PROBLEMATIKA
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
DEWASA INI
Oleh:
Deviana
ABSTRACT
World
Islamic education is a place filled with twists and turns that are substantial
issues can be regarded as a moon crater-squeezer upfront time, effort, cost and
mind in perfect human form. Problem of Islamic education is still low at this
time of educational equity, low quality and relevance of education, poor
management of education, yet the realization of scientific and technological
excellence in academics and independence issues. Various attempts have been
made to address the issue of Islamic education, for example, change of national
and local curriculum of the curriculum in 2006 or better known as Unit Level
Curriculum (SBC) into the curriculum of 2013. The limited human resources make
Islamic education was too slow in developing, alongside teachers' welfare that
until now the problem, as well as facilities and infrastructure are inadequate
hamper the development of Islamic education. Therefore, the ideal concept
related to Islamic education management should be embedded in the person of the
people involved in the world of Islamic education.
Keywords: Human resources, finance and infrastructure
ABSTRAKS
Dunia
pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh dengan liku-liku permasalahan yang
secara subtansial bisa dikatakan sebagai cawah candra-dimuka pemeras waktu,
tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia yang paripurna. Problema
pendidikan Islam saat ini adalah masih rendahnya pemerataan pendidikan,
rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, lemahnya manajemen pendidikan, belum
terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan
masalah kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah
pendidikan Islam, misalnya pergantian kurikulum nasional dan lokal dari
kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013. Terbatasnya sumber daya manusia
menjadikan pendidikan Islam itu terlalu lamban dalam berkembang, di samping
kesejahteraan guru yang sampai sekarang menjadi problem, serta sarana dan
prasarana yang belum memadai menghambat laju berkembangnya pendidikan Islam.
Oleh sebab itu, konsep ideal terkait manajemen pendidikan Islam harus
ditanamkan dalam pribadi orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan
Islam.
Kata
kunci: Sumber daya manusia, pembiayaan dan sarana prasarana
A.
PENDAHULUAN
Tujuan pertama reformasi pendidikan adalah membangun
suatu sistem pendidikan nasional yang lebih baik, lebih mantap, dan lebih maju
dengan mengoptimalkan dan member-dayakan semua potensi dan partisipasi
masyarakat. Sebab pendidikan merupa-kan struktur pokok yang memberikan
fasilitas bagi warga masyarakat untuk bisa menentukan barang dan jasa apa yang
diperlukan (Zamroni, 2011: 83). Bahkan secara makro, pendidikan merupakan
“jantung” sekaligus “tulang punggung” masa depan bangsa dan negara, (Zian
Farodis, 2011: 7) bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh
keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan (Aulia Reza
Bastian, 2002: 24). Sedangkan di sisi yang lain, sistem pendidikan Islam
merupakan suatu kawah candradimuka pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi
awal dalam pembangunan peradaban madani (Sukarno, 2012:15), dan mewujudkan
rahmat bagi seluruh umat manusia (Abuddin Nata, 2010: 44). Dengan demikian,
pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan
taraf hidupnya, melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas
atau memiliki kemampuan, yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam
menjalani kehidupannya (Jerry H. Makawimbang, 2011:1).
Problema
pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa terkecuali
pendidikan Islam di antaranya adalah: 1) masih rendahnya pemerataan memperoleh
pendidikan, 2) masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya
mana-jemen pendidikan, di samping belum terwujudnya keunggulan ilmu
penge-tahuan dan teknologi di kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk mengatasi masalah pendidikan lebih khusus
pendidikan Islam, misalnya peng-gantian kurikulum nasional dan lokal dari
kurikulum 2006 atau yang lebih dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun dengan melalui penggantian
kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan pendidikan tapi justru malah
me-nambah permasalahan baru dalam pendidikan di negeri ini. Usaha selanjutnya
dalam mengatasi problema pendidikan yaitu peningkatan kom-petensi dan
konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan
peningkatan mutu manajemen sekolah.
Terlebih
dalam pengelolaan pendidikan Islam yang merupakan salah satu segi penopang
kehidupan yang urgen untuk membangun peradaban dan menjadikan manusia yang
lebih baik dan berkarakter serta penuh dengan “keridhaan” Tuhan. Pengelolaan
pendidikan Islam yang profesional dan bermutu bukan merupakan hal yang mudah
bagi seseorang atau lembaga pendidikan di negeri ini.
Dunia
pendidikan Islam merupakan tempat yang penuh dengan liku-liku permasalahan yang
secara subtansial bisa dikatakan sebagai cawah candra-dimuka pemeras waktu,
tenaga, biaya dan pikiran dalam membentuk manusia yang paripurna. Oleh sebab
itu, yang paling inti di dalamnya adalah pola manajemen pengembangan
kelembaga-an dan kependidikan yang akan menjadi barometer keberhasilan
pendidikan Islam itu sendiri dalam peningkatan mutunya (Siti Muriah, 2012:iii).
Namun
demikian, berbagai indikator mutu pendidikan Islam belum menunjukan peningkatan
yang berarti. Sebagian mutu pendidikan Islam di negeri ini, terutama di pulau
Jawa, menunjukan peningkatan mutu pen-didikan yang cukup signifikan dan
menggembirakan, namun sebagian mutu pendidikan Islam lainnya yang berada di Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua serta daerah lainnya masih memprihatinkan. Secara
fungsional, pendidikan Islam pada dasarnya ditujukan untuk memelihara dan
mengembangkan manusia seutuhnya (insan kamil) yakni manusia ber-kualitas sesuai
dengan pandangan Islam (Achmadi, 2010:32).
Mengkaji
dan mengembangkan pendidikan Islam untuk melahirkan manusia-manusia unggul
(insan kamil) dengan berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah (selain nalar
juga wahyu) (Abd. Rachman Assegaf, 2011: 2) merupakan suatu bentuk kemutlakan
pada ranah teoritis-normatif maupun aplikatif-normatif. Artinya, al-Qur’an dan
Sunnah merupakan nilai normatif yang “harus” dijadikan sebagai kerang-ka yang
bermuara pada pandangan hidup, sikap hidup, dan tujuan hidup yang semuanya
harus bernapaskan Islam dan dijiwai oleh ajaran-ajaran yang bersumber dari
al-Qur’an dan Sunnah.
B.
