A. Pendahuluan
Segala puji bagi
Allah Swt., Rabb yang telah menciptakan kalbu seluruh makhluk dengan sebaik
penciptaan. Yang telah menganugerahkan keajaiban di sekeliling kalbu berupa
cahaya, demi memahami keagungan-Nya. Allah Swt. juga Dzat Yang Maha Melihat
atas segala rahasia yang disembunyikan hamba dalam kalbu kita. Bahkan, Dia Maha
Menyaksikan apa yang terkandung di dalam benak dan jiwa mereka (hamba-Nya).
Allah Maha Mengatur seluruh ciptaan-Nya tanpa membutuhkan bantuan siapa pun dari
makhluk, serta tidak pula memerlukan persetujuan atas kekuasaan-Nya. Di samping
itu semua, dan yang terpenting, Allah Swt. Maha Mampu membolak-balikkan kalbu
hamba-Nya, mengampuni sebagian besar dosa (kesalahan) yang mereka lakukan, dan
menutupi kekurangan hamba dengan ke-Mahaperkasaan-Nya, serta sekaligus juga
melapangkan segala bentuk kesempitan yang dirasa oleh kalbu hamba-Nya.
Manusia dan
keutamaan yang di sandangnya melebihi seluruh makhluk yang ada disebabkan
kesiapan manusia untuk berada pada posisi mengenal (ma’rifat) Allah Yang
Mahasuci. Ma’rifat kepada Allah Swt. di dunia merupakan bagian dari keindahan,
kesempurnaan, dan kebanggaan tersendiri. Sedangkan untuk tujuan alam akhirat
lebih sebagai persiapan dan simpanan jangka panjang. Sesungguhnya hanya dengan
kalbu manusia akan siap berma’rifat. Tidak ada satu pun di antara anggota tubuh
lainnya yang akan mampu melakukannya. Hanya kalbu, dengan kalbu pula manusia
kemudian mengenal Allah Swt. dan kalbu juga yang mendekatkan diri kepada-Nya.
Kalbu juga yang berbuat karena Allah. Kalbu pula yang berusaha kepada Allah,
dan sekaligus yang menyingkap apa yang berada di sisi Allah, serta yang
tersedia pada kehendak-Nya.
Seluruh anggota
tubuh hanyalah pengikut, pelayan, dan alat yang dipekerjakan dan digunakan oleh
kalbu. Sebagaimana tuan memakai hamba sahayanya, sebagai pemimpin mempekerjakan
karyawannya, atau perancang mempergunakan alat bantu yang dimilikinya.
Kalbulah yang
diterima di sisi Allah Swt. apabila ia selamat dari selain-Nya (tidak
menyekutukan-Nya). Kalbu pula yang ter-hijab (terhalang) dari Allah
apabila ia tenggelam dengan selain-Nya (melainkan-Nya). Kalbu juga yang
dituntut serta yang diajak bicara. Kalbu pula yang dicaci, kalbu pula yang
berbahagia dengan berdekatan kepada Allah Swt. dan berbahagia pula apabila Dia
menyucikannya.
Kalbu juga yang
menyesal dan celaka apabila penggunanya lebih memilih untuk mengotori dan
merusakkkannya. Di samping itu, kalbu juga yang berbuat taat secara hakiki
kepada Allah Swt. Juga sesungguhnya kalbu-lah yang tersebar atas seluruh
anggota tubuh dari amal ibadah yang menjadi cahayanya. Kalbu pula yang durhaka
lagi sombong kepada Allah Swt. dan sesungguhnya yang berlaku kepada anggota
tubuh dari perbuatan-perbuatan yang keji adalah segala apa yang menjadi bekas-bekas
atau akibat kalbu. Dan dengan kegelapan kalbu serta bersinarnya, maka akan
tampak kejelakan-kejelakan lahir, dan sekaligus kebaikan-kebaikannya. Karena,
setiap bejana itu terbasahi dengan apa yang berada (diisikan) ke dalamnya.
Kalbulah yang
apabila ia mengenalnya maka ia mengenal dirinya. Dan apabila seseorang telah
mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Rabb-nya. Kalbu pula lah yang
apabila manusia tidak mengetahuinya, niscaya ia tidak mengenal dirinya sendiri.
Dan, apabila seorang hamba tidak memahami dirinya sendiri, niscaya ia tidak
akan pernah mengenal Rabbnya. Siapa saja hamba yang tidak mengenal kalbunya,
maka ia – dengan selain kalbu itu – lebih tidak memahami jati diri dan Rabbnya.
Karena, kebanyakan makhluk itu tidak mengerti kalbu dan diri mereka sendiri.
Juga, telah menghalangi antara mereka dengan diri mereka sendiri.
Berawal dari
latar belakang inilah penulis ingin mengupas pendapat al-Ghazali sebagai tokoh
Islam dengan segala kelebihan dan pemikirannya tentang pendidikan Islam, terutama
mengenai alat yang digunakan untuk memperoleh sebuah pengetahuan yaitu panca
indera, kalbu dan akal. Pembahasan yang dimaksud oleh penulis berkutat pada
masalah kalbu yang tidak menutup kemungkinan akan adanya keterkaitan di antara
ketiga alat tersebut.
B. Biografi Al-Ghazali
1. Riwayat
Hidupnya
Nama lengkap
Al-Ghazali adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, mendapat gelar Imam besar
Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M, di
suatu kampung bernama Ghazalah, Thusla sebuah kota di Khurasan, Persia. Ia
keturunan persia dan mempunyai hubungan keluarga dengan raja-raja Saljuk yang
memerintah daerah khurasan, Jibal, Irak Jazirah, Persia dan Ahwaj. Ayahnya
seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia
seringkali mengunjungi rumah alim ulama, menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada
mereka. Ayah al-Ghazali sering berdoa kepada Allah agar diberikan anak yang
pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan (menikmati) jawaban
Allah (karunia) atas doanya, ia meninggal dunia pada saat putera idamannya
masih usia anak-anak (Zainuddin 1991: 7).
Pada tahun 484
H/1091 M ia diangkat menjadi Guru besar di Universitas Nidhamiyyah Baghdad
(Zainuddin, 1991:9), berkat kemampuan dan kecerdasan-nya yang tinggi, karirnya
melejit dan menjadi rektor di Universitas tersebut pada usia 34 tahun (Rusn,
1998: 11).
Pada
masa kecilnya, Al-Ghazali berguru pada imam Ahmad bin Muhammad al-Razikani, di mana
beliau belajar fikih, dan mempelajari ilmu tasawuf kepada Yusuf An-Nasaj,
sampai pada usia 20 tahun, kemudian Al-Ghazali meneruskan pendidikannya ke
sekolah Nidhamiyah, dan berguru pada Imam Haramain Abu al-Ali al-Juwaini.
