Representasi Nilai Pendidikan
Karakter
dalam Syair-syair Abū Al-‘Atāhiyah
oleh
Acep Hermawan
Abstrak
Penanaman nilai-nilai karakter adalah bagian dari Sistem Pendidikan
Nasional. Hal itu ditandai oleh kesadaran nasional akan pentingnya pembinaan
karakter generasi muda sebagai jaminan kekuatan bangsa. Salah satu media
pembangunan karakter bangsa adalah karya sastra, yang dapat digali dan
ditanamkan kepada peserta didik melalui penghayatan emotif.Salah satu karya
sastra yang sarat dengan muatan-muatan pendidikan karakter adalah syair-syair
Abū al-‘Atāhiyah. Melalui lantunan syair-syairnya, iaberpesan terbentuknya
pribadi religius yang mampu berpikir kreatif dan sehat, berprilaku jujur, kerja
keras, sopan santun (tidak sombong), cinta damai, toleran terhadap sesama dan
bertanggungjawab.
Kata Kunci: Representasi nilai,
pendidikan karakter, syairAbū
al-‘Atāhiyah.
A.
Pendahuluan
Pendidikan karakter dalam Sistem Pendidikan Nasional akhir-akhir
ini menjadi sebuah terminologi yang trend.Terlepas dari jargon yang digunakan,
sebenarnya semangat penanaman nilai-nilai karakter bukanlah “barang” baru. Hal
itu berangkat dari sebuah kesadaran secara nasional bahwa penanaman nilai-nilai
karakter bangsa bagi generasi muda, memberikan semacam jaminan bagi kekuatan
sebuah bangsa.
Untuk menyikapi harapan-harapan tersebut, maka –sejak dahulu– dalam
sistem pendidikan nasional sejumlah mata pelajaran telah diintegrasikan dalam
Kurikulum Pendidikan Nasional. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Pendidikan Agama, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, meskipun
namanya selalu berubah-ubah, namun esensi yang dikehendaki adalah membentuk
karakter peserta didik.
Pendidikan karakter bangsa dapat dimaknai sebagai pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa bagi peserta
didik.Tujuannya, agar peserta didik memiliki nilai karakter sebagai karakter
dirinya, yang pada gilirannya dapat diterapkan dalam dalam kehidupan dirinya,
sebagai anggota masya-rakat, dan warga negara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif (Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim, 2013: 1). Pelaksanaan
pendidikan karakter diorientasikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Penekanannya
dititik beratkan pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik para
yang bersifat utuh dan seimbang. Dengan pendidikan karakter diharapkan dapat
mem-bentuk manusia yang memiliki kemampuan dan watak serta berperadaban bangsa
yang bermar-tabat sesuai amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Tujuannya untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bab 2 Pasal 3).
Amanat UU Sisdiknas di atas, menempatkan iman dan takwa, dan akhlak
mulia sebagai penekanan utama dalam pendidikan. Jika dihubungkan dengan
kurikulum pendidikan karakter, maka karakter utama keimanan dan ketakwaan, dan
akhlak mulia bagi peserta didik. Hal ini mengisyaratkan bahwa nilai yang ingin
ditanamkan sebelum yang lain adalah nilai-nilai universal tentang kebenaran dan
kebaikan, tanpa menegaskan sumber yang harus disepakati bersama. Di sinilah
peran utama seorang guru dibutuhkan. Oleh sebab itu, seorang guru harus
berwawasan luas, dan menimba informasi tentang kebenaran dan kebaikan dari
berbagai sumber. Salah satu sumber yang sarat dengan nilai-nilai moral
kehidupan, khususnya dalam wilayah pendi-dikan sebagai proses pembentukan
moral, adalah dunia sastra.
Karya sastra sebagai ekspresi tentang realitas dapat digali untuk
menemukan kebenaran-kebenaran yang bersifat penawaran untuk ditransfer kepada
peserta didik. Nilai-nilai pendidikan karakter dalam karya sastra dapat
disampaikan melalui contoh-contoh tentang pemahaman tentang kehidupan. Nilai-nilai
pendidikan karakter dalam karya sastra dapat diajarkan melalui penghayatan
emotif, dan memberikan kesem-patan kepada peserta didik dan masyarakat
untukmemberikan penilaian dan interpretasi tanpa harus diceramahi.
Dalam telaah sejumlah karya sastra, khususnya syair, dijumpai
nilai-nilai moral yang dalam. Di samping nilai estetika yang dapat menarik
perhatian peserta didik, juga dalam waktu bersamaan dengan tidak disadari
peserta didik dituntun untuk masuk ke dalam nilai-nilai kebenarandan kebaikan.
Di antaranya adalah kumpulan syair-syair seorang pujangga besar, yakni Dīwān
Abī al-‘Atāhiyah karya Abū
al-‘Atāhiyah. Dīwān Abī al-‘Atāhiyah dalam tulisan ini merupakan
hasil tahqīq (editing) Syukrī
Faisal yang diberi judul Abū
al-‘Atāhiyah: Asy’āruhuwaAkhbāruhu yang diterbitkan oleh Jāmi’ah Dimasyq
Damaskus pada tahun 1965.
Alasan pemilihan buku tersebut karena di dalamnya banyak terkandung
fatwa-fatwa moral dari seorang penyair besar yang memiliki latar belakang hidup
bergelombang. Ia adalah orang yang pernah hidup di dunia hitam, hura-hura,
dunia waria, politikus, dan berujung dalam kehidupan sufistik. Oleh sebab itu,
fatwa-fatwa moral kehidupan yang dilantunkannya dalam syair-syair diyakini
sangat menarik, khususnya jika dikaitkan dengan pendidikan karakter. Sementara
itu pendidikan karakter adalah wacana pemerintah yang selalu diusung sebagai
muatan kurikulum baru.
