PERANAN ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
Sebuah Kajian Hubungan Ormas-ormas Islam dengan Pemerintah
Orde Baru
oleh
Asep Dadan Wildan
Abstraksi
Dalam
perkembangan sejarah Indonesia peranan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang
berbasis Islam tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena ormas yang berbasis
Islam di negara ini dalam perkembangannya sangat memerankan peranan yang sangat
penting. Meskipun Pada Masa pemerintahan Orde Baru ormas-ormas yang Berbasis
Islam sering kali mengalami saat-saat yang sangat suram, namun peranannya tidak
dapat dianggap remeh oleh pemerintahan saat itu. Buktinya meskipun hubungan
antara keduanya seringkali bersitegang, namun dalam beberapa program pemerintah
pada masa itu tidak dapat berjalan tanpa peranan ormas-ormas Islam ini.
Key word: Peranan, Organisasi Islam dan Indonesia
A.
Pendahuluan
Ketika
berbicara mengenai indonesia, maka di dalamnya akan menjumpai tiga kekuatan
besar yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, yaitu
kekuatan ekonomi, agama, dan politik. Ketiga kekuatan ini, Jennifer L. Epley (2004: 39) menganalogikan, saling merangkai dalam
satu anyaman pada sebuah permadani yang bernama Indonesia.
Ketiga kekuatan
tersebut mempunyai keunikan dalam membentuk dinamika pemerintahan di Indonesia.
Karena ekonomi, agama dan politik ini terkadang masuk ke dalam ranah yang bukan
wilayahnya sehingga kolaborasi antara ketiga kekuatan ini akan mudah dijumpai di
negara ini, atau malah sebaliknya pada periode yang lain terjadi konflik antara
satu dengan yang lainnya.
Persentuhan
antara kekuatan ekonomi, agama dan
politik ini dapat terlihat ketika dalam
beberapa program pemerintah yang seringkali melibatkan organisasi-organisasi
agama sebagai alat yang efektif untuk mengsukseskan program-program pemerintah, dan dalam beberapa keadaan yang lain
organisasi-organisasi agama tersebut berubah menjadi rival negara karena mereka
dianggap sebagai ancaman kekuasaan oleh rezim tertentu. Hal ini sangat menarik,
karena Indonesia sebagai negara yang mayoritas muslim, dan peranan Islam bukan
hanya semata sebagai “agama” saja, melainkan Islam merupakan ajaran yang
memberikan perhatian kepada masalah siyasah (politik), mu’ama-lah (ekonomi),
dan masalah-masalah kemanusiaan yang lainnya. Sehingga peranan
organisasi-organisasi agama –seperti NU dan Muhammadiyah– telah jauh melangkah
dari batas-batasnya sebagai organisasi “agama” yang akhirnya masuk ke ranah
politik dan ekonomi.
Pada tingkat
global menurut Hugh B. Urban (Jones [Ed.], 2005: 7248) sejak
awal pertengahan abad ke 20 agama telah memerankan peran yang
sangat penting di mana agama muncul kembali sebagai suatu yang
sangat kuat, seperti munculnya berbagai bentuk
nasionalisme religius di seluruh dunia yang memberikan indikasi bahwa agama
tidak berarti menjadi kekuatan yang kecil di pinggiran isu politik dan ekonomi
global, justru sebaliknya agama
seringkali berada di jantung atau pusat kehidupan mereka. Selanjutnya Hugh B. Urban tidak setuju dengan banyak para sosiolog yang telah meramalkan
bahwa agama secara bertahap akan berkurang sebagai kekuatan budaya dalam
menghadapi peningkatan rasiona-lisasi dan “kekecewaan” dari dunia modern.
Untuk tingkat
Indonesia, fenomena ini sangat menarik karena posisi civil society yang
salah satunya organisasi-organisasi keagamaan khususnya organisasi Islam, jauh lebih berperan sebagai social control,
mitra, atau ancaman dibandingkan dengan “organisasi-organisasi
sekuler” lainnya. Tulisan singkat ini berusaha menguraikan peranan civil society
dalam hal ini organisasi keislaman hubungannya dengan pemerintah dalam beberapa
dekade terakhir.
B.
Civil Society
Perkembangan civil
society yang sedemikian pesat terjadi ketika runtuhnya rezim Orde Baru pada
tahun 1998, setelah sekitar tiga puluh dua tahun (1966-1998)
memasung hak rakyat Indonesia oleh berbagai macam kebijakan-kebijakan
yang banyak merugian rakyat. Bahkan pada masa-masa sulit seperti itu Soeharto memper-ketat dalam pendirian organisasi masyarakat sipil dengan cara menghambat dalam
birokrasi ketika proses pendaftaran, janji setia kepada Pancasila, atau bahkan dengan peraturan yang membatasi
pertemuan yang jangan melebihi tiga orang.
