MEMBANGUN MODEL BUDAYA SEKOLAH UNGGUL YANG ISLAMI
Oleh
Saeful Millah
Abstrak
Di
tengah pengaruh masyarakat yang kian menglobal dan sarat perubahan, tingginya
harapan masyarakat akan kehadiran sekolah unggulan yang diorientasikan pada
pembentukan karakter, tidaklah diragukan. Model sekolah unggulan yang
diintegrasikan dengan pembentukan nilai-nilai keislaman – sebutlah model
sekolah unggul yang Islami –, adalah salah satu alternatifnya. Dengan
menelusuri berbagai sumber kepustakaan yang relavan, model sekolah unggulan
Islami yang dimaksud dalam makalah ini tidak lebih dari model sekolah yang
dalam pengelolaannya senantiasa dijalankan berdasarkan dan bermuara pada dua
nilai budaya yang satu sama lain saling berpengaruh dan melengkapi, bahkan
saling memperkuat, yaitu nilai budaya sekolah unggul dan nilai-nilai keislaman.
Terkandung makna penting dalam model sekolah ini adalah sekolah yang mampu
melahirkan lulusan yang bermutu karena didukung oleh input dan proses yang
bermutu pula.
Kata kunci:
budaya sekolah, budaya sekolah unggul, budaya sekolah Islami, budaya sekolah unggul
yang Islami.
A.
Pendahuluan
Di tengah kehidupan masya-rakat pada era
global yang antara lain ditandai dengan derasnya arus informasi dan perubahan,
kini ada kecenderungan dari masyarakat kita, khususnya dari kalangan masyarakat
kelas menengah ke atas, untuk mencari dan menitipkan pendidikan anaknya tidak kepada lembaga pendidikan yang hanya memiliki
keunggulan di bidang akademik, tetapi juga unggul dalam hal pembentukan akhlak,
moral dan karakter anak.
Kecenderungan di atas muncul bukan saja
sebagai reaksi ketidak-puasan masyarakat terhadap rendah-nya mutu akademik dari
sekolah-sekolah yang ada pada umumnya, tetapi sekaligus juga sebagai bentuk
gugatan mereka terhadap keringnya moralitas dari sistem penyeleng-garaan
pendidikan yang ada selama ini.
Benar, selama ini pun tidak sedikit
sekolah unggulan umum, baik pemerintah maupun swasta, telah berhasil dibangun
untuk menjawab tuntutan masyarakat. Namun sulit untuk dibantah bahwa selama ini
pun muncul kecende-rungan masyarakat yang melihat arti pentingnya lembaga
pendidikan dasar tidak semata dari kemam-puannya untuk membangun kecer-dasan
intelektualnya, tetapi juga dari kemampuan untuk membangun kecerdasan moralnya,
sebut pula kemampuan akhlak peserta didik-nya.
Dalam konteks itulah, maka upaya untuk
membangun dan mengembangkan model sekolah yang Islami untuk jenjang pendi-dikan
dasar dan menengah menjadi sangat relavan. Sebuah model, kata Elias MA (1979),
tidak lebih dari sebuah representasi atau pencer-minan, yang nyata atau yang
sekadar direncanakan – a model is a
representation. It is a real or a planed system. Diungkapkan juga oleh
Murdik dan Ross (1982), model adalah sebuah abstraksi dari realitas.
Dengan demikian, pengem-bangan model
budaya dalam makalah ini merujuk kepada upaya untuk membangun dan mengem-bangkan
nilai-nilai budaya ke dalam sekolah dengan tujuan bisa mengubah perilaku
organisasi sekolah menuju keunggulan yang diidamkan, keunggulan yang Islami.
B.
Budaya
Sekolah; Tinjauan Teoritis
Benar apa yang dikatakan Barton M.
Schwartz (1968) bahwa perilaku manusia itu adalah tindakan budaya - human behavior is cultural behavior.
Artinya, perilaku sese-orang itu tidak bisa dipahami dan dilepaskan dari budaya
dimana ia hidup. Itu sebabnya, Kotter
& Heskett (1997) mendefinisikan budaya sebagai totalitas pola perilaku,
kesenian, kepercayaan, kelembagaan dan semua produk lain dari karya dan
pemikiran manusia.