Bagaimanakah syair-syair karya Abū al-‘Atāhiyah dalam merepresentasikan nilai-nilai pendi-dikan
karakter? Untuk mendeskrip-sikannya, penulis memandang perlu meneliti lebih
dalam tentang kandungan syair-syair itu dalam judul penelitian: Representasi Nilai Pendidikan Karakter dalam
Syair-syair Abū al-‘Atāhiyah.
Mengingat luasnya wilayah kajian DīwānAbī al-‘Atāhiyah, keterbatasan
waktu dan kesem-patan, penulis membatasi kajian dalam empat aspek, yakni
biografi Abū al-‘Atāhiyah, deskkripsi DīwānAbī
al-‘Atāhiyah, tema-tema syair-syair Abū al-‘Atāhiyah, dan implikasi pedagogis dari syair-syair Abū
al-‘Atāhiyah.
B.
Biografi Abū al-‘Atāhiyah
Nama lengkapnya ialah Ismā’īl bin al-Qāsim bin Suwaid bin Kisan Maulā
‘Anzah, yang populer dengan Abū Ishāq. Ia dilahirkan di ‘Ain al-Tamr, dekat al-Anbar,
tahun 130 H. Ayahnya berdarah Nabzī dan termasuksalah seorang budak Banī
‘Anzah. Sedangkan ibunya bernama Ummu Ziyād al-Muhāribī, budak Banī Zahrah
al-Qurasyī. Ayahnya bekerja sebagai tukang bekam. Keadaan ekonomi di daerahnya
yang tidak menggem-birakan, menyebabkan ia membo-yong keluarganya menuju Kufah,
termasuk istri dan kedua anaknya, yaitu Zaid dan Abū al-‘Atāhiyah.
Sebelum memasuki usia remaja, ia sudah menampakkan prilaku
menyimpang. Ia mulai mengikuti gaya hidup banci, bersolek seperti layaknya
perem-puan, dan mengenakan pakaian perempuan dengan berbagai atributnya.
Menurut al-Ashfahānī, kemungkinan prilaku seperti itu ia lakukan karena ia
dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga miskin yang tidak memiliki
keistimewaan yang dapat ditonjolkan. Ia tidak memiliki harta dan tahta yang
dapat ia banggakan. Sementara itu, di sisi lain, ia menyaksikan kehidupan mewah
dan bergelimang harta di kalangan para khalifah dan penguasa pada zamannya.
Perasaan minder tersebut menyebabkan ia memilih jalan hidup hura-hura dan
bergabung dengan kelompok banci dari kalangan para seniman. Petualangan Abū
al-‘Atāhiyah bersama kelompok waria justru membentuk kepribadiannya menjadi
seorang penyair popular (Syauqī Zaif, 2004: 36).
Berangkat dari petualangan-nya di dunia yang bebas, Abū
al-‘Atāhiyah memulai popularitasnya di Kūfah. Ia bergabung dalam ling-kungan
para penyair yang permisif, seperti Muzi’ bin Iyās dan Walibah. Pada waktu
bersamaan, ia aktif menimba ilmu dari para ulama dan teolog Kūfah. Kegiatan
tersebut merupakan peluang besar baginya dalam memperdalam ilmu-ilmu bahasa
Arab dan menelaah aliran-aliran teologi. Ketika itu, ia bertemu dengan Ibrāhīm
al-Mausūlī, seorang yang dekat dengan Kalifah al-Mahdī. Selanjutnya Abū
al-‘Atāhiyah diperkenalkan dengan Khalifah. Di sana ia banyak melantunkan
syair-syair pujian untukkhalifah al-Mahdī. Karena kepiawaiannya dalam bersyair,
ia mendapat penghargaan dari Khalifah. Bahkan selanjutnya, ia diangkat menjadi
penasihat Khlaifah (Ibn al-Mu’tazz, t.th.: 231).
Karena popularitasnya semakin meninggi dan kedekatannya dengan
khalifah semakin menguat, ia mendapat ancaman dari beberapa pembesar negara,
terutama dari keluarga al-Mahdī sendiri. Kondisi itu menyebabkan Abū
al-‘Atāhiyah terfitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Namun selanjutnya
dibebaskan dan diusir dari istana.
Setelah al-Mahdī wafat, ia digantikan oleh al-Hādī (169-170 H).
Padamasa tersebut Abū al-‘Atāhiyah kembali menjadi pendamping khifah dan banyak
melantunkan syair-syair pujian, sehingga ia meraih banyak penghargaan. Demikian
pula setelah al-Hādī digantikan oleh Hārūn al-Rasyīd, Abū al-‘Atāhiyah terus
mendampinginya dan tidak henti-henti memuji dan membelanya dengan bait-bait
syairnya. Penghar-aan demi penghargaanterus diperolehnya. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa setiap selesai melantunkan syairpujian, ia mendapatkan pulu-han
sampai ratusan ribu dirham.
Ketika kekuasaan Hārūn al-Rasyīd mulai memasuki fase kemunduran
(tahun 180 H.), Abū al-‘Atāhiyah tiba-tiba berputar haluan dari kebiasaan
tenggelam dalam mabuk-mabukan dan hiburan, kepada kehidupan zuhud dan
kesederhanaan, serta menjadi moralis. Kebiasaan melantunkan syair-syair pujian,
ratapan, lirik cinta, ia tinggalkan. Demikian pula, menjauhi gaya hidup
hura-hura sebelumnya, kemudian mengguna-kanpakaian sederhana (Anīs al-Maqdisī,
1989: 154). Perubahan orientasi hidup tersebut selanjutnya memberikan arti
penting dan menyumbangkan filsafat-filsafat kehidupan yang bernilai tinggi,
sekaligus memberi warna baru bagi syair-syairnya.
C.
