I.
Pendahuluan
Sepanjang
sejarah perjalanan perkembangan pendidikan di dunia Islam, peradaban Islam
pernah mencapai puncaknya ketika masa kekhalifahan Abbasyah yang dikenal dengan
the golden age of Islam. Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting, bahkan
paling penting dalam mengembangkan peradaban. Pendidikan Islam tidak akan
sempurna meresap dalam sanubari jika tidak disertakan didikan yang baik pada
seluruh generasi.
Pendidikan
Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah[1]. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge"
ataupun "transfer of training", ....tetapi lebih merupakan
suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem
yang terkait secara langsung dengan Tuhan[2]. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja
perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Secara umum, pendidikan Islam adalah
upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan
potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan
keterampilan hidup (life-skill).
Akan tetapi, walaupun telah dilakukan usaha-usaha
pembaharuan pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja
dihadapkan pada beberapa problema. Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan
sebagai sumber otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi
tujuan merumuskan panduan/petunjuk kehidupan dunia. Lebih-lebih ketika
dihadapkan pada arus deras globalisasi yang meskipun terbuka peluang namun
sarat dengan berbagai tantangan yang memerlukan upaya dan konsentrasi maksimal
untuk mampun menciptakan pendidikan bersaing di ruang global.
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu
berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau
pendidikan harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila
pendidikan tidak didisain mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan
ketinggalan dengan lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan
pendidikan pada diagram di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut; Pendidikan
dari masyarakat, didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat.
Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris, pendidikan didisain relevan dengan
irama perkembangan peradaban masyarakat agraris dan kebutuhan masyarakat pada
era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat industrial dan informasi,
pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan masyarakat pada era
industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus perkembangan perubahan
pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari perubahan zaman yang
begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan dengan perubahan
zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada konsep, materi dan
kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan
Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan
demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat
modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu disain
paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata
filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi
dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan
memenuhi kegagalan"[3].
Berikut adalah analisa Sa’id
Ismail Ali dalam buku Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah dalam pasal ke
Tujuh: Musykilat al-Hadlir wa Thumuhat al-Mustaqbal.
II. Analisis Konten
Perhelatan
pendapat dalam bidang peradaban Islam mulai terjadi semenjak perdaban Islam
terkontaminasi oleh pengaruh peradaban Barat, hal itu terjadi ketika terjadi
perang Perancis di tahun 1798.
Pengaruh
yang terjadi adalah bahwa fokus perhatian ilmu saat itu tertuju pada studi
humaniora dan ilmu sosial, serta sangat mengabaikan ilmu-ilmu praktis, bahkan
muncul stigma saat itu bahwa untuk mempelajari ilmu-ilmu praktis cukup dengan
mengucurkan dana untuk sebagian orang. Beruntung dua orang tokoh yaitu Rifaat
Attohtowi dan Ali Mubarok dapat memberi gagasan segar pada dunia pendidikan dan
gagasan ini menjadi model dan pionir bagi dunia pendidikan. Namun sayang
pemikiran tentang pendidikan yang digagas oleh dua tokoh ini tidak tertulis
pada lembaran-lembaran buku karena dianggap bahwa pendidikan adalah seni semata
yang bisa berubah sesuai dengan perkembahan zaman.Fakta ini terlhat pada
institusi Dar ulum ketika didirikan di Mesir pada tahun 1872 oleh Tohtowi dan Ali Mubarak.
Setelah
delapan tahun berdirinya Dar Ulum yaitu pada tahun 1880 didirikan institusi
khusus keguruan namun instutusi ini mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat dan
melupakan konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Tohtowi dan Ali Mubarak.
Pengaruh
pemikiran Barat pada pada konsep pendidikan Islam disebabkan oleh faktor-faktor
berikut :
1. Kedatangan para diplomat asing yang
membawa pemikiran-pemikiran Barat
2. Pemikir-pemikir Islam dari kalangan
Ikhwanul muslimin banyak dipenjara
3. Banyak bangsa Arab yang mempraktekkan
ketentuan hukum Barat
Selain
faktor-faktor di atas, penyebab lain dari kurangnya konsep pendidikan Islam dikarenakan:
1. Banyak konseptor pendidikan yang
menjadikan aqidah sebagai landasan pendidikan, namun mereke awan akan
dasar-dasar pendidikan.
