A. Metode Analisis Ilmu Pendidikan Islam
Ilmu
pendidikan Islam sebagai suatu disiplin ilmu, bila dibandingkan dengan ilmu
yang lainnya masih relatif baru. Oleh karena itu ilmu pendidikan Islam masih
perlu dikembangkan, sekaligus untuk menjawab masalah-masalah yang timbul dalam
pendidikan Islam.
Dalam
usaha pengembangan ilmu pendidikan Islam yang merupakan landasan teoritis dan
praktis proses pendidikan serta menjawab masalah-masalah yang timbul dalam
pendidikan Islam, maka diperlukan analisis yang dilakukan oleh orang-orang yang
bergerak di bidang pendidikan. Hal ini telah terbukti bahwa pendidikan Islam
berkembang dari waktu ke waktu. Sehingga analisis ini sangat diperlukan oleh
pendidikan Islam, karena konsepsi pendidikan Islam yang terkandung dalam
al-Quran dan As-Sunnah yang masih bersifat global dan masih perlu untuk
dianalisis lebih mendalam.
Berkenaan
dengan penganalisaan teori-teori pendidikan Islam, Arifin (1996:16) berpendapat
bahwa masalah-masalah pendidikan Islam pada garis besarnya dapat dianalisis
dari aspek konsepsional tentang:
- Hakikat pendidikan Islam adalah proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.
- Asas pendidikan Islam adalah asas perkembangan dan pertumbuhan dalam kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, jasmani dan rohani. Sedangkan asas dalam pendidikan praktis antara lain asas adil dan merata, menyeluruh dan integritas.
- Modal dasar pendidikan Islam adalah kemampuan dasar (fitrah) untuk berkembang dari masing-masing manusia karena karuni Tuhan.
- Sasaran strategis pendidikan Islam adalah menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai ilmu pengetahuan secara mendalam dan meluas dalam pribadi anak didik agar terbentuk sikap beriman dan bertaqwa. Dengan istilah lain sasaran pendidikan Islam adalah mengintegrasikan iman dan takwa dengan ilmu pengetahuan dalam pribadi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhhirat.
- Ruang lingkup pendidikan Islam menyangkut kegiatan-kegiatan kependidikan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan dalam bidang atau lapangan hidup manusia yang meliputi; lapangan hidup keagamaan agar perkembangan pribadi manusia sesuai dengan norma-norma ajaran Islam, lapamgan hidup keluarga agar berkkembang menjadi sistem kehidupan yang bebas dari penindasan manusia oleh manusia, lapangan hidup kemasyarakatan agar terbina masyarakat yang adil dan makmur di bawah ridha dan ampunan Allah, lapanagan hidup seni politik agar tercipta sistem demokrasi yang sehat, dinamis dan sesuai dengan ajaran Islam, lapangan hidup seni budaya agar kehidupan manusia penuh dengan keindahan dan kegairahan yang telah gersang dari nilai moral agama dan lapangan hidup ilmu pengetahuan agar manusia dapat hidup sejahtera dengan disertai iman.
- Metode yang digunakan dalam proses pencapaian tujuan adalah metode yang didasarkan atas pendekatan-pendekatan keagamaan, kemanusiaan dan scientific.
Konsep
tersebut masih perlu dijabarkan agar proses operasionalisasi pendidikan Islam
lebih terpadu. Dalam proses penjabaran itu diperlukan adanya analisis, dan
untuk menganalisis suatu masalah diperlukan suatu metode, begitu pula dengan
pendidikan Islam.
Jika
ditinjau dari segi keilmuannya, menurut Barnadib (1987:15) ilmu pendidikan
Islam adalah ilmu pengetahuan yang bersifat empirik dan normatif. Dikatakan
empiris karena objek ilmu pendidikan adalah situasi pendidikan yang terdapat
dalam dunia pengalaman. Sedangkan dikatakan normatif karena ilmu pendidikan
berdasarkan atas pemilihan antara yang baik untuk manusia sebagai makhluk
edukandum.
Maka
dapat ditarik suatu asumsi bahwa ilmu pendidikan Islam bersifat empiris dan
normatif. Sesuai dengan pendapat Arifin sebelumnya, maka metode analisis
empiris dan normatif tersebut disesuaikan dengan tuntunan keilmuan yang islami
dengan berdasarkan pada pendekatan-pendekatan yang relevan dengan corak dan
watak keilmuan.
Ilmu
pendidikan Islam dapat dianalisis melalui norma-norma atau nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
Tafsir (1994:22) bahwa ilmu pendidikan Islam berdasarkan dan sumber dari
al-Quran dan al-Hadis.
Apabila
ungkapan di atas dihubungkan dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa ilmu
pendidikan Islam merupakan ilmu yang normatif, maka analisis berdasarkan pada
nilai-nilai kependidikan yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadis adalah
analisis yang bersifat normatif atau analisis yang berdasarkan pada nilai atau
norma.
Dari
beberapa uraian di atas, maka dapat diambil suatu pemahaman bahwa apabila
ditinjau dari segi sumbernya, masalah-masalah dalam ilmu pendidikan Islam Islam
dapat dianalisis melalui metode analisis empiris normatif.
Selanjutnya,
selain dari metode-metode tersebut, masalah-masalah dalam ilmu pendidikan Islam
dapat dianalisis melalui metode-metode yang lainnya, antara lain metode induksi
dan deduksi. Menurut Ahmad Tafsir (1992:29) bahwa metode berfikir
deduktif adalah peraturan yang
dimulai dari peraturan umum untuk membentuk putusan yang khusus. Sedangkan
metode induktif adalah suatu penuturan yang dimulai dari putusan yang khusus
untuk ditarik kepada keputusan yang umum.
Apabila
dikaji dari apa yang dikemukakan sebelumnya, bahwa ilmu pendidikan Islam
bersifat empiris dan normatif, maka metode deduktif dan induktif dapat dianggap
relevan untuk dijadikan sebagai metode analisis ilmu pendidikan Islam.