PEMBAHASAN
Problema pendidikan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia saat ini, tanpa terkecuali pendidikan Islam di antaranya
adalah: 1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, 2) masih rendahnya
mutu dan relevansi pendidikan; 3) masih lemahnya mana-jemen pendidikan, di
samping belum terwujudnya keunggulan ilmu penge-tahuan dan teknologi di
kalangan akademisi dan kemandirian. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi
masalah pendidikan lebih khusus pendidikan Islam, misalnya pengganti-an
kurikulum nasional dan lokal dari kurikulum 2006 atau yang lebih di-kenal
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi kurikulum 2013, namun
dengan melalui penggantian kurikulum ini bukannya menyelesaikan permasalahan
pendidikan tapi justru malah me-nambah permasalahan baru dalam pen-didikan di
negeri ini. Usaha selanjut-nya dalam mengatasi problema pen-didikan yaitu
peningkatan kompetensi dan konvensasi guru melalui pelatihan dan sertifikasi,
pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan per-baikan sarana dan
prasarana pen-didikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah.
Dari
problem di atas tentunya sangat berpengaruh terhadap mana-jemen pendidikan yang
ada pada saat ini, oleh karena itu dalam makalah ini membahas tiga komponen
besar yang menjadi problem manajemen pendidik-an Islam dewasa ini antara lain:
1) Sumber Daya Manusia, 2) Pembiayaan, dan 3) Sarana/Prasarana dan Tekno-logi.
1.
Sumber
Daya Manusia
a. Terbatasnya
Sumber Daya Manusia sebagai Problem Manajemen Pendidikan Islam
Sumber
daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM potensi yang
terkandung dalam diri manusia untuk
mewujudkan perannya sebagai makh-luk sosial yang
adaptif dan trans-formatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh
potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan
dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian prak-tis sehari-hari,
SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu
organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM
harus mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Sebagai
ilmu, SDM dipelajari dalam manajemen sumber daya manusia atau
(MSDM).
Dalam bidang ilmu ini, terjadi sintesa antara ilmu manajemen dan psikologi.
Mengingat struktur SDM dalam industri-organisasi dipelajari oleh ilmu
manajemen, sementara manusia-nya sebagai subyek pelaku adalah bidang kajian
ilmu psikologi.
Dewasa
ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya belaka,
melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena
itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources),
yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset
utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan
(ban-dingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability
(beban, cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi atau
organisasi lebih mengemuka.
Manusia
diciptakan oleh Allah Swt. dalam rangka menjadi khalifah dimuka bumi, hal ini
banyak di-cantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan
yang dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta meles-tarikannya
(QS. Al Baqoroh: 29 – 32). Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi ini
diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut ditandai dengan
pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat. (HR.Ibn Abd Barr)
Menurut
Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari
manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Sumber
daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu: (1) Ciri-ciri pribadi berupa
pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal yaitu
hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Se-mentara Emil Salim menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta
manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitas-nya.
Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku
seseorang dalam memper-tanggungjawabkan semua perbuatan-nya, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia (Djaafar,
2001: 2).
T.
Zahara Djaafar (2001:1) me-nyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu
menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa bahwa manusia mempunyai
hubungan fungsional dengan sistem sosial, nampaknya pembangunan dapat
terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara maju, dalam pembangunan
bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di antara
negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya
adalah bangsa yang pada mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Pengembangan
sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian dari ajaran Islam, yang dari semula
telah mengarah manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang
dimulai dari pengembangan budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik
tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia itu menjadi
makhluk individual yang bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mem-punyai
rasa kebersamaan dalam me-wujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib,
dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat
ditegakkan sehingga kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan
tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan, tujuan utama atau akhir (ultimate
aim) pen-didikan dalam Islam menurut Hasan Langgulung adalah pembentukan
pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh dan jasmani,
kemauan yang bebas, dan akal. Pem-bentukan pribadi atau karakter sebagai khalifah
tentu menuntut kematangan individu, hal ini berarti untuk me-menuhi tujuan
utama tersebut maka pengembangan sumber daya manusia adalah suatu
keniscayaan. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan
strategi untuk menggapai-nya. Karena strategi merupakan alter-natif dasar yang
dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbang-an bahwa alternatif
terpilih itu diperkirakan paling optimal
Strategi
adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan menyangkut masa
depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya men-capai sesuatu tujuan
di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin
diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya
dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang cukup
menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat
digali. Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang telah
diper-sempit berpendapat bahwa strategi memiliki makna sejumlah prinsip
dan pikiran yang sepatutnya mengarahkan tindakan sistem-sistem pendidikan
di dunia Islam. Menurutnya kata Islam dalam konteks tersebut, memiliki
ciri-ciri khas yang tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah strategi
pendidikan itu mempunyai corak Islam. Adapun strategi pendidikan yang
dipilih oleh Langgulung terdiri dari dua model, yaitu strategi pendidikan
yang bersifat makro dan strategi pen-didikan yang bersifat mikro. (Syukri
Rifa’i, Skripsi)
Dalam
Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah
sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan
manusia dalam Islam tentunya harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika
dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu menjadikan
manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan kedua potensi yang
ada pada manusia. Namun upaya kearah penyeimbangan pembangunan kedua potensi
tersebut selama 32 tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa
upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan Islam
memandang tinggi masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan akhlak (sikap,
pribadi, etika dan moral).
Kualitas
SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan,
aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagai-nya
(Djaafar, 2001: 2). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing
dimiliki oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat
dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak
sebagai pendorong dari dalam diri manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas,
usaha yang paling utama sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam
manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat
terhadap hukum ditentukan oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan
Islam memiliki peran utama untuk mewujudkannya.
Tantangan
manusia pada millenni-um ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek kompleks.
Khusus di bidang pendidikan Aly dan Munzier (2001: 227) menyebutkan bahwa
tan-tangan pendidikan Islam terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar (eksternal),
yaitu berupa pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam (internal)
Islam itu sendiri, berupa kejumudan produktivitas ke-Islaman (Hasan Langgulung,
1995: 67).
Faktor
Eksternal
Faktor eksternal yang patut di-waspadai dalam
mensikapi SDM Indonesia adalah globalisasi (per-dagangan pasar bebas).
Perdagangan pasar bebas bukanlah gossip atau rumor yang
kehadirannya sudah jelas kita ketahui bersama kemarin ketika tahun baru dating
01 Januari 2010 menjadi tanggal bersejarah beraninya bangsa ini membuka FTA (Free
Trade Area) Asena dengan China. Globalisasi adalah pendatang baru yang
sudah membeli tiket yang akan datang dan menetap di negeri ini dengan jangka
waktu yang sangat lama. Banyak sekali masalah yang kemudian kita hadapi dengan
globalisasi yang kini menjadi momok menakutkan terhadap pe-numbuhan kualitas
SDM bangsa ini apalagi SDM bangsa ini sebenarnya belum siap menghadapi FTA
ditambah adanya kesan seperti sangat dipaksakan entah karena gengsi atau apalah
namanya bangsa ini ikut serta dalam menyetujui FTA Asean dengan China.