Deskripsi Dīwān Abī al-‘Atāhiyah
Dīwān Abī al-‘Atāhiyah
adalah kumpulan syair-syair pujangga besar bernama Abū al-‘Atāhiyah. Kum-pulan
syair-syair itu disusun, dikategorisasi, dan dikomentari, oleh Syukrī Faisal
dalam sebuah buku yang berjudul Abū al-‘Atāhiyah: Asy’āruhu wa Akhbāruhu. Buku
setebal 721 halaman tersebut diterbitkan oleh Jāmi’ah Dimasyq tahun 1965
di Damaskus.
Syair yang telah dikumpulkan itu berjumlah 4163 bait yang disusun
dan dikategorisasi berdasarkan qāfiyah. Qāfiyah dalam dunia
kesu-sastraan Arab adalah persamaan bunyi akhir dalam sebuah syair (sajak)
berdasarkan huruf hijā`iyah. Qāfiyah-qāfiyah tersebut
digambar-kan dalam tabel berikut ini:
No.
|
Nama Qāfiyah
|
Jumlah Bait
|
|
No.
|
Nama Qāfiyah
|
Jumlah Bait
|
1.
|
Hamzah
|
54
|
|
15.
|
sād
|
53
|
2.
|
Alif
|
121
|
|
16.
|
sā`
|
15
|
3.
|
Bā`
|
406
|
|
17
|
zā`
|
4
|
4.
|
Tā`
|
325
|
|
18
|
‘Ain
|
297
|
5.
|
tsā`
|
10
|
|
19
|
Gin
|
5
|
6.
|
Jīm
|
64
|
|
20
|
Fā`
|
63
|
7
|
dā`
|
38
|
|
21
|
Qāf
|
124
|
8
|
Dāl
|
303
|
|
22
|
Kāf
|
164
|
9.
|
Żāl
|
5
|
|
23
|
Lām
|
639
|
10.
|
Rā`
|
484
|
|
24
|
Mīm
|
209
|
11.
|
Zāi
|
2
|
|
25
|
Nūn
|
454
|
12.
|
Sīn
|
90
|
|
26
|
Hā`
|
178
|
13.
|
Syīn
|
3
|
|
27
|
Wāu
|
22
|
14.
|
Sād
|
6
|
|
28
|
Yā`
|
25
|
Dari jumlah bait tersebut hanya 36 bait sebagai sampel yang akan
dianalisa. Menentuan sampel ini disesuaikan dengan tema-tema yang telah
teridentifikasi.
D.
Tema-tema Syair dan Pesan-pesan Pendidikan Karakter
Berdasarkan penelaahan terha-dap Dīwān Abī al-‘Atāhiyah,
tema-tema yang terkandung di dalamnya sangat beragam, namun secara keseluruhan
dapat dikategori-kan ke dalam tujuh aspek penting, yaitu kematian, kehidupan
duniawi, lupa diri, gaya hidup penguasa, kepedulian terhadap sesama, dan
introspeksi diri. Semuanya mengisyaratkan perlunya kepri-badian yang
berkarakter beriman, kuat, dan mandiri.
Karakter dalam KBBI dimaknai sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Depdiknas, KBBI).
Pendidikan karakter, atas dasar definisi ini, menghendaki terjadinya perilaku
anak didik yang memperlihatkan kekuatan kejiwaan, akhlak, dan budi pekerti yang
kuat melalui berbagai kegiatan pendi-dikan baik formal (sekolah), infor-mal
(keluarga), maupun nonformal (masyarakat).
Berikut ini beberapa tema syair-syair Abū al-‘Atāhiyah dan pesan
pendidikan karakter yang dikandung-nya.
1.
Kematian
Bait-bait yang berisi deskripsi tentang kematian merupakan
senjataampuh bagi Abū al-‘Atāhiyah dalam mengajak masyarakat untuk
melakukanpenyucian diri.Iamengkomunikasikannya kepada orang-orang yang tidak menyadari
arti kematian dan berprilaku seolah-olah akan hidup abadi didunia. Abū
al-‘Atāhiyah bermaksud membuka cakrawala berpikir umatmanusia agar tidak
memandang kesenangan duaniawi sebagai tujuan akhir.
Untuk tujuan tersebut, Syukrī Faisal (ed) (1965: 74-75) mengajak
manusia untuk melakukan renungan terhadap realitas kematian yang tidak asing
bagi semuamanusia. Ajakan tersebut dieskpresikan
dalam bait-bait syair berikut:
فطلبت في
الدنيا التباتَ
|
*
|
أنساكمَحياك
المماتَ
|
ترى جماعتها
شتاتا
|
*
|
أَوَثِقْتَ
بالدنيـا وأنتَ
|
أم خلتَ أن
لك انْفِلاتـا
|
*
|
هل فيهما لك
عـبرةٌ
|
ـما قد رأى
كانا فماتا
|
*
|
يا من رأى
أبويه فيـ
|
Kehidupan
melalaikanmu dari kematian
Kemudian di
dunia ini kamu mencari keabadian
Apakah kamu percaya
dengan kehidupan dunia?
Sementara kamu
melihat penghuninya bercerai berai
Apakah kamu
mengambil pelajaran dari keduanya?
Atau kamu
mengira akan bebas dari kematian?
Wahai orang
yang pernah menyaksikan kedua orang tuanya
Keduanya pernah
hidup kemudian mati
Dalam bait-bait di atas, Abū al-‘Atāhiyah menggunakan gaya bahasa interogatif,
agar pesan yang dikehandaki lebih menyentuh jiwa orang yang lalai dari
kematian.Ia menggunakan logika sederhana dan analogi-analogi yang akrab dengan
semua orang. Tujuannya agar semua pihak dapat menangkap pesan yang ia
kehendaki. Semua orang memiliki orang tua, dan setiap saat merasakan kehilangan
orang-orang terdekatnya. Jika hal itu terjadi pada orang tua, berarti semua
orang akan mengalami hal yang sama.