B. Analisis Ilmu Pendidikan Islam terhadap Esensi al-Quran Surat al-Qalam Ayat 2-5 tentang Sifat Pendidik
Dalam
surat al-Qalam ayat 2-5, merupakan sebuah bujukan atau hiburan Allah swt kepada
Nabi Muhammad saw, sehingga beliau tetap optimis untuk menegakkan kebenaran dan
pantang mundur untuk menyampaikan dakwah Islam, walaupun banyak cobaan yang
beliau alami. Satu diantaranya adalah reaksi orang-orang kafir Mekah yang
enggan menerima dakwah beliau dengan menuduhnya sebagai orang gila.
Tentu
saja sebagai manusia sekali-kali tersinggung juga perasaan beliau lantaran
tuduhan gila itu, sekurang-kurangnya menyedihkan hati beliau. Disaat seperti
itulah turun ayat ini. Bahwasanya nikmat yang diberikan Allah kepada engkau
(Muhammad saw) adalah banyak sekali. Di antara nikmat yang demikian banyaknya
adalah satu hal yang jadi puncaknya, yaitu kesehatan jasmani dan rohani.
Kesehatan inilah yang menyebabkan berani karena yang benar.
Melihat
dari prosesnya, dalam ayat tersebut terkandung proses pendidikan antara Allah
swt dengan Nabi Muhammad saw dan antara Nabi Muhammad saw dengan umatnya. Bimbingan
Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dilakukan melalui wahyu yang diturunkan
kepada beliau. Dalam hal ini hubungan Allah dengan Rasul-Nya merupakan hubungan
antara pendidik dengan terdidik, sebagaimana sabda Nabi saw yang diriwayatkan
oleh al-Asakari dan Ibnu As-Samani bahwa beliau bersabda:
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
Allah telah mendidikku, maka Allah membaguskan pendidikannya
Catatan: hadits ini sanadnya
terdapat kelemahan, tapi maknanya shahih.
Proses
pendidikan yang dilakukan Nabi Muhammad saw terhadap umatnya merupakan cermin
tanggung jawab beliau dalam menyampaikan risalah Tuhan-nya, sehingga hubungan
Nabi dengan umatnya merupakan hubungan antara pendidik dengan anak didik,
karena Nabi sebagai pendidik umat yang membimbing dan menunjukkan kepada jalan
yang benar. Sebagaimana dikatakan oleh Nur Uhbiyati (1997: 71), bahwa guru
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan dan bantuan kepada
anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai kedewasaan.
Mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, khalifah di muka bumi,
sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.
Berdasarkan
penafsiran para mufassir dan esensi ayat yang terdapat dalam surat al-Qalam
ayat 2-5, meskipun ayat tersebut khitabnya kepada Nabi saw, namun dalam
kapasitas beliau sebagai pendidik umat, maka ayat tersebut sangat berhubungan
dengan pendidikan, khususnya dengan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang pendidik ketika melaksanakan tugasnya. Dari sini dapat diambil beberapa
sifat pendidik yang tersirat dalam surat al-Qalam 2-5 sebagai berikut:
- Sehat Jasmani dan Rohani (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Pada ayat
(مَاأَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ), haruf (ما) adalah nafi yang mempunyai arti (kosong dari sesuatu)
dalam hal ini Allah menyatakan bahwa Muhammad saw benar-benar terbebas (kosong)
dari sifat gila, tidak seperti apa yang dituduhkan orang-orang kafir Makah
bahwa beliau adalah orang gila. Serta ayat ini juga adalah bentuk pernyataan
berupa pujian Allah, bahwasanya nikmat yang diberikan Allah kepada engkau
(Muhammad saw) adalah banyak sekali. Di antara nikmat yang demikian banyaknya
adalah satu hal yang jadi puncaknya, yaitu kesehatan jasmani dan rohani.
Kesehatan inilah yang menyebabkan berani karena yang benar (Hamka,
1993:7566-7567).
Dalam
dunia pendidikan tataran kesehatan rohani (psikis) hal ini mutlak harus ada
pada diri seorang pendidik, sedangkan sehat jasmani sebagaimana yang dikatakan
oleh Zakiyah Daradjat (1996: 41-44) bahwa seorang pendidik (guru), kesehatan
jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk
menjadi pendidik (guru). Pendidik (guru) yang mengidap penyakit menular
umpamannya, sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Di samping itu pendidik
(guru) yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Kita kenal ucapan:
"Mens sana in corpore sano", yang artinya dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara
menyeluruh, akan tetapi bahwa kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat
kerja pendidik (guru) sakit-sakitan kerap kali terpaksa absen dan tentunya
merugikan anak-anak.
Ahmad
Tafsir (1994: 82-84) ia mengutip beberapa pendapat para tokoh pendidikan Islam
mengenai sifat-sifat pendidik (guru), diantaranya adalah yang dikemukakan
al-Abrasyi (1974:131) bahwa satu di antara sifat yang harus dimiliki pendidik
(guru) adalah bersih tubuhnya artinya penampilan lahirnya menyenangkan, ini
juga dikategorikan sebagai sehat secara jasmani.
Masih
menurutnya khusus pada tataran kesehatan jasmani, Islam dapat menerima guru
(pendidik) yang cacat secara jasmani tetapi sehat, asalkan cacat itu tidak
merintangi tugasnya dalam mengajar.
- Memiliki Budi Pekerti yang Agung (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Pada ayat
(وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ) Menurut keterangan para
mufassir merupakan bentuk pujian Allah kepada Nabi saw atas keteguhan sikap
Nabi Muhammad saw, tenang dan tentram serta kesabaran ketika orang menuduhnya
gila, beliau tidak marah
dan tidak kehilangan akal.
Keberhasilan beliau dalam berdakwah karena kesanggupan beliau menahan hati
menerima celaan-celaan dan makian dari orang yang bodoh.
Sungguh
Allah telah mengumpulkan keutamaan dan kesempurnaan dalam diri Nabi Muhammad
saw, keutamaan yang agung, tidak pernah berbuat jelek. Allah Azza Wajalla
memberikan sifat yang agung ini kepada Nabi Muhammad. Adapun beberapa sifat
yang termasuk dalam akhlak atau budi pekerti yang agung menurut para muffasir
adalah:
- Sabar (Tafsir al-Azhar, Shafwatu at-Tafasir, Ibn Katsir, UII)
Sabar
adalah menahan diri dan membawanya kepada yang dituntunkan syara dan akal serta
menghadirkannya dari segala yang dibenci oleh keduanya (Usman dkk, 1976:95).