Keadaan seperti ini merupakan kontrol yang ketat karena Soeharto takut adanya implikasi
politik yang potensial dari kekuatan organisasi civil society
tersebut, yang dikhawa-tirkan dapat menentang pemerintahannya. Ketakutan peme-rintah ini
berakibat pada pelara-ngan penggunaan istilah NGO (Non Government
Organization/ Organisasi Non-Pemerintah) di Indonesia, yang digunakan
untuk penamaan organisasi masyarakat sipil. Hal ini karena pemerintah takut
istilah “non-pemerintah/non-government” dalam istilah NGO berkonotasi
dan menunjukkan kepada sikap “anti-pemerintah”. Oleh karenanya dengan beberapa
pertimbangan, pada tahun 1983 pemerintah Orde Baru memutuskan bahwa istilah NGO di Indonesia menjadi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau
LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyara-kat) (Epley, 2004:40).
Sementara itu organisasi keagamaan merupakan organisasi
masyarakat sipil dan termasuk kepada kelompok LSM, juga tidak luput dari
pengawasan pemerintah. Pihak pemerintah
sangat menga-wasi organisasi keagamaan ini karena mereka dianggap sebagai
ancaman bagi pemerintah Orde Baru pada masa itu, sehingga gerak langkah mereka
pun dibatasi dengan pengawasan yang sangat ketat oleh peraturan serta
undang-undang yang ada.
Namun sebelum kita masuk pada pembahasan ini lebih jauh,
terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai istilah civil society supaya
tidak terjadi kesalahan dalam memahami istilah ini. Mencari padanan kata dari kata civil
society memang agak susah karena pengertian “masyarakat sipil” dalam bahasa
Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh istilah civil society.
Banyak kalangan mengatakan istilah civil society ini lebih tepatnya
diartikan dengan istilah masyarakat madani, meskipun sebagian lagi tidak setuju
dengan pengertian tersebut.
Seperti Muhammad A S. Hikam (200:90-91) yang tidak setuju dengan istilah masyarakat
madani untuk mengar-tikan civil society dengan alasan bahwa
civil society adalah bentuk partisipasi, otonom, hak asasi, dan
kewarganegaraan. Ini tidak ada kompromi. Dan ini yang membe-dakan dengan masyarakat madani.
Istilah “masyarakat
madani” sebenarnya masih relatif baru, dikutip
dari pemikiran Naquib al-Attas
seorang ahli falsafah kontem-porer dari Malaysia.
Kemudian diakui oleh beberapa pakar di Indonesia termasuk Nurcholish Madjid yang telah
melakukan rekonstruksi (pengulangan semula) terhadap masyarakat madani dalam
sejarah Islam dalam artikelnya Menuju Masyarakat Madani (Sufyanto, 2001).
Istilah civil
dalam
kamus bahasa Inggris diartikan sebagai civilized, yang bermaksud memiliki
peradaban (civilization), dan dalam
kamus bahasa Arab, perkataan tamaddun
juga berarti peradaban atau kebudayaan tinggi. (Kertanegara,
2002).
Dari sudut pandang sosiologi, Adam Seligman (1992:5) mengemukakan dua pengertian dalam istilah civil society.
Pertama dalam perlembagaan dan
organisasi sebagai model sosiologi politik dan kedua sebagai
suatu fenomena dalam dunia nilai serta
keper-cayaan.
Jennifer L. Epley (2004:40) lebih mempersempit istilah civil
society hanya kepada kategori pertama dari pengertian Adam B. Seligman di
atas, hal ini karena kajian Jennifer lebih ditujukan kepada
organisasi-organisasi kea-gamaan di Indonesia. Selanjutnya
Jennifer mengutif denisi yang sederhana dari pendapat L. Diamond yang menyatakan bahwa; “Masyarakat sipil adalah wilayah
kehidupan sosial yang terorganisir yang bersifat
sukarela, dapat berdiri sendiri, (sebagian besar)
dapat dukungan sendiri, otonom dari negara, dan
terikat oleh tatanan
hukum atau seperangkat aturan bersama”.