Disini al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh mantiq dan ushul. Selain itu,
mempelajari filsafat dari risalah-risalah ikhwanus shofa karangan al-Farabi,
Ibnu Maskawaih. Sehingga melalui ajaran-ajaran ahli filsafat itu, al-Ghazali
dapat menyelami paham-paham Aristoteles dan pemikir Yunani yang lain. Itu semua
dikuasai dalam waktu singkat, sehingga ia menjadi ahli pembagian yang pintar di
zamannya. (Zainuddin, 1991: 8).
Meskipun
al-Ghazali keahlian dan kemashurannya sudah mengimbangi gurunya, namun beliau
tetap setia padanya, dan mendampinginya sampai wafat pada tahun 478 H. Setelah
gurunya wafat, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju negeri Askar untuk
berjumpa dengan nizam al-Mulk menteri Sultan Malikahah al-Saljuki. Beliau
mendapat penghormatan besar di depan golongan ulama dan pemimpin umat.
Al-Ghazali berdiskusi dan berdebat dengan mereka dan semua dikalahkannya.
Sehingga mereka tidak segan-segan mengakui keluasan ilmunya. Sesudah itu Nizam
al-Mulk meminta beliau berpindah ke Baghdad untuk mengajar di sekolah Nizamiyah
pada tahun 1090 M/483 H. Selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan
terhadap golongan bathiniah, Ismailiyah, filsafat dan yang lainnya (Hasan
Langgulung, 1995: 127).
Setelah mengajar
empat tahun di Baghdad, al-Ghazali merasa bosan terhadap pangkat yang
diperolehnya, kebosanan itu disebabkan karena kejengkelannya terhadap dirinya,
sampai berlalu krisis jiwa yang memaksakannya menjauhi manusia dan berbuat
zuhud serta meninggalkan sifat-sifat sombong dan kemasyhuran untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi, yaitu kesucian jiwa,, usaha untuk mencapai kebenaran
di tengah-tengah pendapat yang bertentangan satu sama lainnya.
Dalam
pengakuannya, bahwa ia telah meneliti dan mendalami dirinya tetapi merasa tidak
puas memandang kepadanya, sebab berkecimpung dalam kehidupan sosial dan ilmiah
itu sangat jauh dari cara yang sepatutnya dibuat oleh seorang yang tahu dan
wara’. Ia telah menuntut ilmu yang dianggap remeh dan tidak ada kaitannya
dengan hari akhirat. Namun kesadarannya untuk menjauhi kehidupan dunia dan
memasuki pertapaan tidak cukup kuat dan sia-sia saja. Ia meyakini bahwa sudah masanya untuk pergi,
umur tinggal sedikit untuk dihabiskan dalam hal yang tidak berguna, yang kedua
mengajaknya mencari pangkat tinggi dan
kehidupan mewah (Hasan Langgulung, 1995: 128).
Peristiwa
genting ini menarik dia ke kiri dan ke kanan selama kurang lebih enam bulan,
tidak sanggup ia memilih antara membebaskan diri dari godaan dunia atau rela
atas kehidupan yang tidak disetujui hati kecilnya. Sehingga terjadilah suatu
peristiwa yang membebaskannya dari peristiwa tersebut, yaitu ketikaa Allah
menutup mulutnya dan ia tak dapat berbicara. Namun beliau pun sadar bahwa Allah
berbuaat demikian demi kebaikan beliau juga. Jadi masa bimbang sudah berakhir,
oleh sebab itu lebih mudah ia menghindarkan diri dari pangkat, harta, anak-anak
dan sahabat-sahabat. Akhirnya beliau pergi daan berpindah-pindah dari kota yang
satu ke kota yang lain mencari tempaat perasingan diri untuk berdialog dengan
diri dan hatinya sendiri.
Belakangan
terpaksa Al-Ghazali menghentikan perasingannya dan kembali menyiarkan ilmu dan
membela agama, sebab dilihatnya kelemahan iman di kalangan masyarakat di
zamannya, dan juga merajalelanya keraguan yang disebarkan oleh musuh Islam dan
pengikut-pengikutnya yang jahil. Ketika seorang menteri Fakhe al-Mulk mendengar
al-Ghazali dan ketinggian ilmunya dan keberhasilan hatinya, beliau pun pergi
menghadiri majelis-majelisnya untuk mendengarkan syarahnya dan memintanya untuk
mengajar di sekolah Nizamiah di Nisabur. Kemudian beliaupun pergi ke Nisabur
pada bulan Dzulqa’idah tahun 499 H. untuk memberikan syarahan-syarahan di
sekolah Nizamiah Nisabur sampai tahun 503 H, sesudah itu beliau pulang ke
kampung halamannya dan dibinanya sekolah (madrasah), untuk penuntut-penuntut
ilmu dan tempat persinggahan orang-orang sufi. Di situ jugalah dihabiskan sisa
hidupnya bertafakur dan beribadah. Setelah mengabdikan diri untuk ilmu
pengetahuan dan setelah memperoleh kebenaran haqiqi pada akhir hidupnya ia
meninggal dunia di Thus pada tanggal 12 Jumadi Tsani tahun 505 H (Hasan
Langgulung, 1995: 129).
2. Corak
Pemikirannya
Hal yang menarik
perhatian dari sejarah hidup al-Ghazali adalah kedahagaan terhadap segala
pengetahuan serta keinginannya untuk mencapai hakikat kebenaran segala sesuatu
yang tidak pernah puas. Pengalaman pengumbaraan intelektual dan spiritualnya
berpindah-pindanh dari ilmu kalam ke filsafat, kemudian ke dunia bathiniah dan
akhirnya membawanya ke tasawuf.
Menurut
Zainuddin (1991: 19) bahwa karya-karya Al-Ghazali yang ditulis pada masa
mudanya yang masih kuat logikanya sangat berbeda dengan karyanya yang ditulis
pada akhir usianya karena masih terlalu dalam pengaruh tasawufnya.
Namun demikian
pemikirannya masih ditandai oleh pikiran yang jernih, wawasan yang luas,
pembahasan yang mendalam penyelidikan yang teliti, kekuatan berfikir yang sama
sekali tidak berpengaruh hal-hal yang bersifat rendah, kemampuan menganalisa
masalah mana yang melampaui batas dan mana yang dapat mengantarkan pada tujuan,
sikap yang konsisten, berani dan pantang mundur dalam menghadapi tantangan
zaman, serta mau menjelaskan kebenaran dan memisahkan kebenaran dari segala hal
yang menodai sepanjang sejarah perjalanan Islam. (Zainuddin, 1991: 19).
a. Al-Ghazali
sebagai teolog atau ahli ilmu kalam
Mula-mula
Al-ghazali mendalami pemikiran kaum mutakallimin dari berbagai aliran.
