalam dunia tersebut
terdapat perbedaan yang sangat mencolok seperti kemis-kinan, kebodohan dan ilmu
pengetahuan. Di samping itu, dunia yang dahulu
didominasi oleh persepsi barat kini muncul pandangan-pandangan baru mengenai
budaya dunia yang beraneka ragam.
2. Perubahan di dalam kekuatan peng-gerak utama dalam sejarah terutama
sains dan teknologi dalam mengubah kehidupan manusia.
3. Munculknya ekonomi baru yang disebut human resources economy. Dalam ekonomi baru ini terjadi reorientasi
pekerjaan. Jenis-Jenis pekerjaan semakin menciut dalam arti yang diperlukan
bukan laboor intensive tetapi
pekerjaan yang berbasis ilmu pengetahuan.
4. Lahirnya global
trend akibat globalisasi yang berakibat juga pada lahirnya tribalisme yaitu
fragmen-talisme serta pluralisme dari
berbagai komunitas atau negara.
5. Perubahan dalam otoritas yang mengatur hidup bersama
manusia. Globalisasi melahirkan demokrasi yaitu
pemikiran yang menghargai hak asasi manusia, hak manusia untuk memiliki
identitas sendiri, akibatnya muncul krisis sosial politik.
6. Hasil dari semua perubahan yang terjadi yaitu kemungkinan
lahirnya alienasi dari individu dan lahirnya apa yang disebut dengan sindrom
pesimisme.
Kecenderungan global tersebut tentunya
berdampak kepada semakin urgennya pendidikan karakter untuk diimplementasikan
dalam tiga lingkungan pendidikan (tripusat pendidikan) yakni keluarga, sekolah
dan masyarakat. Faktor lingkungan yang terus berubah, berkembang dan kompleks
menuntut para penggiat pendidikan untuk selalu belajar dan responsif, agar pola
dan strategi pendidikan karakter yang mereka jalankan bisa disesuaikan dengan
tuntutan dan perubahan lingkungan.
PEMBAHASAN
A. Tantangan Pendidikan Karakter di
Era Perdagangan Bebas
Tilaar (2004) memberikan referensi bahwa
terdapat sejumlah tantangan internal dan eksternal pendidikan di era
perdagangan bebas. Tantangan internal pendidikan terdiri atas:
1.
Masalah Kesatuan Bangsa; Memudarnya kesatuan bangsa dari sebagian
masyarakat akhir-akhir ini, boleh jadi dipicu dengan munculnya semangat
kesukuan, kedaerahan dan sejenisnya, sehingga beberapa daerah ada keinginan
untuk memisahkan diri dari NKRI.
2.
Demokratisasi Pendidikan; Di tengah masyarakat muncul
keinginan yang sangat kuat untuk kehidupan demokrasi yang dimaknai sebagai
kehidupan yang menghargai potensi individu. Semua warga negara mempunyai hak
yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang baik, juga memiliki kewajiban yang
sama untuk membanguan pendidikan nasional yang berkualitas
3.
Desentralisasi Manajemen Pendi-dikan; Desentralisasi manajemen pen-didikan akan memberikan implikasi
langsung dalam penyusunan dan penentuan kurikulum yang bebeapa waktu lalu
sangat sentralistik dan sangat memberatkan peserta didik.
4.
Kualitas Pendidikan; Kunci utama peningkatan kualitas
pendidikan adalah mutu para guru.
Sehingga pemerintah sangat bersemnagat untuk meningkatkan mutu guru
dengan mendorong mereka minimal berkua-lifikasi S1 dan mendorong para
guru agar lebih meningkatkan profesiona-lismenya.
Sementara tantangan eksternal dunia
pendidikan atau lazim disebut dengan tantangan global menurut Tilaar (2004)
adalah tantangan untuk mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain, tantangan
yang datang sebagai dampak dari globalsiasi dimana kehidupan global melahirkan
kebudayaan global, tantangan perubahan masyarakat yang sangat cepat yang
diiringi dengan perubahan nilai-nilai budaya, dari nilai budaya lama ke nilai
budaya baru.
Dengan merujuk kepada tujuan pendidikan
nasional yang dirumuskan dalam UU No 20 Tahun 2003. Achmad Dardiri (2009)
berpendapat bahwa terdapat beberapa tantangan pendidikan, diantaranya:
1. Bagaimana agar pendidikan itu mampu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
2. Mampuhkan kegiatan pendidikan melahirkan peserta didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Tantangan yang kedua sebagaimana
ditegaskan oleh Achamd Dardiri di atas, di era perdagangan bebas dewasa ini
merupakan tantangan terberat dunia pendidikan, hal tersebut dikarenakan dampak
pengiring dari perdagangan bebas selalu disertai dengan terpaan nilai-nilai, hantaman
budaya dan akhlak serta ekploitasi gaya hidup barat yang menggerus akhlak
generasi bangsa. Dengan demikian, adanya pendidkan karakter yang berbasis
kepada pembentukand an pertahanan akhlak generasi bangsa menjadi keniscayaan
untuk dilakukan secara sistemik secara nasional. Adanya pendidikan semacam itu
diharapkan dapat melahirkan generasi dengan identitas sebagaimana ditegaskan
dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yakni generasi yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Sementara Delors (1998) menjelas-kan bahwa pendidikan dewasa ini
dihadapkan kepada adanya tantangan yang sifatnya berlawanan yaitu berupa ketegangan-ketegangan
antara:
1. Yang global dan yang lokal
2. Yang universal da yang individual
3. Tradisi dan modernitas
4. Pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek
5. Perlunya kompetisi dan perhatian terhadap persamaam
kesempatan
6. Ekspansi yang luar biasa dari ilmu pengetahuan dan
kemampuan manusia untuk mengasimilasikannya
7. Yang spiritual dan yang material.
Ketujuh ketegangan tersebut
secara riil menjadi masalah sekaligus tantangan dunia pendidikan. Artinya
pendidikan selalu dihadapkan pada apakah diseleng-garakan dalam upaya menyesuaikan
dengan permasalahan-permasalahan global atau diarahkan dalam upaya melestarikan
nilai-nilai lokal, dan seterus-nya. Sudah barang tentu pendidikan
tidak hanya diarahkan pada satu arah melainkan keduanya dikembangkan secara
bersama-sama dan simultan. Pendidikan harus mampu mengakomodasi dua ketegangan
tersebut.
Dalam pandangan Komisi Pendidi-kan UNISCO, upaya untuk mempersiap-kan peserta didik menghadapi
berbagai perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat dewasa ini, yang diikuti
dengan berbagai permasalahan adalah dengan membekali peserta didik dengan bekal
yang memadai, dalam pandangan Komisi Pendidikan itu tercakup dalam empat pilar
pendidikan yang sangat fundamental, yaitu: Learning
to konw, learning to do, learning to be, learning live together (Delors,
1998).
B.
Urgensi Pendidikan Karaker di Era Perdagangan Bebas
Fenomena-fenomena
yang mencuat prihal karakter moral bangsa dewasa ini memang semakin mengkhawatirkan.
Beberapa peristiwa menandakan kian terjadinya erosi harkat dan martabat
manusia sebagai makhluk yang mulia. Hancurya nilai-nilai moral, merebaknya
ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, brutalnya masyarakat, erosi akhlak
generasi muda, dan hilangnya ketaula-danan
pada elit bangsa menjadikan tantangan dunia pendidikan kian besar.
Di sisi
lain,
kesepakatan-kesepakatan internasional yang menggiring kepada penghapusan
batas-batas kenegaraan, hingga lalu lintas orang dan barang bahkan nilai-nilai
antar negara semakin terbuka. Akibatnya pertahanan nilai-nilai moral yang
sebelumnya begitu sakral dan karakter moral bangsa yang sebelumnya melekat
dalam jati diri bangsa dan menjadi kebanggaan nasional kian terancam. Kondisi
tersebut menjadikan tuntutan dan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan
yang memegang peranan strategis dalam menciptakan daya tangkal dan penyiapan
pertahanan nilai serta pembentukan sikap mental anak bangsa yang berpegang
teguh kepada karakter moral bangsa.
Pertanyaanya
mampuhkan dunia pendidikan melakukan peranannya sebagai nakoda dalam membangun
perta-hanan
nilai-nilai moral bangsa? Mampuhkan dunia pendidikan untuk menyelamatkan anak
bangsa dari segala bentuk ancaman luar yang berpotensi merusak akhlaknya? Model
pendidikan seperti apa yang kiranya menjadi kenisca-yaan
untuk ditegakan agar karakter moral bangsa tidak tergerus oleh derasnya
tantangan global?
Lembaga
pendidikan, khususnya sekolah telah lama dianggap sebagai sebuah lembaga sosial
yang memiliki fokus terutama pada pengembangan intelektual dan moral bagi peserta
didiknya. Dua arah pengembangan ini diharapkan menjadi semacam idealisme bagi
para siswa agar mereka semakin mampu mengembangkan ketajaman intelektual dan
integritas diri sebagai pribadi yang
memiliki karakter kuat.
Berbagai
macam perilaku yang non-edukatif kini telah menyerambah dalam lembaga
pendidikan, seperti fenomena kekerasan, pelecehan seksual, korupsi dan
kesewenang-wenangan yang terjadi di kalangan sekolah. Tanpa pendidikan
karakter, sama artinya dengan membiarkan campur aduknya kejernihan pemahaman
akan nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya yang pada gilirannya
menghambat para peserta didik untuk dapat mengambil keputusan yang memiliki
landasan moral kuat. Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para peserta
didik tentang nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu
mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggung-jawabkan
dan sesuai dengan norma-norma agama.
Khoesoema
(2007) berpendapat bahwa pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi
integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga
menjadi personal yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif
secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu
sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan
keluar bagi sebuah proses perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada
menjadi alasan utama agar pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga
pendidikan.
Brook
and Goble (1997) menyatakan bahwa pendidikan karakter yang secara sistematis
diterapkan dalam pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar
berharga bagi seluruh komunitas. Para peserta didik mendapat-kan
keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu
meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia,
dan lebih produktif. Tugas-tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan
kepuasan ketika para peserta didik memiliki disiplin yang lebih besar di dalam
kelas. Orangtua bergembira ketika anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih
sopan, memiliki rasa hormat dan produktif. Para pengelola sekolah akan
menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral bagi peserta
didik maupun guru, demikian juga berkurangnya
tindakan vandalisme di dalam sekolah.
Memasuki
abad ke-21 banyak pendidik ingin menekankan kembali hadirnya kembali pendidikan
karakter, untuk mempromosikan nilai-nilai positif bagi anak-anak muda dalam
kaitannya dengan merebaknya prilaku kekerasan dalam masyarakat. Brooks dan
Goble mengindikasikan bahwa “…kejahatan dan
bentuk-bentuk lain prilaku tidak bertanggung jawab telah meningkat dengan
kecepatan yang sangat menghawa-tirkan dan
telah merembes menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah
menjadi proses reproduksi sosial. Masyarakat kita sedang berada dalam ancaman
tindakan kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng jalanan,
anak-anak kabur dari sekolah/bolos (truancy), kehamilan dikalangan
anak-anak muda, bisnis hitam (business fraud), korupsi pada politisi,
kehancuran dalam kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hormat pada orang lain,
dan memupusnya etika profesi.”