Faktor
Internal
Kejumudan produktivitas ke-Islaman yang pada
kenyataan kali ini ummat Islam banyak terkotak-kotakan dalam nuansa keasyikan
bermadzhab sampai ke titik fanatis sehingga mnyalahkan madzhab yang lain
yang notabenenya masih sesama Islam sehingga muncul banyak
perdebatan-perdebatan sia-sia yang hanya me-nyumbat tingkat peningkatan
kualitas pendidikan sebagai investasi pem-bentukan sumber daya manusia ummat
Islam sehingga menyumbat pula tingkat produktivitas keislaman akibat kejumudan
pemikiran serta taklid buta terhadap fanatisme kemadzhaban.
Abdul
Rachman Shaleh (2000: 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan dan
menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan
diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang
spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian teknik produksi dari
cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam pengertian revolusi
industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri
dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi
masyarakat adalah pe-nerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas
dan semua aspek hidup masyarakat.
A.
R. Saleh (2000: 205) menyata-kan ada beberapa ciri masyarakat atau manusia yang
berkualitas, yaitu :
1)
Beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan berkepribadian
2)
Berdisiplin,
bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3)
Mandiri,
cerdas dan terampil
4)
Sehat
jasmani dan rohani
5)
Cinta
tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetia-kawanan sosial
b. Upaya
untuk Mengatasi Terbatasnya Sumber Daya Manusia
Untuk meningkatkan mutu
pen-didikan, kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar
pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi
mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di Indonesia. Dengan masukan ilmiah ahli
itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Beberapa penerapan pola pening-katan mutu di
Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung
memberikan efek perbaikan mutu. Di antaranya adalah usaha peningkatan mutu
dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan
Meningkatkan Mana-jemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan Imbal Swadaya (BIS), Proyek
Pe-ngadaan Buku Paket, Proyek Pening-katan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung
(DBL), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan
memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah disimpulkan bahwa pemerintah telah
banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai
upaya meningkatkan
mutu pendidikan.
Upaya pemerintah yang begitu mahal belum menunjukkan
hasil menggembirakan. Ada yang berpen-dapat mungkin manajemennya yang kurang
tepat dan ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah kurang konsisten dengan
upaya yang dijalankan. Karena itu, kembali pada apa yang kita sebut sebagai
kekayaan lokal, bahwa tidak sepenuhnya apa yang dapat dipraktikkan dengan baik
di luar negeri bisa seratus persen juga berhasil di Indonesia, semua itu
membutuhkan tahapan, namun dengan kerangka yang jelas dan tidak dibebani oleh
proyek yang demi kepentingan sesaat atau golongan. Hal-hal berikut adalah
elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan mutu
pendidikan atau sumber daya manusia di Indonesia.
1)
Insan
Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karena itu Berikanlah Penghargaan
“Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan,
penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan
untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika
diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun
penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan
dan pengembangan karir). Mc. Keena & Beech (1995: 161).
Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki
lima tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan
fisiologis (pangan, sandang dan papan), ke-butuhan rasa aman (terhindar dari
rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan
yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah
masyarakat. (Abraham H. Maslow).
Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang
diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat
dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk
mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan
dalam kehidupan masyarakat.
2)
Meningkatkan
Profesionalisme Guru dan Pendidik
Kurikulum dan panduan mana-jemen sekolah sebaik
apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena
itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat
dunia usaha/industri, legislatif, dan peme-rintah adalah hal yang wajar untuk
disikapi secara arif dan bijaksana.
Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme
guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang
belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai
faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan
menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial dalam
pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga
program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk
meningkatkan pen-didikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan untuk
menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan
istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1)
menyebutkan pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai
dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu
cukup jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi
persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum dan
memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi, maka
guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun, fenomena
menunjukkan bahwa pen-didik di sekolah masih banyak yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan pekerjaan guru
sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.
3)
Sebisa
Mungkin Kurangi dan Berantas Korupsi
Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas
merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian
Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara
bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai jenjang
mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru,
kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi.
Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai
kejujuran justru mempertontonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal
dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini
anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil
itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dari kekaburan sistem
anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memung-kinkan
kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana
operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah
dibebankan lagi kepada masyarakat.
Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada
tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai
motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah
dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
4)
Berikan
Sarana dan Prasarana yang Layak
Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini
guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajar-annya dengan dunia
nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata.
Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana
dan prasarana pendidikan).
Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus me-miliki persyaratan minimal untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan,
perabot lengkap, peralatan/ laboratorium/ media, infrastruktur, sarana
olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat
karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pen-didikan di sekolah
tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan
minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat
(1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang
memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta
didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah
tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM,
umumnya sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keter-batasan
sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaan-nya selalu
dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan
Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 56 ayat (1).
Dalam peningkatan mutu pelayanan pen-didikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai lembaga mandiri dibentuk
dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pen-didikan dengan memberikan
per-timbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang
tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite sekolah/ madrasah
sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana
serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Dengan melandaskan pada cita-cita luhur pendidikan,
diharapkan mutu pendidikan Indonesia terus meningkat dan
terjadi perkembangan pada perbaikan yang terus menerus.
2.
Pembiayaan
a. Terbatasnya Dana
untuk Pembiayaan sebagai Problem Manajemen Pendidikan Islam
Dalam
perkembangan dunia pendidikan dewasa ini dengan mudah dapat dikatakan bahwa
masalah pembiayaan menjadi masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan oleh para
pengelola pendidikan. Karena masalah pembiayaan pendidikan akan me-nyangkut
masalah tenaga pendidik, proses pembelajaran, sarana prasarana, pemasaran dan
aspek lain yang terkait dengan masalah keuangan. Fungsi pembiayaan
tidak mungkin dipisahkan dari fungsi lainnya dalam pengelolaan
sekolah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembiayaan menjadi
masalah sentral dalam pengelolaan kegiatan
pendidikan. Ketidakmampuan suatu lembaga untuk menyediakan biaya,
akan menghambat proses belajar mengajar. Hambatan pada proses belajar mengajar
dengan sendirinya menghilangkan kepercayaan mas-yarakat pada suatu lembaga.
Namun bukan berarti bahwa apabila tersedia biaya yang berlebihan akan menjamin
bahwa pengelolaan sekolah akan lebih baik.
Dalam
memahami permasalahan pembiayaan pendidikan di Indonesia, kita perlu memahami
permasalahan apa saja yang timbul serta alternatif penyelesaiannya. Pemahaman
tentang pembahasan ini juga akan membawa kita pada bagaimana praktik
pelaksanaan pembiayaan pendidikan beserta permasalahan-permasalahan yang timbul
dalam pelaksanaannya.