Pembicaraan tentang kematian merupakan salah satu media
untukmenyadarkan audiens dari kelalaiannya.Hal ini disadari oleh Abū
al-‘Atāhiyah. Dalam hal ini, ia mengajak audiensnya untuk berpikir dengan mengemuka-kan
berbagai argumen logis dan faktual tentang kematian. Cara penyampaian pesan
seperti ini kepada peserta didik lebih mudah untukmemasukkan informasi ke dalam
jiwanya. Ungkapan-ungkapan yangdigunakan untuk mengajak audiens berpikir secara
kreatif misalnya:“Apakah kamu percaya dengan kehidupan dunia, sementara kamu
melihat penghuni-nya berpisah-pisah. Apakah kamu mengambil pelajaran
darikeduanya, atau kamu mengira akan bebas dari kematian. Wahai orang yang menyaksikan
kedua orang tuanya, Ia menyaksikan sebelumnya kemudian keduanya mati”.
Cara mengkomunikasikan pesan dengan mengemukakan berbagai fakta dan
argumen, akan memudah-kan audiens untuk menerima pesan yangdisampaikan. Dengan
cara seperti ini, pendengar tidak merasa diceramahi, tetapi lebih bersifat
pemberian pandangan dan tawaran. Selanjutnya, keputusan yang diambil oleh
audiens sangat tergantung pada sejauhmanamana mereka mengarti-kulasikan pesan
yang termuat dalam ungkapan-ungkapantersebut. Hal ini sejalan dengan konsep
kebenaran dalam sastra.Kebenaran dalam sastra tidak bersifat memaksa, tetapi
bersifat menyarankan (Nyoman Kutha Ratna, 2007: 67). Kontemplasi dan keputusan
diserahkan sepenuh-nya kepadaaudiens.
Strategi penyampaian seperti yang digambarkan di atas, dijumpai
pada hampir semua bait-bait syair yang berisi nasihat tentang kematian.Abū
al-‘Atāhiyah berusaha meyakinkan semua orang bahwa kematian pasti
datang.Menurutnya, prilaku hura-hura yang menjadi tradisi sebagian orang
merupakan bukti kelalaian mereka dari kematian. Umur yang panjang bukanlah
alasan untuk mengingkari kematian, sebab kematian merupa-kan kenyataan yang
pasti terjadi bagi semua manusia. Pesan tersebut disampaikan dalam bait
syairnya sebagai berikut:
والموتُ
يغـدو ويـروح
|
*
|
كلـُّـنا في
غفلة
|
إن كُنْـتَ
تَــتـوح
|
*
|
نُحْ على
نفسك يا مسكين
|
إنْ عُمِّرت
ما عُمِّر نوح
|
*
|
لَتَـمُـوتُـنَّ
..........
|
Kita semua
dalam keadaan lalai
Sedang kematian
datang setiap saat
Ratapilah
dirimu wahai orang yang menyedihkan
Jika kamu ingin
meratap
Kamu pasti mati
……
Meskipun diberi
umur panjang seperti Nabi Nūh
Menurut Abū
al-‘Atāhiyah, manusia
keliru jika mendambakan keabadian dalam hidup di dunia, sebab kematian akan
memutuskan semuaharapan tersebut. Hidup manusia di pagi hari bukan jaminan
bahwa ia akanhidup sampai sore hari, begitupula sebaliknya. Hal ini digambarkan
dalambait berikut:
يَثِبْن عليّ
من كـل النواحي
|
*
|
أُؤَمِّلُ
أنْ أُخَلِّدَ وَالْمـَنـَايَـا
|
لعلِّي لاَ
أعيش إلى الصـباح
|
*
|
وما أدرِي إذ
أمسـيتُ حيا
|
Aku mengidamkan
hidup abadi
Namun kematian
mengelilingiku dari segala penjuru
Jika sore hari
datang, saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup
Kemungkinan
saya tidak akan hidup sampai pagi hari
Tampak Abū al-‘Atāhiyah menggunakan gaya bahasa yang cukup
variatif. Adakalanya menggu-nakan istifhām (interogatif), dan adakalanya
menggunakan nidā` (interjeksi). Gaya bahasa seperti itu dalam tema-tema
kematian, akan menambah ketakutan dan membawa manusia untuk menjadikan
pelajaran terhadap fenomena kematian yang ia saksikan setiap saat.
2.
Kehidupan duniawi
Dalam keyakinan seorang muslim, kehidupan duniawi
hanyalahsementara, sedangkan kehidupan akhirat adalah hidup yang sesung-guhnya.Dunia
adalah kehidupan yang memiliki batas akhir.Namun, faktamenunjukkan bahwa
manusia terlena dan berlomba-lomba untukmenghabiskan umurnya untuk kepentingan
duniawi.Abū al-‘Atāhiyah dalam bait syairnya banyak menggambarkan tentang
kehinaan kehidupan dunia, antara lain sebagai berikut:
أماني يفني
العمر قبل أن تفنى
|
*
|
نَصبْتِ لنا
دون التفكير يا دنيا
|
إلى حاجة
حتى تكون له أخـرى
|
*
|
متى نتقضي
حاجات من ليس واصلا
|
Kamu menjerat
kami tanpa berpikir,waha dunia,
Angan-angan menghabiskan
umurku sebelum aku mati
Kapankah
keinginan-keinginan berakhir?
Siapakan yang
tidak sampai keinginannya?
Sampai kamu menginginkan yang lain
Abū al-‘Atāhiyah dalam bait di atas menggunakan personifikasi dan menggambarkan
seolah-olah dunia memasang perangkap untuk menjeratnya. Perangkap yang dipasang
dalam bentuk angan-angan, agar manusia terperangkap dalam kesenangannya.