Pemikiran
lain, West, misalnya, melihat bahwa kemerosotan nilai-nilai moral yang ada
dalam diri anak-anak muda itu tidak hanya berlaku bagi kaum muda semata. West
menyatakan bahwa, “Kita hidup pada penghujung abad yang ditandai dengan brutalitas
dan kekejaman yang tidak berkesudahan, sebuah masa dimana lebih dari dua ratus
juta umat manusia telah dibunuh atas nama ideologi yang bersifat jagal (pernicious
ideology)”.
Pendidikan
karakter sesungguhnya bukan sekadar berurusan dengan proses pendidikan tunas
muda yang sedang mengenyam masa pembentukan di dalam sekolah, melainkan juga
bagi setiap individu di dalam lembaga pendidikan. Sebab pada dasarnya, untuk
menjadi individu yang bertanggung jawab di dalam masyarakat, setiap individu
harus mengembangkan berbagai macam potensi yang ada dalam dirinya, terutama
mengokohkan moral yang akan menjadi panduan bagi peraksis mereka di dalam
lembaga.
C.
Prospek Pendidikan Berbasis Karakter
Koesomea
(2007) berpendapat bahwa ada tiga alasan mengapa pendidikan karakter itu begitu
sulit diterapkan dalam kerangka kinerja pendidikan dewasa ini. Alasan pertama
adalah ketidak pahaman konseptual tentang apa yang disebut dengan
pendidikan karakter. Kedua, ketidak jelasan konseptual ini mengaki-batkan
di lokal yang mengatasnamakan pendidikan karakter tidak tepat sasaran dan tidak
integral. Ketiga, ketika diterapkan dalam kerangka lembaga kependidikan,
pendidikan karakter menga-lami persoalan
serius seputar tatacara evaluasi.
Berangkat
dari pendapat di atas, maka para nakoda pendidikan karakter di lingkungan
pendidikan setidaknya kedepan dihadapkan kepada beberapa pekerjaan rumah,
diantaranya adalah melakukan upaya peningkatan kompetensi para guru khususnya
sebagai garda terdepan dalam praktek pendidikan karakter prihal hakikat, metode
implementasi hingga strategi pengem-bangannya.
Membuat sebuah rencana strategis pengembangan pendidikan karakter untuk
dipraktekan di lingkungan satuan pendidkan. Mengembangkan ramuan pembelajaran,
dimulai dari rumusan tujuan, materi, metode, media dan sistem evaluasi yang
tepat terkait dengan implementasi pendidikan karakter di lingkungan satuan
pendidikan untuk semua jalur dan jenjang pendidikan.
Pendidikan
karakter merupakan bagian dari kinerja sebuah lembaga pendidikan yang
didalamnya terdapat berbagai macam keterlibatan individu dan tata aturan
kelembagaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter di sekolah dapat dipahami
melalui dua cara. Pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman
moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education).
Dalam
cara ini, pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagai-mana
menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri anak didik di sekolah. Nilai-nilai
ini bisa memiliki bobot moral atau tidak, seperti nilai yang sifatnya
individual personal antara lain tanggung jawab personal, kemurahan hati,
penghargaan diri, kejujuran, pengendalian diri, bela rasa, disiplin diri, daya
tahan, pemberian diri, percaya diri, integrtas, cinta, tepat waktu, berjiwa
pengampun, dan rasa terima kasih.
Demikian
juga dengan nilai-nilai yang sifatnya lebih sosial, kewarga-negaraan,
kerja sama, menghargai orang lain, toleransi, sportivitas, apresiasi, rasa
saling percaya, keadilan, pemecahan masalah atas perbedaan secara damai (peaceful
resolution of differences), dan kesediaan mendengarkan. Paradigma ini
menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai tertentu yang menjadi prioritas
kelembagaan yang ingin ditanamkan dalam diri anak didik sesuai dengan profil
lulusan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan tertentu.
Kedua, melihat pendidikan karak-ter
dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat
keseluruhan dalam peristiwa pendidikan itu sendiri (educational happenings).
Paradigma ini membahas secara khusus bagaimana nilai kebebasan itu tampil dalam
kerangka keputusan yang sifatnya tidak personal, melainkan juga kelem-bagaan,
dalam relasinya dengan unsur-unsur pendidikan dalam lingkungan sekolah dan
dalam kaitannya dengan lembaga lain, yaitu keluarga, instansi pemerintah, dan
masyarakat. Isu yang dibahas antara lain apakah lembaga pendidikan memiliki
kebebasan dalam menentukan kinerja pendidikan sesuai dengan visi dan misi yang
diyakininya.
Persoalan
seputar kebebasan dalam menentukan tujuan pendidikan merupakan persoalan yang
secara jelas memiliki kandungan nilai moral. Oleh karena itu, pandangan ini
lebih mempertanyakan apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia
pendidikan memang telah dijiwai nilai-nilai moral yang mengem-bangkan
kebebasan itu sendiri.
Paradigma
pertama mengacu pada praksis pendidikan karakter di tingkat sekolah. Corak
rasionalnya lebih mengarah pada relasi antara guru dan murid, staf sekolah dan
murid. Pendekatan ini secara spesifik memberikan prioritas atas nilai tertentu
yang ingin ditanamkan dalam diri anak didik. Pendidikan karakter dalam tingkat
ini sifatnya vertikal antara guru dan murid.