2. terdapat banyak buku yang menjadikann
aqidah sebagai dasar-dasar pendidikan, namun pengarang buku tersebut awam akan
peradaban Islam dan ilmu bahasa Arab, seperti tergambarkan dalam kondisi:
a. Tidak bisa membedakan definisi-definisi
yang ada pada nomenklatur pendidikan, seperti: Pendidikan Islam, pendidikan
agama, pengajaran Islam, pengajaran muslim, pengajaran menurut orang Islam,
pengajaran keagamaan, dll.
b. Ketidaktepatan menentukan definisi di
atas, maka ada yang menganggap umpanya pendidikan menurut ibnu Kholdun sebagai
pendidikan Islam, padahal pendidikan Islam rujukannya adalah Al-Qur’an dan
Hadits bukan pemikiran Ibnu Kholdun.
c. Karena banyak pelaku pendidikan yang
tidak dapat membedakan definisi-definisi yang ada pada nomenklatur pendidikan
Islam maka, merka menganggap bahwa sejarah Islam sebagai landasan pendidikan
Islam, atau filsafat pendidikan Islam sebagai landasan pendidikan Islam padahal
hanya dua sumber dari pendidikan Islam yaitu Al-Qur’an dan hadits.Namun
mayoritas praktisi banyak pendidikan menjadikan dua landasan yaitu landasan
sejarah dan filosis, bukan Al-Qur’an dan hadits.
A. Tantangan Pendidikan Islam
Pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi
bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan potensi bawaan
seperti potensi ilahiyah, potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab,
potensi kecerdasan, potensi fisik. Dengan potensi ini manusia mampu berkembang
secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain
atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim mampu menjadi khalifah
dan Abdullah.
Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan
global bukan persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam
harus memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam
dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karakter berbasis lokal. Upaya untuk
membangun pendidikan Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan
langkah-langkah yang terencana dan strategis dengan menangkap peluang dan
bersiaga mengahadapi tantangan masa depan.
Tantangan yang akan dihadapi oleh pendidikan
Islam pada masa yang akan datang, menurut Sa’id Ismail Ali, bahwa umat Islam:
1. Kurang mampu menyeleksi informasi dan
teori-teori mana yang maslahat untuk diaplikasi dan mana pula yang tidak.
2. Gaya hidup hedonis, konsumtif dan
fantatif akibat pengaruh era globaliosasi dan era informasi.
3. Berkiblat dan berbarometer kepada Negara
maju secara fisikly padahal terbelakang pada aspek peradaban dan akhlak.
Disamping ketiga tantangan tersebut,
terdapat tujuh tantangan lainnya[4],
yaitu:
1. Mengurangi kesenjangan dalam pemerataan
pendidikan, kemiskinan, marginalisasi dan eksklusivitas pendidikan.
2. Mengukuhkan hubungan yang lebih baik
antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal), dan antara pendidikan dengan
dunia kerja yang mengglobal.
3. Mencegah berkembangnya peran dari riset
dan pendidikan yang dikendali-kan oleh pasar dan melebarnya kesenjangan teknologi
dan ilmu pengeta-huan di antara Negara industry dan Negara berkembang.
4. Menjamin bahwa persyaratan riset Negara
berkembang menerima perhatian dan ditunjukkan oleh ilmuwan dan sarjananya.
5. Mengurangi dampak negatif dari brain
drain dari Negara miskin ke Negara kaya, dan dari wilayah tertinggal ke
wilayah maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal.
6. Mengarahkan dampak dari prinsip-prinsip
pemasaran dan perubahan peran dari Negara terhadap pendidikan dan membantu
perencanaan dan manajemen pendidikan.
7. Menggunakan sistem pendidikan tidak
hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan secara umum, tetapi melestarikan
berbagai nwarisan budaya dunia, bahasa seni, gaya hidup di dunia yang semakin
menjadi homogen.