Keteguhan sikap Nabi Muhammad saw, tenang dan tentram serta sabar ketika orang
menuduhnya gila, dia tidak marah dan tidak kehilangan akal termasuk budi
pekerti yang agung. Keberhasilan beliau dalam berdakwah karena kesanggupannya
menahan diri menerima celaan dan makian dari orang-orang di sekitarnya (Hamka,
1993:7568).
Sebuah
Hadis yang menggambarkan sifat sabar beliau sebagai berikut:
Seseorang dari Bani Suwad
mengatakan, "aku bertanya kepada Aisyah, beritahukanlah kepadaku hai ummul
muminin, tentang akhlak Rasulullah saw? Lalu dia menjawab, tidakkah kamu
baca al-Quran" dan sesungguhnya kamu (Muhammad) berbudi pekerti yang
agung," dia bertanya lagi, "ceritakanlah kepada kami tentang
keagungan akhlaknya itu." Dia menjawab, "pada suatu hari aku pernah
membuatkan makanannya utuknya. Ternyata Hafsah pun membuatkan makanan untuknya.
Akupun berkata kepada pembantuku, "pergilah, jika Hafsah datang membawa
makanan sebelum makananku, maka lemparlah makanan itu." Maka Hafsah pun
datang dengan membawa makanan dan pembantu itupun melemparkan makanan tadi
sehingga piringnya jatuh dan pecah. Rasulullah saw ketika itu sudah kenyang
lalu Rasullah saw mengumpulkannya dan mengatakan, "mintalah pengganti
piring itu dari bani Sawad dengan piring lain,"Aisyah berkata, "Dan
Rasulullah saw sedikit pun tidak mengomentari hal itu."
Kaitannya
dengan sifat pendidik, al-Abrasy (1997: 88) mengatakan bahwa seorang pendidik
agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik harus memiliki sifat sabar dalam
mengajarkan berbagai materi kepada anak didik. Pendidik harus menyadari bahwa
setiap anak didik memiliki kemampuan yang berbeda, dengan demikian pendidik
(guru) harus memberikan pengajaran dan latihan dengan berulang-ulang kepada
anak didiknya, dia menjalankannya dengan penuh kesabaran. Dengan begitu,
seorang pendidik tidak tergesa-gesa dari memaksakan keinginannya kepada siswa
serta ingin segera melihat hasil karyanya berupa siswa yang pintar dan siap
pakai tanpa memperhatikan kedalaman ajaran serta pengaruhnya dalam diri siswa.
- Pemaaf (murah hati) (Tafsir al-Azhar, Ibn Katsir)
Menurut
Hamka, sifat murah hati (pemaaf) dan tawadlu menjadi satu dari sekian sifat
yang dimiliki oleh Rasulullah saw dalam kaitannya dengan Q.S. al-Qalam ayat 3.
Sebagai contoh dalam sebuah Hadis tatkala beliau melakukan dakwah yang artinya:
Dari Abdullah bin Masud ra, dia
berkata: seakan-akan aku melihat kepada Rasulullah saw ketika beliau
menceritakan Nabi dari Nabi-nabi yang banyak itu, di dipukul oleh kaumnya
sampai berdarah-darah, disapunya darah yang mengalir diwajahnya itu lalu dia berdoa:
"Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu".
Sebenarnya
Hadis ini menceritakan perjalanan dakwah Rasulullah saw. Ada, dua sifat yang
kita temui disini, Pertama memberi maaf (pemaaf) karena mendoakan orang-orang
yang berbuat jahat kepadanya supaya diberi ampun oleh Tuhan. Kedua ketika dia
memberi pengajaran kepada sahabat-sahabatnya dirinya tidak ditonjolkan,
melainkan dikatakannya ada seorang Nabi di antara Nabi-nabi yang demikian
tinggi, patut ditiru.
Pemaaf
(murah hati) berasal dari kata maaf, secara harfiyah "menghapus".
Memaafkan berarti menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak yang
dinilai tidak wajar (Quraish Shihab, 1995:474). Dengan kata lain sifat pemaafan
atas dosa dan kekeliruan. Perkataan ini digunakan dalam al-Quran antara lain
dalam konteks sebagai bagian dari sifat-sifat Allah. Firman Allah dalam Q.S.
an-Nisa (4:43):
إن الله كان عفوا غفورا
Sesungguhnya
Allah Maha pemaaf dan Maha pengampun.
Rasulullah
saw sebagai pendidik dan pembina umat dituntut oleh Allah Swt agar memiliki
sifat pemaaf (al-Maraghi, 1993:192). Betapa tidak umat yang diseru dan
dibimbingnya ke jalan kebenaran ini adalah makhluk yang dasarnya tidak bisa
lepas dari kemungkinan berbuat salah dan berdosa. Mereka adalah orang-orang
yang dalam upaya memahami dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan
kesalehan yang diajarkan Nabi terbentur dengan keterbatasan-keterbatasan mereka
sendiri.
Dalam
ayat 4 surat al-Qalam, Allah swt menyerukan kepada Rasulullah saw bahwa beliau
benar-benar memiliki akhlak yang agung (luhur) satu diantaranya yang termasuk
didalamnya adalah pemaaf. Hikmah yang dapat diambil adalah agar banyak
memaklumi, mengerti kelemahan dan keterbatasan umat dalam memahami, menghayati
dan mau menerima ajaran Islam. Begitu halnya, seorang pendidik benar-benar
perlu memiliki sikap mental seperti ini.
Dalam
profesi yang ditekuninya, seorang pendidik tentu akan menghadapi
manusia-manusia yang sangat mungkin melakukan kesalahan, kekeliruan, kelalaian
yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak. Kesalahan itu mungkin menyangkut
sikap anak didiknya teerhadap pribadi pendidik, terhadap mated yang ia bawakan,
terhadap cara bagaimana ia menyampaikan atau terhadap rekan mereka sendiri.
Semua ini menuntut sikap arif seorang pendidik, sehingga ia dapat mengambil
tindakan secara profesional dan edukatif. Karena itulah, seorang pendidik harus
memiliki sikap lapang dada serta memaafkan yang merupakan atribut dari kearifan
tersebut (al-Abrasyi, 1993:138).