Biaya
dalam pendidikan meliputi biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak
langsung (Indirect Cost). Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar
siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi,
gaji guru, baik yang dikeluarkan pemerintah, orang tua, maupun siswa
sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa ke-untungan yang hilang (opportunity
cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar (Nanang Fattah: 2000:23).
Anggaran
biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu
sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan. Untuk sekolah dasar negeri, umumnya memiliki sumber-sumber anggaran
penerimaan, yang terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat
sekitar, orang tua murid, dan sumber lain.
Berdasarkan
pendekatan unsur biaya (ingredient approach), penge-luaran sekolah dapat
dikategorikan ke dalam beberapa item pengeluaran, yaitu :
1)
Pengeluaran
untuk pelaksanaan pelajaran
2)
Pengeluaran
untuk tata usaha sekolah,
3)
Pemeliharaan
sarana dan prasarana sekolah,
4)
Kesejahteraan
pegawai,
5)
Administrasi,
6)
Pembinaan
teknis educative, dan
7)
Pendataan.
(Nanang Fattah: 2000:24)
b. Upaya untuk
Mengatasi Terbatas-nya Dana untuk Pembiayaan dalam Lembaga Pendidikan Islam
1)
Pembiayaan
Pendidikan
Permasalahan pendidikan nasional
tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan
pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang
pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu
membutuhkan biaya. Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di
negeri ini masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti.
Fenomena
pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat ini juga
sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu. Orangtua
siswa pun dibuat meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam
menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui jika Pemerintah tak lepas tangan
membiayai pendidikan. Untuk bidang pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah
telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk
BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika bicara dana BOS khusus buku yang masih
minim untuk membeli satu buku pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya
dana BOS itu mungkin ada yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan
meringankan beban masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa
dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah
antara usia 7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop
out (DO) dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai
dirintis sejak 2005.
Dalam
hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pem-biayaan pendidikan. Di
lihat dari kon-stitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak membiayai anak-anak
usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31
(2) ditegaskan mengenai kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap
warga negara. Kita tentu melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi.
Jika mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan
pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak
sekolah sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa.
UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pun
menggariskan agar Pemerintah menjamin terseleng-garanya wajib belajar minimal
pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya.
Ditinjau
lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik terhadap
pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 %
dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No 18/2006
tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8% bertentangan
dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada
2006 lalu, dimana Pemerintah tidak merespon positif putusan MK yang memutuskan
UU No 13/2005 tentang APBN 2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1 %
bertentangan dengan UUD 1945
Bagaimana pun, kita tidak bisa
menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri
ini. Ketika disinggung tentang anggaran pendidikan sebesar 20 % dari
APBN/APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas,
pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor
kebutuhan non-pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping
terus mengupayakan secara bertahap ang-garan pendidikan menuju 20 %.
Melihat
kenyataan pengelolaan anggaran negara di republik ini, tampaknya terjadi
ketidakefektifan di samping mentalitas korupsi yang masih akut. Pemerintah
tidak bisa tidak memang perlu memikirkan lebih serius lagi pembiayaan
pendidikan di Indo-nesia. Anggaran negara seyogianya dikelola lebih hemat dan
efektif agar benar-benar memberikan kontribusi signifikan terhadap
penyelenggaraan pendidikan.
Disadari
atau tidak, apa yang tertera dalam UUD 1945 tentu menyimpan harapan besar
terhadap kemajuan pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 (2)
merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 dan Pasal 31
(4) merupakan perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus
2002. Rumusan UUD 1945 hasil amandemen itu secara implisit mengajak Pemerintah
untuk memper-hatikan pembangunan sektor pen-didikan. Siapa pun tentu sepakat
bahwa pembangunan sektor pendidikan tidak bisa diabaikan mengingat salah satu
fungsi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait
dengan pembiayaan pen-didikan, kita selalu mengharapkan komitmen Pemerintah
agar tidak berlepas tangan. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan harus
dimiliki para penyelenggara negara untuk lebih memprioritaskan pembangunan
ma-nusia melalui usaha pendidikan. Hasil pendidikan yang tidak bisa dinikmati
seketika mungkin memberatkan para penyelenggara negara yang bermental pragmatis
alias ingin menikmati hasil dengan segera. Yang perlu diingat, pendidikan
merupakan aspek fun-damental meningkatkan kualitas individu-individu manusia.
Melalui pendidikan, individu-individu manusia diupayakan memiliki kemampuan dan
daya adaptabilitas terhadap perkem-bangan zaman. Bangsa yang ingin maju tentu
saja tidak bisa mengabaikan pendidikan anak bangsanya.
Biaya
pendidikan memang mahal. Tidak ada satu individu yang dari dirinya sendiri
mampu membiayai kebutuhan pendidikan. Karena itu harus ada manajemen publik
dari negara. Sebab negaralah yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara
memperoleh pendidikan yang layak. Negaralah yang semestinya berada di garda
depan menyelamatkan pen-didikan anak-anak orang miskin. Tanpa bantuan negara,
orang miskin tak akan dapat mengenyam pendidikan.
Namun,
ketika negara sudah dibelenggu oleh empasan gelombang modal, sistem pendidikan
pun bisa ditelikung dan diikat oleh lembaga privat. Serangan ini pada
gilirannya semakin mereproduksi kemiskinan, melestarikan ketimpangan, mematikan
demokrasi dan menghancurkan so-lidaritas di antara rakyat negeri!
Mengapa
sekolah mahal bisa dilacak dari relasi kekuasaan antar-instansi ini, yaitu
antara lembaga publik negara dan lembaga privat swasta. Ketimpangan corak
relasional di antara dua kubu ini melahirkan kultur pendidikan yang abai pada
rakyat miskin, menggerogoti demok-rasi, dan melukai keadilan.
Sekolah
kita mahal, pertama, karena dampak langsung kebijakan lembaga
pendidikan di tingkat sekolah. Ketika negara abai terhadap peran serta
masyarakat dalam pendidikan, pola pikir Darwinian menjadi satu-satunya cara
untuk bertahan hidup. Sebab tanpa biaya, tidak akan ada pendidikan. Karena itu,
membebankan biaya pada masyarakat dengan berbagai macam iuran merupakan
satu-satunya cara bertahan hidup lembaga pendidikan swasta. Ketika lembaga
pendidikan negeri yang dikelola oleh negara berlaku sama, semakin sempurnalah
penderitaan rakyat negeri. Sekolah menjadi mimpi tak terbeli!
Kedua,
kebijakan di tingkat sekolah yang membebankan biaya pendidikan pada masyarakat
terjadi karena kebijakan pemerintah yang emoh rakyat. Ketika pemerintah lebih
suka memuja berhala baru ala Adam Smith yang "gemar mengeruk kekayaan,
melupakan semua, kecuali dirinya sendiri," setiap kewenangan yang
semestinya menjadi sarana pelayanan berubah menjadi ladang penjarahan kekayaan.