Tantangan-tantangan tersebut bila disadari
merupakan signal peluang yang menuntut para praktisi pendidikan untuk membuat
formula, design, konsep, dan strategi pendidikan menjadi bersaing dalam
ruang global yang meliputi tiga dimensi, yaitu ekonomi, politik, dan budaya. Ekonomi,
terkait dengan produksi, pertukaran distribusi, dan konsumsi barang dan jasa;
politik, terkait dengan distribusi, kekuasaan, pusat kbijakan pengembangan dan
lembaga kekuasaan berikut pengawasannya; budaya, terkait dengan social
produksi, pertukaran, dan ungkapan bahasa isyarat dan simbol, arti, kepercayaan
dan kesukaan, rasa dan nilai[5].
Semua persoalan
fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern, menjadi pemicu munculnya
kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian tidak cukup
diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu jawaban yang bersifat
transendental[6].
Melihat persoalam ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki
kandungan spritual keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut.
Fritjop Capra dalam buku The Turning Point, yang dikutip A.Malik Padjar[7], "mengajak untuk
meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan
mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, agama pada akhirnya
dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara
mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat
modern".
Mencermati fenomena
peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus bersikap arif dalam merespons
fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern dari
sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur posetifnya
yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang
perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudah manusia
atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan,
mengatur, dan memanfaatkan produk perabadaban modern tersebut secara maksimal.
B. Barometer Keabsahan Pendidikan Islam
Banyak seminar
yang mendiskusikan masalah pendidikan Islam, namun yang dijadikan feferensi
dalam seminar-seminar itu adalah teori-teori atau filsafat-filsafat para ahli
pendidikan seperti Al-kindi, Alfarobi, Ibnu Sina.Dalam teori mereka dinyatakan
bahwa kurikulum pendidikan yang baik adalah pendidikan yang begini dan begitu,
metode pendidikan yang baik adalah yang begini dan begitu, subjek materi yang
baik adalah yang begini dan begitu, sekolah yang baik adalah sekolah yang
begini dan begitu, tanpa disadari oleh peserta seminar bahwa teori dan filsafat
yang mereka kemukakan tadi banyak terpengaruh oleh pemikiran Yunani yang kadang
bersebrangan dengan dasar utama pendidikan Islam, yaitu al-Qur’an dan sunnah
Nabi.
Semestinya
mereka mempunyai prinsip bahwa, “seseorang itu dianggap ada karena kebenarannya,
dan bukan karena seseorang kebenaran itu ada”, dan barometer kebenaran yang
hakiki itu adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Al-Qur’an dan Sunnah gagal ditempatkan sebagai sumber
otentik pengembangan pemikiran teoritis atau pun praktis bagi tujuan merumuskan
panduan/petunjuk kehidupan dunia. Kematian al-Qur’an dan Sunnah yang
hanya menjadi sebuah narasi wahyu yang beku tersebut mempunyai implikasi yang
luar biasa dalam dunia pendidikan yang di kalangan pemeluknya dikenal dengan
“Pendidikan Islam”. Hingga hari ini, dunia pendidikan dan gerakan-gerakan Islam
dalam berbagai ragam konsentrasi dan aliran pemahaman sulit menumbuhkan tradisi
intelektual kritis sebagai etika dasar penafsiran terhadap kedua sumber teks utama
Islam yang seharusnya terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui
bagaimana pemecahan problem-problem pendidikan Islam tersebut, maka usaha-usaha
pembaharuan pendidikan Islam lewat pemikiran yang mendalam perlu dilakukan dan
menjadi sangat penting.
C. Pendidikan
Islam dan Pendidikan Prespektif Muslim
1. Pendidikan
Islam adalah entitas dari berbagai pemikiran, nilai, metode, tujuan dan
orientasi yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan
semua aspek kehidupan manusia.