Seorang
pendidik harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia melaksanakan tugasnya
dengan baik, yakni seorang guru bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup
menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah
karena sebab-sebab yang kecil, berkepribadian dan mempunyai harga diri (Nut
Uhbiyati, 1999:85).
Hal ini
sejalan dengan pendapat Zakiyah Darajat (1996: 43), seorang guru hendaklah
memiliki sifat manusiawi karena guru adalah manusia yang tak lepas dari
kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia yang sempurna, oleh karena itu ia harus
berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera memperbaikinya.
Dengan demikian, pandangannya tidak picik terhadap kelakuan manusia pada
umumnya dan anak-anak pada khususnya. Ia dapat melihat perbuatan yang salah
menurut ukuran yang sebenamya, ia memberi hukuman yang adil dan suka memaafkan
apabila anak insyaf akan kesalahannya.
Pendidik
yang pemaaf, boleh jadi akan mengundang simpatik siswanya, dan dengan
kemaafannya itu ia masih akan bersikap positif terhadap amanah dan profesi yang
diembannya. Bagaimanapun maaf-memaafkan merupakan salah satu kunci untuk
melepas beban psikologis dan membuat ringan serta lapang jiwa. Hal ini
merupakan kondisi yang baik bagi semua amal saleh dalam pendidikan.
- Demokratis (Tafsir Ibn Katsir)
Sebuah
Hadis yang dirawikan oleh dua syaikh (Bukhari-Muslim):
Anas berkata; Sepuluh tahun
lamanya aku menjadi pembantu Rasulullah saw beliau tidak pernah menghardikku,
tidak pernah beliau menegurku: mengapa engkau kerjakan itu? Jika aku
mengerjakan sesuatu. Tidak pernah pula beliau menegur; mengapa tidak engkau
kerjakan? Jika sesuatu tidak aku kerjakan. Dan beliau adalah manusia yang
paling baik akhlaknya, dan belum pernah aku menyentuh kain halus ataupun sutera
ataupun yang lain yang sehalus telapak tangan beliau. Dan belum pernah aku
mencium kasturi atau minyak alhar yang lebih harum daripada keringat beliau.
(Tafsir Ibn Katsir, hal:363)
Sikap
demokratis tercermin dalam Hadis di atas, beliau tidak pernah memaksa ataupun
menegur bahkan memarahi. Beliau membiarkan sahabatnya untuk memilih apa yang
dikehendakinya karena mereka masih dalam tahap belajar. Di dalam mendidik anak,
seorang pendidik harus bersikap demokratis, dalam arti tidak pernah memaksakan
kehendak kepada mereka. Demokrasi merupakan modal bagi setiap orang untuk mengembangkan
kreativitas. Selain itu dikhawatirkan apabila anak-anak dididik dengan cara
yang serba ditekan, tidak demokratis berarti pendidik telah ikut menyumbangkan
dan membenkan kontribusi menciptakan orang-orang yang otoriter.
Seorang
pendidik hendaklah menyesuaikan pendidikan anak-anak itu sejajar dengan
perubahan yang terjadi dan bersikap sebagai layaknya pendidik anak-anak kita,
tidak selalu menuntun mereka, harus seperti ini, harus seperti itu, jangan
seperti ini atau jangan seperti itu, didiklah anak-anak kita agar mereka dapat
melihat dan membedakan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, agar mereka
nanti mampu berdiri sendiri dan tidak sentiasa bergantung kepada pendidik
(guru).
Dalam
hubungan ini, anak-anak itu boleh diberikan kebebasan yang terbatas dalam arti
kita memberikan mereka bimbingan, nasehat dan teguran. Juga walaupun kita
sibuk, kita hendaklah memberikan masa untuk kita berkomunikasi dengan anak-anak
kita, berbincang dengan mereka dalam perkara-perkara yang bermanfaat. Anak-anak
itu juga hendaklah diberikan kesempatan untuk berfikir, mengeluarkan pendapat
dan merasakan bahwa mereka adalah salah satu dari anggota keluarga yang
dihargai.
- Berilmu (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Bagi
seorang pendidik (guru), ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu
bukti pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang
diperlukannya untuk suatu jabatan. Guru pun harus mempunyai ijazah supaya ia
dibolehkan mengajar, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah murid
sangat meningkat, sedangkan jumlah pendidik jauh dari mencukupi, maka terpaksa
menyimpang untuk sementara, yakni menerima pendidik yang belum berijazah,
tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru
makin baik mutu pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat
masyarakat.
Memiliki
ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam bagi seorang pendidik adalah agar tidak
terjadi kekeliruan dalam mengajarkan pada muridnya. Apabila banyak kekeliruan
yang dilakukan seorang pendidik akan mengurangi kepercayaan anak didik
kepadanya sehingga anak didik merendahkan dan menyepelekan segala ilmu yang
diberikan kepadanya. Kekeliruan seorang guru dapat menimbulkan keraguan dalam
diri siswa. Maka, penambahan wawasan dan pengetahuan bagi seorang pendidik
merupakan hal yang paling penting sehingga dia dapat meraih simpati dan minat
anak didiknya.
- Tawadlu (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Orang
muslim sebaiknya memiliki sifat tawadlu tanpa menghinakan dirinya. Tawadlu
adalah akhlak dan sifat yang mulia, sedangkan lawan dari tawadlu adalah
sombong. Karena itu tawadlu untuk tinggi dan tidak sombong agar tidak rendah.
Ini karena ketentuan Allah swt yang menghendaki mengangkat orang-orang yang
tawadlu karena-Nya dan merendahkan orang-orang yang sombong. Rasulullah saw
bersabda yang artinya:
Harta
itu tidak berkurang karena sedekah, Allah tidak menambahkan pada hamba yang
memaafkan melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadlu karena Allah
melainkan Allah mengangkatnya (Muslim)
Seorang
pendidik mesti hadir dalam dirinya sifat yang demikian. Karena dengan sifat
tawadlu ini secara otomatis seseorang itu akan melahirkan sifat kasih sayang,
lemah lembut, tidak sombong, sopan santun, bisa menghormati orang lain dan
sebagainya. Selain itu akan melahirkan kewibawaan di mata orang-orang khususnya
pada anak didiknya. Orang lain juga akan bisa menaruh kepercayaan padanya.
Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya
Allah mewahyukan kepadaku bahwa hendaklah kalian bersikap tawadlu hingga
seseorang tidak sombong dan tidak berbuat zalim terhadap orang lain (HR. Muslim)
- Banyak beribadah kepada Allah swt (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
Pendidik
yang sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak
agar selalu beribadah serta bertaqwa kepada Allah swt, jika ia sendiri tidak
pernah melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan oleh agama
serta bertaqwa kepada Allah. Sebab ia adalah teladan bagi muridnya sebagaimana
Rasulullah Muhammad saw menjadi tauladan bagi umatnya. Sejauhmana seorang pendidik
mampu memberi teladan baik kepada murid-muridnya sejauh itu pulalah ia
diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa
yang baik dan mulia.
- Banyak bersyukur (Shofwatu at-Tafasir, hal: 426)
Sangat
berat ujian dan cobaan menjadi seorang pendidik, "belum selesai"
urusan yang menyangkut para muridnya, ia dihadapkan dengan kebutuhan hidupnya
(finansial) yang menyangkut keluarga. Oleh karena itu rasa selalu untuk
bersyukur harus tertanam pada diri seorang pendidik. Apabila seorang pendidik
mampu menampakkan sesuatu sesuai dengan fungsi dan kegunaannya melalui petunjuk
al-Quran dan al-Hadis, maka ia akan mengetahui arah dan tujuan si-Pemberi
sehingga tidak "mengecewakan" si-Pemberi.
Dalam
literatur ke Islaman dipahami bahwa seluruh keberadaan alam semesta ini adalah
pemberian Allah swt, Dia-lah yang menjadikan alat untuk menikmati kenikmatan
begitu pula "materi" yang akan dinikmati. Tugas kita sebatas
mengubahnya menjadi yang kita minati dan sukai sesuai kebutuhan, hanya saja dalam
beberapa proses ini kita sering lupa bahwa "seolah" kita telah
"menciptakan" yang telah diciptakan Allah. Sikap itu lama-lama
mengkristal menjadi "kesombongan" untuk menggeser peran Allah swt
sebagai Sang Maha Pencipta.
Quraish
Shihab dalam bukunya “Wawasan Al-Qur'an” mengatakan: Ulama ketika menafsirkan
firman Allah “Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku" (QS. al-Baqarah, ayat: 152), menjelaskan bahwa ayat tersebut
mengandung perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya
tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Hal ini menunjukkan bahwa makna syukur
sebenarnya menghadirkan Allah disegenap nikmat-nikmat-Nya, dengan mensyukuri
nikmat-Nya maka secara otomatis kita mengakui eksistensi Allah swt, dalam
kehidupan ini.
Dengan
cara pandang seperti ini (salah satunya) maka akan didapati bahwa sebenarnya
kebahagiaan sejati itu tidaklah terletak pada “kekayaan”, namun kebahagiaan
sejati didapati pula dan jiwa manusia yang selalu bersyukur.
Memang
rasa syukur itu sendiri adalah “anugerah” tidak semua orang bisa menikmati
perasaan itu, karena belum tentu orang yang selalu bertaburan dari lidahnya
ungkapan syukur ia adalah benar-benar pengamal sikap syukur. Karena seringkali
apa yang tampil dari diri kita ternyata belum tentu cerminan dari kesungguhan
hati, semua sekadar tradisi atau pergaulan. Akhirnya begitu menerima kenikmatan
"lupa" dengan mengungkapkan syukur baik kepada yang memberi maupun
pada diri sendiri.
Banyak di
antara kita terjebak memandang fatamorgana ini menjadi standar kebahagiaan dan
pergaulan, padahal tatkala itu semua tidak ada lagi maka alangkah sedihnya,
karena kita akan sendiri, tidak dipandang dan diakrabi orang lagi. Sungguh kita
akan menuai hasil sebagai akibat desain pergaulan yang kita buat itu.
Harta,
tahta dan mahkota sangat “"labil” dibalik itu semua tersimpan
"amanah" untuk mensyukurinya, bahkan seperti yang dijelaskan pada
ayat-ayat yang sering diulang-ulang dalam surat ar-Rahman bahwa Allah swt kerab
bertanya “dari sekian banyak dari nikmat Tuhan yang mana lagikah yang akan kamu
dustakan”?
Sudah
menjadi sifat dasar dari manusia bahwa ia adalah makhluk yang sering mengalami
rasa "berkeluh kesah" disebutkan dalam al-Quran: "Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (keberuntungan)
maka ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat". (Q.S.
al-Maarij ayat: 19-22).
Maka
dengan segenap fasilitas yang kita miliki hari ini sebenarnya tidak ada alasan
untuk tidak bersyukur, karena kunci kesejahteraan diri bukan terletak pada
banyak sedikitnya harta, tetapi pada besar-kecilnya ungkapan syukur yang mampu
kita wujudkan. Dengan bersyukur maka Allah akan semakin dekat, dengan begitu
hati
inipun semakin tenteram.
- Zuhud (Shofwatu at-Tafasir hal: 426)
عن
ابى هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا نظر احدكم الى من فضل عليه فى
المال والخلق، فلينظر الى من هو أسفل منه (اخرجه البخارى)
Dari
Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw bersabda: Apabila salah seorang di antara
kamu melihat orang lain yang memiliki kelebihan harta dan kecantikannya. Maka
hendaklah ia melihat juga orang yang berada di bawahnya (dikeluarkan oleh Bukhari).
Hadis
ini mengisyaratkan agar menempuh jalan qanaah dan mengisi dirinya dengan
keridhaan Allah. Salah satu jalan untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan
melihat orang di bawah kita. Dengan cara ini nikmat Allah akan dikenalinya.
Demikiana rasa syukur terhadap-Nya dengan tanpa dibarengi rasa merendahkan dan
menghinakan orang lain.
Sebagai
seorang pendidik Islam sudah seharusnya mengikuti dan meneladani akhlak
Rasulullah saw yang melaksanakan tugas risalah tanpa pamrih, kecuali
semata-mata untuk mencari keridhaan Allah (Moh. Zuhri, 1990:172). Dengan cara
ini seorang pendidik makin dekat kepada Tuhannya dan semakin besar pahalanya.