Menurut Koentjaraningrat (1984), paling
tidak ada tujuh unsur universal yang ada dalam konsep yang disebut dengan
budaya, meliputi sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengeta-huan, bahasa, kesenian, system mata pencaharian
hidup, dan sistem teknologi serta peralatan.
Ketujuh unsur budaya itu bisa diidentifikasi
dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) kebudayaan sebagai sebuah kompleks
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, norma, peraturan dan sejenisnya (2)
kebuda-yaan sebagai sebuah komplek aktivitas kelakuan yang merujuk kepada
perilaku yang berpola dari manusia atau masyarakat, serta kebudayaan sebagai
(3) kebudayaan dalam wujud benda-benda fisik karya manusia yang merupakan
keseluruhan hasil dari aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ide
kebudayaan yang sifatnya abstrak, tidak dapat diraba dan difoto. Lokasinya
berada dalam pikiran dari warga masyarakat tempat kebudayaan yang bersang-kutan
hidup. Wujud kebudayaan ini juga sering disebut dengan tata kelakukan karena berfungsi mengatur, mengendalikan dan memberi
arah kepada kelakukan dan perbuatan manusia.
Wujud kedua dari kebudayaan sering
disebut sebagai sistem sosial, yang merujuk kepada perilaku yang berpola dari
manusia. Sistem sosial itu berupa aktivitas-aktivitas manusia yang
berinteraksi, berhubu-ngan serta bergaul dari waktu ke waktu. Sementara wujud
ketiga dari kebu-dayaan disebut dengan kebuda-yaan fisik, yaitu keseluruhan
hasil dari aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat yang
sifatnya kongkrit berupa benda-benda.
Dalam konteks organisasi, ketiga wujud
budaya di atas sering disebut dengan budaya organisasi - organizational culture. Karenanya, dalam konteks perusahaan sering
disebut dengan istilah budaya perusahaan - corporate
culture, dan pada lembaga pendidikan atau sekolah sering disebut dengan
budaya sekolah - school culture.
Banyak definisi telah diangkat oleh para
pakar mengenai budaya otganisasi ini. Intinya, budaya organisasi – sebut pula
budaya sekolah – tidak lebih dari system nilai bersama (shared values) yang
tumbuh dan berkembang dalam sebuah organisasi (sekolah), yang dijadikan acuan
seluruh anggota sebuah organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkannya. Menurut Soehardi Sigit
(2003), kebersamaan pengertian atau common
under-standing, sebut pula shared
meaning, anggota organisasi untuk berperilaku sama, baik di luar maupun di
dalam organisasi, adalah inti dari yang disebut dengan budaya organisasi.
Dari definisi itu saja bisa ditangkap
bahwa esensi dari budaya sekolah tidak lebih dari perpaduan nilai-nilai,
keyakinan, persepsi, asumsi, pemahaman dan ekspektasi-ekspektasi yang diyakini
oleh seluruh anggota organisasi atau komunitas sekolah, dan dijadikan pedoman
oleh mereka dalam menjalankan tugas dan memecahkan setiap masalah yang
dihadapinya.
Keberadaan budaya organisasi dalam
sekolah, sebagaimana juga terjadi pada lembaga-lembaga atau organisasi lainnya,
sangat terkait dengan banyak dimensi yang lainnya. Diantara yang paling penting
adalah meliputi milliu atau lingkungan fisik maupun non fisik, struktur
organisasi, yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut dengan iklim
sekolah (school climate).
Dijelaskan bahwa iklim sekolah seperti apa yang diinginkan, akan
ditentukan oleh banyak faktor yang satu sama lain hadir saling mempe-ngaruhi
dan menentukan dalam sebuah bangunan sistem, mulai dari faktor budaya berupa
nilai, norma, sistem keyakinan dan sejenisnya, faktor ekologi berupa lingkungan
fisik seperti bangunan, desain bangunan, termasuk teknologi, faktor lingkungan
non-fisik seperti karakter individu, motivasi dan kepuasan kerja, sampai faktor
organisassi sekolah itu sendiri, termasuk strukturnya.