Sementara
itu, paradigma kedua lebih melihat apakah peristiwa-peristiwa dalam dunia
pendidikan, mulai dari penentuan visi dan misi pendidikan nasional, visi dan
misi sekolah, pengembangan kurikulum, rekruitmen guru, metode pengajaran
memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan
sehingga mereka makin bertumbuh sebagai manusia. Paradigma kedua ini lebih
menunjuk pada hubungan relasional yang sifatnya horizontal, sejajar, sejauh
orang-orang yang terlibat dalam pendidikan karakter berada dalam lingkup
keanggotaan sebuah lembaga tertentu, lembaga pendidikan, keluarga, negara, dan
masyarakat.
Dalam
konteks pendidikan di Indonesia, kemerosotan nilai-nilai moral telah menjadi
semacam lampu merah yang mendesak semua pihak, lembaga pendi-dikan,
orangtua, negara, dan lembaga kemasyarakatan lain untuk segera memandang
pentingnya sebuah sinergi bagi pengembangan pendidikan karakter. Dunia
pendidikan mengetahui kemende-sakkan perlunya
kembali pada pendidikan karakter di sekolah untuk membentuk watak dan
kepribadian siswa sehingga mereka menjadi manusia-manusia dewasa yang
bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat. Namun usaha ini pun hanya terjadi
secara tersebar tidak serentak. Selain itu, tampaknya ada ketidak-pahaman
tentang kepentingan pendidikan karakter yang coba digagas melalui pendekatan
Iman dan Takwa. Pendidikan karakter dengan demikian dikaitkan lebih dekat dengan
pelajaran agama yang praksis utamanya adalah mengenal dan melatih tata cara
peribadatan.
Dengan
cara memusatkan diri pada pola perilaku (traits), seperti rasa hormat,
pemeliharaan, tanggung jawab, kerenda-han
hati, dan jiwa demokratis, pendidikan karakter mampu mengubah iklim sekolah
menjadi lebih baik. Pendidikan karakter dalam konteks ini lebih dipahami
sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh sekolah, keluarga, dan
komunitas untuk membantu generasi mudanya dalam memahami, menumbuhkan dan melaksa-nakan
inti nilai-nilai moral. Pendidikan karakter memegang teguh nilai-nilai moral
sebagai modal dasar karakter yang baik. Dengan idealisme ini, sekolah dituntut
untuk memiliki komitmen utama menga-jarkan
nilai-nilai dasar pendidikan karak-ter
dalam diri para siswanya.
Demikian
juga dengan cara mengoreksi corak relasional kelembagaan dalam relasinya dengan
lembaga lain, kita semakin dapat memberikan ruang-ruang kebebasan dan otonomi
bagi pengem-bangan kinerja pendidikan itu sendiri. Situasi ini tidak akan
efektif jika kebija-kan pemerintah
dan kebijakan lembaga pendidikan itu sendiri dalam melaksa-nakan
visi dan misinya sangat opresif, menindan dan tertutup. Nilai kebebasan
semestinya menjiwai seluruh derap kebijakan dalam dunia pendidikan. Sebab tanpa
kebebasan, pendidikan karakter di tingkat sekolah akan menjadi mandul dan
superfisial belaka.
D.
Pendidikan Karakter sebagai
Pendidikan Akhlak
Pendidikan karakter dapat
dimaknai sebagai proses penanaman nilai-nilai esensial pada diri anak melalui
serang-kaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga
para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan
nilai-nilai yang menjadi core values
dalam pendidikan yang dijalaninya kedalam kepribadiannya.
Dengan
menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses
pembentukan individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari
pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pembentukan
akhlak, dan pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur
keteladanan dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses
pertumbuhan, berupa kenyamanan dan keamanan yang mem-bantu
suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis,
intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).
Pendidikan
karakter dapat dimak-nai sebagai sebuah
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputu-san
dengan bijak dan memperaktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Adapun nilai
yang layak diajarkan kepada anak-anak, dirangkum Indonesia Heritage Fondation (IHF) yang digagas oleh Ratna
Megawangi menjadi sembilan pilar karakter, yaitu ;
1.
Cinta Tuhan dan
Segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust,
reverence, loyalty)
2.
Kemandirian dan Tanggug Jawab (responsibility,
excellence, self reliance, Discipline, orderliness)
3.
Kejujuran dan Amanah, Bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)
4.
Hormat dan Santun (respect, courtesy,
obedience)
5.
Dermawan, suka menolong dan Gotong Royong (love, compassion, caring, Empathy, generousity, moderation,
cooperation)
6.
Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity,
Determination, and enthusiasm)
7.
Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8.
Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humality, modesty)
9.
Toleransi dan Kedamaian dan kesatuan (tolerance, flexibility,
peacefulness)
Berdasarkan
gambaran hakikat pendi-dikan karakter
di atas, maka tampak bahwa pendidikan karakter sesungguhnya berfokus kepada
serangkaian upaya dalam rangka membentuk dan memelihara akhlak peserta didik.
Pendidikan akhlak merupakan inti dari semua jenis pendi-dikan
karena ia mengarahkan pada tercip-tanya
perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam
arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya. Dengan demikian, pendekatan
pendidikan akhlak bukan monolitik dalam pengertian harus menjadi nama bagi
suatu mata pelajaran atau lembaga, melainkan terintegrasi ke dalam berbagai
mata pelajaran atau lembaga.