Buku-buku yang berkaitan dengan masalah itu dikajinya dengan kritis, sehingga
jelaslah dasar-dasar aqidah yang dijadikan argumen oleh masing-masing aliran.
(Ibnu Rusn, 1998:19)
Tujuan pengkajian disini adalah untuk
memelihara aqidah umat dari pengaruh bid’ah yang saat itu telah merajalela.
Sebagai contoh, aliran Mu’tazilah yang ditokohi oleh Wasil bin ’Atha dan Abul
Huzail. Aliran ini mendapat pengaruh kuat dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Mereka berpandangan dan menganggap bahwa manusia dengan akal dan pemikiran
semata dapat mengetahui danya Tuhan, cara-cara pembenaran Agama dengan
alasan-alasan pikiran, Al-manjili bainal al-manjilatain (tempat diantara dua
tempat). Untuk mempertahan missi, mereka dengan tekun mempelajari filsafat
Yunani. Inilah yang dikoreksi, dikritik dan kemudian ditentang oleh Al-Ghazali.
Beliau berusaha mengembalikan akidah umat Islam kepada akidah yang dianut dan
diajarkan oleh Nabi SAW. Dan usaha ini lah yang disebut dengan pembaharuan
dalam Islam. Sehingga Al-Ghazali mendapat gelar sebagai Al-Mujaddidul Khomis
(pembaharu ke lima) dalam Islam.
Keberhasilannya
itu mendorong para cendikiawan muslim untuk berpendapat tentang Al-Ghazali.
Sayyid bin M. Al-Husaeni dalam satu kitabnya menyebut Al-Ghazali sebagai
al-mujaddidul Khomis. Zwemmer mengatakan bahwa sesudah Nabi SAW ada dua pribadi
yang amat besar jasanya dalam menegakan Islam, pertama Imam Bukhari karena
pengumpulan haditsnya; kedua Al-Ghazali
karena Ihyanya. Hal yang perlu dipegang bahwa keberhasilan Al-Ghazali karena
sifatnya yang menengahi persoalan berdasarkan metode berpikirnya yang ilmiah
dan rasional dan serta diilhami oleh Al-Qur’an.
b. Al-Ghazali
sebagai Filosof
Setelah ia
mempelajari ilmu kalam, ia membaca dan mengkaji karangan para ahli filsafat
seperti karya Ibnu Sina. Al-Ghazali menghentikan aktivitasnya dan mengkaji
ilmu-ilmu syari’ah; perhatiannya dipusatkan sepenuhnya kepada filsafat.
Perlu diketahui
bahwa kurun waktu itu telah bermunculan para filosof yang mendapat inspirasi
dari filsafat Yunani, khususnya di bawah pengaruh Aris Totelianisme.
Doktrin-doktrin yang mereka anut banyak yang bertentangan dengan jiwa Islam.
Ketidaksadaran mereka yang telah larut dan metode mereka yang telah tumbang
dari dasarnya sehingga tidak sesuai lagi dengan qaidah berfikir Islam, menjadi
motivasi pertama bagi Al-Ghazali untuk berusaha meluruskan dan mengembalikannya
kepada qaidah-qaidah yang benar dan sesuai dengan Islam, yang sebenarnya
bersifat mutlak. Manusia terhadap kebenaran tersebut wajib menerimanya secara
utuh, sehingga apapun macamnya, aktivitasnya – termasuk aktivitas berfikir –
haruslah bersandar dan berdasar kepadanya. Ia (dasar ajaran Islam) tidak ada
yang boleh mendahuluinya. Dalam kaitannya dengan hal ini, al-Ghazali menolak
pemikiran yang tidak berlandaskan pada al-Qur'an. Hanya itu yang harus
dimatikan dan tidak boeh tumbuh kembali, lainnya tidak dengan kejeniusan
pemikirannya ini menjadikan ia berhasil menggondol beberapa gelar kesarjanaan
dalam beberapa disiplin ilmu, dan ia mampu menciptakan ekuilibrium keagamaan
pada umat Islam. Oleh karena itu tidak berlebihan jika katakan bahwa
“Al-Ghazali adalah uswah hasanah di kalangan pemikir muslim”. (Ibnu Rusn, 1988:
16).
c. Al-Ghazali;
anti aliran Kebathinan
Ketidakpuasan
al-Ghazali terhadap kebenaran
filsafatnya, dan penguasaan isi al-Qur'an dan Hadits serta disiplin ilmu
dalam berbagai bidang dijadikan dasar dalam mengadakan koreksi kembali secara
total terhadap seluruh ajaran yang ada, dan mengkritik orang-orang yang hidup
dalam kesesatan.
Mula-mula
al-Ghazali meneliti literatur-literatur yang dijadikan dasar kaum kebathinan,
kemudian makalah-makalah yang dikaji secara mendalam yang hasil penelitiannya
dijadikan bahan untuk menyanggah keyakinan yang salah, sebagai usaha untuk
mengembalikan keyakinan umat kepada ajaran yang hak dalam rangka memperoleh
ilmu yang hak juga. Setelah itu beliau melangkah dengan menanyakan di mana
tempat imam Ma’soem itu dan kapan dapat dijumpai. Ternyata tidak ada satu pun
penngikut aliran kebathinan yang mampu menunjukkannya. Hal ini membuat
al-Ghazali berkesimpulan bahwa imam Ma’soem kaum kebathinan itu hanyalah tokoh
ideal saja, hanya ada dalam anggapan dan tidak ada dalam kenyataan. (Ibnu Rusn,
1988: 19)
d. Al-Ghazali
sebagai Sufi
Setelah tanpa
henti-hentinya mencari ilmu keyakinan, al-Ghazali akhirnya mengetahui bahwa
tidak ada satu unsur pun dari ilmu-ilmunya yang memadai untuk tujuan
penelitiannya, selain hal-hal yang inderawi dan aqli. Tetapi ketika direnungi
semuanya ternyata baginya menyesatkan, karena ternyata terbukti baginya bahwa
pengetahuan-pengetahuan inderawi menjadi tidak valid, dan tidak ada lagi yang
tinggal selain bukti-bukti aqli. Namun Al-Ghazali masih juga dihinggapi rasa
syak terhadap kebenarannya. Sebagaimana aqal telah membuktikan ketidakbenaran
bukti-bukti inderawi, maka boleh jadi ada kekuatan lain di luar aqal yang mampu
membuktikan ketidakhandalan dalil aqal. Al-Ghazali masih saja bingung, dan
setelah ia sembuh dari penyakit ragu ia kembali pelajari ilmu dari golongan
mana saja. Tetapi ia tidak menemukan keyakinan kecuali aliran tasawuf.