C.
Nilai-nilai
Budaya Sekolah Unggul
Nilai, yang dalam bahasa Robbins disebut
dengan keyakinan, atau yang dalam bahasa
Allport (1961) disebut sebagai kepercayaan yang dijadikan preferensi
manusia dalam tindakannya – a belief upon
which a man acts by preference. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa
sekolah yang berprestasi, sebut pula sekolah unggul, memiliki landasan
nilai-nilai yang dijadikan landasan baik dalam perumusan kebijakan
konsepsional, maupu pedoman segala perilaku wara sekolah.
Penulis buku Reforming School (2001) Kimberly Kinsler and Mae Gamble,
menyebutkan bahwa dari banyak penelitian, upaya untuk bisa mereformasi sekolah
dalam rangka membangun sekolah yang efektif (effective school), sebut pula sekolah unggulan, paling tidak selalu
melibatkan dua faktor yang sangat krusial, yakni yang berkaitan dengan budaya
sekolah dan instruksi pedagogis – pedagogic
instructional. Razik dan Swanson, dikutip Rahmat Haryadi (2002) misalnya,
menyebut-kan beberapa nilai yang mestinya dijadikan landasan dalam pengam-bilan
kebijakan pendidikan antara lain: equality,
efisiensi dan liberty. Sedangkan Marshall, Mitchel dan Wirt (1989) menyebutkan: quality, equity, efficiency, dan chice (liberty or freedom).
Berbagai nilai di atas, apabila
diringkas akan memunculkan empat macam nilai utama, yaitu : cutomer service, exelence, inovatian dan integrity.
Miflen dan Miflen (1986) secara khusus mengidentifikasi nilai-nilai yang
terkait pada persekolahan dan prestasi yang dicapainya.
Pertama,
prestasi dan persa-ingan. Prestasi dapat dipandang sebagai nilai terminal
(tujuan) dan dapat pula dianggap sebagai nilai instrumental (sarana untuk
mencapai tujuan). Yang pasti, prestasi di sekolah tidak dapat dilepaskan dari
persaingan atau kompetisi. Kompe-tisi merupakan nilai alamiah yang ada diantara
siswa, guru maupun antar sekolah.
Kedua,
kreativitas dan konfor-mitas. Krativitas siswa adalah suatu yang harus
dikembangkan oleh guru secara positif. Meskipun pada tataran tertentu
kreativitas seorang siswa dapat merepotkan guru. Demikian pula sebaliknya
dengan konformitas, yang terkait dengan aturan, kedisiplinan, kepatuhan,
ketergantungan dan sebagainya.
D.
Nilai-nilai
Keislaman
Pandangan hidup yang mendasari seluruh
pendidikan Islam ialah pandangan hidup muslim yang merupakan nilai-nilai luhur
yang bersifat universal bersumber dari al-Qur’an dan As-sunnah sebagai
panduannya. Tujuan pendidikan Islam tidak lain sejalan dengan pendidikan
manusia dan perannya sebagai makhluk Allah, yaitu semata beribadah kepada-Nya
(Q.S Adz-Dzariat ayat 56).
Banyak sekali nilai-nilai keislaman yang
harus dibudayakan dan dilembagakan dalam system pendidikan kita. Namun dalam
garis besarnya, nilai-nilai itu bisa dibagi menjadi dua nilai pokok dan
mendasar yang satu sama lain saling memengaruhi dan memperkuat.
Yang pertama, adalah nilai pendidikan
keimanan atau aqidah Islamiyah. Alasan paling mendasar-nya, iman merupakan
pilar yang mendasai keislaman seseorang, dalam hal ini peserta didik. Iman,
kata Yusuf Qordowi (2000), adalah kepercayaan yang terhujam ke dalam hati
dengan penuh keyakinan, tak ada perasaan syak atau ragu, serta sangat
memengaruhi orientasi kehidupan.
Yang kedua, adalah nilai pendidikan
ibadah yang menurut Yosuf Qordowi (tt) merupakan nilai kepatuhan dan sampai
batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan kepada
yang disembah, yaitu Allah Swt. Kepatuhan yang dimaksud adalah, seorang hamba
yang mengabdikan dirinya kepada Allah Swt.