Namun dalam kenyataannya organisasi keagamaan sebagai bentuk
organisasi civil society sangat
berbeda dengan definisi dari L. Diamond di atas. Karena pengelompokkan mereka tidak benar-benar murni “agama”, organisasi keagamaan ini dapat melibatkan individu, masyarakat, dan
negara pada saat yang sama, Overlapping antara wilayah
pribadi dan wilayah publik.
Seperti program sosial, membantu yang miskin, dan bidang
pendidikan seperti pesantren. Itu semua menunjukkan beberapa kasus bahwa kelompok agama melayani kebutuhan publik dan pada saat itu juga dapat
melibatkan negara. Di samping itu organisasi agama juga terlibat
dalam wilayah ekonomi, seperti bank yang beroperasi atas dasar syari’ah, pungutan zakat dan penyalurannya (Epley,
2004:40).
Dalam keadaan
ini definisi organisasi civil society diperlukan untuk mengetahui
batasan-batasan serta karakter organisasi tersebut serta hubungannya dengan negara. Untuk kepentingan ini
Jennifer mengelompokkan organisasi civil society ini menjadi dua cara. Cara Pertama, seperti yang di ungkapkan oleh Paul McCarthy yang mengkategorikan civil
society ke
dalam empat kelompok: organisasi non pemerintah, masyarakat akademik, jaringan
keagamaan, dan gerakan buruh. Sementara cara Kedua seperti yang
diungkapkan oleh L. Diamond yang memberikan pendekatan alternatif untuk organisasi civil society.
Diamond menyatakan
bahwa organisasi civil society terdiri dari asosiasi ekonomi; kelompok budaya yang mempro-mosikan
hak-hak kolektif, nilai, agama dan kepercayaan, kelompok informasi dan
pendidikan; kelom-pok yang berkepentingan yang dirancang untuk memajukan kepentingan bersama dari anggota-anggotanya; organisasi pengem-bangan; gerakan yang berorientasi pada permasalahan; kelompok sipil yang dirancang untuk mening-katkan cara yang non-partisan dalam sistem politik; organisasi dan institusi yang mempromosikan
kegiatan mandiri, budaya, dan intelektual. Kedua
pendekatan yang menjelaskan pengertian civil society yang cukup luas tersebut, bisa untuk mengakomodir bentuk organisasi civil
society untuk kasus organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia (Epley, 2004:40).
Civil society di
negara
ini tidak selalu
formal,
melainkan bisa saja informal
atau
tanpa
ada batasan. Seperti organisasi agama
yang dapat
dengan mudah mengaburkan
batas-batas
dari kategori Diamond
dan
McCarthy,
karena
bisa
masuk ke dalam
persoalan-persoalan
negara
seperti program
pemerintah,
partai
politik,
pembangunan ekonomi dan sosial. Contohnya
termasuk
organisasi
keagamaan
dan
tokoh
masyarakat yang
menyeimbangkan
antara peranan agama, politik,
dan
ekonomi.
Mantan
Presiden
Indone-sia
Abdurrahman
Wahid
atau yang akrab disapa dengan Gusdur adalah
salah
satu contoh dari
point
terakhir
(Epley,
2004:40).
C.
Organisasi Keagamaan
Keberagaman
agama di Indonesia menunjukkan bahwa negara ini sangat menghargai
perbedaan. Meskipun Agama Islam mayoritas di negara ini tetapi
Indonesia tidak mengamalkan bentuk homogen keagamaan. Setiap kelompok keagamaan
ini memiliki peranannya masing-masing
dalam wilayah publik dan politik tergantung pengaruh serta dukungan budaya dan
daerahnya.
Dalam
perkembangannya, dari sekian banyak kelompok keagamaan yang ada di Indonesia,
hanya kelompok Islam yang memiliki pengaruh dan peranan sangat signifikan dalam
hubungannya dengan pemerin-tahan. Dan
kelompok ini pula yang sering menjadi sasaran
di banding kelompok-kelompok lain pada masa Orde Baru. Dinamika seperti
ini karena kelompok Islam – dalam arti kelompok yang berbasis agama - ini
mempunyai “double function”, di satu sisi kelompok muslim bisa menjadi
alat apologi dan legitimasi
pemerintahan saat itu, dan pada sisi yang lain sebagai alat yang efektif untuk memprotes, alat untuk perubahan, dan
pembebasan (Billings and Scott, 1994: 173).
