A. Pendahuluan
Saat ini dunia
pendidikan ditantang untuk menjawab perubahan global yang terjadi begitu cepat,
seperti pasar bebas (free trade), tenaga kerja bebas (free labour),
perkembangan masyarakat masyarakat informasi, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Tetapi hari ini juga bangsa
Indonesia dihadapkan pada fenomena yang sangat dramatis, yakni rendahnya peringkat
daya saing Indonesia yang dapat dipandang sebagai indikator bahwa pendidikan di
Indonesia belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dengan
kemampuan bersaing yang memadai sebagaimana dilaporkan oleh the World
Competitiveness Yearbook yang diterbitkan oleh International Institute
for Management Development. Menurut catatan UNDP, pada tahun 2011
HDI (Human Development Index) Indonesia menempati peringkat 124,
bandingkan dengan Brunei ke-33, Singapura ke-26, Malaysia ke-61, Thailand ke-103
dan Srilangka ke-97.[1]
Peringkat Indonesia ini menunjukkan posisi negara sedang berkembang. Rendahnya
peringkat daya saing Indonesia di pusat global juga digambarkan pada
permasalahan yang menyangkut produktivitas sektor industri dan perdagangan.
Tantangan berikutnya
adalah penyerahan sebagai wewenang pusat kepada daerah melalui mekanisme
ekonomi daerah. Beberapa isu sentral yang mencuat ke permukaan sehubungan
dengan pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Kuncoro (2004)
di antaranya (1) bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme daerah.
Sehingga pelaku pembangunan lebih mengutamakan putra daerah, yang terkadang
mengabaikan kualitas; (2) adanya tendensi masing-masing daerah, yang
mementingkan daerahnya sendiri, terutama dalam mengumpulkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD); (3) lemahnya koordinasi antar sektor dan antar daerah; dan (4)
dengan otonomi daerah diharapkan terjadi perubahan paradigma dari sentralisasi
menjadi desentralisasi.
Bertitik tolak dari
berbagai problem pendidikan tersebut, maka pada kesempatan ini penulis ingin
membahas etika pendidikan perspektif kebijakan memberdayakan potensi perguruan
tinggi yang ideal.
B. Pembahasan
Dalam rangka
mensejahterakan rakyatnya, Indonesia mutlak memiliki komitmen dan kemampuan
mengikuti dan bisa memenangkan persaingan di tingkat dunia. Untuk itu,
Indonesia berusaha sekuat tenaga menjadi lebih terbuka kepada arus perubahan
internal maupun eksternal yang positif. Perubahan tersebut mendorong semakin
menguatnya kesadaran dan pentaatan kepada hukum (role of law); makin
meningkatnya pengaruh kekuatan/peran konsumen. Oleh karena itu globalisasi yang
mendorong bergeraknya manusia, modal, teknologi, informasi, barang dan jasa
secara cepat dan tidak mengenal batas-batas negara perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dalam rangka memanfaatkan keunggulan kompetitif dan secara bertahap menciptakan
keunggulan kompetitif.
Untuk itu, dituntut
sumber daya manusia yang makin berkualitas, terutama yang dicapai melalui
pendidikan dan latihan yang mampu mengakomodasikan setiap perubahan yang
terjadi. Salah satu tujuan UU No. 20 tahun 2003 adalah memberdayakan potensi
perguruan tinggi, menumbuhkembangkan sumber dana penyelenggaraan pendidikan.
Upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
menunjang kebutuhan pendidikan adalah melibatkan masyarakat dalam berbagai
kegiatan pendidikan termasuk pengambilan keputusan tentang berbagai
kebijaksanaan dalam dunia pendidikan. Melalui otonomi daerah, pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka itulah,
perlu dilakukan reformasi etika pendidikan. Dan pada kesempatan ini penulis
akan membahas lebih detail mengenai total quality management (TQM)
Perguruan Tinggi, pemberdayaan LPTK dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pemberdayaan
LPTK dalam pembaharuan sistem manajemen mutu lembaga pendidikan (Sekolah dan
Disdik Kabupaten/Kota).