Lebih jauh ditegaskan, ibadah merupakan bukti nyata bagi seseorang muslim dalam
meyakini dan memedomani aqidah Islamiyah.
Nilai-nilai keislaman itulah yang
kemudian harus dikonstruk-sikan ke dalam penyusunan kurikulum unggulan.
Artinya, kurikulum sekolah yang akan dibangun harus senantiasa memper-timbangkan
antara pelajaran umum dengan pelajaran agama, antara aspek kognitif dengan
aspek afektif dan psikomotorik, antara aspek teoretik dengan praksis.
Sebagaimana yang dikem-bangkan lembaga
pendidikan Al-Azhar – dan karenanya dikenal dengan “Kurikulum Al-Azhar”,
kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatiakan tolok ukur sebagai berikut :
(1) taat beribadah, mampu berdzikir dan menjadi iamam shalat, (2) mampu
bermuamalah dalam kehidupan masyarakat, (3) memiliki akhlak yang baik terhadap
Allah dan makhluk-Nya, (4) meyakini kebenaran Islam, (5) mengetahui pengetahuan
yang menyeluruh tentang Islam, (6) memiliki daya tahan dan peka terhadap paham
atau ajaran yang dapat merusak aqidah, (7) mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan baik dan benar, (8) mau mendalami
ajaran Islam dan medakwahkannya, (9) mampu membaca Alquran dengan baik dan
benar, menghayati dan mengamal-kannya, dan (10) memiliki toleransi sosial.
E.
Pengertian
dan Karakteristik Sekolah Unggul
Sekolah unggul yang dimaksud di sini
dapat dipersamakan dengan sekolah berprestasi, yakni sekolah yang terbukti
memiliki prestasi (keunggulan) lebih diban-ding sekolah-sekolah yang lain di
daerahnya. Keunggulan bisa diwujudkan karena didukung oleh keunggulan dalam hal
mengelola input, proses dan out put-nya.
Antara lain adalah Djojo Negoro (1998),
yang berpendapat bahwa sekolah unggulan adalah sekolah yang memiliki (1)
prestasi akademik dan non-akademik di atas rata-rata sekolah yang ada di
daerahnya, (2) sarana dan prasarana pelayanan lebih lengkap, (3) system
pembelajaran lebih baik dan waktu pembelajaran lebih panjang, (4) melakukan
seleksi yang lebih ketat terhadap pendaftar (5) mendapatkan animo yang lebih
besar dari masyarakat, yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah pendaftar
dibanding kapasitas kelas, dan (6) biaya sekolah lebih tinggi dari sekolah
disekitarnya.
Dalam pemikiran Edwards Sallis dan
Sudirman Damin (2006), terdapat 13 ciri dari sekolah unggulan dilihat dari
aspek pengelolaannya. Ke 13 karakteristik yang saling terkait itu meliputi:
Sekolah harus (1) berfokus kepada pelanggan, baik internal maupun eksternal,
selain (2) berfokus kepada upaya untuk mencegah masalah yang muncul, dengan
komitmen untuk bekerja secara benar dari awal, (3) mengelola dan memperlakukan
keluhan sebagai umpan balik untuk memperbaiki kulaitas, (4) memiliki investasi
pada sumber daya manusianya, (5) memiliki strategi untuk mencapai kualitas,
baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik maupun administrative, (6) memiliki
kebijakan dalam melakukan perencanaan untuk mencapai kualitas.
Ciri penting lainnya, sekolah juga harus
bisa (7) memperjuangkan perbaikan prestasi dengan melibatkan semua orang sesuai
dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya, (8) mendorong orang yang
dipandang memiliki kreativitas mampu menciptakan kualitas, dan merangsang yang
lainnya agar tetap mempertahankan kualitas, (9) memperjelas peran dan tanggung
jawab setaip orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertical dan
horizontal, (10) memiliki strategi dan kriteria evaluasi yang jelas, (11)
memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja, (12) menempatkan
kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas pelayanan
lebih lanjut, dan (13) selalu menumpatkan peningkatan kualitas secara terus
menerus sebagai sebuah keharusan.