Karena
pendidik (guru) memiliki posisi tinggi dan suci, sudah selayaknya seorang
pendidik (guru) tahu kewajiban yang sesuai dengan posisinya sebagai pendidik.
Kewajiban pendidik (guru) itu adalah menyebarkan dan mengajarkan ilmu kepada
siapa saja termasuk murid. Oleh karena itu tidak selayaknya seorang pendidik
mengajar dengan maksud semata-mata mencari upah, gaji atau balas jasa. Dengan
kata lain pendidik hendaknya tidak memandang anak didik sebagai pihak yang
diberi, sehingga mengharapkan imbalan jasa atas pemberiannya; tetapi sebagai
pihak yang memberi jalan untuk memperoleh pahala yang besar dan medekatkan diri
kepada Allah swt dan menyebarkan pengetahuan.
Dengan
demikian bisa diibaratkan bahwa keuntungan akan diperoleh oleh petani dan bukan
oleh orang yang punya ladang, maksudnya, bahwa pahala di sisi Allah itu lebih
banyak untuk pengajar dibanding untuk anak didiknya (Sudirman, 197:57)
- Sopan Santun (Tafsir al-Azhar, Shofwatu At-Tafasir, Ibn Katsir)
Sebuah
Hadis yang diterima oleh Hisyam bin Urwah bin Zuber juga dari Aisyah berkata: “Tidak
seorangpun yang sebaik Rasulullah saw budinya: walaupun yang memanggilnya
keluarga ataupun sahabatnya, beliau selalu menjawab: “Labaik”. (Hamka,
1993:7570)
Sikap sopan
santun atau keramahan yang sangat tinggi, tercermin dari Hadis di atas. Beliau
selalu menghormati siapa saja tanpa membedakan status atau golongan manapun, ia
menganggap bahwa semuanya saudara dan harus mendapat perlakuan sebagaimana
layaknya saudara.
Keteladanan
dalam pendidikan anak adalah metode yang paling meyakinkan untuk
keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual dan sosial
anak. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang
akan ditirunya dalam tindak-tanduknya, dan sopan santunnya, disadari ataupun
tidak, hal ini akan tercetak dalam jiwa dan perasaan dari gambaran pendidik
tsb, baik dalam ucapan atau perbuatan, baik material atau spiritual, diketahui
atau tidak diketahui.
Allah swt
juga telah mengajarkan, dan Dia adalah peletak metode samawi yang tiada
taranya, bahwa Rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah samawi kepada ummat
manusia, adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat luhur, baik spiritual, moral
maupun intelektual." Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah saw suri
tauladan yang baik" (QS. al-Ahzab: 21). Al-Asakari dan Ibnu As-Samani
meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda yang artinya:
"Tuhanku telah mendidikku dengan pendidikan yang baik"
Dengan
demikian, ketahuilah oleh para ayah, ibu dan pendidik, bahwa pendidikan dengan
memberikan teladan yang baik adalah penopang dalam upaya meluruskan anak.
Bahkan menjadi dasar dalam peningkatan keutamaan, kemuliaan dan etika sosial
yang terpuji.
Tanpa
memberikan teladan yang baik ini, pendidikan terhadap anak-anak tidak akan
berhasil, dan nasihat tidak akan membekas. Karenanya, bertakwalah kepada Allah
swt, wahai para pendidik dalam mendidik anak-anak kita. Mendidik mereka adalah
tanggung jawab yang dibebankan atas pundak kita.
- Rasa malu untuk melakukan kejelekan (Ibn Katsir)
عن
ابى هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة
من الإيمان
Dari
Abu Hurairah ra berkata: keimanan itu mempunyai cabang lebih dari tujuh puluh,
dan sifat malu itu cabang dari keimanan.
Perasaan
enggan untuk berbuat jahat, karena ingat bahwa Allah mengetahuinya, kecewa jika
meninggalkan berbuat baik yang dapat dikerjakannya.
Seorang
pendidik hendaklah selalu ingat dan sadar apa sebenarnya tujuan dari mendidik.
Dengan sadar akan tugasnya maka ia tidak akan berbuat hal-hal yang dapat
merugikan dirinya, dan orang lain khususnya muridnya. Dengan malu akan berbuat
kejelekan memberikan ketaatan kita kepada syariat Allah swt.
Malu
untuk menyimpang dari tugas dan kewajiban ia menjadi pendidik, artinya
menjalankan amanah Allah agar mendidik dan memimpin anak-anak ke jalan yang
benar. Memberikan pendidikan yang sesuai dengan aturan yang telah digariskan
dan memegang teguh al-Quran dan as-Sunnah. Tidak memalingkan pendidikan
anak-anak kepada mereka yang tidak sehaluan, tidak seiman dan tidak seagama
dengan ummat Islam serta hams mempertahankan aqidah anak-anak dengan mendidik
mereka melalui cara-cara yang islami.
Nabi
Muhammad saw memperingatkan kepada setiap ibu bapak dan pendidik ummat Islam
tentang kewajiban terhadap anak-anak. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa
mengurus pendidikan anak-anak lebih dari sekedar fardhu kifayah.
Selain
itu pendidik juga harus menjaga diri pribadinya dari perbuatan-perbuatan yang
menyimpang dari ajaran Islam dengan cara memegang teguh cara mengerjakan apa
yang diperintahkan dan ilarang oleh Allah swt. Karena bagaimanapun tidak,
sedikit atau banyaknya anak didik akan mencontoh bahkan meniru segala yang
dilihatnya dari seorang pendidik.
- Lemah lembut dan kasih sayang (Tafsir Shafwatu At-Tafasir, Ibn Katsir)
Dalam
konsep pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi (pentarbiyah)
dan Muaddib (pembentuk tingkah laku). Kedua istilah ini mempunyai perbedaan
yang mencolok. Menurut pendapat Ramayulis dengan mengutip pendapat Naquib
al-Attas (1994: 1-2), bahwa kata tarbiyah secara semantik tidak khusus
untuk mendidik manusia, melainkan dapat dipakai pada spesies lain, seperti
mineral, tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah juga berkonotasi, ia mengandung
arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat,
menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang
sudah matang dan juga berarti menjinakkan. Adapun kata ta'dib mengacu
pada kata ilmu, pengajaran (ta'lim) dan pengasuh yang baik (tarbiyah).