Artinya pada
saat pemerintah memposisikan kelompok Islam ini sebagai legitimasi atau apologi
terhadap kebijakannya, maka kelompok ini akan mempunyai pengaruh yang sangat
kuat terhadap pemerintah (rekonsiliasi). Sebalik-nya ketika kelompok muslim ini
diposisikan sebagai kelompok yang menginginkan perubahan dan pembebasan, maka
kelompok Islam ini akan menjadi rival bagi status quo dan cenderung akan
menjadi ancaman bagi penguasa, sehingga kelompok muslim ini akan menjadi
kelompok yang termarginalkan dari wilayah
politik dan ekonomi, seperti yang akan di jelaskan pada penjelasan mengenai
hubungan antara civil society dengan negara dalam uraian di bawah.
Selanjutnya
perbedaan cara pandang dikalangan kelompok Islam menjadikan kelompok ini terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok modernis dan kelompok tradisionalis. Muham-madiyah dan NU merupakan dua organisasi besar yang merepresen-tasikan kedua kelompok cara pandang tersebut. Keterlibatan kedua organisasi
ini dalam bidang sosial, pendidikan, budaya dan manuver politik menunjukkan
bahwa keduanya memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam wilayah publik dan
politik.
Keterlibatan organisasi-organisasi ini ke dalam wilayah politik, yang pada waktu itu
bergabung dengan Masyumi, menurut Jennifer
L. Epley (2004:43), terutamanya karena perbedaan pendapat mengenai ideologi negara, konstitusi, dan kebijakan publik. Hubungan kelompok muslim dengan
negara pada periode ini ditandai
dengan
perselisihan
dan
konflik.
Akar dari konflik timbul karena pimpinan Angkatan Darat pada tahun 1960 dan tahun 1970 keberatan masuknya ideologis politik Islam ke konstitusi negara yang salah satunya Piagam Jakarta, yang mengharuskan semua umat Islam Indonesia untuk mematuhi hukum Islam. Di samping itu Orde Baru mencurigai Masyumi sebagai pendukung Darul Islam dalam pemberontakan untuk mendirikan negara Islam di Jawa Barat dan pemberontakan
di
Sumatera.
Pada mulanya umat Islam
sangat banyak berharap kepada Soeharto, karena umat Islam memandang
Soeharto sebagai orang yang tidak anti terhadap Partai Islam dibandingkan pemimpin militer yang lainnya.
Beliau sangat bersimpati ketika umat Islam hendak mendirikan partainya sendiri
yaitu PARMUSI (Partai Muslim Indonesia) pada tahun 1968. Namun melalui
kepemimpinannya sendiri Soeharto melemahkan peranan PARMUSI dengan berbagai
kecurangan.
Pada
tahun 1973, kelompok
Muslim
NU,
Perti,
Parmusi,
dan
PSII bergabung untuk
membentuk
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Untuk
sementara
PPP
berhasil
bernegosiasi
menentang
kecende-rungan
antara
wilayah modernis dan
tradisionalis.
Garis
perjuangan kemudian
ditarik
antara
Muslimin
Indonesia
(MI, bekas Parmusi
dengan
nama
baru)
dan
faksi
NU.
Ketegangan
dan perselisihan
ini
nampaknya
telah
menjadi bagian dari
strategi
yang
disengaja oleh
Soeharto
untuk
menumbuhkan
konflik
dalam
partai-partai
untuk
memecah-belah
mereka,
sementara
pada
saat yang sama
Soeharto berusaha
untuk
memini-malkan
konflik
antara
Golkar
dan
partai
politik
lainnya.
Soeharto
berusaha
untuk
melemahkan
kapasitas
organisasi-organisasi
Islam
untuk bebas berpolitik
praktis melalui
intervensi
Negara melalui
manipulasi
pemilu,
intimidasi,
dan
pemaksaan. Hal ini dilakukan oleh rezim Orde Baru pada waktu itu karena keprihatinan atas meningkatnya suara PPP, dan khususnya NU yang pada waktu itu menentang Soeharto melalui walkouts dari Majelis Permusya-waratan Rakyat dan mundur untuk mendukung Soeharto pada masa jabatan presiden yang ketiga kalinya. Tantangan
NU
tersebut meyakinkan
Soeharto
untuk lebih mengintervensi
dan
mendorong
NU
ke
margin
politik
(Epley, 2004: 44).
Pada periode ini organisai Islam menjadi organisasi yang
ditakutkan oleh pemerintah karena periode ini ormas Islam menjadikan Islam sebagai ideologi untuk perubahan dan pembebasan
sehingga mereka dianggap sebagai kelompok yang akan mengancam oleh pemerin-tahaan
pada saat itu. Dengan
demikian organisasi
Islam
dan
negara
memiliki
hubungan
yang lebih
lama dan
lebih
dalam di banding dengan
organisasi
sekuler, meskipun dalam tataran konflik.