Pejabat peme-rintah dan swasta (kalau ada kesempatan) akan berusaha mengeruk
uang sebanyak-banyaknya dari proyek anggaran pendidikan.
Ketiga,
mental pejabat negara, juga swasta, terutama karena tuntutan persaingan di
pasar global. Indikasi Noam Chomsky tentang keterlibatan perusahaan besar
Lehman Brothers dalam menguasai sistem pendidikan rupanya juga telah menyergap
kultur pendidikan kita. "Jika kita dapat memprivatisasi sistem pendidikan,
kita akan menggunungkan uang." Itulah isi pesan dalam brosur mereka
Negara
sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya pendidikan jika
kebijakan politik pen-didikan yang berlaku memiliki se-mangat melindungi rakyat
miskin yang sekarat di jalanan tanpa pendidikan. Jika semangat "mengeruk
kekayaan, melupakan semuanya, kecuali diri sendiri" masih ada seperti
sekarang, sulit bagi kita menyaksikan rakyat miskin keluar dari kebodohan dan
keterpurukan. Maka yang kita tuai adalah krisis solidaritas, mandeknya demokrasi,
dan terpuruknya keadilan sosial.
2)
Pendidikan
Gratis
Impian
masyarakat akan datangnya pendidikan gratis yang telah ditunggu-tunggu dari
sejak zaman kemerdekaan Republik Indonesia telah muncul dengan seiring
datangnya fenomena pendidikan gratis untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama. Fenomena pendidikan gratis ini memang sangat ditunggu-tunggu,
pasalnya Pemerintah mengeluarkan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) untuk
menutupi harga-harga buku yang kian hari kian melambung, sumbangan ini-itu, gaji
guru yang tidak cukup dan biaya-biaya lainnya.
Sekolah
menjadi bermutu karena ditopang oleh peserta didik yang punya semangat belajar.
Mereka mau belajar kalau ada tantangan, salah satunya tantangan biaya. Generasi
muda dipupuk untuk tidak mempunyai mental serba gratisan. Sebaiknya mental
gratisan dikikis habis. Kerja keras, rendah hati, toleran, mampu beradaptasi,
dan takwa, itulah yang harus ditumbuhkan agar generasi muda ini mampu bersaing
di dunia internasional, mampu ambil bagian dalam percaturan dunia, bukan hanya
menjadi bangsa pengagum, bangsa yang rakus mengonsumsi produk. Paling susah
adalah pemerintah menciptakan kondisi agar setiap orang-tua mendapat
penghasilan yang cukup sehingga mampu membiayai pen-didikan anak-anaknya.
Tidak
hanya murid saja melainkan guru yang terkena imbas dari pendidikan gratis ini.
Kebanyakan dari guru sekolah gratisan mengalami keterbatasan mengembangkan diri
dan akhirnya akan kesulitan memotivasi peserta didik sebab harus berpikir
soal ”bertahan hidup”. Lebih celaka lagi jika guru berpikiran: pelayanan
pada peserta didik sebesar honor saja. Jika demikian situasinya,
maka ”jauh panggang dari api” untuk menaikkan mutu pendidikan.
Sekolah,
terutama sekolah swasta kecil, akan kesulitan menutup biaya operasional
sekolah, apalagi men-sejahterakan gurunya. Pembiayaan seperti listrik, air,
perawatan gedung, komputer, alat tulis kantor, transpor, uang makan, dan biaya
lain harus dibayar. Mencari donor pun semakin sulit. Sekolah masih bertahan
hanya berlandaskan semangat pengabdian pengelolanya. Tanpa iuran dari peserta
didik, bagaimana akan menutup pembiayaan itu.
Pemberlakuan
sekolah gratis bukan berarti penurunan kualitas pendidikan, penurunan minat
belajar para siswa, dan penurunan tingkat kinerja guru dalam kegiatan belajar
mengajar di dunia pendidikan. Untuk itu bukan hanya siswa saja yang diringankan
dalam hal biaya, namun kini para guru juga akan merasa lega dengan kebijakan
pemerintah tentang kenaikan akan kesejahteraan guru. Tahun 2011 ini pemerintah
telah memenuhi ketentuan UUD 1945 pasal 31 tentang alokasi APBN untuk
pendidikan sebesar 20%. Sehingga tersedianya anggaran untuk menaikkan
pendapatan guru, terutama guru pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah
yang belum berkeluarga dengan masa kerja 0 tahun, sekurang-kurangnya
berpen-dapatan Rp. 2 juta.
Dari
dana BOS yang diterima sekolah wajib menggunakan dana tersebut untuk pembiayaan
seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, sumbangan pembiayaan
pendidikan (SPP), pembelian buku teks pelajaran, biaya ulangan harian dan
ujian, serta biaya perawatan operasio-nal sekolah.
Sedangkan
biaya yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memiliki biaya besar, seperti:
study tour (karyawisata), studi banding, pembeli-an seragam bagi siswa dan guru
untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), serta pembelian bahan
atau peralatan yang tidak mendukung kegiatan sekolah, semuanya tidak ditanggung
biaya BOS. Dan pe-mungutan biaya tersebut juga akan tergantung dengan kebijakan
tiap-tiap sekolah, serta tentunya pemerintah akan terus mengawasi dan menjamin
agar biaya-biaya tersebut tidak mem-beratkan para siswa dan orangtua. Bagaimana
jika suatu waktu terjadi hambatan atau ada sekolah yang masih kekurangan dalam
pemenuhan biaya operasionalnya? Pemerintah daerah wajib untuk memenuhi
kekurangannya dari dana APBD yang ada. Agar proses belajar-mengajar pun tetap
terlaksana tanpa kekurangan biaya.
Melihat
kondisi di atas, semua itu adalah usaha pemerintah untuk men-sejahterahkan
rakyatnya dalam hal ekonomi dan pendidikan, tapi alangkah baiknya tidak
memberlakukan sekolah gratis melainkan sekolah murah, dan program bea siswa.
Mengapa sekolah harus murah. Diantaranya; sekolah murah adalah harapan semua
orang, tidak hanya para murid dan orang-tuanya, namun juga para guru selagi kesejahteraannya
mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sekolah murah dalam banyak hal bisa
menyenangkan, tanpa dibebani tanggungan biaya sekolah sang anak yang mahal,
orangtua dapat tenang menyekolahkan anaknya dan urusan pencarian dana untuk
memenuhi kebutuhan keluarga lebih dikosentrasi-kan kepada kebutuhan sandang,
pangan, papan dan kesehatan. Sang anak pun bisa tenang melakukan aktivitas
pendidikan, sebab tidak lagi merasa menjadi beban bagi orangtua.