Dari situlah menurutnya kata ta'dib lebih tepat untuk digunakan dalam
istilah pendidikan Islam.
Dari
keterangan di atas, jelaslah bahwa Allah swt adalah pendidik yang paling
tinggi. Dan Allah yang pertama kali mengajarkan asma-Nya kepada manusia yang
pertama tentang nama-nama yang ada di alam jagat raya ini (QS. 2:31).
Orang
yang pertama mengaplikasikan pendidikan sejak munculnya Islam adalah Nabi
Muhammad saw dan beliau yang telah menjadikan al-Quran sebagai dasar pendidikan
Islam di samping sunnahnya sendiri. Allah swt telah mengisyaratkan kepada Nabi
Muhammad saw agar dalam pelaksanaan penyiaran Islam dilakukan dengan lemah
lembut, begitu juga dalam melakukan pengajaran kepada umatnya penuh dengan
kelembutan dan kasih sayang. Kasih sayang dalam pendidikan merupakan modal yang
pertama dan utama yang mesti dimiliki oleh pendidik. Bila pendidik telah
memiliki kasih sayang yang tinggi kepada muridnya maka pendidik akan berusaha
semaksimal mungkin untuk mendapatkan yang terbaik dalam rangka meningkatkan
keahliannya, karena ia ingin memberikan yang terbaik pada si terdidik yang
disayanginya (Ahmad Tafsir, 1992:85).
Abu
Ahmadi (1996: 75) menegaskan bahwa seorang pendidik hams dapal menempatkan
dirinya sebagai seorang bapak sebelum menjadi seorang guru. Dengan sifat ini
seorang pendidik harus mencintai murid-muridnya dengan kasih sayang seperti
cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti ia
memikirkan anaknya sendiri. Selanjutnya ia mengatakan mencintai anak murid yang
bukan anak kandungnya sendiri adalah pekerjaan yang secara psikologis cukup
berat.
Sementara
itu, menurut al-Abrasyi (19993: 138), kelembutan adalah ciri penyampai
kebenaran dan kebaikan, karakter pendidik dan pembina umat. Hal ini seperti
yang diamanahkan Allah kepada Musa as. dan Harun a.s. ketika mereka diutus
menyampaikan nilai-nilai risalah kepada Fir'aun dan Yahudi, sebagaimana
dikisahkan dalam al-Quran surat Thaha (20: 42-44)
اذْهَبْ
أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي. اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ
إِنَّهُ طَغَى. فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ
يَخْشَى.
Pergilah
kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku. Pergilah kamu berdua kepada
Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Bicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan (dengan itu) ia mau ingat atau
takut" (Depag RI, 1993:480).
Dari ayat
di atas dapat diambil beberapa hal penting berkaitan dengan kelemahlembutan
sebagai sebuah karakter seorang pendidik.
- Kelemah-lembutan seorang pendidik diorientasikan bagi terciptanya suasana kondusif untuk melahirkan kesadaran, kefahaman dan ketundukan terhadap nilai-nilai yang diajarkan serta terhadap materi pendidikan.
- Kelemah-lembutan harus ditunjang oleh bobot isi yang menjadi nilai esensial suatu pendidikan yaitu kualitas materi pendidikan.
Kelemahlembutan
pada suatu sisi merupakan media atau metode pendekatan psikologis yang
menjadikan media antara pendidik dan anak didiknya, sehingga proses pendidikan
dapat mencapai hasil optimal.
- Jujur (Tafsir UII)
Kejujuran
adalah puncak keutamaan yang menjadikan dasar tegaknya masyarakat, tertibanya
segala urusan dan perjalanan hidup yang terpuji. Kejujuran juga akan mengangkat
tinggi martabat seseorang di hadapan orang banyak, tempat kepercayaan, dicintai
orang banyak, perkataan terhormat di sisi penguasa dan persaksian yang diterima
di majelis hakim.
Seorang
pendidik harus dapat dipercaya sebagai tempat titipan untuk anak didik
(amanah). Tidak membiarkan murid berada dalam kesalahan, melainkan
membimbingnya ke arah yang benar (perhatian dan tanggung jawab). Selain itu di
dalam sikap, pendidik harus menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan
pribadinya. Jika apa yang diajarkan pendidik sesuai dengan apa yang
dilakukannya, maka anak didik akan menjadikan gurunya sebagai teladan. Namun,
jika perbuatan gurunya bertentangan degan apa yang dikatakannya, anak didik
akan menganggap apa yang diajarkan gurunya sebagai materi yang masuk telinga
kanan dan keluar dari telinga kiri.
- Adil (Tafsir Ibn Katsir, UII)
...ولو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها...
...Jika seandainya Fatimah binti Muhammad
mencuri, niscaya saya potong tangannya...
Dari
Hadis di atas jelas terlihat bagaimana keadilan Rasulullah saw dalam memberikan
hukuman kepada siapa saja yang berbuat salah walaupun kepada keluarganya.
Termasuk dalam hal ini seorang pendidik tidak berpihak atau mengutamakan
kelompok tertentu. Artinya dia harus menyikapi setiap anak didiknya sesuai
dengan perbuatan dan bakatnya, mengarahkan dan memberikan apa yang menjadi
haknya masing-masing. Seumpamanya seorang pendidik dalam memberikan hukuman
kepada anak didiknya tanpa memandang anak siapa, kalau jelas anak tersebut
melakukan kesalahan maka berikanlah mereka hukuman sesuai dengan kesalahan yang
dibuatnya dalam rangka melakukan pendidikan.
- Tegas dan Berani (Tafsir Ibn Katsir)
Sifat
tegas dan berani selalu ditunjukkan dalam diri Rasulullah saw misalnya pada
saat beliau menetapkan hukum pada suatu perkara. Sebagai pendidik sudah selayaknya
bersikap tegas dan berani menindak anak yang bertindak buruk dengan cara
menegurnya sebisa mungkin atau dengan cara menyindir dan penuh kasih sayang,
bukan dengan terus terang dan mencelanya, sebab teguran yang terakhir dapat
membuat anak didik membangkang dan sengaja terus menerus bertingkah laku buruk.