Berbeda
dengan pendidikan secara umum, pendidikan akhlak terbagi kedalam dua aliran:
rasional dan mistik. Dalam Islam, kedua aliran ini berangkat dari sumber yang sama, yaitu ajaran
Islam. Akan tetapi keduanya terdapat perbedaan filosofis dalam memahami dan menerap-kan ajaran Islam. Perbedaan tersebut pada
dasarnya berpulang pada perbedaan teologi.
Sistem teologi yang memberi peran besar terhadap
kemampuan akal lebih cenderung kepada pemikiran akhlak rasional, sementara sistem teologi yang kurang memberi peran besar
terhadap kemampuan akal manusia lebih cenderung untuk berteologi tradisional
dan selanjut-nya mempunyai kecendrungan kepada pemikiran akhlak mistik pemikiran akhlak yang memberi peran besar bagi kekuatan
akal cenderung memberi kebebasan terha-dap manusia untuk berbuat menentukan
dirinya sendiri secara lebih dibandingkan dengan pemikiran akhlak yang memberi peran kecil bagi kekuatan akal.
Dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang lebih
otonom dibandingkan pada pemikiran akhlak tradisional. Pemikiran akhlak tradisional ebih cenderung menganggap manusia sebagi mahluk yang heteronom.
Penggolongan manusia pada mahluk otonom dan hetoronom
didasarkan atas pandangan mengenai kebebasan dan kekuasaanya. Pendapat yang
mengatakan bahwa manusia mempuyai kebebasan dan kekuatan berbuat dalam
menentukan dirinya sendiri, menggolongkan manusia sebagai mahluk otonom
sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa
manusia kurang memiliki kebebasan dan kekuasaan berbuat untuk menentukan diri
sendiri cenderung memasukan mausia sebagai mahluk hetoronom.
Konsekuensi pada pendidikan akhlak rasional memberikan
dorongan kuat bagi terciptannya manusia dinamis. Adapun konsekuensi yang diperoleh
dari pendidikan akhlak mistik kurang membe-rikan dorongan kuat bagi terciptanya
manusia yang dinamis. Ibnu Miskawaih (2003:114-139) dalam bukunya
Filsafat Akhlak memberikan konsepsi tentang pendidikan akhlak sebagai berikut:
1.
Landasan
Sesuatu
yang dijadikan landasan bagi Ibnu Miskawaih untuk mengemukakan
pemikiran-pemikiran adalah al-Qur’an dan
hadis dilengkapi dengan beberapa pemikiran filosof Yunani, Persia,India.
Sastrawan Arab, dan pata filosof Muslim.
2.
Tujuan
Tujuan
pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin
yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai
baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-sa’adat).
Dengan alasan ini, maka Ahmad’AbdAl-Hamid Al-Sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa
menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof yang bermazhab al-sa’adat di
bidang akhlak. Al-sa’adat memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi
hidup manussia dan sekaligus bagi pendidikan akhlak makna al-sa’adat- seperti
yang dinyatakan oleh M. Abdul haq
Ansari- tidak mungkin dicari padanan-katanya dalam bahas Inggris. Walaupun
secara umum diartikan sebagai happiness. Menurutnya, al-sa’adat merupakan
konsep komprehesif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness),
kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection),
kesenangan (blessedness), dan kebangusan/kecantikan (beautitude).
3.
Materi
Ibn
Miskawaih menyebut tiga hal pokok yang dapat dipahami sebagai materi pendidikan
akhlaknya:1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh, 2) hal-hal yang wajib
bagi jiwa, dan 3) hal-hal yang wajib bagi hubugnannya dengan sesama manusia.
Berbeda dengan Al Ghazali, Ibn Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi
dalam ilmu agama dan bukan ilmu agama, dan hukum mempelajarinya.
4.
Pendidik dan Anak Didik
Menurut
Ibn Miskawaih orang tua merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya.
Materi utama yang perlu di jadikan acuan pendidikin dari orang tua kepada
anaknya adalah syari’at. Ibn Miskawaih berpendapat bahwa, penerimaan secara
taklid bagi anak-anak untuk mematuhi syariat tidak memjadi persoalan. Dasar
pertimbangannya adalah karena semakin lama anak-anak akan mengetahui penjelasan
atau alasannya, dan akhirnya mereka tetap memelihara hal itu untuk mencapai ke
utamaan.
Guru
berfungsi sebagai orang tua atau bapak ruhani, tuan manusiawi atau orang yang
dimuliakan, dan kebaikan yang akan diberikan adalah kebaikan Illahi., karena ia
membawa anak didik kepada ke arifan mengisinya dengan kebijakan yang tinggi dan
menunjukan kepada mereka kehidupan abadi dan dalam kenikmatan yang abadi pula.
Kecintaan anak didik murid disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba
terhadap tuhannya.
5.
Metodologi Pendidikan Akhlak
a.
Perubahan Akhlak
Untuk
mengetahui konsep Ibn Miskawaih tentang metode perbaikan akhlak, sebelumnya perlu
di ketahui pendapatnya tentang perubahan akhlak. Menurutnya bahwa akhlak itu
ada dua macam, yakni 1) ada yang thabi’i atau alami dibawa sejak lahir,
dan 2) ada yang dihasilkan melalui latihan dan kebiasaan.