Menurut Zaenudin dan
Nurwidiatmo bahwa tujuan dari reformasi adalah educated and civilized human
being dalam rangka mewujudkan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang
cerdas dan bermoral, mampu berdiri sendiri dan bekerja sama dengan orang lain.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di tengah-tengah
globalisasi dalam abad pertengahan ini. Reformasi etika pendidikan dimulai dari
keluarga, karena keluarga merupakan bagian kehidupan dalam masyarakat yang
pertama dan utama bagi seorang anak. Pola
asuh yang diberikan terutama penanaman nilai-nilai moral yang membentuk
anak menjadi anak jujur, konsisten, bersikaf positif, terbuka,
bertanggungjawab, dan memiliki pengetahuan serta kreativitas.
Menurut Engkoswara
titik berat pendidikan dalam keluarga adalah akhlak mulia minimal hidup bersih
dan sehat, disiplin dalam melakukan setiap kegiatan dalam keluarga seperti
belajar teratur, hormat menghormati, dan sebagainya. Hal ini akan mendidik
mereka mampu melakukan, meniru hal-hal yang baik untuk keutuhan dan
keharmonisan keluarga demi kejayaan suatu masyarakat dan bangsa pada umumnya.
Kemudian reformasi etika pendidikan khususnya pada tingkat pendidikan tinggi
juga harus dilakukan, baik yang berkaitan dengan kebijakan maupun layanan
belajar yang diterima mahasiswa yang menggambarkan etika akademik.
Universitas sebagai
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam spektrum pendidikan tinggi
menghasilkan lulusan sebagai tenaga kependidikan. Diteropong dari pekerjaan
yang diterjuni lulusannya, tampak bahwa lulusan universitas sebagai LPTK secara
sengaja dipersiapkan untuk memangku jabatan tertentu, yaitu tenaga kependidikan
di bidang dan jenjang tertentu, misalnya menjadi guru MI, MTs, MA, dan tenaga
administrasi pendidikan. Dengan kata lain lulusan Universal (khususnya program
studi pendidikan) memang dirancang untuk memasuki profesi tertentu. Dengan
posisi semacam itu, sebenarnya universal sebagai LPTK lebih dekat dengan
“perguruan tinggi kedinasan” dibanding perguruan tinggi umum.
Jika alur berpikir
tersebut diterima, maka secara konsep sebenarnya LPTK tergolong ke dalam vocasional
education, meskipun pada jenjang tersier (Evans, 1974). Dengan kata lain
secara konsep universal sebagai LPTK lebih dekat dengan pendidikan kejuruan
dibandingkan dengan pendidikan umum (liberal education). Sebagai
konsekuensinya, maka pemberdayaan dan pengembangan Universitas bekas IAIN,
harus betul-betul market oriented. Konsekuensi selanjutnya, pembinaan
UIN seharusnya melibatkan secara aktif pihak sekolah dasar, menengah,
pendidikan luar sekolah, dan instansi lain sebagai konsumen lulusannya.
Dengan menggunakan paradigma
Total Quality Management (TQM), maka dalam merancang dan melaksanakan
proses pendidikan di setiap jenjang pendidikan, pengelola harus memberdayakan
dan melibatkan LPTK, pihak sekolah, lembaga pendidikan dan instansi lain
sebagai pelanggan tersier, dosen dan pemerintah sebagai pelanggan sekunder,
serta mahasiswa sebagai pelanggan primer. Mengapa demikian? Sebab, menurut
paradigma TQM kualitas LPTK sebagai unit jasa layanan pendidikan, diukur dari
kepuasan para pelanggan tersebut (Sallis, 1993, Paul R. Niven 2002). Artinya
kualitas LPTK dapat diukur dengan seberapa jauh mahasiswa puas dari layanan
pendidikan yang diterima, seberapa jauh dosen puas dengan situasi kerja dan
layanan yang diterima, dan seberapa besar pihak sekolah/pengguna lulusan puas
dengan kualitas lulusan yang diterimanya, seberapa besar LPTK dan
lembaga-lembaga pendidikan puas dalam bekerja sama untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Jadi, baik menggunakan
paradigma LPTK sebagai “pendidikan kedinasan” maupun TQM, pemberdayaan dan
pengembangan LPTK merupakan suatu keharusan. Dalam rangka pikir pendidikan
secara sistem, keterlibatan perguruan tinggi (LPTK) dalam program peningkatan
kualitas pendidikan di seluruh lembaga-lembaga pendidikan dan nonkependidikan
yang berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya manusia seyogyanya
dimaknai sebagai hak sekaligus kewajiban LPTK. Penyelenggaraan LPTK yang
memenuhi etika dan moralitas akan menjamin bahwa fakta-fakta manajemen memenuhi
prosedur dan aturan yang berbasis pada obyektivitas khususnya dalam pengambilan
keputusan dan memberikan layanan baik internal maupun eksternal. Artinya
seluruh personil LPTK mendapat layanan yang memenuhi standar etika dari mereka
yang pantas memberikan layanan dan personil LPTK akan memberikan layanan kepada
pihak yang berkepentingan khususnya mahasiswa dengan etika yang dipersyaratkan.