Dan
bukankah suasana yang menyenangkan salah satu faktor terpenting dalam proses
belajar-mengajar? Bagaimana peserta didik dapat belajar dengan baik jika
konsentrasinya harus terbagi memikir-kan dana sekolahnya yang belum terlunasi
orangtuanya. Ataupun waktu di luar sekolahnya harus terbagi untuk membantu orangtuanya
mencari tambahan penghasilan. Tidakkah kasus murid-murid yang bunuh diri karena
biaya sekolah yang mencekik belum menjadi peringatan?
Adanya
sekolah murah yang dana aktivitas pendidikannya terbanyak atau sepenuhnya
ditanggung pemerintah, bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan peran dan
keberadaan pemerintah. Kebijakan-kebijakan pe-merintah akan segera didengar dan
dipatuhi masyarakat selagi masyarakat benar-benar merasa pemerintah berada di
pihak mereka dan berusaha mensejahterahkan masyarakatnya. Se-baliknya,
pemerintah pun akan memiliki bargaining politik yang kuat. Salah satu prasyarat
pemerintahan yang kuat dan berdaulat adalah harus mendapatkan cinta dari
rakyatnya.
3)
Konsekuensi
Pendidikan Gratis
Pendidikan
gratis seperti kita ketahui bersama, mungkin saja dapat dilaksanakan oleh suatu
pemerintahan, namun tentunya dengan menimbulkan beberapa konsekuensi yaitu
anggaran pemerintah daerah di bidang pendidikan akan terkuras untuk membiayai
operasional pendidikan di daerah tersebut, sehingga anggaran untuk peningkatan
mutu pendidikan yang menyangkut perbaikan/peningkat-an sarana-prasarana
tentulah harus dikalahkan. Konsekuensi lainnya pen-didikan gratis untuk semua
dapat dilakukan, namun dengan mutu yang sangat minim atau dengan kualitas yang
seadanya. Sebab, seluruh ang-garan telah terkuras untuk operasional sekolah
saja.
Di
samping itu dengan terkon-sentrasinya dana pendidikan untuk pendidikan gratis
maka kesejahteraan dan peningkatan kualitas SDM pendidik akan dikesampingkan,
dan menempati urutan berikutnya. Apabila ini telah terjadi maka akan sia-sia
saja memberikan pendidikan gratis tetapi output-nya atau lulusannya tidak
bermutu.
Yang
patut dan harus diprogramkan adalah memberikan pendidikan gratis bagi anak
didik tertentu saja, yaitu yang memiliki kemampuan tinggi dan prestasi yang
bagus (pintar), dan bagi yang kehidupan perekonomian orang-tuanya di bawah
rata-rata (miskin), atau pun bagi anak-anak yatim piatu. Anak-anak yang
tergolong seperti itulah yang patut dan wajib mendapatkan pen-didikan gratis
dari pemerintah.
Kata
gratis sering menjebak kita dan memberikan harapan besar kepada masyarakat,
akan lebih tepat kalau kata itu diganti sesuai realitas. Misalnya, pendidikan
yang disubsidi. Atau pendidikan yang terjangkau, atau pendidikan bagi yang
tidak mampu. Kesan bombastis melekat dalam ungkapan gratis, karena kenyataan
pungutan sekolah sering lebih mahal dari komponen yang digratiskan.Kata gratis
memang mudah sekali diklaim keberhasilan elite politik tertentu. Padahal, fakta
di lapangan gratis, tetapi masih banyak pungutan.
Penyelenggaraan
pendidikan ber-mutu tidak lepas dari partisipasi masyarakat. Kata gratis
membuat masyarakat enggan berpartisipasi sekaligus membuat masyarakat kian
bergantung. Selama ini, masyarakat mengerti gratis tanpa pungutan tambahan,
seperti sekarang ini gratis.
Untuk
mengatasi kesenjangan pendidikan, tidakkah lebih baik, misalnya, pemerintah
menerapkan konsep subsidi silang yang sudah lama dirintis oleh para
penyelenggara pendidikan swasta? Mereka cukup berpengalaman mengelola subsidi
silang dari anak-anak mampu kepada anak-anak miskin.
Model
ini lebih berkeadilan daripada mengkampanyekan sekolah gratis. Masyarakat dan
terutama orangtua adalah pilar penting pendidikan yang tidak bisa diabaikan
begitu saja.
4)
Permasalahan
Pembiayaan Pendidikan di Tingkat Mikro
Hal
paling krusial yang dihadapi pendidikan kita adalah masalah
pem-biayaan/keuangan, karena seluruh kom-ponen pendidikan di sekolah erat
kaitannya dengan komponen pem-biayaan sekolah. Meskipun masalah pembiayaan tersebut
tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas pendidikan, namun
pembiayaan ber-kaitan dengan sarana-prasarana dan sumber belajar. Berapa banyak
sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara
optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk
mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun
tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan ber-kualitas, namun
pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.
Terkait
dengan efisiensi dan efiktifitas, sekolah harus mampu memenej keuangan yang ada
sehingga dapat menghindari penggunaan biaya yang tidak perlu. Efektifitas
pem-biayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak
hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi
penggunaan dana operasional, peme-liharaan, dan biaya lain yang mengarah pada
pemborosan.
Menurut
Bobbit yang kami kutip dari sumber internet (1992), sekolah secara
mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena
jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar.
Suatu contoh efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
dilakukan Pemerintah Kabupaten (pemkab) Jembrana-Bali. Kabupaten Jembrana sejak
tahun 2001 yang mampu memberikan pendidikan gratis 12 tahun bagi warga asli
daerah tersebut. “Pemerataan pendidikan, manajemen pendidikan yang efektif, dan
peningkatan partisipasi masyarakat merupakan pijakan dalam memuluskan program
pendidikan di Jembrana”.
Adanya
konsep manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya menampilkan konsep
pengelolaan anggaran pendidikan dengan tujuan untuk menjawab persoalan
bagaimana mendayagunakan sumber-sumber pem-biayaan yang relatif kecil dan
terbatas itu secara efektif dan efisien, bagaimana mengembangkan sumber-sumber
baru pembiayaan bagi pembangunan pendidikan, agar tujuan pendidikan tercapai
secara optimal.
Dalam
kondisi dana yang sangat terbatas dan sekolah dihadapkan kepada kebutuhan yang
beragam, maka sekolah harus mampu membuat keputusan dengan berpedoman kepada
peningkatan mutu. Manakala sekolah memiliki rencana untuk mengadakan perbaikan
suasana dan fasilitas lain seperti memperbaiki pagar sekolah atau memperbaiki
sarana olah raga. Tetapi pengaruhnya terhadap peningkatan mutu proses belajar
mengajar lebih kecil dibanding dengan pengadaan alat peraga atau laboratorium,
maka keputusan yang paling efisien adalah mengadakan alat peraga atau
melengkapi laboratorium.