Poin penting dari keadaan
ini adalah
bahwa
Soeharto
pada saat itu takut kepada tantangan
politik
yang akan menggeser kekuasa-annya.
Namun keadaan sebaliknya terjadi kurang lebih
sejak tahun 1990, di mana pemerintah pada masa ini mengakomodir kepen-tingan-kepentingan
umat Islam, yaitu dengan penubuhan ICMI, pengha-pusan SDSB, SKB Mendagri dan
Menag tentang pengumpulan Zakat, pendirian Bank Muamalat, penayangan Bahasa
Arab di TVRI, Festifal Istiqlal, Bayt al-Qur’an, dan sebagainya (Erlangga [Ed.], 1998:187). Juga kita melihat suatu kesadaran dan keputusan sebagian organisasi muslim untuk masuk ke arena politik dan mempertahankan peran gandanya
sebagai agamawan sekaligus
sebagai aktor politik, tidak
seperti organisasi-organisasi sekuler lainnya yang masih menghindari politik (Epley, 2004: 25).
Kelompok-kelompok sekuler ini mungkin tidak memiliki jumlah yang banyak atau sumber daya yang dapat digunakan oleh aparatur negara secara langsung, atau kepentingan mereka sekedar untuk bisnis mereka sendiri. Sehingga kelompok-kelompok sosial seperti LSM nampaknya tidak mempunyai hubungan yang mendalam dengan negara. Selain itu, kelompok
agama
lain pun seperti
Kristen,
Katolik, Hindu,
dan
Buddha
mungkin
tidak
memiliki
pengalaman
sejajar
dengan
organisasi-organisasi
Islam
sejak
kelompok-kelompok
ini ada, hal ini karena mereka merupakan penduduk
minoritas dan
perhatian
atau pengalamannya sama dengan
LSM sekuler lainnya (Epley, 2004: 25).
Hal ini menurut Hugh B. Urban
(Jones [Ed.], 2005:7249) karena potensi yang
dimiliki organisasi Islam sangat besar sebagai kekuatan yang dapat
mengefektifkan pemerintahan atau sebaliknya dapat mengancam kekuasaan. Namun
Jennifer L Epley (2004: 25) melihat bahwa sering kali organisasi keagamaan ini dalam perjalanannya
terhambat karena ketergantungan mereka kepada pemerintah.
D.
Hubungan Negara dengan Civil Society di Indonesia
Meskipun hubungan civil society mengalami
masa-masa tegang dengan pemerintah Orde Baru, namun pada dasarnya pembangunan
di Indonesia tidak dapat terlaksana tanpa melibatkan civil society,
sebab bagaimanapun juga pemerintah memerlukan masukan dan layanan dari civil
society untuk program pembangu-nan, juga disamping itu untuk menjaga dan menyeimbangkan kebutuhan kerjasama dengan oposisi yang salah satunya dengan civil society seperti organisasi keagamaan.
Program pembangunan ekono-mi di Indonesia pada dasarnnya menitik beratkan untuk terciptanya
beberapa point di bawah ini:
1. Menjaga
stabilitas makro ekonomi.
2. Menyediakan
infrastruktur fisik, terutama yang memiliki biaya yang tinggi, seperti
pelabuhan, kereta api, saluran irigasi, dan saluran-saluran air lainnya.
3.
Penyediaan kebutuhan publik, termasuk pertahanan
dan keamanan nasional, pendidikan, penelitian dasar, informasi pasar, sistem
hukum, dan perlindungan lingkungan.
4.
Memberikan kontribusi pada pengembangan lembaga
untuk meningkatkan pasar tenaga kerja, keuangan, teknologi, dan lain-lain.
5.
Mengimbangi atau menghilang-kan distorsi harga yang muncul dalam
kasus-kasus yang dibukti-kan dengan kegagalan pasar
6.