Dalai bait lain ia pun berkata:
لكل عيش
مدّة وانْتَها
|
*
|
يا آمِــنَ
الدهرِ على أهـله
|
أصبح قد
حلَّ عليه الْبَلَى
|
*
|
بينا يُرَى
الإنسانُ في غبطة
|
والمرء يظغى
كلما استغنى
|
*
|
المرء
آفاتُه هـوى الدنيــا
|
فتركت ما
أهوى لما أخشى
|
*
|
إني رأيتُ
عواقبّ الدنيا
|
Wahai penjaga
waktu bagi pemiliknya
Setiap hidup
terbatas waktu dan berakhir
Banyak manusia
di antara kita riang gembira
Akhirnya mereka
tertimpa bencana
Penyakit
manusia adalah cinta dunia
Saat menjadi
orang kaya, ia membangkang
Padahal aku
lihat akibat buruk dunia itu
Maka aku
tinggalkan kecintaanku karena aku takut
Abū al-‘Atāhiyah mengingat-kan bahwa kecintaan yang berlebihan
terhadap dunia membuat orang terlena dan lupa akan hidup yang terbatas oleh
waktu. Saat manusia telah mencapai keinginan-nya, yaitu memperkaya diri dengan
kehidupan dunia, ia membangkang dan melanggar norma kehidupan yang telah
digarislkan oleh Tuhan. Kecintaan kepada dunia menurutnya adalah penyakit yang
diderita manusia. Keterlenaan manusia ditunjukkan oleh kegembirannya yang tak
terkendali, hingga akhirnya diperingatkan oleh Tuhan dengan banyaknya bencana. Pada bait akhir, Abū al-‘Atāhiyah ingin
memberikan contoh teladan kepada para pecinta dunia yang semu, yakni dengan
meninggalkan kecintaan berlebihan kepada dunia.
Oleh sebab itu, penghayatan yang benar
tentang hakikat kehidupan dunia bagi masyarakat, akan menuntun untuk menjadi
manusia yang bertakwa,berakhlak mulia danberpikir yang sehat. Bertakwa berarti
senantiasa mem-bentengi diri dari berbagai prilaku-prilaku menyimpang.
Berakhlak mulia berarti senantiasa bekerja secara produktif sesuai norma-norma
ketuhanan dan kemanusiaan, sehing-ga tidak rela mendapatkan kesena-ngan
duaniwai dengan jalan yang tidak normatif atau membenarkan semua cara.
Sedangkan berpikiran sehat diartikan sebagai cara tidak memanipulasi argumen
untuk mengklaim bahwa apa yang dilakukan itu benar.
3.
Lupa diri
Kepribadian Abū al-‘Atāhiyah termasuk
cukup rumit. Perasaan minder mendominasi jiwanya disebabkan keadaan sosial dan
ekonominya yang menyedihkan. Perasaan tersebut selanjutnya mendorongnya memilih
dua kecen-derungan pada waktu bersamaan. Di satu sisi, ia menyerang kelasatau
kasta yang
tinggi di masyarakat, sehingga ia menjadi oposisi dan pembangkang terhadap
kelas masyarakat tersebut. Di sisi lain, kesadaran tersebut mendorongnya untuk
memilih jalan sufi untuk menarik perhatianmasyarakat umum.
Bait-bait syair Abū al-‘Atāhiyah mengandung
banyak nasihat-nasihat tulus, di antaranya sebagai berikut:
ونلعـب
والموت لا يلعب
|
*
|
أَنَلْهُو
وأيـامنـا تـذهب
|
عجبتُ وما
لي لا أعْجَب
|
*
|
عجبتُ لذي
لعـب قَدْ لَهَا
|
تموت
ومنزلُه يَخْرَب
|
*
|
أيَلْهُو
ويلعب مـنْ نَفْسُه
|
على كُلِّ
ما سرّنا يَغْلِب
|
*
|
نرى كل ما
ســاءنا دائما
|
Lalaikan dan
main-mainkah kami, sedangkan hari-hari berlalu?
Padalhal
kematian tak pernah main-main
Aku heran kepada
orang yang main-main telah lalaiu
Dan kenapa aku
tidak harus heran
Apakah orang
yang akan mati dan rumahnya akan hancur
Akan lalai dan
main-main
Kamisaksikan
semua yang selalu menyedihkan
Selalu
mengalahkan yang menggem-birakan
Abū al-‘Atāhiyah tidak
saja melontarkan syair-syair nasihat kepada masyarakat umum. Ia juga merangkai
bait-bait syair yang berisi nasihat kepada khalifah dan penguasa pada zamannya.
Di antara bait-bait syairnya yang berisi nasihat yang membuat al-Rāsyid menangis tersedu-sedu, sebagai berikut:
وإن تمنعت
بالْحُجَابِ والحـرسِ
|
*
|
لاَ تأْمَنِ
الموتَ في طرفٍ ولا نفسٍ
|
في جنب
مُدَّرعٍ منها ومتَّرسِ
|
*
|
فما زال
سِهامُ الموت نافـذة
|
إن السفينة
لا تجــــري على اليبس
|
*
|
ترجو
النجاةَ ولم تَسْلُك مسالكها
|
Kemegahan dan kekayaan tidak melindungimu dari kematian
Meskipun kamu membentengi diri dengan benteng dan tentara
Panah kematian selalu mengenai sasarannya
Baik orang yang berbaju besi maupun yang menggunakan tameng
Kau harapkan keselamatan tanpa menempuhjalannya
Perahu itu tidak
dapat berlayar di tanah kering
Abū al-‘Atāhiyah menjadikan kematian sebagai pintu masuk untuk menyampaikan
nasihat-nasihatnya. Ia tidak saja memberikan nasihat kepada masyarakat umum,
tetapi nasihatnya juga ditujukan kepada para penguasa pada zamannya. Bait-bait
syairnya tersebut mengandung muatan pendidikan yang sangat besar.Ia tidak gentar
dengan penguasa dalam rangka melakukan perbaikan terhadap masyarakatnya. Ia
menginginkan semua dibalik itu adalah agar masyarakat – termasuk penguasa – berjalan
di atas rel kebenaran. Ia berkata: Kau harapkan keselamatan tanpa menempuh jalannya.