2. Pendidikan
Islam Prespektif Muslim, di bagi menjadi dua cabang:
a. Pendidikan
Muslim
Pendidikan
muslim adalah sejumlah pembinaan karakter yang diorientasikan untuk orang-orang
Islam.Dari konsep ini maka konsep sifat pembinaan itu akan bersifat relative sesuai
dengan lokos dan tempusnya.
b. Pemikiran
Pendidikan Islam
Pemikiran
pendidikan Islam adalah sejumlah pendapat, pemikiran, teori ahli fikih,
filsafat, intelektual muslim yang berkaitan langsung dengan masalah-maslah dan problematika pendidikan.
Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi,
pendidikan Islam terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul Allah di
Mekkah dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto
type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan
pendidikan pada zamannya. Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulullah
setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada Allah,
sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatstsir (74) ayat 1-7.
Menyeru berarti mengajak, dan mengajak berarti mendidik[8].
Di dalam khazanah pemikiran pendidikan
Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa arab, terdapat berbagai istilah
yang dipergunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “pendidikan
Islam” dan sekaligus diterapkan dalm konteks yang berbeda-beda[9].
Pendiidikan Islam menurut Langgulung, setidak-tidaknya tercakup dalam delapan
pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim
al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan),
al-ta’lim al-islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan
orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al- islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah
‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah
al-Islamiyah (pendidikan Islami)[10].
Bagi An-Nahlawi[11],
Istilah tarbiyah lebih cocok untuk pendidikan Islam. Berbeda halnya
dengan Jalal, yang dari hasil kajiannya berkesimpulan bahwa istilah ta’lim
lebih luas jangkaunnya dan lebih umum sifatnya daripada tarbiyah. Di
kalangan penulis Indonesia, istilah pendidikan biasanya lebih diarahkan pada
pembinaan watak, moral, sikap atau kepribadian, atau lebih mengarah pada
afektif, sementara pengajaran lebih diarahkan pada penguasaan ilmu pengetahuan
atau menonjolkan dimensi kognitif dan psikomotor. Kajian lainnya berusaha
membandingkan dua istilah di atas dengan istilah ta’dib, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas, dari hasil kajiannya ditemukan
bahwa istilah ta’dib lebih tepat untuk digunakan dalam konteks
pendidikan Islam. dan kurang setuju terhadap penggunaan istilah tarbiyah dan
ta’lim.
Secara garis besar, dapat disimpulkan
pendapat beberapa tokoh Muslim tentang pengertian pendidikan Islam sebagai
berikut:
1. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan Islam
adalah bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian
lain sering kali beliau mengatakan kepribadian uatama tersebut dengan istilah kepribadian
muslim, yakni kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih
dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung
jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
2. Menurut
Abdur Rahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah pengaturan pribadi dan
masyarakat sehingga dapat memeluk Islam secara logis dan sesuai secara
keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif.
3. Menurut
Burlian Shomad, pendidikan Islam ialah pendidikan yang bertujuan membentuk
individu menjadi makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi menurut ukuran
Allah dan sisi pendidikannya untuk mewujudkan tujuan itu adalah ajaran Allah.
Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan
Islam apabila memiliki dua ciri khas yaitu:
a. Tujuan untuk membentuk individu yang bercorak
diri tertinggi menurut al-Qur’an.
b. Isi pendidikannya adalah ajaran Allah yang
tercantum dengan lengkap di dalam al-Qur’an, dan pelaksanaannya di dalam
praktek kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Muhammad Saw.
4. Menurut Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan
Islam ialah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa
pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasihat, sehingga
akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya
berwujud keutamaan kebaikan, dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air[12].
D. Acceptabilitas
Pendidikan Islam Bagi Agama, Sosial dan Kepentingan Pendidikan itu Sendiri.
Dalam hal ini
terdapat dua pendapat :
1. Bahwa pendidikan Islam tidak diperlukan,
pendapat ini terungkap karena mereka memang anti Islam (hal ini tidak akan
dibahas)
2. Bahwa
harus dibedakan mana yang betul-betul pendidikan Islam yang bersifat mutlak,
dan mana pula pendidikan menurut orang Islam yang bersifat relatif.