Lebih
lanjut, ibn Miskawaih mengungkapkan bahwa akhlak merupakan urusan manusia
sendiri. Artinya, baik buruk, terpuji atau tercelanya ahklak seseorang
tergantung kepada seseorang itu sendiri. Dari sisilain, dapat juga dikatakan
bahwa Ibn Miskawaih tidak mengakui adanya pengaruh keturunan dalam akhlak
manusia dengan kata lain, akhlak sese-orang
menerima perubahan karena ia merupakan masalah yang di usahakan. Perubahan
akhlak manusia ada peruba-hannya
cepat dan ada pula yang lambat.
Kalau
yang dimaksud tabi’i dalam pengertian ”ada orang perubahan akhlak-nya
cepat dan adapula yang lambat”, barang kali Ibn
Miskawaih dapat menerimanya. Akan tetapi akan tabi’i diartikan sebagai
tidak dapat mengalami perubahan atau tidak dapat diubah, kemungkinan besar Ibn
Miskawaih tidak dapat menerinanya. Karena itu, menurut Miskawaih akhlak dapat
diubah.
b.
Perbaikan Akhlak
Metode
perbaikan akhlak dapat diberi dua pengertian pertama metode mencapai
akhlak yang baik, kedua metode memperbaiki akhlak yang buruk. Walau-pun
demikian, pembahasannya disatukan karena antara satu dengan lainya saling
melengkapi dan tidak dapat dipisahkan.
Ada
beberapa metode yang dimajukan Ibn Miskawaih dalam menca-pai
akhlak yang baik sebagai berikut:
Pertama adaya kemauan yang sungguh untuk berlatih terus menerus dan
menahan diri untuk memperoleh keuta-maan
dan sopan santun yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini
terutama diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan al-ghadadiyat. Karena kedua
jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dam menahan diri
dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan atau minum yang membawa
kerusakan tubuh atau dengan melakukan puasa mengerjakan shalat yang lama, atau
melakukan sebagian pekerjaan baik yang didalamnya ada unsur melelahkan
Kedua,menjadikan semua pengeta-huan
dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi
dirinya. Agaknya pengeta-huan yang
dimaksud disini agar di ketahui hukum-hukum akhlak yang berlaku tetap bagi
sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang
tidak hanyut kedalam perbuatan yang tidak baik karena bercermin dari ketidak
baikan orang lain
Ketiga, intropeksi/mawas diri. Metode ini mengandung pengertian kesa-daran
seseorang untuk berusaha mencari cacat/aib pribadi secara sungguh-sungguh.
Keempat, Metode oposisi. Paling kurang ada dua langkah yang perlu
dilakukan untuk metode ini, pertama mengetahui jenis penyakit dan
sebabanya, dan kedua mengobati/menghapus penyakit tersebut dengan
menghadirkan lawan-lawannya. Penyebab akhlak yang buruk harus dilawan dengan
ilmu dan amal. Melawan keburukan dengan ilmu disebut sebagai pengobatan
teoritis, sedangkan pengobatan dengan amal merupakan pengobatan secara praktis.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat ditarik benang merahnya bahwa pendidikan karakter sesungguhnya adalah
pendidikan yang berfokus kepada serang-kaian
upaya pembentukan akhlak peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan karak-ter merupakan
pendidikan akhlak. Pendi-dikan akhlak
merupakan upaya sadar dan terencana yang dihubungkan dengan bagaimana peserta
didik mampu berkomunikasi secara vertikal dengan Allah, dengan dirinya sendiri
dan dengan lingkungannya.
Pasar
bebas dengan segala program
turunan dan dampak pengiring yang menyertainya hanya akan mampu dihadapi dengan
pendidikan yang berbasis kepada pembentukan karakter dengan akhlak sebagai
kompetensi utama. Dari mana dimulainya
pendidikan karakter/ pendidikan
akhlak tersebut? Megawangi
(2004:63) berpendapat bahwa pendidikan karakter dimulai dari rumah sehingga
diperlukan kerjasama dengan orang tua murid. Sedangkan lingkungan masyarakat
akan menentukan efektifitas proses pendidikan karakter yang dikembangkan di
sekolah. Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara
diperlukan sinergitas dari tripusat pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Dalam
konteks pendidikan karakter di persekolahan Lickona dalam Megawangi (2004) menegaskan bahwa terdapat 11 faktor yang
menentukan kesuksesan pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut:
a.
Pendidikan karakter harus mengan-dung
nilai-nilai yang dapat memben-tuk good character.
b.
Karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang termasuk aspek thinking, feeling, and action.
c.
Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang
komprehensif dan terfokus dari aspek guru sebagai role model, disiplin sekolah, kurikulum dan sebagainya.
d.
Sekolah harus jadi model masyarakat yang damai dan harmonis.
e.
Para murid memerlukan kesempatan untuk mempraktekannya.
f.
Harus mengikutsertakan kurikulum yang berarti bagi kehidupan anak.
g.
Harus membangkitkan motivasi internal dari diri anak.
h.
Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter
i.
Memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai pihak
j.
Sekolah harus bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya.
k.
Harus ada evaluasi berkala mengenai keberhasilan pendidikan
karakter di sekolah.
Terkait
dengan proses implemen-tasi pendidikan
karakter yang dalam hal ini penulis memaknainya sebagai pendidi-kan
akhlak, Lickona dalam Megawangi (2004) mengemukakan bahwa proses pendidikan
karakter menekankan kepada tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yakni moral knowing, moral feeling dan moral
action.
E.
Pendidikan
Agama bagi Pemben-tukan
Karakter
Mungkin salah satu perbedaan paling hangat yang menjadi
kalangan pendidik di negeri kita adalah
persoalan seputar peranan pendidikan agama bagi pemben-tukan
karakter siswa. Negara kita mengakui keesaan Tuhan. Ini menjadi salah satu sila
dalam Pancasila yang mesti dihayati dan dihidupi oleh setiap warga negara. Oleh
karena itu, perlulah kita melihat secara lebih mendalam persoalan seputar
pendidikan agama ini bagi pembentukan karakter siswa di sekolah.