Keyakinannya semakin kuat bahwa para sufi adalah manusia yang paling benar
ilmunya, lebih bersih akhlaknya, dan mereka adalah orang-orang yang dekat
kepada Tuhan (Fathiyah Sulaeman, 1993: 14).
Jadi dalam dunia
tasawuflah Al-Ghazali menemukan jalan yang mampu membebaskan dirinya dari syak
terhadap kebenaran. Dengan tasawuflah manusia dapat mensucikan dirinya dari
akhlak yang tercela dan sifat-sifat yang buruk yang dapat membawa kepada
kehancuran. Ilmu tasawuf lah yang dapat menghindarkan dan mengosongkan hati dan
gerakan dan semua fikiran duniawi sehingga manusia dapat memenuhi segala
dzikrullah. Dalam pandangan al-Ghazali aktivitas patut ditinggalkan. Yang
mendasari beliau begitu adalah karena anggapannya bahwa tidak ada harapan
manusia untuk menggapai kebahagiaan akhirat, kecuali dengan bertaqwa dan
mengendalikan hawa nafsu. Kehendak hawa nafsu itu tidak dapat dicegah kecuali
dengan memutuskan ketergantungan hati kepada dunia dan lari dari kesibukan yang
mengarah kepadanya. Oleh karena itu, Al-Ghazali memutus-kan untuk hidup zuhud,
uzlah dan menyingkir dari keramaian.
Dengan
hasil inilah Al-Ghazali merasa puas dalam penelitiannya. Telah dicapai apa yang
menjadi cita-citanya sejak semula, yakni mencapai haqqul yakin, keyakinan yang
hakiki, yang dilalui oleh ainul dan ilmu yakin. Semua pendapat tentang
tasawufnya telah ditulis dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin yang ia susun setelah
sembuh dari penyakit syak terhadap segala persoalan dalam kepercayaan (Abidin
Ibnu Rusn, 1998: 21).
3. Karya-karya
Al-Ghazali
Karena luasnya
pengetahuan Al-Ghazali, maka sangat sulit sekali untuk menentukan bidang dan
spesialisasi apa yang digelutinya. Hampir semua aspek keagamaan dikajinya. Di perguruan
tinggi Nizamiyah ia banyak mengajarkan tentang ilmu fiqh versi as-Syafi’i,
sebab ia pengikut madzhab Syafi’i dalam bidang fiqh. Tetapi ia juga mendalami
bidang-bidang lain, seperti: filsafat, ilmu kalam dan tasawuf. Oleh karena itu
menetapkan al-Ghazali sebagai tokoh dalam satu segi tentulah tidak adil, sangat
tepat bila gelar hujjatul Islam ia sandang dengan petimbangan ia mempunyai
keahlian (kualifikasi) dimensional (Bahri Ghozali, 1991: 28).
Beliau
meninggalkan karya-karya tulisannya sebanyak 70 buah kitab yang berisi: fiqih, ilmu berdebat atau
bertukar fikiran, penolakannya terhadap filsafat, pembelaan islam. Dan kitabnya
yang paling relevan dengan topik pembahasan penulis ialah kitab “Ya ayyuhal
walad” (Wahai anakku) yang di dalamnya dilukiskan garis-garis besar kebajikan
pendidikan yang ia pandang cocok dengan pendidikan remaja muslim, karena telah
Al-Ghazali praktekkan di kalangan murid-muridnya. Dalam kitab ini dijelaskan
bagimana nasihat Al-Ghazali kepada muridnya tentang segala macam ilmu yang
diajarkannya, terutama pendidikan keimanan, serta metodenya yang beliau gunakan
selama mengajar, juga metode yang dipilih oleh guru beliau, dan sifat-sifat
yang ada pada guru beliau yang wajib diikutinya, karena beliau selalu mendapat
peringkat tertinggi, sehingga beliau untuk menduduki profesor (guru besar) juga
dijelaskan dalam buku ini tentang cara-cara hubungan antar guru dan murid.
Kalbu dan Dua Maqam
Berkaitan dengan penjelasan
seputar dua kedudukan (maqam), berikut contoh yang lazim berlaku dari
keduanya."
Ketahuilah, bahwa keajaiban-keajaiban kalbu
itu keluar dari segala apa yang digapai oleh panca indera. Karena, kalbu juga
keluar dari pengetahuan panca indera. Dan, apa yang tidak diketahui oleh panca
indera, maka pemahaman semata akan menjadi lemah untuk mengetahuinya. Kecuali
dengan contoh yang diketahui oleh panca indera. Dan, Penulis mendekatkan yang
demikian itu kepada pemahaman yang mudah dimengerti melalui dua perumpamaan
berikut ini.
Perumpamaan yang pertama, apabila
kita umpamakan suatu telaga yang digali di permukaan bumi, yang mungkin air
dari dasarnya digiring untuk dikumpulkan padanya dari sungai-sungai yang
terbuka, dan mungkin pula bawah telaga digali, lalu tanah diangkat darinya
sampai batas yang dekat dengan tempat air yang bersih, hingga air terpancar
dari bawah telaga, dan air itu lebih jernih serta lebih abadi, juga terkadang
air itu lebih deras memancar, dan lebih banyak debitnya, maka kalbu manusia laksana
telaga dimaksud, dan ilmu itu seperti airnya. Adapun panca indera yang lima itu
seperti sungai-sungai yang mengalir ke muara (telaga, tempat bertemunya air
dari segala penjuru).
Terkadang pula ilmu-ilmu itu digiring ke
kalbu melalui perantaraan sungai-sungai panca indera, dan pengambilan
pertimbangan dengan segala sesuatu yang disaksikan, sehingga kalbu dipenuhi
oleh ilmu. Mungkin pula sungai-sungai dimaksud disumbat dengan khalwat, pengasingan
diri, dan pemejaman mata, serta menuju ke dalam kalbu dengan penyuciannya, dan
mengangkat tingkatan-tingkatan hijab daripadanya, sehingga terpancar
mata air ilmu dari dalamnya. Kalau engkau bertanya, "Bagaimanakah ilmu
dapat terpancar dari kalbu itu sendiri, sedang ia kosong dari esensinya?
"Maka ketahuilah, bahwa semua ini adalah termasuk keajaiban-keajaiban dari
rahasia-rahasia kalbu, dan tidak boleh menyebutkannya dalam ilmu mu'amalah.