Pendidikan Islam sumbernya adalah al-Qur’an dan hadits, nilainya absolut, selalu
up to date pada setiap zaman, tempat dan komunitas, sehingga agama
mewajibkan untuk menuntutnya, selain juga akan menjadi ranah kebutuhan sosial
dan lapangan pendidikan itu sendiri. Sedangkan
pendidikan menurut orang Islam akan bernilai relative dari sisi tempat, waktu
dan komunitasnya.
Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,
strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara
universal bersifat mekanis. Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa
yang berbau Barat, bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan
teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat
menyebabkan kemunduran umat Islam[13].
Menurut Rahman, ada beberapa hal yang harus
dilakukan. Pertama, tujuan pendidikan Islam yang bersifat desentif dan
cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera
diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada kehidupan dunia dan
akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an. Menurutnya, bahwa: “Tujuan pendidikan dalam pandangan
AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang
sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan
kepribadian kreatifnya”.
Kedua, beban
psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk
menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan supaya
dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai
perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis
ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai
penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah
itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual
masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan
beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat.
Ketiga, sikap
negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut
Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya.
Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka
memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan
energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik)
atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom.
Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang
perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan
pembuatan senjata dahsyat itu[14].
E. Kontribusi
Islam Terhadap Kemajuan Pendidikan
Islam tidak
hanya memerintahkan ummat manusia untuk belajar dan mengembangkan dirinya, akan
tetapi juga memberikan banyak kontribusi, diantaranya :
1. Merupakan petunjuk menuju jalan yang
lurus.
Faktor ini mencakup segala media yang
berhubungan langsung dengan segala macam petunjuk-petunjuk, diantaranya :
a. Teladan
yang baik, yang menjadi model dalam melaksanakan pendidikan yang paripurna.
b. Pemikiran-pemikiran
yang memuaskan, hal ini akan menjadi referensi bagi semua ahlai dalam menyusun,
teori-teori tentang kehidupan.
2. Janji dan motivasi
Faktor ini akan member dorongan bagi
semua orang untuk terus berkiprah dan berprestasi dalam hidup
3. Ancaman
Faktor ini akan menjadi kendali bagi semua
orang agar tidak menyimpang dari jalan yang sebenarnya.
Said
Ismail Ali berpendapat bahwa dasar ideal pendidkan islam ada 6 macam, yaitu:
a. Al-qur’an
b. Sunnah
Nabi SAW.
c. Kata-kata
Sahabat
d. Kemasyarakatan
Umat (Sosial)
e. Nilai-nilai
dan adat kebiasaan masyarakat
f. Hasil
pemikiran para pemikir Islam
a).
Al-Quran
Al-Qur’an
merupakan dasar pokok bagi pijakan filsafat pendidikan islam, karena di
dalamnya memuat konsep-konsep hakekat manusia, hakekat alam, hakekat Tuhan,
hakekat pengetahuan, hakekat nilai serta hakekat-hakekat yang berkaitan dengan
alam raya. Isi Al-Qur’an memuat berbagai problem kefilsafatan misalnya filsafat
pendidikan yang diajarkan oleh Nabi Adam kepada anak-anaknya (Q.S. 2:31),
filsafat kemanusiaan yang dicontohkan oleh Nabi Nuh dengan konsep-konsep
pembebasannya dari penyimpangan tugas kemanusiaan sebagai khalifatullah (Q.S.
37:38), filsafat sain dan teknologi oleh Nabi Daud dan Nabi Nuh, disusul
filsafat budaya yang dirintis oleh Nabi Ibrahim dimana budaya itu tidak hanya
bernilai manusiawi juga memiliki nilai Ilahi dengan bangunan ka’bahnya, Nabi
Yusuf sebagai tokoh pembebasan penjajahan dan kemiskinan (Q.S. 12:25), Nabi
Sulaiman sebagai peletak batu pertama filsafat sain dan komunikasi tidak hanya
pada alam transenden (Q.S. 21:30), Nabi Isa sebagai cikal bakal pengobatan atau
medis (Q.S. 27:16-18), Lukman Hakim ketarbiyahan dan Nabi Muhammad sebagai
tokoh utama pemikir Muslim sejati.
b).