Salah
satu pemikiran pendidikan karakter
kontenporer, Thomas Liskona misalnya, memiliki pandangan bahwa pendidikan
karakter dan pendidikan agama semestinya dipisahkan dan tidak dicampuradukan.
Bagi dia, nilai-nilai yang berkaitan dengan pendidikan karakter merupakan
nilai-nilai dasar yang harus dihayati sebuah masyarakat sibuk dan mau bekerja
sama secara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap
yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan senasib sepenanggungan (compassion),
pecahnya konflik secara damai, merupakan nilai-nilai yang semestinya
diutamakan dalam bidang karakter. Bagi dia, agama bukanlah urusan sekolah
negeri (public school).
Pendidikan
karakter tidak ada urusan dengan ibadah dan doa-doa yang dilakukan di dalam
lingkungan sekolah, atau promosi anti aborsi oleh kalangan agama tertentu, atau
menerapkan ajaran-ajaran konservatif atau liberal dalam diri anak didik. Ia
membedakan secara tegas antara pendidikan agama dan pendidikan karakter. Bagi
dia, agama memiliki pola hubungan vertikal antara seorang pribadi dengan
keilahian individu dengan Yang ilahi/Allah); sedangkan pola pendidikan karakter
adalah horizontal antara manusia di dalam masyarakat (individu dengan individu
lain). Oleh karena itu, pendidikan karakter berurusan dengan pengajaran
nilai-nilai dasar yang sercara virtual dapat diterima oleh semua masyarakat
yang beradab, tak peduli di mana dan kapan. Nilai-nilai ini semestinya
mengatasi nilai-nilai keyakinan agama apa pun.
Benarkah
pendidikan karakter hanya berurusan dengan relasi antarindividu di dalam
masyarakat, sedangkan pendidikan agama terutama berkaitan dengan relasi antar
individu dan Allah atau keilahian yang diyakini oleh individu? Dalam konteks
kehidupan bermasyarakat di Indonesia, pemisahan teoritis antara pendidikan
agama dan pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan patutlah dipertanyakan
kesahihannya. Sebab, jika pemisaham itu terjadi, dasar kihidupan bernegara kita
akan timpang. Paling tidak ada dua alasan mengapa argumentasi Lickoma kurang
tepat. Pertama, mengatakan bahwa kehidupan yang religius seseorang
merupakan urusan pribadi antar individu itu dan Tuhannya, merupakan sebuah
pemahaman tentang kehidupan agama cecara keliru kalau tidak dikatakan distorsi.
Kedua, mengatakan bahwa pendidikan karakter merupakan relasi antar
individu di dalam masyarakat akan menciptakan corak relasi antar pribadi yang
semu.
Meredusir
pendidikan karakter menjadi pendidikan agama akan membahayakan taanan kehidupan
beragama di dalam masyarakat. Sebab, lembaga pendidikan hanya akan menghasilkan
manusia-manusia yang berdoa tapi tidak mampu bekerja sama dengan orang lain
dalam membangun kehidupan bersama. Sebaliknya, kehidupan bermasyarakat tidak
akan setabil dan autentik ketika pendidikan karakter tidak memberikan tempat
bagi rasa hormat antarindividu, terutama rasa hormat atas keyakinan keagamaan
yang mereka miliki. Oleh karena itu, pendidikan agama bersifat suportif atas
pendidikan karakter, demikian juga sebaliknya, pendidikan karakter semestinya
bersifat suportif atas pendidikan agama.
Tujuan
pendidikan karakter yang terutama adalah untuk membentuk warga negara yang
bermoral dan terbuka pada kerjasama dengan orang lain. Pendidikan karakter
semestinya mengutamakan nilai-nilai yang membantu menciptakan dan menyatukan
lingkungan kehidupan sosial bersama yang stabil. Untuk inilah gagas tentang overlapping
consensus John Rawis bisa menjadi bantuan bagi pengembangan pendidikan karakter
di sekolah.
John
Rawis melihat bahwa masyarakat yang plural tidak dapat diatur dan ditata
melalui prinsip-prinsip dari agama tertentu. Sebab, meskipun prinsip agama itu
menjadi jangkauan yang lebih mendalam dan fundamental, prinsip itu tidak dapat
dipakai secara efektif bagi kehidupan bersama. Kehidupan bersama hanya bisa
diatur secara stabil ketika setiap orang memiliki kehendak baik dan kemauan
untuk bekerja sama dengan yang lain demi tujuan bersama. Untuk itu, tidak
perlulah seseorang itu melepaskan keyakinan agamanya. Keyakinan agama ini tetap
dapat dimiliki dalam konteks kehidupan bersama dalam masyarakat. Namun, dalam
kehidupan bersama ini perlulah dicari prinsip-prinsip kerja sama yang mengatasi
keyakinan agama tertentu. Prinsip ini tentulah bukan yang mengatasi semua keyakinan
agama, bisa jadi jika dilihat cakupannya, prinsip kerja sama ini memiliki ruang
lingkup lebih kecil, yaitu hanya prinsip-prinsip politik bagi kerja sama secara
adil, dalam masyarakat plural.