Dalam
biaya pendidikan, efisiensi hanya akan ditentukan oleh ketepatan di dalam
mendayagunakan anggaran pendidikan dengan memberikan prioritas pada
faktor-faktor input pendidikan yang dapat memacu prestasi belajar siswa.
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) merupakan suatu
rancangan pembiayaan pendidikan di sekolah dalam rangka mengatur dan
mengalokasikan dana pendidikan yang ada sumbernya dan sudah terkalkulasi jumlah
dan besarannya baik yang merupakan dana rutin bantuan dari pemerintah berupa
Dana Bantuan Operasional atau dana lain yang berasal dari sumbangan masyarakat
atau orang tua siswa.
Dalam
merancang dan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, diantaranya masalah efektivitas pembiayaan sebagai
salah satu alat ukur efisiensi. Efektivitas pembiayaan merupakan faktor penting
yang senantiasa diperhitungkan bersamaan dengan efisiensi, artinya suatu
program kegiatan tidak hanya menghitung waktu yang singkat tetapi tidak
memperhatikan anggaran yang harus dikeluarkan seperti biaya operasional dan
dana pemeliharaan sarana yang mengarah pada pemborosan. Jadi dalam hal ini
Kepala Sekolah bersama-sama guru dan Komite Sekolah dalam menentukan anggaran
pembelajaran harus ber-dasarkan kebutuhan yang riil dan benar-benar sangat
dibutuhkan untuk keperluan dalam rangka menunjang penyelenggaraan proses
pembelajaran yang bermutu (kaka22mln.blogspot.com/
2011/02/pendidikan-gratis.htm).
5)
Penganggaran
Penganggaran
merupakan kegiatan atau proses penyusunan anggaran (Budget). Budget
merupakan rencana operasional yang dinyatakan secara kuantitatif dalam bentuk
satuan uang yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
lembaga dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam anggaran tergambar kegiatan-kegiatan
yang akan dilaksanakan oleh suatu lembaga.
Penyusunan
anggaran merupakan langkah-langkah positif untuk me-realisasikan rencana yang
telah disusun. Kegiatan ini melibatkan pimpinan tiap-tiap unit organisasi. Pada
dasarnya, penyusunan anggaran merupkan negosiasi atau perundingan/ kesepakatan
antara puncak pimpinan dengan pimpinan dibawahnya dalam menentukan besarnya
alokasi biaya suatu penganggaran. Hasil akhir dari suatu negosiasi merupakan
suatu pernyataan tentang pengeluaran dan pendapatan yang diharapkan dari setiap
sumber dana (Nanang Fattah: 2000:49).
- Fungsi
Anggaran
Apabila
melihat perkembangannya, anggaran mempunyai manfaat yang dapat digolongkan ke
dalam 3 jenis yaitu :
a) Sebagai alat penaksir
b) Sebagai alat otorisasi pengeluaran dana, dan
c. Sebagai alat
efisiensi
- Tahap
penyusunan anggaran
Tahap
penyusunan anggaran adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan selama periode anggaran.
b. Mengidentifikasi
sumber-sumber yang dinyatakan dalam uang, jasa, dan barang.
c. Semua
sumber dinyatakan dalam bentuk uang sebab anggaran pada dasarnya merupakan
pernyataan finansial.
d. Memformulasikan
anggaran dalam bentuk format yang telah disetujui dan dipergunakan oleh
instansi tertentu.
e. Menyusun
usulan anggaran untuk memperoleh persetujuan dari pihak yang berwenang.
f. Melakukan
revisi usulan anggaran
g. Persetujuan
revisi usulan anggaran.
h. Pengesahan
anggaran (Nanang Fattah: 2000:50).
3.
Sarana/Prasarana
dan Teknologi
a.
Sarana/Prasarana
dan Teknologi yang tidak memadai sebagai Problem dalam Manajemen Pendidikan
Islam
Pendidikan
sebagai proses peng-ubahan sikap dan tata laku/pem-bentukan pribadi yang
terarah pada diri peserta didik (manusia) dalam usaha mendewasakan peserta
didik melalui upaya pengajaran dan pelatihan, pendidikan sebagai kegiatan
pewarisan budaya, pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara yang berjiwa
patriotik, serta pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja, menjadikan
pendidikan harus mendapatkan perhatian besar. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan dari sisi pendidikan adalah sarana dan prasarana pendidikan itu
sendiri dimana sarana dan prasarana pendidikan ini merupakan salah satu faktor
yang mendukung keberhasilan program pendidikan dalam proses pembelajaran.
Mutu
sarana dan prasarana masih sangat bervariasi. Hal ini dapat kita lihat
dilingkungan kita dimana masih banyak sekolah-sekolah yang keadaan gedungnya
tidak aman dan kurang memadai untuk digunakan melak-sanakan proses belajar
mengajar (lembab, gelap, sempit, rapuh). Sering juga dijumpai bahwa lahan/tanah
(status hukum) bukan milik sekolah atau dinas pendidikan; letaknya yang kurang
memenuhi persyaratan lan-carnya proses pendidikan misalnya letak sekolah berada
di tempat yang ramai, terpencil, kumuh, dan lain-lain; perabotan berkenaan
dengan sarana yang kurang memadai bagi pelaksana-an proses pendidikan misalnya
meja/ kursi yang kurang layak digunakan, alat peraga yang tidak lengkap,
buku-buku paket yang kurang memadai, dan lain-lain.
1) Fasilitas
yang Minim
Volume
sarana dan prasarana yang minim masih menjadi permasalahan utama disetiap
sekolah di Indonesia. Terutama di daerah pedesaan yang jauh dari perkotaan.
Kasus seperti ini dapat menimbulkan kesenjangan mutu pendidikan. Banyak peserta
didik yang berada di desa tidak bisa menikmati kenyamanan dan kelengkapan
fasilitas seperti peserta didik di Kota. Oleh karena itu, kualitas pendidikan
di desa semakin kalah bersaing dengan kualitas pendidikan di kota. Selain itu
masih banyak fasilitas yang belum memenuhi mutu standar pelayanan minimal. Hal
seperti ini membuktikan bahwa lembaga pendidikan kurang mem-fasilitasi bakat
dan minat siswa dalam mengembangkan diri. Akibat ketidak tersedianya fasilitas
tersebut, para pelajar mengalokasiakan kelebihan waktunya untuk hal-hal yang
negatif.
2) Alokasi
dana yang terhambat
Banyaknya
kasus penyalahgunaan dana adminitrasi sekolah, membuat sarana dan prasarana
sekolah tidak terwujud sesuai dengan harapan, adanya permainan uang dalam
administrasi membuat pendidikan semakin tidak cepat mencapai titik
keberhasilan.