Perahu itu tidak dapat berlayar di tanah kering.
Mencapai keselamatan, menurut Abū al-‘Atāhiyah, harus memerlukan kerja
keras. Keselamatan tidak akan dapat dicapai hanya dengan hayalan. Terlebih
lagi, keselamatan tidak dijamin oleh kemewahan dan kekuasaan.
4.
Gaya hidup penguasa
Status sosial dan ekonomi Abū al-‘Atāhiyah menyebabkan ia mengeritik
keras raja-raja, khalifah, orang-orang yang memiliki populari-tas, dan orang
kaya. Untuk kelom-pok-kelompok seperti ini ia berkata:
تلحَّف فيها
بالثَّرَى وتَسَرْبَلا
|
*
|
وَكم مِن
عظيم الشأن في قَعْرِ حُفْرة
|
Sudah berapa
banyak orang memiliki derajat tinggi berada di lianglahad
(Liang lahad) menyeret
orang-orang kaya ke dalamnya dan menutupinya
Masyarakat yang sezaman dengan Abū al-‘Atāhiyah sangat membenci
kelas sosial yang permisif. Keadaan seperti itu tidak mampu ia sembunyikan, dan
tidak kuat bersabar terhadap kesombongan yang ia saksikan. Ia juga menegas-kan
akan berakhirnya kekuasaan para raja. Seolah-olah kekuasaan hanyalah imajinasi,
lalu ia berkata:
فكأنّ ذاك
الملـوك كان خَيَـالا
|
*
|
وَكم مِن
ملوك زال عنهم ملكُهم
|
Berapa banyak
raja hilang kekuasaannya
Seolah-olah
kekuasaan hanya hayalan
Dalam makna yang sama ia berkata:
فعَطّلَتْ
الأيام منها حُصُونَهَا
|
*
|
وَكم مِن
ملوك قد رأينا تَحَصَّـنتْ
|
Berapa banyak kita saksikan raja yang membentengi diri
Namun masa jua yang menghentikan perlindungannya
Pesan-pesan moral dalam bait-bait
tersebut di atas sangat mendalam. Namun, inti pesan dari bait-bait di atas
adalah himbauan untuk meninggalkan keangkuhan, kesombongan, kesewenang-wenangan.
Kekuasaan adalah amanah yang harus dijalankan, dan bukan sebagai sarana untuk
bermegah-megahan dan melecehkan masyarakat kecil.Kekuasanharus dijalankan
dengan penuh rasa tanggung jawab. Kesadaran seperti ini,tidak akan memunculkan
fenomena persaingan untuk menca-pai kekuasaan untuk kepentingan pragmatis.
Kondidi itu sebenarnya meru-pakan salah
satu sasaran pendidikan. Salah satu tujuan pendidikan adalah tumbuhnya
kesadaran manusia akan jati diri, yakni menyadari posisi diri sendiri sebagai
makluk yang lemah dan berasal dari sesuatu yang tidak berharga. Kekuatan dan kesem-purnaan
hanya milik Tuhan.Jabatan sosial
yang dimiki manusia benar-benar hanya titipan Tuhan dan akan dikembalikan lagi
kepada Tuhan. Dengan demikian tidak pantas manusia bersikap sombong.
5.
Kepedulian terhadap sesama
Abū al-‘Atāhiyah memiliki sejumlah bait yang menggambarkan tentang
pengalaman-pengalamannya, baik pengalaman pribadi, sosial, historis, maupun
religius. Syair-syair seperti ini sarat dengan nilai-nilai yangsejalan dengan
logika, etika, maupun nilai-nilai religius. Ia memandang bahwa semua manusia
memiliki kecenderungan yang sama. Manusia pada umumnya cenderung egois. Ia
hanya ingin diperhatikan tetapi tidak mau memperhatikan dan membantu orang
lain:
سـائلا مـا
وصلوه
|
*
|
لو رأى
النــــاسُ نبيـــًــا
|
حِبِكَ
الدهـرَ أخـوه
|
*
|
أنت ما
استغنيتَ عن صا
|
سـاعة مجّـك
فُوْه
|
*
|
فإذا احتـجت
إليــه
|
Sekiranya orang-orang
bertemu nabi dan iabertanya apa yang mereka lakukan
Niscaya ia
berkata: kamu tidak peduli dengan sahabatmu
Jika
sewaktu-waktu kamu mengajukan alasan kepadanya
Niscaya mulutnya akan mencelamu
Dalam bait lain, Abū al-‘Atāhiyah menegaskan
keharusan berusaha untuk memahami saudara jika ia melakukan kesalahan. Manusia
tidakluput dari kesalahan. Oleh sebab itu, jika seseorang mencela
saudaranyasetiap melaku-kan kesalahan, maka pasti orang tersebut tidak akan
memilikisahabat.