Intinya, sekolah berbudaya unggul pada
prinsipnya adalah sekolah yang dikelola dengan menggunakan apa yang oleh Arthur
R. Tenner and Irving J. DeToro (1994) disebut dengan Total Quality Management, model manajemen yang diorientasikan
kepada peningkatan yang terus menerus (continuous
improvement) yang difokuskan kepada customer
focus, process improvement dan total involvement.
F.
Karakteristik
Sekolah Unggul yang Islami
Mengacu kepada pengertian, nilai-nilai
keislaman dan ciri-ciri sekolah unggul
sebagaimana dikembangkan Depdikbud (1994), terdapat beberapa dimensi yang bisa
diangkat sebagai ciri sekolah unggul yang Islami dalam tulisan ini. Ciri-ciri
tersebut meliputi:
a. Masukan
(input), yaitu siswa diseleksi secara ketat dengan menggunkan kriteria dan
prosedur yang bisa dipertang-gungjawabkan dan sesuai dengan nilai-nilai
keislaman.
b. Sarana
dan prasarana yang Islami dan menunjang untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa
serta menyalurkan minat dan bakatnya.
c. Lingkungan
belajar yang kondusif untuk berkembangnya tidak saja potensi keunggulan
kognitif-akademik, tetapi juga kondusif bagi pengembangan keunggulan
nilai-nilai ajaran Islam, sebuah lingkungan belajar dan mengajar yang Islami.
d. Guru
dan tenaga kependidikan yang menangani harus unggul disamping dari segi
penguasaan materi pelajaran umu, juga penguasaan nilai-nilai keislaman,
termasuk keunggulan dalam metode mengajar, maupun komitmen dalam menjalankan
tugasnya
e. Kurikulumnya
diperkaya dengan pengembangan dan improvisasi secara maksimal sesusi dengan
tuntutan belajar perserta didik serta ruh serta semanagat keislaman.
f. Kurukilum
waktu belajar lebih lama dari sekolah lain. Karena itu, perlu adanya asrama
untuk memaksimaalkan pembinaan keislaman dan menampung para siswa dari berbagai
lokasi atau daerah. Di kompleks asrama juga tersedia sarana dan prasarana yang
bisa mengembangkan bakat dan minat anak.
g. Proses
belajar-mengajar harus berkualitas dsan hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan
baik kepada siswa maupun orang tua dan masyarakat atau umat secara keseluruhan
h. Sekolah
unggul tidak hanya memberi manfaat kepada peserta didik, tetapi juga harus
memiliki resonansi sosial kepada lingkungan sekitar
i.
Nilai lebih
sekolah unggulan terletak pada perlakuan tambahan di luar kurikulum nasional
melalui pengembangan kurikulum, program pengayaan, dan perluasan, pengajaran
remedial, pelayanan bimbingan – konseling yang berkualitas, serta pembinaan
kreativitas dan disiplin sesuai dengan nilai-nilai dan kaidah keislaman.
G.
Kerangka
Model Sekolah Unggul yang Islami
Menurut Elias MA (1997), model itu tidak
lebih dari sebuah pencerminan, penggambaran system yang nyata atu direncanakan.
Sejalan dengan itu, Murdik dan Ros (1982) mengatakan bahwa sebuah model itu
merupakan abstraksi realitas.
Dengan demikian, pengemba-ngan model
budaya dalam makalah ini merujuk kepada upaya untuk membangun dan mengembangkan
nilai-nilai budaya ke dalam sekolah dengan tujuan bisa mengubah perilaku
organisasi sekolah menuju keunggulan yang diidamkan, keung-gulan yang Islami
sebagaimana bisa ditelaah dalam chart di bawah ini:
Dijelaskan
bahwa nilai-nilai budaya sekolah unggul dan nilai-nilai budaya sekolah yang
Islami, merupakan dua kekuatan yang diharapkan bisa saling megisi dan
memperkuat satu sama lainnya. Lebih-lebih, akan selalu ada keserasian dan
kesesuaian arah serta isi antara nilai-nilai sekolah unggul dengan sekolah
berbasis nilai keislaman. Kerja keras, integritas, kejujuran, keikhlasan dan
sejenisnya, adalah beberapa saja dari nilai sekolah unggul yang sesungguhnya
juga merupakan nilai keislaman.