Sunnah Nabi SAW
Al-Sunnah
merupakan pedoman operasional bagi pelaksanaan Al-Qur’an, karena dapat
dikatakan Nabi Muhammad SAW. merupakan tokoh utama pendidikan Islam dimana
ajaran-ajarannya mencakup totalitas masyarakat sehingga kehadirannya dianggap
sebagai rahmatal lilalamin (Q.S. 21:107), segala yang diberikan Nabi Muhammad
merupakan kebenaran mutlak (Q.S. 2:119), karena itu beliau merupakan figur
utama dalam pendidikan (Q.S. 33:21).
c).
Kata-kata Sahabat
Kata-kata
sahabat sebagai generasi yang paling dekat dengan Nabi SAW. mempunyai
kelebihan-kelebihan sendiri dalam ketarbiyahan. Abu Bakar berhasil dan berjasa
menghimpun Al-Qur’an sebagai dasar utama falsafah pendidikan Islam, dan Umar
bin Khattab sebagai bapak reaktor yang menginginkan perombakan tata nilai yang
kurang relevan dengan dunia nyata, disusul Utsman bin Affan sebagai pencetus
sistematika karya ilmiyah sebagai pijakan dalam sistematika karya ilmiyah di bidang
pendidikan, kemudian Ali bin Abi Tholib yang memberikan konsep-konsep
kependidikan.
d).
Kemasyarakatan Umat
Kemaslahatan
masyarakat merupakan tujuan syariah Islam dan tidak akan keliru jika falsafah
pendidikan Islam mengacu pada nilai-nilai yang dikandungnya.
e).
Nilai-nilai Adat Masyarakat
Dasar-dasar
adat kebiasaan yang memunculkan nilai-nilai insane, memberi khas suatu
masyarakat yang memiliki kedudukan yang multi komplek dan dealektis yang
merupakan pengejawatan dari nilai-nilai universal manusia. Sesorang akan
kehilangan martabatnya apabila ia meninggalkan tradisi sekitarnya, karena itu
nilai tidak diterima secara pasif namun merupakan proses untuk memperoleh hakekat
kemanusiaannya.
f).
Hasil Pemikiran Para Pemikir Muslim
Hasil
pemikiran pemikir muslim sangatlah berharga. Mereka mengembangkan pengetahuan
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan semangat menuntut ilmu.
F. Tantangan Pendidikan Islam Abad ke 21
Diantara tantangan-tantangan yang akan
dihadapi oleh pendidikan Islam di abad 21 adalah:
1. Perang ideologi, antara ideologi
orientalis, oxidentalis, kaum fundamentalis dan lainnya.
2. Perbedaan model yang mesti dihadapi,
yaitu model pendidikan Islam dan model pendidikan Barat (Sekuler).
3. Interes pribadi, golongan, dan bahkan
negara yang sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan.
4. Adanya dikhotomi ilmu yang masih akan
mewarnai dunia pendidikan.
5. Perbedaan pendapat tentang epestemologi
ilmu.
6. Bahaya factor-faktor internal,
diantaranya masik banyak praktisi pendidikan yang enggan menggali teori-teori
pendidikan langsung dari sumber aslinya, dengan alasan banyak syarat dan alat
yang terlebih dahulu dimiliki, ketimbang teori-teori yang dipaparkan oleh
ahli-ahli pendidikan Barat.
7. Broblematika dasar-dasar keilmuan yang
akan menjadi referensi, yang banyak berbeda antara satu institusi dengan
institusi keilmuan yang lain.
8. Tidak adanya barometer tertentu yang
dapat memastikan bahwa seseorang itu ahli dalam bidang pendidikan atau tidak,
sebab setiap tokoh mempunyai latar belakang tersendiri dalam mengekspresikan
pendapatnya, juga mempunyai latar belakang waktu dan tempat yang berbeda.
9. Adanya dialog-dialog yang terjadi antara
orang yang tidak berkapasitas dalam pendidikan Islam, sehingga kesimpulan
dialog itu tidak menghasilkan pendidikan yang islami.
10. Perbedaan zaman para ahli pendidikan,
sehingga teori-teori yang dihasilkan pada zaman terdahulu masih diperaktekkan
pada zaman sekarang meskipun sudah tidak lagi up to date.