كـأنّ به عن
كل فاحشة وَقـْــرًا
|
*
|
أحب الفَتَى
يُنْفِي الفواحش سمعه
|
ولا مانعا
خيرا ولا قائلا هُجْرا
|
*
|
سَلِيمَ
دواعي الصدرِ لا باسـطًا يدًا
|
فَكُـــنْ
أنتَ محُتْاَلًالِزلَّتِه عُـــذرا
|
*
|
إذا ما بدت
من صاحب لك زلَّـــةً
|
Aku sukai orang yang menutup pendengarannya dari yangkeji
Seolah-olah ia
tuli dari segala kekejian
Hatinya bersih,
tidak ringan tangan
Tidak
menghalangi kebaikan,tidak pula mengucapkan kata yang menjauhkan orang
Jika tampak
kesalahan dari sahabatmu
Pahamilah
kesalahannya dan maafkanlah
Bait-bait syair di atas secara implisit menghimbau masyarakat untuk
bersikap toleran. Secara sederhana, toleran diartikan sebagai sikap selalu berusaha
untuk memahami eksistensi orang atau kelompok lain. Toleran adalah keniscayaan
bagi sebuah demokrasi, dan sikap demokratis mencerminkan kecintaan terhadap
kehidupan yang damai. Beliau mendukung penuh sikap toleran terhadap sesama
manusia.
Abū al-‘Atāhiyah pun sangat menyadari bahwa tidak mungkin dapat
menyatukan seseorang dalam sebuah sikap yang disepakati bersama. Jika hal itu mustahil,
maka sejatinya setiap orang mampu mempersepsikan orang lain sesuai dengan cara
orang tersebut mempersepsikan dirinya sendiri. Dengan cara seperti ini, maka
manusia akan hidup bahu membahu dalam membangun bangsa, sekaligus kedamaian
akan tercipta.
6.
Introspeksi diri
Syair adalah pantulan jiwa yang mendeskripsikan keaadaan yang melingkupinya.
Abū al-‘Atāhiyah menyadari bahwa masa-masa yang telah ia lewati penuh dengan
penyimpangan dari nilai-nilai religius. Keadaan tersebut ia sesali dan akui
sebagai perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Sang Pencipta. Dalam hal
ini ia menggambarkan sebagai berikut:
كأنّا لم
نكـن حينا شبابا
|
*
|
كَبِرْنا
أيّهــا الأترابُ حتَّى
|
من الريحان
مُوْنِقَة رِطابا
|
*
|
وكنّا
كالغصون إذا تثنَّـتْ
|
إذا ما
اغترّ مُكْتَهِلٌ تَصَابَى
|
*
|
ألا ما
للكهول وللتصابي
|
فعند الله
أحتسب الشبابـا
|
*
|
مضى عنى
الشباب بغير ودي
|
لِمَن
خَلِقَتْ شَبِيْبَتُهُ وَشَابًا
|
*
|
وما مِن
غــاية إلّا المنايــا
|
Kita telah
dewasa wahai teman sezaman
Seolah-olah
kita tidak pernah remaja
Kita pernah
laksana dahan
Jika ditiup
angin saling berpelukan
Ketahuilah,
orang yang tua
Jika tertipu
dengan ketuaan akan menjadi bencana
Masa muda telah
berlalu bagiku tanpa cinta
Di sisi Allah
aku mengharap keremajaan
Tidak ada
tujuan selain kematian
Kecuali untuk
Sang Pencipta keremajaan dan remaja
Di antara bentuk kesadaran Abū al-‘Atāhiyah ialah ia merasakan bahwa
zaman telah menggantikan hidupnya dan menghilangkan kesenangannya. Bahkan telah
menghilangkan masa mudanya. Ia merasakan bahwa masa muda baginya hanyalah
sebuah hayalan yang tidak pernah terwujud. Kesenangan yang sering menjadi
kebanggaan orang dalam usia remaja, tidak pernah ia nikmati dengan baik. Oleh
sebab itu tugas manusia adalah melakukan apa yang bisa dilakukan dengan
realistis dan tanggung jawab.
E.
Pembahasan
Syair-syair Abū al-‘Atāhiyah dalam Dīwān Abī al-‘Atāhiyah,
sebagaimana dijelaskan di atas, sarat dengan pesan-pesan moral yang bisa
dihayati untuk dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari. Terben-tuknya
karakter-karakter pribadi yang beriman, kuat, dan madiri dalam menghadapi
kehidupan merupakan pesan inti melalui lantunan syair-syair sang pujangga ini.
Enam tema yang telah dikemu-kakan di atas, secara garis besar dapat
dikatgorikan dalam tiga kategori, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungannya dengan sesama, dan hubungannya dengan diri sendiri.
Tema tentang kematian, kehidupan duniawi, dan lupa diri
mengisyaratkan keharusan manusia mempererat hubungannya dengan Tuhankarena
kematian sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Kehidupan dunia adalah situasi yang
membuat orang lupa akan adanya Tuhan. Sedangkan lupa diri lebih diakibat-kan
oleh keterlenaan manusia akan kehidupan dunia. Keterlenaan ini membuatnya lupa
akan jati diri, sehingga akhirnya lupa akan adanya Tuhan dan kematian.
Kematian merupakan kejadian yang tak bisa ditawar-tawar lagi dalam
hal waktu waktu dan tempat. Tak ada seorang pun yang mengetahui di kapan dan di
mana ia akan mati. Oleh karena itu, siapapun harus siap mengalaminya dengan
tidak berleha-leha, melainkan mem-bekali diri dengan ketakwaan.Abū al-‘Atāhiyah,
misalnya, mengatakan:
Aku mengidamkan hidup abadi
Namun kematian mengelilingiku dari segala penjuru
Jika sore hari datang, saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup
Kemungkinan saya tidak akan hidup sampai pagi hari
***
Wahai penjaga waktu bagi pemiliknya
Setiap hidup terbatas waktu dan berakhir
Banyak manusia di antara kita riang gembira
Akhirnya mereka tertimpa bencana
***
Panah kematian selalu mengenai sasarannya
Baik orang yang berbaju besi maupun yang menggunakan tameng
Tema tentang gaya hidup penguasa dan dan kepedulian terhadap sesama
mengisyaratkan keharusan manusia mempererat hubungannya dengan sesama.