Untuk
itulah, Rawis melihat bahwa kehidupan politis merupakan titik pijak di mana
masyarakat yang plural itu membangun kebersamaan. Overlapping consensus dalam
hal ini menjadi semacam kesepakatan bersama yang menjadi rambu-rambu bagi
keberlangsungan hidup bersama dalam masyarakat. Jadi, overlapping consensus ini
merupakan semacam titik temu bagi berbagai pendekatan dan keyakinan.
Kesepakatan ini terwujud dalam suatu proses politik yang adil yang menjaga
nilai-nilai keagamaan. Jika perbedaan kebijakan politik itu harus terjadi,
perbedaan itu boleh dilakukan hanya untuk membela kepentingan mereka yang lebih
lemah, tidak berdaya, dan paling tidak diuntungkan dalam masyarakat.
Nilai-nilai kebersamaan dan tanggung jawab bersama atas kehidupan bersama
inilah yang semestinyadikembangkan dalam pembentukan karakter siswa di sekolah.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan agar pemerintah mengu-sahakan
dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter di
Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pentingnya pendidikan keimanan dan
ketakwaan ini. Sebaiknya,
pendidikan karakter di sekolah sebaiknya meningkatkan iman kepercaya-an
seseorang, membuatnya menjadi masyarakat pendo’a, sekaligus menjadi-kan
manusia Indonesia seutuhnya, mampu berbakti, berjuang, dan bekerja sama demi
kepentingan masyarakat dan bangsa. Manusia seperti inilah yang mampu
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Nilai-nilai
agama dan nilai-nilai demokrasi bukanlah suatu hal yang harus dipertentangkan.
Jika kita paham secara lebih utuh dan integral, nilai-nilai ini memberikan
sumbangan yang efektif bagi sebuah penciptaan yang stabil dan mampu bekerja
sama dalam mencapai tujuan bersama. Inilah sesungguhnya yang menjadi semangat
yang terkandung dalam pasal-pasal Pancasila. Oleh karena itu, pendidikan agama
merupakan dukungan dasar tak tergantikan bagi keutuhan pendidikan karakter di
sekolah.
SIMPULAN
Tantangan pendidikan Islam dalam menghadapi
perdagangan bebas itu nampak di depan mata seperti: Masalah
kesatuan bangsa; Demokratisasi pendidikan, Disentralisasi manajemen pendidikan; dan
Kualitas pendidikan akan mudah dijinakkan apabila pendidikan nilai-nilai
karakter senantiasa dijalankan dalam proses pembelajaran.
Pendidikan
karakter sesungguhnya bagi setiap individu di dalam lembaga pendidikan. Sebab
untuk menjadikan individu yang bertanggung jawab di masyarakat, setiap individu
harus mengembangkan berbagai macam potensi dirinya, terutama mengokohkan moral
yang akan menjadi panduan bagi peraksis mereka di dalam lembaga.
Terdapat beberapa nilai karakter minimalnya yang harus
tertanam dalam diri manusia yaitu cinta
Tuhan
dan segenap
Ciptaan-Nya; Kemandirian dan tanggug jawab;
Kejujuran dan amanah, bijaksana; Hormat
dan santun;
Dermawan; Suka
menolong;
Gotong royong; Percaya diri,
kreatif,
dan pekerja
keras;
Kepemimpinan dan keadilan; Baik dan rendah hati; dan Toleransi dan kedamaian dan
kesatuan.
Referensi:
Arsyad, S.A. (2010). Character
Education, Disajikan Pada Sarsehan Nasional Pendidikan Karakter, Dikti
Kementerian Pendidikan Nasional di Hotel Murcure Pontianak, Tanggal 17 April
2010.
Aunurrahman. (2009). Eksistensi dan Arah Pendidikan Nilai. Pontianak:
STAIN Pontianak Press.
Ayu S. Sadewo. (2009). Mudahnya Mendidik Anak Beda Kalakter dan
Bakat, Beda Perlakukan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Aziz Hamka Abdul. (2011). Pendidikan
Karater berpusat pada Hati. Jakarta: Almawardi Prima.
Bruce Joyce, Marsha Weil, at all. (2009). Models of Teaching
Model-Model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djahiri Kosasih. (1995). Dasar-Dasar Umum Metodologi dan
Pengajaran Nilai-Moral PVCT. Bandung; Lab PMPKN FPIPS UPI Bandung
Frondizi Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta;
Pustaka Pelajar
Keosoema, Doni. (2009). Pendidikan
Karakter. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni (2007). Pendidikan
Karakter, strategi mendidik anak di zaman gobal. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni. (2009). Pendidikan
Karakter di zaman keblinger. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni. (2010). Pendidikan Karakter Integral. Kompas, 11
Februari 2010
Komalasari Kokom. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan
Aplikasi. Bandung: Refika Aditama.
Megawangi Ratna. (2004). Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat
untuk Membangun Bangsa. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Mulyana Rahmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung; Alfabeta.
Mulyo, Karso. (2009).
Membangun Karakter Bangsa melalui Pembelajaran kontektual. Tersedia, online:
http//mitrawacanawrc.com
Munir Abdullah. (2010). Pendidikan Kalakter. Yogyakarta:
Pedagogia.
Nata Abuddin, dkk. (2002). Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum.
Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Najib Sulhan. (2010). Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya:
Jape Press Media Utama (Jawa Pos Grup).
Phenix, P.H. (1964). Realism of Meaning. New York San
Fransisco: Toronto, London: McGraw-Hill Book Company.
Q-Anees Bambang, Hambali Adang. (2008). Pendidikan Kalakter Berbasis Al-Quran. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Supriyatno,
Triyo (2009). Pendidikan Karakter di Sekolah. Tersedia, online, http://kahmiuin.
Blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.