11. Motivasi yang melandasi para ahli
pendidikan, ada yang semata-mata berorientasi untuk mencapai kemajuan
pendidikan Islam, tapi ada juga yang duniawi benefit oriented.
Dua tokoh modernis yang menyuarakan
islamisasi ilmu dalam rangka menjawab fenomena abad 21, yaitu Isma’il Raji
al-Faruqi dan Naquib al-attas. Dari dua konsep yang disampaikan dua tokoh
tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai agamis pada
pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah
menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih
merupakan gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk
mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”[15].
Dewasa ini pendidikan Islam sedang
dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan
penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme
umat manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda
dengan tuntutan hidup yang multi komplek pula. Ditambah lagi dengan
beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat bekas saingan jika bukanya
musuh sepanjang sejarah. Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor
psikologis yang lain, yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah, berbeda
dengan kedudakan umat islam klasik pada waktu itu umat islam adalah pihak
yang menang dan berkuasa.
Oleh karena itu, guna menghadapi
himpitan-himpitan modernisasi tersebut, pendidikan Islam membutuhkan perubahan
yang signifikan. Perumusan visi dan misi pendidikan yang baru untuk membangun
serta meningkatkan mutu dan kualitas manusia dan masyarakat muslim. Apabila
tidak melakukan perubahan, pendidikan Islam akan tetap “terbelakang” dan tidak
mampu bersaing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
III. Simpulan
Dalam catatan sejarah, Islam
berkontribusi besar terhadap dunia pendidikan, dengan pencapaian gemilang
perdaban yang terbangun di masa khilafah Abbasyah, yang dikenal dengan the
golden age of Islam. Namun setelah itu Islam menjadi tertinggal baik karena
faktor internal maupun faktor eksternal.
Menurut Sa’id Ismail Ali, ketertinggalan
umat Islam dalam pendidikan secara internal disebabkan oleh kegagalan terhadap
pemahaman dan realisasi konsep-kensep pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
disamping secara eksternal adanya pengaruh para pemikir Barat.
Dalam kondisi tertinggal secara
bersamaan dihadapkan pada tantangan globalisasi, yang meliputi tiga dimensi
besar: ekonomi, pilitik dan budaya, pendidikan Islam memerlukan pembaruan yang
serius dan maksimal berdasar pada falsafah al-Qur’an, sunnah nabi saw.,
kata-kata sahabat, kemasyarakatan umat (sosial), nilai-nilai dan adat kebiasaan
masyarakat, dan hasil pemikiran para pemikir Islam.
[1] Abdurrahman
an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa Madrasati wal
Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj. Shihabuddin,
Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, (Gema Insani Press, Jakarta,
1995), hal. 26
[2] Roehan Achwan, Prinsip-prinsip
Pendidikan Islam Versi Mursi, (Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, IAIN
Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991), hal. 50
[3] H.A.R. Tilar, Beberapa
Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21, Cet. I, (Tera Indonesia: Magelang, 1998), hal. 245
[4] Nanang Fattah,
Analisis Kebijakan Pendidikan , (Remaja Rosjdakarya: Bandung, 2012), hal. 142
[5] Ibid., 143
[6] A. Malik Fadjar, Menyiasati
Kebutuhan Masyarakat Modern terhadap Pendidikan Agama Luar Sekolah, Seminar
dan Lokakarya: “Pengembangan Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21”,
IAIN, Cirebon, tanggal, 31 Agustus s/d 1 September 1995, hal. 4
[7] Ibid.
[9] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam:Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam Di sekolah. (PT Rosdakarya: Bandung, 2001),
hal. 36
[10] Ibid. 36
[11] Ibid. 37
[12] Hamdani Ihsan dan H.A. Fuad Ihsan, Filsafat
Pendidikan Islam. (CV Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm: 15-16
[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual
Tradition, (University of Chicago Press:
Chicago, 1982), hal. 161
[14] Fazlur
Rahman, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema
Pokok al-Qur’an, (Pustaka: Bandung, 1983), hlm: 67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.