Orang-orang yang memiliki kekuasaan pada umumnya lupa dan lalai akan kekuasaan
yang telah diamanatkan oleh pemberi amanat. Bentuk kelupaan dan kelalaian itu
antara lain menyalahgunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi atau
golongan. Banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme adalah indikasi bahwa
pemegang kekuasaan dipemerintahan sudah lupa dan lalai akan an amanat. Padahal
ketika mencalonkan diri sebagai penguasa, ia begitu saleh membuat simpati
masyarakat. Kondisi ini mengundang pertanyaan, apakah keinginan untuk memegang
jabatan itu didasari oleh niat untuk kepentingan masyarakat banyak?
Oleh sebab itu Abū al-‘Atāhiyah begitu tegas menkritik para
penguasa yang nyata-nyata menyalagunakan kekuasaannya. Kritikan itu antara lain:
Berapa banyak
raja hilang kekuasaannya
Seolah-olah
kekuasaan hanya hayalan
Berapa banyak
kita saksikan raja yang membentengi diri
Namun masa jua
yang menghentikan perlindungannya
Sementara itu, tugas anggota masyarakat tidak hanya memberi kritik
dan masukan kepada penguasa, tetapi juga salaing asah, asih, dan asuh antara
sesama. Bentuknya antara lain menolong orang lain baik moral maupun spriritual,
tidak meng-anaiaya orang lain, tidak mencela, memaafkan kesalahan dan
sebagai-nya. Dalam hal ini, Abū al-‘Atāhiyah berkata:
Aku sukai orang
yang menutup pendengarannya dari yangkeji
Seolah-olah ia
tuli dari segala kekejian
Hatinya bersih,
tidak ringan tangan
Tidak
menghalangi kebaikan,tidak pula berkata yang menjauhkan orang
Jika tampak
kesalahan dari sahabatmu
Pahamilah
kesalahannya dan maafkanlah
Tema tentang introspeksi diri merupakan ajaran yang mengajak kepada
penataan diri sendiri baik dalam kaitannya dengan Tuhan maupun dengan sesama.
Intrispeksi diri pada dasarnya adalah melihat, mengevaluasi, dan memperbaiki
diri. Cara ini adalah proses belajar dari pengalaman yang telah lewat.
Pengalaman yang telah lewat meru-pakan gambaran yang menginfor-masikan hal-hal
yang telah dilalukan, apakah itu merupakan perbuatan yang benar atau salah.
Jika benar, perbuatan itu harus ditingkatkan baik secara kualitas maupun
kuantitas. Sedangkan jika salah, perbuatan itu harus diperbaiki.
Dalam hal ini, Abū al-‘Atāhiyah berkata:
Kita telah dewasa wahai teman sezaman
Seolah-olah kita tidak pernah remaja
Kita pernah laksana dahan
Jika ditiup angin saling berpelukan
Ketahuilah, orang yang tua
Jika tertipu dengan ketuaan akan menjadi bencana
Masa muda telah berlalu bagiku tanpa cinta
Di sisi Allah aku mengharap keremajaan
Tidak ada tujuan selain kematian
Kecuali untuk Sang Pencipta keremajaan dan remaja
F.
Simpulan
Analisis dan pembahasan tentang Dīwān Abī al-‘Atāhiyah dalam
buku Abū al-‘Atāhiyah: Asy’āruhu wa Akhbāruhu, dapat disimpulkan:
Tema-tema yang terkadung dalam kumpulan syair beragam, namun secara
garis besar dapat dikategorikan menjadi enam: kema-tian, kehidupan duniawi, lupa diri, gaya hidup penguasa, kepedulian terhadap sesama, dan introspeksi
diri.
Tema-tema itu mengisyaratkan terbentuknya karakter pribadireligius yang mampu berpiki kreatif dan sehat, berprilaku jujur, kerja keras, sopan
santun (tidak sombong), cinta damai, toleran terhadap sesama dan bertanggung
jawab.
Karakter-karakter ini telah lama diwacanakan oleh pemerintah dalam
Sistem Pendidikan Nasional, teruta-ma dalam kurikulum baru. Namun terbuka untuk
dimplementasikan dalam pendidikan informal non-formal.
Daftar
Pustaka
‘Atāhiyah, Abū.
1986. Dīwān Abī al-‘Atāhiyah. Bīrūt: Dār Bīrūt li al- Thibā’ah wa
al-Nasyr.
Andalusī, Ahmad
bin Muhammad bin ‘Abd Rabbih. 1983. Al-‘Iqd al-Farīd. Tahqīq Abd Majid al-Tarhinī.Juz` 3.
Bīrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah.
Saif, Syauqī.
2004. Tārīkh al-Adab al-‘Arabī: al-‘Asr al-Abbāsī al-Awwal. Misr: Dār
al-Ma’ārif.
Departemen
Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi
IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Faishal, Syukri
(ed). 1965. Abu al-‘Atâhiyah: Asy’âruh wa Akhbâruh. Dimasyq: Mathba’ah Jūmi’ah
Dimasyq.
Maqdisī, Anīs,
1989. Umarā` al-Syi’r al-‘Arabī fi al-‘Asr al-‘Abbāsī. Bīrūt: Dār
al-‘Ilm li al-Malāyīn.
Mu’tazz, Ibn,
t.th. Tabaqāt al-Syu’arā`, Tahqīq Abd as-SattārAhmad Farrāj.Misr: Dār
al-Ma’ārif.
Pusat Kurikulum.
2010. Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengem-bangan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional.
Ratna, Nyoman
Kutha, 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab
2 Pasal 3.
Wahyuni,
Sri & Ibrahim, Abd. Syukur. 2013. Perencanaan Pembelajaran Bahasa
Berkarakter. Bandung: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.