Akan tetapi, kadar yang mungkin menyebutnya adalah hakikat-hakikat sesuatu itu
telah digariskan di Lauh al-Mahfuzh, bahkan dalam kalbu para malaikat.
Sebagaimana seorang insinyur dapat
menggambar bangunan rumah di atas kertas yang putih, kemudian ia mewujudkannya
dalam bentuk bangunan, sesuai dengan salinan gambar yang telah ia rancang.
Maka, begitu rula Pencipta langit dan bumi menulis salinan alam dari permulaan
sampai penghabisannya di Lauh al-Mahfuzh. Kemudian, Allah Swt.
mengeluarkannya kepada wujud sesuai dengan salinan yang ada. Dan, alam yang
telah keluar kepada wujud dengan bentuknya yang nyata itu membawa bentuk yang
lain kepada panca indera serta hayalan yang menyaksikannya.
Sesungguhnya orang yang memandang kepada
langit dan bumi, kemudian ia memejamkan matanya, niscaya ia akan mendapati
bentuk langit serta bumi dalam hayalannya. Sehingga seolah-olah ia masih
(tengah) memandang kepadanya. Jikalau langit dan bumi tidak pernah ada lagi,
serta memori masih tetap ada dalam kalbunya, niscaya ia mendapatkan bentuk
langit dan bumi tidak pernah ada lagi, serta memori masih tetap ada dalam
kalbunya, niscaya ia mendapatkan bentuk langit dan bumi masih tersedia dalam
kalbunya, seolah-olah ia tengah menyaksikan keduanya, atau melihat kepada
keduanya. Kemudian dari hayalannya membawa bekas kepada kalbu, lalu berhasil di
dalamnya hakikat-hakikat sesuatu yang masuk melalui panca indera serta hayalan.
Dan, yang berhasil disimpan dalam kalbu itu adalah sesuatu yang sesuai dengan
ilmu yang berhasil didapat melalui hayalan. Juga, yang berhasil dalam hayalan
itu akan bersesuaian dengan alam I yang ada dalam kalbunya, yang kemudian
keluar dari hayalan manusia, dan uga kalbunya. Serta alam yang ada itu sesuai
dengan salinan atas apa yang ada pada Lauh al-Mahfuzh.
Oleh karena itu, seolah alam dimaksud
mempunyai empat derajat dalam wujudnya.Wujud dalam Lauh al-Mahfuzh, dan
mendahului wujudnya yang jasmani. Lalu, diikuti oleh wujudnya yang hakiki, dan
wujudnya yang hakiki itu diikuti pula oleh wujudnya yang hayali, maksudnya;
ada bentuk dalam hayalan. Dan, wujudnya yang hayali diikuti oleh
wujudnya yang akli (sesuai daya tangkap akal). Dengan kata lain, ada
atau tersedia bentuknya dalam kalbu. Sebagian yang ada itu bersifat ruhani, dan
sebagian yang lain bersifat jasmani. Sebagian yang ruhani itu lebih berat
daripada sebagian yang lain. Kehalusan ini adalah termasuk hikmah llahiyah, karena
Allah Swt. telah menjadikan kedua bola mata dengan bentuknya yang kecil, di
mana keduanya akan menangkap bentuk langit dan bumi dengan kelapangan
tepi-tepinya dalam sudut pandang dari kedua bola mata tersebut.
Kemudian dari wujud langit dan bumi
dalam panca indera, berjalan wujud dalam hayalan, setelahnya dari hayalan
berwujud ke dalam kalbu. Sesungguhnya engkau selama-lamanya tidak akan
mengetahui selain apa yang sampai kepadamu. Jika tidak dijadikan bagi alam
semuanya suatu contoh di dalam dirimu, niscaya engkau tidak akan pernah
mempunyai berita tentang apa yang menerangkan –bahkan atas – esensi dirimu sendiri. Mahasuci
Allah yang telah mengatur keajaiban-keajaiban ini dalam kalbu dan pandangan.
Kemudian kalbu serta pandangan itu buta dari mengetahuinya, sehingga kebanyakan
manusia menjadi jahil tentang dirinya, dan keajaiban-keajaiban yang
disandangnya. Dan, hendaklah kita kembali kepada tujuan semua atas hidup ini.
Hingga harus Penulis katakan di sini, dalam kalbu kadang-kadang tergambar
hakikat alam dan bentuknya yang berhasil mengisi relung kalbu, sekali dari
panca indera, dan pada kali yang lain bersumber dari Lauh al-Mahfuzh. Sebagaimana
mata itu tergambar, bahwa bentuk matahari dapat berhasil di dalam pandangan
hanya sekali dari memandang kepadanya, dan sekali dari memandang kepada media
air yang berhadapan dengan matahari yang memantulkan bentuknya.
Manakala
hijab itu terangkat di antara hamba dan Lauh al-Mahfuzh, niscaya
ia akan melihat segala sesuatu berada di dalamnya, dan terpancar kepadanya ilmu
dari Lauh al-Mahfuzh, sehingga ia tidak lagi memerlukan manfaat dari
dalam panca indera. Yang demikian itu seperti terpancarnya air dari dasar bumi.
Manakala ia menghadap kepada hayalan-hayalan yang berhasil, dan segala apa yang
diketahui melalui panca indera, maka yang demikian itu menjadi hijab baginya
untuk mengetahui Lauh al-Mahfuzh. Sebagaimana bahwa air itu mencegah
dari terpancarnya debit yang tersedia di dasar bumi. Juga sebagaimana orang
yang memandang kepada air yang menceritakan bentuk matahari, tanpa harus
memandang secara langsung kepada matahari itu sendiri.
Jadi, kalbu mempunyai dua pintu, yakni;
pintu yang terbuka kepada alam malakut (Lauh al-Mahfuzh), dan alam
malaikat, juga pintu yang terbuka kepada panca indera yang lima, yang berpegang
dengan alam mulk serta alam syahadah. Alam syahadah dan
alam mulk juga menyerupai alam malakut dengan semacam
penyerupaan. Adapun terbukanya pintu kalbu kepada memperoleh manfaat dari panca
indera, maka yang demikian itu tidak lagi tersembunyi atas kita. Adapun
terlMikanya kalbu yang masuk ke alam malakut, dan mengetahui Lauh
al-Mahfuzh, adalah mempelajarinya akan ilmu keyakinan dengan memikirkan
tentang keajaiban-keajaiban mimpi, juga pengetahuan kalbu di waktu tidur kepada
apa yang terjadi di masa mendatang, atau telah terjadi di masa lalu tanpa
memperoleh manfaat dari panca indera.
Sesungguhnya kalbu semacam itu dapat
terbuka bagi orang yang menyendiri dengan dzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana
Rasulullah Saw. pernah bersabda,
سبق المفردون
"Orang yang pertama
menyendiri, maka ia telah mendahului."