Selain
itu pendidik juga harus mampu meletakkan sesuatu sesuai dengan proporsinya
sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa. Jika dia dituntut untuk
di kelas, dia tidak boleh menampakkan kelunakannya; dan sebaliknya jika dia
dituntut untuk lembut, dia harus menjauhi kekerasan, bagaimanapun, seorang guru
adalah pemimpin kelas yang perintahnya harus diikuti dan diindahkan oleh anak
didiknya. Lebih jauh lagi, seorang guru harus menunjukan kasih sayangnya kepada
anak didik, tanpa sikap berlebihan sehingga sewaktu-waktu dia bisa bersikap
toleran tanpa menjadikannya generasi yang santai dan malas (Abdurahman An
Nahlawi, 1996:72)
- Suka menolong (Tafsir UII)
Pendidik
selain mengajar ia juga harus bisa memberikan pertolongan khususnya kepada anak
didiknya. Pertolongan itu berupa memberikan bimbingan ataupun lainnya yang
dapat memberikan motivasi kepada siswa. Sebagaimana Oemar Hamalik (1995:65)
mengatakan bahwa seorang guru (pendidik) diharapkan bersikap menunjang,
membantu, adil dan terbuka dalam kelas.
Proses
bantuan yang diberikan oleh guru sangat besar perannya dalam proses belajar
mengajar. Dengan bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik (guru),
akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan serta menciptakan
antusiasme terhadap pelajaran yang sedang diberikan.
Para
pendidik, yang dianggap sudah dewasa rohani dan jasmaninya itu harus membawa
anak-anak didiknya yang masih berada dalam taraf ketergantungan atau dependency
serta masih memerlukan bimbingan dan bantuan itu kearah berdiri sendiri dan
kearah kedewasaan.
Perlu
diingat bahwa selain guru berperan sebagai pembimbing, juga berkaitan dengan
masalah sikap siswa dalam menanggapi peran guru sebagai pembimbing tersebut.
Hal ini dipandang penting karena bagaimanapun juga efektivitas proses belajar
mengajar yang berlangsung di dalam kelas sedikit banyak ditentukan pula oleh
cara siswa dalam menyikapi gurunya ketika proses belajar mengajar berlangsung.
Kepercayaan
dan tumpuan harapan tentang pentingnya kedudukan pendidik atau guru dalam
proses belajar mengajar sampai kapanpun tidak akan pernah "luntur".
Berbagai penelitian telah dilakukan dan memberikan hasil yang menggembirakan
tentang efektivitas peranan pendidik dalam mempengaruhi mutu hasil belajar
peserta didik.
Kegagalan
pendidik atau guru dibidang tugasnya antara lain sebagian mereka kurang
memahami fungsinya sebagai orang kedua bagi peserta didiknya.
- Optimis yang disertai tawakal (Tafsir UII)
Optimis
adalah sifat percaya diri yang tinggi bahwa yang diperbuatnya akan mencapai
keberhasilan. Sedang tawakal harfiah "tawakal" (Arab, dengan ejaan
dan vokalisasi yang benar: tawakal) berarti bersandar atau mempercayai diri.
Dalam agama, tawakal adalah sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada
Allah, Tuhan
Yang Maha
Esa. Karena mengandung makna "mempercayakan diri" maka tawakal
merupakan implikasi langsung dari iman. Sebab iman tidak saja berarti
"dipercayakan adanya" Tuhan (sesuatu yang orang-orang musyrik Mekah
di zaman jahiliyah pun melakukannya), tetapi lebih bermakna
"mempercayai" atau "menaruh kepercayaan" kepada Tuhan
satu-satunya tanpa sekutu yaitu Allah, Tuhan Yang Maha Esa (Nurcholis Madjid,
1992:46). Sebagaimana diungkapkan oleh Hamka (1987: 185), bahwa tawakal adalah
menyerahkan keputusan segala perkara ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta
alam.
Dari
kedua uraian di atas dapat kita pahami bahwa optimistis merupakan sifat yang
pantang mundur dan yakin bahwa yang dilakukannya akan berhasil atau bermanfaat,
sedangkan tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah setelah kita
berusaha sepenuhnya, kendati demikian hendaknya kita memperhatikan sebab-sebab
lahiriah yang bisa mengantarkan ke arah keberhasilan. Hanya saja tidak boleh
sepenuhnya percaya terhadap sebab-sebab lahiriah itu, bahkan harus berkeyakinan
bahwa yang dilakukannya hanyalah untuk memelihara hikmah Ilahi.
Jadi
tawakal merupakan aspek transendental dari suatu usaha atau amal. Tawakal
selalu dinisbahkan kepada Allah, dengan kata lain Allah tempat manusia muslim
bertawakal. Tawakal adalah penyerahan urusan kepada Allah seiring dengan usaha
yang sedang atau sudah dilakukan dengan sekuat kemampuan manusiawinya
(optimis). Dengan demikian tawakal menggambarkan sikap optimis dalam berbuat.
Namun disertai dengan kerendahan hati (tawadlu) bahwa keberhasilan dari usaha
tersebut tidak terlepas dari pertolongan Allah. Di sini terdapat penghayatan
bahwa Allah terlibat dalam perbuatan dan amal yang sedang dilakukan.
Kesadaran
serupa ini mcnurut Nurcholis Madjid (1992: 45), tidak saja merupakan realisme
metafisik, tetapi juga memerlukan kcberanian moral karena bernilai aktif yaitu
keberanian untuk menginsyafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah
usaha yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan
dapat dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam
ilmu pendidikan, pendidikan adalah proses yang tidak mudah bila hal itu
dilakukan dengan segenap amanah dan tanggung jawab. Karenanya, tidak heran jika
pendidikan menuntut adanya tekad yang tinggi (optimis) untuk menghadapi
manusia-manusia didik yang sedang tumbuh berkembang dan belajar dengan segala
kekurangan, kelemahan dan keterbatasan mereka yang terkadang menggiring mereka
kepada hal-hal negatif adalah hal yang tidak ringan. Terlebih lagi, hal itu
dihadapi juga oleh semua manusia biasa.
Pendidik bukanlah makhluk super yang dapat melakukan semuanya, namun
juga mereka bukanlah manusia yang mudah menyerah menghadapi tantangan yang
berat. Optimis disertai dengan kekentalan sikap mental spiritual pada diri
seorang pendidik merupakan bekal yang baik bagi proses pendidikan.