Lebih jauh lagi, dari diagram tersebut di atas juga nampak bahwa model sekolah unggul yang Islami akan
terjadi manakala terjadi proses pembentukan budaya melalui sebuah transformasi
dua kekuatan nilai tersebut, kekuatan nilai sekolah unggul dan nilai sekolah
Islami, ke dalam system pengelolaan pendidikan, mulai dari pengelolaan input,
proses penyelenggaraan pendidikan, sampai kepada out put dan out come-nya.
Logika sederhananya, output yang dihasilkan oleh sebuah lembaga pendidikan,
dalam hal ini adalah sekolah, akan memiliki nilai-nilai keunggulan dan semangat
keislaman manakala dua kekuatan nilai tersebut berhasil ditransformasikan ke
dalam input dan prosesnya.
H.
Simpulan
Dengan uraian di atas, penulis ingin
menegaskan sekali-gus menyimpulkan: Pertama,
bahwa membangun sekolah unggulan yang islami merupakan sebuah aktivitas proses
yang kompleks dan panjang karena berkaitan dengan pembangunan dan pengembangan
budaya sebuah organisasi yang didalamnya banyak faktor saling berpengaruh dan
menentukan.
Dalam proses yang
kompleks dan panjang itu, kedua,
paling tidak ada dua jenis budaya atau nilai yang harus dikembangkan, yakni
nilai-nilai sekolah unggul dan nilai-nilai keislaman, dua nilai yang mesti bisa
diintegrasikan dalam sebuah iklim atau kultur sekolah yang akan dibangun.
Singkatnya, model budaya sekolah unggulan yang Islami seperti dimaksudkan dalam
makalah ini tidak lebih dari sekolah yang berhasil memadukan sekaligus
mewujudkan nilai-nilai sekolah unggul dengan nilai-nilai keislaman.
Dilihat dari out-put-nya, ketiga, status unggul dan islami yang melekat dalam
sekolah unggulan di sini juga harus benar-benar bisa diukur tidak saja dari
keunggulan mutu lulusannya hanya dilihat dari aspek kognitifnya, tetapi juga
dimensi afektif dan psikomotoriknya.
I.
Daftar
Pustaka
Allport,
G.W. 1961. Pattern and Growth in
Personality. New York.. Holt Rinehart and Wanston.
Athur
R. Tenner and Irving J. DeTero. 1994. Total
Quality Management (Three Steps To Continuous Improvement). California, New
York. Addison-Wesley Publishing Company.
Azyumardi
Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional; Rekonstruksi dan Demokratisasi.Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Barton
M. Schwartz and Robert H. Ewald. 1968. Cultur
and Society. USA. The Ronald Press Cpmpany.
Depdikbud.
1994. Pengembangan Sekolah Unggul.
Jakarta. Direjen Dikdasmen
Edward
Sallis dan Sudarman Damin. 2006, 13 Ciri
Sekolah Unggulan. Jurnal Risbang LPIT TBZ,
dikutip lebih lanjut dalam
Tabloid Intajiyah Edisi Agustus 2009 dan dipublikasikan dalam Compasiana 6
Oktober 2013.
Hamzah Ismail. 2011. Sekolah Islam Unggulan dalam
Hamzahsmile. Bologspot.com/2011/05/ ekolah-islam-unggulan.html.31 Mei2011.
Kimberly Kinsler and Mae Gamble. 2001. Reforming School. London and New York.
Continuum.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan.
Jakarta. Gramedia
Kotter & Heskett. 1992. Corporate Culture and Performance Terjemahan).
Jakarta. Gramedia
Rahmat Hariyadi. 2002. Budaya Sekolah Berprestasi (Disertasi).
Bandung. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Razik and Swanson. 1993. Fundamental Concept of Educational
Leadership and Management. Englewood Cliffs. New Jersey: Merril
Robbins, S.P. 1991. Organizational Behaviour. Englewood Cliffs. New Jersey : Prentice –
Hall, Inc
Yusuf Qordowi. 2000. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta.
Mitra Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.