Lalu beliau ditanya “Siapakah orang-orang yang menyendiri
itu?" Beliau menjawab dengan bersabda,
المتنزهون بذكر الله
تعالى، وضع الذكر عنهم أوزارهم فوردوا القيامة خفافا.
“Orang-orang yang
bertamasya dengan dzikir kepada Allah Swt. Dzikir itu menghapuskan dosa-dosa
mereka, lalu mereka datang di hari kiamat dalam keadaan ringan”.
Kemudian beliau bersabda mengenai sifat
mereka, sebagai pemberitaan dari sisi Allah Swt.
ثم أقبل بوجهي عليهم،
أترى من واجهته بوجهي يعلم أحد أي شيء أريد أن أعطيه؟ ثم قال تعالى: أول ما أعطيهم
أن اقذف النور في قلوبهم فيخبرون عني كما أخبر عنهم.
“Kemudian aku
menghadapkan wajahku kepada mereka, apakah engkau melihat siapakah yang aku hadapi dengan wajahku, di mana seseorang
mengerti sesuatu yang ingin aku berikan kepadanya? Allah Swt berfirman, 'Pertama-tamayang
Aku berikan kepada mereka adalah, bahxva Aku memancarkan cahaya dalam kalbu
mereka, lalu mereka dapat memberitakan tentang Aku, sebagaimana Aku dapat
memberitakan tentang mereka.'"[1]
Tempat bagi masuknya berita-berita
dimaksud adalah pintu batin (kalbu). Jadi, perbedaan di antara ilmu para wali
dan para Nabi, juga ilmu para ulama serta para ahli hikmah adalah, bahwa ilmu
para wali dan para Nabi itu datang dari dalam kalbu melalui pintu yang terbuka
ke alam malakut. Dan, ilmu hikmah itu datang dari pintu-pintu panca
indera yang terbuka kepada alam mulk. Keajaiban-keajaiban alam dan
berulang kali datangnya kalbu di antara kedua alam syahadah beserta alam
ghaib itu tidak mungkin dibahas secara mendalam pada ilmu mu'amalah. Inilah
perumpamaan yang memberitahukan kepada kita tentang perbedaan di antara tempat
masuknya kedua alam dimaksud.
Perumpamaan yang kedua, memperkenalkan kepadamu perbedaan antara dua amal, yaitu; amal
para ulama, dan amal para wali. Sesungguhnya para ulama beramal untuk memeroleh
ilmu itu sendiri, dan menariknya ke relung kalbu. Sedangkan para wali beramal
demi untuk terangnya kalbu, menyucikan, membersihkan, dan mengkilapkannya.
Pernah diceritakan, bahwa penduduk China dan penduduk Roma berbangga-bangga di
hadapan seorang Raja dengan cantiknya karya ukir serta arsitektur lukis yang
telah mereka buat. Lalu, pendapat Raja terucap bahwa ia menyerahkan kepada
mereka satu ruang agar penduduk China mengukir satu sisi darinya, serta
penduduk Roma melukis sisi yang Iain, dengan hi jab diturunkan di antara
keduanya yang menghalangi masing-masing untuk melihat kepada lainnya. Titah
Raja itu pun segera dilaksanakan. Maka penduduk Roma mengumpulkan cat-cat yang
berwarna-warni dalam jumlah yang sangat beragam. Sedangkan penduduk China masuk
tanpa membawa cat. Dan, mereka membuat ruangan itu setelahnya menjadi terang
serta berkilauan. Ketika penduduk Roma selesai, maka penduduk China
menyampaikan bahwa ia juga telah selesai. Maka Raja dibuat heran dari perkataan
penduduk China, dan bahwa ia telah selesai dari mengukir tanpa menggunakan sedikit
pun pewarna (cat). Hingga ditanyakan/'Bagaimana engkau selesai tanpa
menggunakan cat?" Orang China menjawab, "Apayang tengah terjadi
denganmu? Angkatlah hijab nya." Lalu mereka mengangkatnya.
Tiba-tiba di sisi mereka ada keajaiban-keajaiban karya orang-orang Roma yang
bersinar, serta bertambahnya kecemerlangan dan berkilauan karena sisi
orang-orang China seperti cermin yang cemerlang disebabkan banyaknya ia
menggunakan pantulan yang bercahaya. Maka bertambah indah sisi penduduk China
karena bertambahnya cahaya yang memantul dari sisi sebaliknya (penduduk Roma).
Begitu pula perhatian para wali dengan
menyucikan kalbu dan membuatnya menjadi semakin kemilau, membersihkannya, serta
keajaiban yang terlihat atas kejernihannya. Sehingga kemilau kebenaran itu bersinar
padanya dengan puncak cemerlang, seperti yang dilakukan oleh penduduk China.
Dan, perhatian para ahli hikmah serta para ulama itu dengan berusaha, mengukir
ilmu-ilmu, dan menghasilkan sesuatu. Lalu, bagaimana semua urusan itu bisa
digapai dengan mudah? Maka, kalbu orang mukmin tidak mati, dan ilmunya ketika
ia meninggal dunia tidak terhapus, serta kejernihannya tidak menjadi keruh.
Dan, kepadanya diisyaratkan oleh Imam Hasan Rahimahullâh melalui
perkataannya, “Tanah itu tidak memakan iempat keimanan. Akan tetapi, kalbu
seorang mukmin itu menjadi perantara, dan sekaligus pendekatan kepada Allah
Swt."
Adapun apa yang dihasilkannya, yaitu
ilmu itu sendiri, dan apa yang dihasilkannya, yaitu kejernihan serta kesiapan
untuk menerima ilmu dimaksud, maka keduanya tidak terlepas dari pengaruh
kebersihannya. Tidak ada kebahagiaan bagi seseorang kecuali dengan ilmu, dan
berlaku ma'rifat. Juga, sebagian kebahagiaan itu lebih mulia dari sebagian yang
lain. Sebagaimana tidaklah seseorang disebut kaya selain dengan kepemilikan
atas harta dalam jumlah yang melebihi pihak kebanyakan. Maka, pemilik dirham
adalah seorang yang kaya. Dan, pemilik simpanan-simpanan dalam kapasitas
rang melimpah itu adalah orang kaya. Berlebih atau berkurangnya derajat
orang-orang yang bahagia itu sesuai dengan berlebih dan berkurangnya ma'rifat
yang mereka lakukan, juga bertalian erat dengan keimanan mereka. Sebagaimana
derajat yang dipunyai oleh orang-orang kaya itu berlebih atau berkurang menurut
sedikit serta banyaknya harta yang ada pada sisi mereka. Dengan demikian,
ma'rifat-ma'rifat adalah cahaya. Dan, orang-orang mu'min tidak dapat berusaha
menjumpai Allah Swt. kecuali dengan cahaya yang tersedia pada sisi mereka.
Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman,
"Cahaya mereka
bersinar di hadapan, dan di sebelah kanan mereka," (QS al-Hadid [57]: 12).
Diriwayatkan pula dalam sebuah hadits,
إن بعضهم يعطى نورا
مثل الجبل وبعضهم أصغر حتى يكون أخرهم رجلا يعطى نورا على إبهام قدميه فيضيىء مرة
وينطفىء أخرى فإذا أضاء قدم قدميه فمشى وإذا طفىء قام، ومرورهم على الصراط على قدر
نورهم فمنهم من يمر كطرف العين ومنهم من يمر كالبرق ومنهم يمر كالسحاب ومنهم من
يمر كانقطاض الكواكب ومنهم من يمر كالفرس إذا اشتد في ميدانه، والذي أعطى نورا على
إبهام قدمه يحبوا حبوا على وجهه ويديه ورجليه يجر يدا ويعلق أخرى ويصيب جوانبه
النار فلا يزال كذالك حتى يخلص.
"Sesungguhnya
sebagian mereka diberi cahaya seperti bukit, dan sebagian mereka lebih kecil
daripadanya. Sehinggapenghabisan mereka adalah seseorangyangdiberikan cahaya
atas ibu jari kedua telapak kaki mereka, lalu cahaya itu sekali bersinar, dan
pada kali yang lain padam. Apabila cahaya itu bersinar, maka ia memajukan kedua
telapak kakinya, lalu berjalan. Dan apabila cahaya itu dipadamkan, maka ia hanya
akan berdiri. Dan, berjalannya mereka di atas shirath
(jembatan) adalah menurut kadar cahaya mereka masing-masing. Di antara
mereka ada yang berjalan seperti lirikan mata, dan di antara mereka ada pula
yang berjalan seperti kilatan cahaya. Di antara mereka ada yang berjalan
perlahan seperti azuan, dan di antara mereka ada yang berjalan seperti jatuhnya
bintang. Di antara mereka ada yang berjalan seperti kuda apabila cepat larinya
di lapangan. Juga orang yang diberikan cahaya atas ibu jari kedua telapak kakinya
merangkak di atas wajah, kedua tangan, serta kedua kakinya. Ia menarik satu
tangan, dan menggantung-kan tangan yang lain. Dan, api mengena: seluruh arah
dari tubuhnya, lalu ia senantiasa seperti itu sehingga diselamatkan.”[2]
Dengan ini, maka berlebih atau
berkurangnya manusia tentang keimanan menjadi semakin jelas. Jika keimanan Abu
Bakar al-Shiddiq as. ditimbang dengan keimanan seluruh penduduk alam
semesta, selain para Nabi dan Rasul, niscaya ia masih lebih berat. Dan, ini
juga menyerupai ungkapan orang yang mengatakan, "Jika cahaya matahari
ditimbang dengan cahaya semua lampu yang ada di permukaan bumi ini, niscaya
cahaya matahari masih jauh lebih besar." Maka dari itu, cahaya keimanan
masing-masing orang awarr. seperti cahaya pada lilin. Sedangkan cahaya keimanan
orang-orang shidd'iq lebih seperti bulan dan bintang. Dan, cahaya
keimanan dari para Nabi itu seperti matahari. Sebagaimana tersingkap pada sinar
matahari, bentuk semua hrfuk bumi serta lapangnya daerah-daerah di sekitarnya,
maka semua itu ~dak dapat tersingkap pada cahaya lampu, kecuali sudut yang
sempit dari sebuah ruangan saja. Begitu pula berlebih atau berkurang dari
terbukanya dada dengan ma'rifat-ma'rifat, dan juga terbukanya kelapangan alam malakut
bagi kalbu orang-orang yang ahli ma'rifat. Oleh karena itu, tersebut dalam
sebuah hadis,
أنه يقال يوم القيامة
أخرجوا من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان ونصف مثقال وربع وشعيرة وذرة.
"Sesungguhnya akan
dikatakan pada Hari Kiamat kelak, 'Keluarkanlah dari neraka cang-orang yang di
dalam kalbunya terdapat keimanan seberat molekul, setengah isri berat itu,
seperempatnya, dan seberat biji gandum, dan atau jagung.”[3]
Semua itu lebih merupakan peringatan
kepada berlebih atau berkurang-nya derajat keimanan. Dan bahwa, kadar-kadar
dimaksud dari keimanan idak mencegah masuknya seseorang ke dalam api neraka.
Juga, menurut pemahaman hadis tersebut, bahwa orang yang keimanannya melebihi
berat rang disebutkan, maka ia tidak akan dimasukkan ke dalam api neraka secara
kekal. Karena, jikalau ia dimasukkan, niscaya diperintah mengeluarkannya
pertama-tama, dan bahwa orang yang di dalam kalbunya terdapat keimanan sebarat
molekul, maka tidak berhak kekal di neraka, walaupun ia telah memasukinya.
Rasulullah Saw. pernah bersabda,
ليس شيء خيرا من ألف
مثله إلا الإنسان المؤمن.
"Tidak ada sesuatu
yang lebih baik daripada seribu yang seumpamanya, kecuali satu manusia yang
mukmin."[4]
Semua itu sebagai isyarat kepada
keutamaan kalbu orang yang berma'rifat kepada Allah Swt., yang dengannya ia
berkeyakinan (berkeimanan kepada Allah Swt.). Maka, kalbunya jauh lebih baik
daripada seribu kalbu orang yang awam. Dan, Allah Swt. juga telah berfirman,
"…. kalianlah
orang-orang yang memiliki derajat paling tinggi, jika kalian adalah orang-orang
yang beriman," (QS Ali 'Imran [3]: 139).
Semua itu menunjukkan keutamaan
orang-orang mukmin atas orang muslim. Yang dimaksudkan dengan orang mukmin atas
orang-orang muslim yang berma'rifat, bukan yang bertaklid. Sebagaimana Allah
Swt. telah berfirman,
"Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat," (QS
al-Mujâdilah [58]: 11).
Yang Allah Swt. maksudkan di sini dengan
orang-orang yang beriman, adalah orang-orang yang membenarkan tanpa ilmu, dan
Dia Swt. membedakan mereka dari orang-orang yang diberi ilmu. Yang demikian itu
menunjukkan bahwa sebutan mukmin itu dialamatkan kepada orang-orang yang
bertaklid. walaupun pembenarannya tidak dari bashirah (melihat dengan
mata kalbu) dan kasyaf (membuka hijab).