Mendistribusikan kembali
penda-patan kepada penduduk
termiskin dengan langkah-langkah yang cukup bagi mereka untuk meme-nuhi kebutuhan dasar (Epley,
2004:46). Baca secara fonetik
Di masa lalu, Soeharto menguasai banyak program pembangunan ekonomi di dalam negeri, serta pengembangan dalam bidang sosial
dan politik. Meskipun civil society berperan sebagai bagian pembangunan ekonomi dan sosial, mereka biasanya diturunkan ke sektor-sektor tertentu dan terbatas dalam apa yang mereka benar-benar bisa dicapai. Sementara civil society berusaha untuk membantu dan meningkatkan poin 3 dan 6 di atas, kemajuan mereka bervariasi dari waktu ke waktu. Sejak akhir pemerintahan Soeharto, keadaan telah berubah menjadi lebih baik (terutama tentang kebebasan, otonomi, dan lembaga baik dalam bidang ekonomi maupun politik), tetapi hubungan antara civil society dan negara belum sepenuhnya dijelas-kan. Hubungan civil society-negara masih tetap membingungkan dan sering buram. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, beberapa kelompok civil society memiliki hubungan dekat dan yang lebih dalam dengan negara dari yang lain, terutama ketika kita melihat fungsi ekonomi pemerintah, khususnya pada point 3 dan 6, tetapi hubungan tidak selalu positif. Mereka mungkin saling berten-tangan, namun secara umum, nampaknya
seperti saling ketergan-tungan sampai saat ini. Ketergan-tungan ini perwujudan dirinya karena negara dan organisasi keagamaan bergantung satu sama lain dalam beberapa tahap dari kekuatan sosial, politik, dan legitimasi.
E.
Organisasi
Keagamaan
dan Masalah Pembangunan
Evolusi hubungan antara negara dengan civil society
khususnya organisasi-organisasi Islam mengalami pasang surut, tergantung
dinamika yang berkembang pada waktu itu. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa kondisi
umat Islam pada periode awal
pemerintahan soeharto yaitu tahun 1970-1990 merupakan masa marjinalisasi kelompok
Islam. Apapun dilakukan oleh Islam-ophobia untuk memojokkan Islam. Melalui
politik resmi, dalam sidang-sidang DPR/MPR (RUU Perkawinan 1973, masalah
perjudian, masuknya aliran kepercayaan
dalam GBHN 1978), melalui rekayasa sosial politik (masuknya “tarekat”
tertentu seperti Darul Hadits dan LDII dalam Golkar; larangan berjilbab di
sekolah; pembatasan dakwah), dan melalui politik keamanan (Komando Jihad,
DI/TII/NII, peristiwa Tanjung Priok 1984) (Erlangga (ed.), 1998:187).
Akibat hubungan yang tidak harmonis, pada periode ini pembangunan
negara
dan masya-rakat
menjadi
terhambat
bagi
pengembangan
civil society
yang otonom, yang
merupakan
prasyarat
untuk
sebuah
pemerintahan
yang
asli demokratis (Epley, 2004: 45). Dan bukan saja kepada civil society, Soeharto pada periode ini
mengawasi dan menjadikan rakyat indonesia tidak berdaya sehingga mengakibatkan
ketertingalan dalam pembangunan.
Namun pada akhir kekuasa-annya, pemerintah Orde Baru mengakui bahwa pembangunan ekonomi dan sosial membutuhkan masukan dan peran serta civil society terutama organisasi-organisasi Islam. Meskipun
organisasi-organsiasi
tersebut mungkin
telah
dianggap
terbela-kang dan tidak mempunyai kekuatan.
Akan tetapi negara
tidak
bisa
selalu
melakukan semuanya, yang diharapkan
dengan keter-libatan organisasi ini bisa mengefektifkan beberapa
program negara dalam bidang pembangunan ekonomi, sosial dan politik.
Masa rekonsiliasi pada periode ini (tahun 1990 sampai
berakhirnya Orde Baru) tidak sepenuhnya mesra meskipun adanya keterlibatan
organisasi-organisasi keagamaan dalam beberapa program pemba-ngunan. Hubungan seperti ini di satu sisi pemerintah
memerlukan organisasi-organisasi keagamaan, demikian pula sebaliknya. Namun
di sisi lain acapkali terjadi konflik
antara keduanya. Pola hubungan seperti ini, meminjam istilah Hugh B. Urban (Jones [Ed.], 2005:7254), merupakan bentuk hubungan Religious and
political as separate (but interdependent or rival) forces, yaitu menggambarkan
bagaimana organisasi keagamaan
dan pemerintah saling berhubu-ngan, kerja sama dan
saling memerlukan, namun di sisi lain melahirkan ketegangan atau persaingan
antara keduanya.