3) Perawatan
yang Buruk
Ketidakpedulian
dari sekolah ter-hadap perawatan fasilitas yang ada menjadikan buruknya sarana
dan prasarana. Sikap acuh tak acuh dan tidak adanya pengawasan dari pemerintah,
membuat banyak fasilitas sekolah yang terbengkalai. Ketidak-nyamanan
menggunakan fasilitas yang ada, akibat kondisi yang banyak rusak, membuat para
pelajar enggan menggunakannya. Kasus seperti ini biasanya terjadi karena tidak
adanya kesadaran dari setiap guru, siswa, dan pengurus sekolah.
Dari
ketiga point di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sarana dan
prasarana pendidikan di Indonesia masih perlu dibenahi. Banyaknya permasalahan
sarana dan prasarana akan menghambat proses pembelajar-an, yang akibatnya
berpengaruh pada ketercapaian dari tujuan pendidikan.
Dengan
keterbatasan sarana dan prasarana tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga
pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan diri.
Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan
kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar
pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat.
Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan
yaitu:
a) Rendahnya
Mutu Output Pendidikan
Kurangnya
sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri,
sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang
membutuh-kan sarana dan prasarana yang sangat kompleks agar dapat bersaing
dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya
belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar
dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya. Ironisnya
pemerintah kurang men-dukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas
pendidikan. Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang
pendidik-an lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis
tek-nologi ini. Kerusakan sekolah merupa-kan masalah klasik yang cenderung
dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi
permainan politik disaat pemilu saja.
b) Kenakalan Remaja
dan Perilaku yang Menyimpang
Secara
psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan dimana
didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kreativitas yang
sangat tinggi. Jika luapan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi
maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan
dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya
laboratorium, perpustaka-an, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga
sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengeks-presikan diri mereka.
Kehidupan remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada
generasi sebelumnya, pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalam
pengembangan kematangan emosi misalnya saja grup band, sepak bola, basket,
otimotif dan sebagainya. Jika hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan
cenderung membuat perkumpulan-perkumpulan yang cen-derung menyalahi norma. Di
Indonesia sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki
sarana penyaluran emosi ini.
b.
Upaya untuk Mengatasi Kurang
Memadainya Sarana/ Prasarana dan Teknologi Pendidikan
Ada
beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki anomali-anomali
pendidikan ini antara lain:
1)
Terorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan
peme-rintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun sehingga tidak
terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
2)
Dengan adanya koordinasi peme-rintah pusat dengan
pemerintah daerah maka selanjutnya kita dapat meningkatkan Sarana dan
Pra-sarana Pendidikan. Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang
digunakan dalam rangka mening-katkan output pendidikan tentunya kita harus
menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya adalah meningkatkan
sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana tersebut meliputi
sarana fisik dan non fisik.
Sarana
fisik
Pemenuhan
sarana fisik sekolahan ini meliputi pembangunan gedung sekolahan, laboratorium,
perpustakaan, sarana-sarana olah raga, alat-alat kesenian dan fasilitas
pendukung lainnya. Dalam hal ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab
yang besar dalam pemenuhan ini, karena pemerintah berkepentingan dalam
memajukan pembangunan nasional. Jika sarana belajar ini telah terpenuhi
tentunya akan semakin memudahkan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sarana
non fisik
Sarana
non fisik ini diibaratkan software dalam komputer, jika software ini dapat
mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai.
Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan
mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
a) Peningkatan kualitas guru
Kualitas
guru harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru
adalah merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya
berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client. Peningkatan
mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan
psikologis guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa,
psikologi perkembangan dan sebagai-nya. Dengan adanya peningkatan ini tentunya
akan berdampak pada membaiknya output pendidikan. Dikarenakan guru dapat
menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat fleksibel. Kenakalan
remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu sendiri misalnya
melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan psikologis.
b) Pembentukan
lembaga studi mandiri
Pembentukan
lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kepribadian
siswa. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk tentunya akan memperbaiki kualitas
fakultas maupun menambah pengalaman mahasiswa.
C.
SIMPULAN
Ada
tiga hal pokok yang menjadi problem Manajemen Pendidikan Islam yang dihadapi
dewasa ini. Ketiga hal tersebut sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya,
yaitu: 1. Sumber Daya Manusia, 2. Pembiayaan, dan 3. Sarana/Prasarana dan
Teknologi.
Dalam
hal Sumber Daya Manusia (SDM) tidak akan bisa tercapai dengan baik tanpa
didukung oleh biaya dan sarana/prasarana dan teknologi yang memadai.
Kaitannya
dengan pembiayaan, tidak akan terkelola dengan baik tanpa didukung oleh SDM
yang handal kemudian difasilitasi dengan sarana/ prasarana dan teknologi yang
modern.
Begitupula
dengan pengadaan dan penggunaan sarana/prasarana dan teknologi harus dibekali
dengan SDM dan biaya cukup memadai agar bisa terkelola dengan baik pula.
Referensi:
Al-Qur’an : 29
- 32
Aassegaf, Abd. Rachman.2011. Filsafat
Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratif-Interkonektif. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Achmadi. 2010. Ideologi
Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Bastian,Aulia Reza. 2002. Reformasi
Pendidikan: Langkah-langkah Pembaharuan dan Pemberdayaan Pendidikan dalam
Rangka Desentralisasi Sistem Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Lapera
Pustaka Utama.
Farodis, Zian. 2011. Panduan
Manajemen Pendidikan ala Harvard University.Yogyakarta: Diva Press.
Fattah, Nanang. 2001. Landasan
Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
kaka22mln.blogspot.com/2011/02/pendidikan-gratis.html
Langgulung, Hasan. 1995. Beberapa
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif.
Makawimbang, H. Jerry. 2011. Supervisi
dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta.
Muriah, Siti. 2011. Kata
Pengantar Dalam Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan
Praktis. Malang & Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Nanang Fattah, Ekonomi dan
Pembiayaan Pendidikan, Rosda Karya, Bandung, cet ke-1, 2000.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Partanto, Pius dan Dahlan Albari. 2001.
Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Shaleh, A.R. (2000). Pendidikan
Agama dan Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta: Gemawindu
Pancaperkasa.
Subroto, B. 2004. Manajemen
Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rieneka Cipta.
Sukarno. 2012. Budaya Politik
Pesantren Perspektif Interaksionisme Simbolik.Yogyakarta: Interpena.
Zamroni. 2011. Dinamika
Peningkatan Mutu. Yogyakarta: Gavin Kalam Utama. Malang: UMM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda komentari tulisan-tulisan ini!
Komentar yang masuk dapat dijadikan pertimbangan untuk menampilkan tulisan-tulisan selanjutnya.
Terima kasih.