Ibnu 'Abbas ra saat menafsirkan firman
Allah Swt. pada Al-Mujâdilah [58]: 11, ia mengatakan, "Allah mengangkat
orang-orang yang berilmu di atas orang-orang mukmin dengan tujuh ratus derajat.
Di antara setiap dua derajat jaraknya seperti antara langit dan bumi."
Sebagaimana Rasulullah Saw. pernah bersabda,
أكثر أهل الجنة
البله، وعليون لذوي الألباب.
"Kebanyakan
penghuni surga adalah orang rata-rata, sedangkan surga 'Illiyyûn hanya tersedia
bagi orang-orang yang mau memfungsikan akalnya."[5]
Rasulullah Saw. juga pernah bersabda,
فضل العالم على
العابد كفضلي على أدنى رجل من أصحابي.
"Keutamaan orang
yang berilmu atas orang yang ahl iibadah laksana keutamaanku atas strata orang
yang paling rendah dari sahabatku."
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
كفضل القمر ليلة
البدر على سائر الكواكب.
"Seperti keutamaan
bulanyada malam peperangan Badar atas bintang-bintang yang lain."[6]
Dengan bukti-bukti ini menjadi jelas
bagi kita semua, bahwa berlebih atau berkurangnya derajat penghuni surga
menurut berlebih dan berkurangnya kalbu mereka, dan juga ma'rifat mereka. Oleh
karena itu, hari Kiamat adalah hari yang menakutkan menurut sebagian
orang. Karena, mereka yang terhalang dari rahmat Allah Swt. adalah orang-orang
yang besar dalam urusan takutnya atas nilai kerugian. Orang yang terhalang dari
rahmat Allah itu melihat di atas strata dari derajat-derajat yang tinggi. Maka,
pandangan mereka kepada derajat-derajat dimaksud laksana pandangan orang-orang
kaya yang memiliki jutaan dirham kepada orang-orang kaya yang memiliki tanah
dari Timur sampai ke wilayah Barat. Dan, masing-masing dari keduanya adalah
orang kaya, akan tetapi alangkah besar perbedaan di antara keduanya, serta
alangkah besarnya tipuan atas orang yang merugi keuntungannya dari yang
demikian itu. Sebagaimana Allah Swt. telah berfirman,
"Sesungguhnya
negeri akhirat itu mempunyai derajat yang paling tinggi, dan keutamaan yang
paling besar," (QS al-Isra' [17]: 21).
5. Penutup
Mungkin inilah
yang dapat disampaikan oleh penulis dalam tulisan ini, mudah-mudahan sekelumit
tulisan ini bisa bermanfaat, guna menambah wawasan kita tentang keilmuan, demi
terwujudnya kontinuitas pendidikan Islam. Di samping itu, diharapkan dari
tulisan ini kita mampu memposisikan diri kita untuk lebih mempergunakan panca
indera, akal dan kalbu kita. Terutama kalbu sebagai pemimpin bagi anggota tubuh
yang lainnya. Sehingga nabi mengatahan “…apabila baik hatinya maka baik pula
anggota tubuh yang lainnya dan apabila hatinya jelek maka jelek pula anggota
tubuh yang lainnya”.
Referensi:
Ahmad Tafsir, Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam.
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 1995.
_______, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam. Rosdakarya, Bandung, 1994.
Soenarjo R.A.H.,
dkk. Al-Quran dan Terjemahannya, Depag RI: Jakarta, 1971.
Fathiyah Hasan
Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazali. PT. Al-Ma’arif: Bandung,
1993.
_______, Alam
Pikiran al-Ghazali. PT. Al-Ma’arif: Bandung, 1986.
Hasan Asari,
Nukilan Pemikiran Islam Klasik (Gagasan Pendidikan al-Ghazali). Tiara
Wacana: Yogyakarta, 1999.
Imam al-Ghazali,
Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn. Dârul Ma’ârif: Beirut, t.t..
_______, Pembebas
dari Kesesatan. Tintamas: Jakarta, 1984.
LP2SI Al-Haramain,
Jurnal Kajian Islam Ma’rifah Vol. 3. Tahun II Jakarta, 1997.
Lexy J. Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya: Bandung, 1996.
Pius A. Partanto,
dkk., Kamus Ilmiah Populer. Arkola, Surabaya, t.t.
Simuh, Tasawuf
dan Perkembangannya dalam Islam. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta,
1976.
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari
Al-Ghazali. Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadis Abi Hurairah ra. secara
lebih ringkas pada permulaan redaksinya, lalu disampaikan dalam bentuk dialog.
Diriwayatkan pula oleh Imam al-Hakim dengan resaksi yang sedikit berbeda, namun
maknanya serupa. Lalu Imam al-Hakim menyatakan, bahwa statusnya shahjh atas
persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim (al-Syaikhain). Imam al-Baihaqi
menambahkan riwayat dimaksud dalam kitab al-Syu'ab dengan redaksi yang
sedikit berbeda, namun maknanya serupa. Demikian pula Imam al-Thabrani dalam
kitab Mu'jam al-Kabir dari hadis Abi al-Darda' ra., dengan tidak
menyertakan tambahan redaksi yang Penulis sampaikan pada penghujung riwayat,
di mana keduanya (tambahan dimaksud) berstatus lemah (dha'if).
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dan Imam al-JHakim dari hadis
Ibnu Mas'ud ra. Imam al-Hakim mengatakan bahwa statusnya shahih_atas
persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim (al-Syaikhain).
[3] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Muttafaqun
'Alaih) dari hadis Abi Sa'id al-Khudri ra. dengan redaksi yang sedikit
berbeda, namun maknanya serupa.
[4] Diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dari hadis Salman al-Farisi ra.
dengan redaksi yang sedikit berbeda, namun maknanya serupa. Juga oleh Imam
Ahmad dari hadis Ibnu 'Umar ra. dengan redaksi yang juga sedikit berbeda, namun
maknanya serupa, dan status keduanya adalah hasan.
[5] Takhrijnya telah dijelaskan pada bahasan
sebelumnya, tanpa tambahan redaksi. Di mana, pada tambahan redatm yang
ada dalam riwayat ini tidak ditemukan sumber rujukannya.
[6] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari hadis Abi Umamah ra., dan
beliau men-shahih-kan statusnya, sebagaimana telah
dijelaskan pada bahasan mengenai llmu. Demikian pula pada penjelasan keduanya.
Saya (muhaqqiq) berpendapat, bahwa statusnya shahih,
Lihat lebih lanjut dalam kitab al-Misykât, karya Imam al-Tabrizi,
hadits nomor 213 dari hadis Abi Umamah ra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.