Pada tahapan ini negara mengakui kekuatan yang dimiliki
oleh organisiasi-organisasi Islam, sehingga tidak ada cara lain negara harus
mengakomodir mereka. Umat Islam adalah massa yang besar, mempunyai tradisi
panjang, dan telah masuk ke semua sektor
kehidupan tanpa ada batasan kelas sosial, sehingga jika negara mengakomodir
mereka maka akan cepat terserap ke semua sektor kehidupan. Kuntowijoyo (Erlangga [ed.],1998:188) mengatakan pada tahapan ini terjadi proses “Golkarisasi umat” dan “Islamisasi Golkar”, atau menurut istilah
Zainudin Maliki (Maliki, 2004: 183) sebagai proses “priyayisasi santri” dan “santrinisasi priyayi”. Keadaan ini, selanjutnya menurut Kunto-wijoyo, bukan karena proses politik
semata melainkan karena konsek-wensi logis dari pertum-buhan demografi,
sementara di beberapa daerah menurut Zainuddin Maliki karena faktor legitimasi,
dimana agama meru-pakan legitimasi yang paling efektif dalam melanggengkan
kekuasaan.
Peranan organisasi keagamaan khususnya organisasi Islam
dalam masalah pembangunan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan subtansi
Islam itu sendiri. Di mana prinsip dasar
Islam mengenai hubungan sosial ini
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan ajarannya itu sendiri,
karena kehidupan dalam pandangan Islam bukan semata profan melainkan terdapat
sisi transendental yang kuat, yang keduanya telah di bangun secara inherent.
Berbeda dengan kehidupan di Barat yang warna rasionalitasnya lebih kental dalam
memperlakukan kehidupan sosial, budaya dan negara. Sehingga nilai-nilai
profanitas negara dan masyarakat telah terlepas dari unsur-unsur transendennya
(Efendi, 2000: 70).
Sehingga dalam persoalan pembangunan di Indonesia negara
sering menggunakan organisasi-organisasi Islam untuk mensukses-kan programnya.
Secara formal organisasi, hal ini terjadi
karena dua faktor, yang pertama karena organisasi-organisasi agama mem-punyai perhatian yang sangat besar kepada masalah ekonomi, sosial dan politik.
Faktor kedua, agama –dalam hal ini tokoh agama dari organisasi keagamaan–
merupakan alat legiti-masi yang paling efektif, karena tokoh agama dianggap sebagai pemegang otoritas doktrin agama (Epley, 2004:47).
Beberapa persoalan pembangu-nan yang melibatkan organisasi keagamaan seperti yang
diamati oleh Jennifer adalah seperti pelaksanaan Program KB (Keluarga
Berencana). Peran agama
dalam kehidupan masya-rakat Indonesia sangat kuat, terutama mengenai keluarga. Pemerintah
Indonesia telah ber-usaha secara maksimal dengan program keluarga berencana ini. Namun upaya negara dalam mengendalikan pertumbuhan pen-duduk dan
meningkatkan kesehatan keluarga masih memiliki hasil yang beragam. Slogan yang sangat populer seperti perkataan "Dua anak cukup", tidak dapat menyelesaikan masalah keluarga
berencana.
Seperti kegagalan program KB
ini di awal tahun 1970 adalah akibat tidak adanya perubahan kebijakan dalam
pelaksanaan program tersebut, dimana pende-katan melalui negara saja tidak efektif
untuk meng-goal-kan program tersebut. Sebab
di luar sana tokoh-tokoh agama bersuara nyaring menyerukan bahwa “KB itu adalah
haram dan bertentangan dengan syari’at”.
Melihat pengalaman dari kegagalan
sebelumnya, sehingga pada awal 1980-an, Menteri muda Negara Kependudukan dan Keluarga Berencana Haryono Soeyono dan Menteri yang
lainnya meneliti dan menyimpulkan bahwa para pembuat kebijakan telah mengabaikan peran tokoh organi-sasi agama dalam pengambilan setiap kebijakannya, karena masyarakat lebih
mendengar dan mentaati petuah setiap tokoh dari organisasi keagaamaan ketimbang
pemerintah. Yang akhirnya peme-rintah dengan melibatkan
para pemimpin organisasi Islam duduk bersama dalam serangkaian perte-muan, diskusi dan lokakarya
yang intensif tentang manfaat Keluarga Berencana ini. Selanjutnya pada waktu itu Departemen Agama membentuk koalisi dengan organisasi-organisai keagamaan dengan
tujuan melibatkan partisi-pasi pemimpin dari organisasi-organisasi Islam baik di tingkat lokal maupun nasional dalam mengsukseskan pembangunan nasional Program KB ini (Epley, 2004:47).