Berbagai kegagalan
mendasar yang dilakukan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia cenderung
disebabkan oleh beberapa hal, yakni (1) kurangnya konsistensi untuk mengawal
peningkatan mutu secara berkelanjutan; (2) lemahnya perawatan sumber-sumber
pendanaan secara independen dan bertanggung jawab; (3) lemahnya pengawasan dan
pemeliharaan staf dan resources potensial; (4) kurangnya konsistensi untuk
meningkatkan partisipasi stakeholder terhadap kinerja lembaga
pendidikan; (5) lemahnya upaya perbaikan standar operasi yang efisien dan
produktif; (6) rendahnya kemampuan untuk menggalang partisipasi publik; (7)
rendahnya daya juang dalam menghadapi situasi yang tidak menentu (uncertainly);
dan (8) lemahnya kemampuan untuk menentukan proses manajemen yang sesuai dengan
karakteristik internal lembaga pendidikan.
Perguruan tinggi
(khususnya LPTK) memiliki berbagai sumber potensi daya manusia, fasilitas dan
informasi yang dapat diberdayakan untuk mengatasi berbagai problema (khususnya
rendahnya kualitas SDM sebagai pelaku pendidikan) atau memperbaiki kegagalan
yang terjadi. Berbagai kebijakan dan komitmen pemerintah dalam meningkatkan
kualitas pendidikan yang berdampak pada peningkatan kualitas moral,
produktivitas dan kreativitas SDM untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
madani (civil sosiety) dan sejahtera, dapat diimplementasi dengan
memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki perguruan tinggi (LPTK) melalui
berbagai program kemitraan dengan masyarakat luas, khususnya pengguna lulusan
yang nantinya akan menjadi out come sebagai perwujudan dari out put
yang dihasilkan.
Program-program
kemitraan yang ditawarkan LPTK, dikelompokkan ke dalam enam program payung
sebagai acuan dalam mengembangkan kehiatan kemitraan di antaranya: (1) pemetaan
dan penyediaan dan kebutuhan guru; (2) pemberdayaan dosen LPTK ke sekolah; (3)
pemberdayaan lulusan LPTK di sekolah; (4) Pengembangan kurikulum inti; (5)
pengembangan kurikulum antar disiplin ilmu; dan (6) Inovasi pelaksanaan program
pengalaman lapangan (PPL). Yang tentunya kesemuanya itu perlu diperjelas lagi berdasarkan
masing-masing program yang dijabarkan.
C. Simpulan
Pada dasarnya etika dan
moralitas pada pendidikan tinggi menggambarkan antara proses dan hasil
pendidikan yang bermutu saling berhubungan satu sama lainnya, akan tetapi agar
proses pendidikan dapat bermutu dan tepat sasaran, maka mutu dalam artian hasil
(out put dan out come) harus dirumuskan lebih dahulu oleh lembaga
pendidikan. Pemberdayaan potensi LPTK dalam penataan lembaga-lembaga pendidikan
yang penting dilakukan segera adalah menyangkut pengendalian mutu pendidikan.
Sekolah merupakan unsur pelakasanaan akademik dan Disdik Kab/kota sebagai wadah
manajemen yang memfasilitasi pelaksanaan pendidikan. LPTK adalah penghasil
tenaga kependidikan yang menyelenggarakan akademik dan/atau profesional. Sedangkan
masyarakat adalah pengguna hasil-hasil pendidikan. Keterpaduan lembaga-lembaga
pendidikan dalam membangun komitmen mutu adalah hal yang utama.
D. Kepustakaan
Anonimous
(2003). Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Restindo Mediatama.
Buchori, Mochtar
(2004). Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool ke IKIP 1852-1998.
Yogyakarta: INSIST Press.
Engkoswara
(2002). Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: P2LPTK Jakarta.
Sallis E.
(1993). Total Quality Management in Education. London: Kogan page imt.
H.A.R. Tilaar
(2002) Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosdakarya.
Zaenudin dan Nurwidiatmo
(2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.