Dalam bidang
pendidikan, peranan organisasi-organisasi Islam memerankan posisi yang sangat
penting seperti dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak populis dengan pihak Islam seperti pada pelarangan
mengenakan jilbab di lingkungan sekolah. Kebijakan yang kontroversial ini muncul
pada
pertengahan
1980-an, dan beberapa kelompok Muslim
memprotes
dan
membawa
kasus
mereka
ke
pengadilan.
Beberapa
telah berhasil dalam
sistem
peradilan
di daerah,
tetapi
memakan waktu beberapa tahun
sebelum
pemerintah
menye-tujui
kepentingan
Muslim. Akhirnya Jilbab
disahkan
sebagai
seragam
alternatif
untuk
anak
sekolah Muslim
di
tahun
1991.
Kebijakan pendidikan yang lain adalah pada tahun 1995, tentang rencana untuk lima hari sekolah dalam seminggu untuk menggantikan kebijakan sebelum-nya enam hari. Menteri Pendidikan pada saat itu, Wardiman Djojo-negoro, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut bertujuan "untuk
mengembangkan lima hari sekolah yang efisien dan efektif dalam seminggu dan membiarkan anak-anak sekolah untuk memiliki liburan mingguan yang cukup dan disiplin dalam penggunaan waktu mereka. Tiga kelompok organisasi Islam yaitu FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah), Muhammadiyah, dan NU segera mengkritik usulan tersebut dan menuntut pembatalan atas kebijakan tersebut. Salah satu perhatian utamanya adalah bahwa jam sekolah akan membatasi
kesempatan anak-anak Muslim untuk menghadiri sekolah-sekolah agama sore hari yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi Muslim di seluruh Indonesia. Setelah
kontroversi
meluas,
perwakilan
pemerintah berusaha
meyakinkan
para
pemimpin bahwa
kebijakan
sekolah
lima
hari
tidak
akan
mengganggu
kegiatan
ke Islaman. Namun pada akhirnya pemerintah
menyadari
bahwa mereka tidak
bisa
memaksakan masalah
ini, dan rencana
kebijakan
itu
dibatalkan
(Epley, 2004:50).
Contoh-contoh ini menunjuk-kan bagaimana Organisasi-organisasi Islam mempunyai peranan
dan hubungan yang sangat dalam dengan pemerintahan di banding dengan
organisasi-organsasi sekuler atau agama lainnya. Dan gambaran di atas menurut
Jennifer, menjelaskan bagaimana organisasi-organisasi Islam memainkan peranan sebagai civil society
kaitannya dengan negara melalui lima jenis perannya: representasi, partisipasi, pendidikan, agenda pembangunan, dan monitoring program.
F. Simpulan
Dari uraian di atas penulis melihat bahwa ormas-ormas yang
berbasis Islam merupakan potensi yang sangat penting dalam memberikan
kontribusinya untuk kemajuan bangsa ini. Namun di sisi lain kemandirian ormas
Islam menjadi tantangan tersendiri agar imparsialitas ormas ini dapat terjaga,
yang kemudian dalam peranannya ormas-ormas yang berbasis Islam tidak mempunyai
beban kepada pihak manapun sehingga
objektifitas sebagai organisai Islam yang mempunyai misi rahmatan lil’alamin dapat terwujud.
G. Daftar Pustaka
Adam B. Seligman (1992), The Idea Of Civil Society,
Princenton University Press, New Jersy.
Bahtiar Efendi (2000), Repolitisasi Islam, Mizan,
Bandung.
Dwight B. Billings and Shaunna L. Scott (1994), Religion
and Political Legitimation, Annual Review of Sociology, Vol, 20.
Erlangga et.all (1998),
Indonesia di Simpang Jalan, Mizan-Bandung.
Jennifer L. Epley (2004), Development
Issues And The Role Of Religious Organizations In Indonesia, Studies on Asia, Series II, Vol. 1, Num. 1.
Lindsay Jones (Ed.) (2005), The
Encyclopedia of Religion, 2nd Edition, Thomson
Corporation-USA
Mohandas Gandhi (1940), Autobiography or the Story of
My Experiments with Truth, Ahmadabad, India.
Muhammad A.S. Hikam (2000), Islam,
Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, Erlangga, Jakarta.
Mulyadhi
Kertanegara (2002), Masyarakat Madani dalam Perspektif Budaya
Islam, media Inovasi Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan, edisi
1 TH-xii.
Sufyanto (2001) , Masyarakat Tamaddun: Kritik
hermeneutis Masyarakat madani Nurcholish Madjid, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta.
Zainuddin Maliki (2004), Agama Priyayi, Pustaka
Marwa, Yogyakarta, hal: 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.